“Ijinkan aku untuk menemanimu sampai rambut ini memutih. Bersama merasakan suka dan cita, Tiara Nandita . . . maukah menikah denganku?” ucap pria tampan dengan lesung pipit di kedua pipinya. Senyumannya mampu menawan seorang gadis yang sedang tercengang dihadapannya.
Jantung gadis itu tak berhenti berdegup dan matanya sudah berkaca-kaca karena hatinya dipenuhi rasa haru. Apa yang dia nanti-nantikan selama dua tahun ini akhirnya terjadi, lelaki pujaan hatinya telah menginginkannya untuk menjadi pendamping hidupnya selamanya.
“Ya, aku mau.”jawab Tia dengan pasti diiringi air mata yang menetes secara perlahan dipipinya.
Gilang berdiri dari ritual melamarnya, dan menyematkan cincin berlian kejari manis Tia. Dengan dipenuhi rasa bahagia dia memeluk kekasih yang sudah melamarnya. Gilang mencium kening Tia dengan perlahan.
“Terimakasih, sayang. Kamu mau menerima lamaranku. Padahal aku . . .”
“Ssssttt . . . jangan pernah merendahkan dirimu. Aku mencintaimu apa adanya, Lang. I love you.”
“Love you too, honey.”
Malam itu dipenuhi rasa bahagia dari kedua pasangan yang sedang dimabuk cinta. Kekuatan cinta mereka mampu bertahan melewati beragam halangan dan rintangan yang telah terjadi. Dengan pasti Tia menerima lamaran Gilang, karena dia yakin, Gilanglah masa depannya dan masa akhirnya.
***
“Oke, kalau begitu rapat hari ini kita tutup sampai disini. Saya tunggu laporan perkembangan proyek kita sampai besok siang.” Tia menutup rapat tim nya tepat sebelum jam makan siang.
“Baik, Bu. Kita semua akan bekerja keras demi keberhasilan proyek ini.”
“Terimakasih. Kalian bisa bubar dan silahkan makan siang.”
Tiara Nandita, seorang salah satu manager di perusahaan S&D Group. Diusianya yang masih 25 tahun, dia sudah berhasil mendapatkan posisinya saat ini dengan segala kerja keras yang dia lakukan. Walau bawahannya banyak yang berusia lebih tua dari dirinya, tapi hal itu tidak membuatnya diremehkan karena memang daya kerjanya yang mumpuni dan terbukti. Tapi walaupun dia sudah berada ditempat yang nyaman saat ini, tidak pernah sekalipun Tia bersikap sombong.
Diperusahaan, Tia sudah sering menyelesaikan berbagai proyek besar dengan dibantu tim yang dia bawahi. Hal ini tentunya menjadi catatan khusus direksi untuk promosi kenaikan jabatannya.
‘Klik . . . klik . . . klik . . .’ (Dering panggilan masuk)
“Tia . . .” sapa seseorang dari seberang.
“Iya, Lang. Ada apa? Aku baru saja selesai rapat.”
“Mau makan siang bersamaku, Tia?”
“Maaf, sayang. Aku harus membahas proyek dengan Cindy siang ini, bisa kita ganti lain waktu?”
“Tidak masalah, aku tahu kesibukanmu. Jangan lupa makan yang banyak, jaga kondisimu di saat hari sibukmu." Tutup pesan dari Gilang.
“Tentu, terimakasih selalu memperhatikanku.”
“Tidak perlu berterimakasih, itu sudah kewajibanku sebagai calon suamimu.”
Tia yang mendengarnya menjadi malu dan salah tingkah walaupun hanya melalui panggilan telepon.
“Jangan lupa, minggu ini mama mengundangmu untuk makan siang dirumah.”
“Kira-kira apa yang harus aku bawakan untuk mamamu?”
“Tidak perlu membawa apa-apa, kamu mau datang saja itu sudah bagus.”
“Tentu saja aku harus datang, dia juga akan menjadi mamaku. Dan aku juga harus membawakannya sesuatu, tapi apa?”
“Jangan jadikan itu sebagai bebanmu. Datang saja bersamaku, itu sudah cukup.”
Dari luar ruangan rapat, terdengan suara Cindy yang sudah memanggil Tia, mengajaknya untuk segera keluar.
“Gilang, maaf, Cindy sudah ada didepan ruanganku. Aku harus segera menghampirinya.”
“Baiklah, hati-hati sayang. Jangan lupa tersenyum padaku jika melewati meja kerjaku.”
Tia mengakhiri panggilan teleponnya dengan senyum lebar diwajahnya. Walaupun hubungan mereka sudah dua tahun lamanya, tapi Gilang tidak pernah berhenti memberikan romansa yang begitu manis. Hal itu membuat Tia merasakan jatuh cinta setiap saat bersama dengan Gilang.
Saat jam makan siang, Tia lebih memilih untuk datang kerestaurant yang berada tepat didepan kantornya. Selain tempatnya yang mudah dijangkau, makanan yang bervariasi, juga memberikannya cukup waktu dari pada harus berjauh-jauh keluar dari kantor.
Sebenarnya kantor Tia sendiri memiliki kantin yang tidak kalah lengkap menunya jika dibanding dengan menu restaurant manapun, direktur tempat Tia bekerja secara khusus mengerahkan beberapa chef handalan yang dapat membuatkan makanan yang dipesan oleh seluruh karyawan. Tapi hari ini Tia ingin membahas pekerjaannya ditempat yang sedikit tenang. Tidak penuh sesak dengan puluhan karyawan yang sedang mengisi kampung tengahnya (perut lapar).
“Jadi, proyek kita kali ini tidak ada kendala lagi bukan?”
“Kita tinggal menunggu approve dari Pak Raka, saat ini istrinya sedang hamil muda, dan direktur kita itu luar biasa protektif kepada istrinya. Jadi butuh waktu untuk Pak Raka mengeceknya.” Terang Tia.
“Begitukah?” tanya Cindy penasaran.
“Paling tidak, itulah yang kudengar dari beberapa manager lainnya.”
“Tapi tidak pernah kusangka, Pak Raka yang setegas itu bisa langsung lembut didepan Bu Ara. Aku sebenarnya patah hati saat tahu direktur tampan kita itu menikah, tapi karena pasangannya Bu Ara, maka aku menyerahkan Pak Raka untuknya.”
Tia menggeleng-gelengkan kepalanya, “Masih saja nge-halu. Mana mungkin Pak Raka melirik perempuan pecicilan sepertimu. Perempuan kok nggak ada femininnya. Lihat saja, duduk nggak bisa yang manis dikit, kek. Jangan lebar-lebar buka kakinya tu.”
“Sialan, lo. Tapi . . . ada apa dengan dirimu hari ini? Senyuman di bibirmu tidak hilang dari tadi.” Tanya Cindy merasa aneh dengan sahabatnya ini.
“Apakah salah jika aku bahagia?”
“Tentu saja itu hal yang bagus. Tapi kenapa kamu tidak membagi kebahagiaanmu dengan menceritakannya padaku, teman dekatmu ini?”
Tia hanya menanggapi keingintahuan sahabat sekaligus rekan kerjanya itu dengan senyuman. Hal itu membuat Cindy tampak memperhatikan sahabatnya yang berparas cantik dan wajahnya juga mirip dengan artis bernama Raisa.
“Tunggu . . . tunggu.” Cindy memegang tangan kiri Tia dan mengangkatnya, memperhatikan sesuatu yang tersemat dengan indah di jari manis gadis 25 tahun itu.
“Ini cincin tunangan? Gilang melamarmu?” Cindy penasaran. Tia hanya mengangguk dan tersenyum sambil meminum kopi panasnya.
“Kapan?”
“Kemarin malam. Ditempat pertama kali kami berkencan.”
Cindy menutup mulutnya seakan tak percaya
“Selamat, ya. Akhirnya kekhawatiranmu selama ini terjawab sudah.”
“Tapi . . . apa kekhawatiranku selama ini terlalu berlebihan?” tanya Tia
“Menurutku, itu wajar. Dengan banyaknya kabar yang beredar dikantor bahwa Gilang memiliki hubungan lain dengan Cici, sekretaris Pak Raka. Apalagi kalian sudah menjalin hubungan selama 2 tahun lebih.”
“Aku tahu harusnya tidak perlu khawatir, karena Gilang juga sudah mengatakan jika tidak punya hubungan apa-apa dengan Cici. Tapi terkadang kedekatan mereka sedikit menggangguku.” Jelas Tia.
“Eh, tapi tahu kabar terbaru nggak?” Cindy merapatkan duduknya kearah Tia karena takut suaranya akan didengar oleh orang lain.
“Denger-denger, Cici ternyata pacaran lo sama Bagas.”
“Bagas asisten pribadi Pak Raka?” Tia spontan mengeraskan suaranya.
Cindy reflek memukul lengan Tia karena sebal,“Sekalian aja pake speaker biar keras.”
“Ya, maaf. Kan kaget.” Tia memasang tampang tak bersalahnya.
“Jadi selama ini gossip yang beredar salah dong.” Sesal gadis cantik itu.
“Ya bagus lah, berarti Gilang memang tidak ada hubungan sama Cici.” Terang Cindy. “Oh iya, tanggal berapa kalian nikah?”
“Belum tahu. Minggu ini aku baru akan bertemu dengan keluarga Gilang.”
“Sukses ya buat nanti. Siap-siap aja buat ketemu camer besok, jangan kerja mulu.”
“Kira-kira apa ya yang harus aku bawa untuk oleh-oleh mamanya?”
“Bawakan saja tas dengan merk terkenal, pasti seneng. Dah yuk, kita bahas lagi sambil jalan, jam makan siang sebentar lagi mau selesai.” Cindy berdiri dari tempat duduknya dan mengajak Tia untuk mengikutinya kembali ke kantor.
“Tapi kita belum sempat makan?” rengek Tia.
“Udah tak ada waktu lagi. Yuk sambil jalan. Nanti aku antarkan roti keruanganmu.”
Gara-gara terlalu heboh membahas Gilang, mereka lupa memesan makanan dan hanya meminum kopi saja.
Dikantor Tia merupakan atasan Gilang, dan Gilang hanya karyawan biasa dengan pekerjaan rutinitasnya. Dengan posisi yang sudah mapan diusia semuda itu, membuat banyak lelaki minder dan memilih mundur jika mempunyai niat mendekati Tia. Kedisiplinan dan kerjakerasnya sejak dari bawah membawanya keposisi sebagai salah satu manager di perusahaan S&D Group. Pertemuan keduanya yang tidak disengaja diluar kantor membawa hubungan mereka kearah yang lebih serius.
Minggu siang itu, Tia sudah bersiap dengan dandanannya. Banyak orang yang selalu menyamakan wajahnya dengan penyanyi terkenal bernama Raisa, wajahnya yang cantik, kulitnya yang putih, rambut yang terurai panjang berwarna hitam, ditunjang dengan proposi tinggi badan dan berat badan yang sesuai, membuat penampilan Tia semakin menawan. Terkadang saat dikeramaian, dia mendapatkan tawaran dari beberapa pencari bakat yang menginginkannya untuk mengikuti casting sebuah iklan maupun sinetron kejar tayang, tapi secara cepat Tia menolaknya secara halus karena bidang yang sangat dicintainya yaitu pekerjaan yang saat ini sedang dia geluti.
“Kamu sudah siap, sayang?” tanya Gilang saat Tia sudah masuk kedalam mobilnya.
“Huft . . . aku sangat gugup.”
“Jangan gugup, Mamaku pasti akan menyukaimu.” Gilang membantu memasangkan sabuk pengaman ketubuh Tia, dan mulai menancapkan gasnya.
“Apa kamu pernah menceritakan tentangku kepada keluargamu.”
“Emmm . . . aku hanya bercerita jika aku mendapatkan malaikat yang begitu cantik dan baik yang mau menikahi laki-laki seperti aku.”
“Apa maksudmu? Aku sudah pernah bilang, jangan pernah merendahkan dirimu.”
“Aku hanya karyawan biasa dengan gaji bulanan yang kecil, Tia. Bagaimana bisa aku menyombongkan diriku dihadapanmu yang bergaji belasan juta.”
“Apakah bagimu cinta itu diukur berdasarkan materi?” tanya Tia sedih. “Aku tulus mencintaimu Gilang, tanpa memandang hal yang selama ini selalu kamu resahkan. Aku sudah berkali-kali menjelaskan, tapi selalu saja kamu . . . ” Tia menundukkan wajanya karena merasa bahwa dia akan menangis.
“Maafkan aku, kumohon jangan bersedih. Aku tidak akan menyinggungnya lagi. Hari ini kita akan bertemu keluargaku dan merencanakan tanggal pernikahan kita. Maafkan aku, ya.” Gilang menggenggam tangan Tia dengan tangan kirinya. Tia mengangguk dan tersenyum.
Mobil sedan itu melaju membelah padatnya kota Jakarta, selama perjalanan Tia masih berusaha untuk mengurangi perasaan gugupnya. Karena selama berpacaran dengan Gilang, dia tidak pernah diajak untuk menemui keluarga Gilang, dan hari ini adalah pertama kalinya dia akan bertemu dengan keluarga kekasih pujaan hatinya.
“Ma, aku pulang.” Ucap Gilang saat mereka berdua sudah masuk kedalam rumah dan menuju ruang tengah.
“Selamat datang anak kesayangan Mama, apakah ini pacar yang telah kamu lamar?”
“Selamat siang Tante. Saya Tiara Nandita. Maaf jika baru bisa berkunjung hari ini. Ini ada oleh-oleh buat Tante.” Tia memberikan satu paper bag yang berisikan tas mewah dengan merk terkenal.
“Aduh, Tia, jangan repot-repot, Nak. Tidak perlu bawa apa-apa jika main kesini, apalagi sebentar lagi kamu akan menjadi bagian dari keluarga ini, biasakanlah mulai sekarang.
“Baik, Tante.” Jawab Tia lembut.
“Kebetulan ini di jam makan siang, Gaby sudah menyiapkan makanan untuk kita. Masakan adikmu tidak pernah mengecewakan.” Ajak Mama Gilang.
“Gaby?” tanya Tia kepada Gilang saat mereka berjalan menuju ruang makan.
“Adik perempuanku. Tahun ini dia sudah mengambil kursus. Dia mengambil kursus yang berkaitan dengan memasak, paling tidak itu yang aku tahu?”
“Pantas saja masakannya kata Mamamu tidak pernah mengecewakan. Tapi kenapa dia tidak kuliah saja? Dia bisa menjadi Chef!”
“Aku akan menceritakannya padamu nanti.”
“Duduklah disebelah Gilang, Tia.” Mama Ratna mempersilahkan calon menantunya duduk saat mereka sudah sampai didepan meja makan.
“Ayo, Kak, dicoba masakan Gaby.” Gaby dengan hangat menawarkan lauk pauk yang baru saja dia masak. Uap panas masih mengepul diatas tiap masakan.
“Terimakasih, Gaby.”
“Mari kita makan dulu, setelah itu kita mengobrol diruang tengah.”
Siang itu suasana diruang makan sedikit lebih meriah karena berkumpulnya Gilang ditambah dengan Tia. Gaby menunjukkan kesukaannya terhadap calon kakak iparnya. Tidak henti-hentinya Gaby memuji kecantikan Tia.
“Kenapa Gaby hanya mengambil kursus? Kenapa tidak kuliah saja? Biar Gaby nanti bisa berkembang.” Tanya Tia disela-sela suapan makanannya.
“Eemmm . . . Gaby . . . “
“Itu karena Tante yang tidak mengijinkannya. Tante mau nanti setelah dia menikah, dia akan menjadi ibu rumah tangga yang berdedikasi untuk suaminya.”
“Tapi, Tante . . .” kaliamat Tia terhenti karena tangannya digenggam secara mendadak dengan Gilang. Tia tahu jika Gilang menginginkannya berhenti dan tidak melanjutkan perdebatan.
“Sudah sekarang kita lanjutkan makannya, kita lanjut mengobrol lagi nanti setelah makan.” Terang Gilang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!