NovelToon NovelToon

Teror Privat Number

Prolog

“Saya gak bersalah pak. Saya Cuma menemukan ponsel ini di dekat kampus, terus saya angkat teleponnya karena saya pikir yang menelepon si pemilik ponsel yang menelepon dari nomor lain.”

Erina berkali-kali mengatakan itu di ruang interograsi. Namun, semua sia-sia karena petugas tetap tidak percaya dengan seluruh ucapan Erina. Akhirnya, Erina hanya bisa pasrah menerima bagaimana nasibnya.

Setelah beberapa jam di interograsi. Akhirnya Erina bisa keluar dari ruangan mengerikan itu. Polisi tidak bisa menangkap Erina karena kurangnya bukti. Erina sangat bersyukur karena dia bisa bebas dan beraktifitas sepertinya biasanya, pikirnya.

Namun, ternyata tidak. Dia di pecat dari pekerjaannya dan di pandang aneh oleh beberapa tetangganya. Bahkan, begitu sampai rumah orang tua Erina buru-buru menutup pintu rumah mereka. Erina menangis dalam pelukan kedua orang tuanya yang sudah separuh baya itu.

Mereka sangat sedih kenapa ini bisa terjadi di keluarga mereka yang sederhana ini. Beruntung Erina bisa bebas. Jika tidak bagaimana keluarga ini bisa mengeluarkan Erina karena mereka tidak memiliki cukup uang untuk menyewa pengacara.

“Kakak bukan orang jahat kan?” Tanya adik Erina.

Erina hanya bisa menggeleng sambil berlinang air matanya. Kemudian, adiknya memeluk erat Erina dan ikut menangis tersedu di tengah pelukan Erina dan orang tuanya. Di tengah-tengah suasana haru itu. Tiba-tiba ponsel Erina berbunyi, Erina melepas pelukan hangat keluarganya. Tanpa melihat siapa yang menelepon Erina langsung mengangkatnya.

“Bekerjalah untukku, maka semua kebutuhanmu terpenuhi.” Ucap suara yang di samarkan dari ponsel Erina.

Erina yang saat ini pikirannya kacau. Dia langsung menyetujuinya tanpa memikirkan resiko apa yang akan terjadi padanya. Begitu telepon terputus. Erina baru tau siapa yang meneleponnya. Ternyata, nomor privat yang meneleponnya.

“Tidak ada pilihan lain.” Pikirnya.

***

Satu tahun tiga bulan yang lalu.

Hari ini adalah hari pertama Erina menjadi seorang mahasiswi. Erina memiliki kepribadian introvert yang sulit untuk berteman dengan orang baru. Dia cenderung membutuhkan waktu cukup lama untuk berteman dengan orang baru.

Pagi ini begitu cerah, Erina berjalan santai memasuki kawasan kampusnya sambil melihat pemandangan baru. Biasanya, dia melihat orang-orang dengan seragam. Dan sekarang, di lingkungan barunya, dia melihat berbagai macam orang dengan style mereka masing-masing.

Erina tersenyum bangga, karena dia bisa kuliah di kampus yang dia impikan sejak SMP. Meski bukan kampus besar, dia ingin kuliah di sini hanya karena dekat dengan rumah dan biayanya murah. Baginya, bisa kuliah saja sudah suatu keberuntungan. Meski dia tau, jika dia harus berusaha keras untuk melanjutkan kuliah dengan bekerja.

“Erina!” Teriak seorang siswi dari belakang.

Reflek Erina menoleh dan dia terkejut. Ada seorang mahasiswi berlari ke arahnya. Sebenarnya dia tidak begitu mengenal siapa mahasiswi itu. Namun, apa daya mahasiswi itu mengandeng tangan Erina erat sambil mengajaknya mengobrol. Saat itu Erina hanya bisa mengikuti arus dengan tersenyum canggung saja. Dia tidak tau, jika itu adalah awal mula dari hal buruk yang akan menimpanya.

“Hah? Udah punya temen dia?” Ucap mahasiswi yang mengamati Erina dari belakang.

“Gimana? Kita pilih salah satu apa dua-duanya?” Ucap mahasiswa lain.

“Dua duanya aja.”

***

Dua semester berlalu.

Erina sudah tau nama mahasiswi yang memanggilnya waktu itu. Namanya Fatmawati biasa di panggil dengan Fatma. Awalnya mereka canggung, tapi sekarang. Mereka begitu dekat. Kemanapun mereka pergi, mereka selalu berdua.

Hari ini hari tenang setelah ujian. Erina dan Fatma ingin melepas penat mereka dengan main ke salah satu kafe yang populer dekat kampus mereka. Mereka ingin menghabiskan waktu untuk dua jam ke depan sebelum Desya pergi bekerja.

“Semoga hari ini kita aman dari mereka.” Ucap Fatma.

Erina hanya mengangguk. Terlihat ekspresi kesal di wajahnya. Dia menjadi teman korban bullying. Yah, bahkan di dunia perkuliahan masih ada hal seperti itu? Bukan karena persaingan prestasi atau hal lain. Ternyata orang yang membully Fatma adalah musuh masa lalu Fatma ketika SMP.

Selama perkuliahan dua semester Erina hanya bisa melihat teman baiknya di risak. Meski sebenarnya, dia ingin sekali menolongnya. Tapi, apalah daya dia hanya bisa membantunya ketika Fatma sudah selesai di jaili oleh mereka. Erina, tidak di perbolehkan menyentuh Fatma. Karena mereka mengancam akan membuat Erina keluar dari tempat kerjanya.

Erina harus berpikir seribu kali untuk menyelamatkan Fatma. Karena, dia tidak ingin kehilangan sumber penghasilannya untuk kuliah itu. Mencari pekerjaan yang fleksibel sesuai kebutuhan mahasiswa itu sangatlah sulit. Namun, Fatma masih bersyukur karena Erina tidak meninggalkannya.

“Apa kita pulang aja ya Fat?” Ucap Erina khawatir.

Fatma jadi ikut ragu karena ucapan Erina. Dia berpikir sejenak memilah mana yang terbaik. Dia ingin menghabiskan waktu dengan Desya, tapi dia takut jika Binar datang mengacaukannya. Binar sudah seperti jalangkung yang datang tidak di undang pulang tidak di antar.

“Gimana ya?” Ucap Fatma ragu.

Kling!

Tiba-tiba ponsel Fatma berbunyi. Dia langsung merogoh tasnya mencari ponselnya yang berbunyi hanya sedetik itu. Setelah ketemu, dia membaca pesan di layar ponselnya. Dengan buru-buru dia meninggalkan Erina dan kembali ke arah kampus.

“Kayaknya kita gak jadi, lain kali. Kita rencana in bareng yah!” Ucap Fatma.

“Oke.”

“Nanti aku chat ya. Daahh.” Ucap Fatma sambil melambaikan tangannya kembali masuk ke dalam area kampus.

Sedangkan Erina, kembali berjalan menuju tempat parkir. Meski kecewa, dia juga bersyukur karena bisa menghemat pengeluarannya dan juga bisa beristirahat sebelum pergi bekerja hari ini. Tetapi, entah kenapa perasaanya tidak enak. Dia sempat menoleh kembali mencari keberadaan Fatma. Dia melihat Fatma terburu-buru masuk.

“Dia gak bakalan di risak lagi kan?” Gumamnya.

“Semoga semua cepat berakhir.” Ucapnya.

Saat kembali berjalan menuju tempat parkir. Mata Erina tidak sengaja saling menatap dengan Binar yang kebetulan keluar dari tempat parkir bersama Nita dan Hesti. Mata Erina sempat membelalak. Tapi dia buru-buru menormalkan kembali matanya. Dia bersyukur, karena Binar di sini maka Fatma sekarang aman.

“Hai Erina Anggraini.” Sapa Binar.

“Hai.”

“Fatma mana?” Tanya Hesti yang juga perisak Fatma.

“Emmm. Gak tau.”

Erina berusaha untuk menolong Fatma dengan menyembunyikan kebenaran. Dia berharap, Binar segera pergi dan dia bisa pulang dengan aman.

“Biasanya nempel mulu, tumben gak nempel. Lagi marahan ya kayak kemarin haha.” Ucap Binar.

Erina hanya menggeleng dan berusaha untuk segera pergi dari sana. Tapi, tidak semudah itu. Nita yang cukup peka dengan perubahan tingkah laku Erina dengan sigap menarik lengan Erina. Dia langsung menatap mata Erina yang bergetar.

“Dimana Fatma?” Tanya Nita tegas.

Erina sempat tertunduk sesaat. Tapi, dia langsung mengangkat kepalanya dan berkata bahwa dia benar-benar tidak tau dimana Fatma sambil balik menatap Nita tidak kalah tajamnya. Nita langsung melepaskan lengan Erina. Dan kemudian, secara tiba-tiba Nita, Binar dan Hesti pergi meninggalkan Erina dengan berlari kecil.

“Semoga Fatma aman.” Gumamnya.

***

Malam hari di rumah Fatma.

Sari, mama Fatma sedang sibuk menelepon anak pertamanya bernama Farid. Dia sangat khawatir karena anak bungsunya Fatma belum sampai rumah padahal sekarang sudah pukul sembilan malam.

“Fatma....” Ucapnya cemas.

Tut tut tut

~ Terima kasih, sudah mampir baca ~

Kematian Fatma

Malam hari di rumah sederhana Sari sedang sibuk menelepon anak pertamanya bernama Farid. Dia sangat khawatir karena anak bungsunya Fatma belum sampai rumah padahal sekarang sudah pukul sembilan malam.

“Fatma....” Ucapnya cemas.

Tut tut tut

Telepon terputus. Sari tidak menyerah dia mencoba menelepon anaknya untuk yang kelima kalinya. Dia berjalan mondar-mandir di depan teras rumahnya sambil memandang jalan raya barang kali anak bungsunya pulang.

“Hallo buk?” Ucap Farid dari sabrang sana.

“Nak, Abang... Adik kok belum pulang? Udah jam segini lo.” Ucap Sari cemas.

“Loh? Belum pulang? Ibuk udah tanya Erina?”

“Udah. Katanya tadi Erina gak bareng Fatma karena Fatma ada urusan tadi, di kampus.”

“Oke buk. Abang cari adek yah. Ibuk tenang dulu. Nanti abang kabarin lagi.”

Setelah itu telepon di tutup. Sari merasa sedikit tenang karena anak sulungnya sudah tau jika adiknya belum pulang dan akan mencarinya. Sari mencoba untuk tenang dan tidak terburu-buru. Dia masuk ke dalam untuk beribadah dan berdoa untuk keselamatan kedua anaknya.

Di tempat lain.

“Pak saya ijin pak. Adik saya belum pulang. Saya mau mencarinya.” Ucap Farid kepada atasannya.

“Adik perempuanmu yang kuliah itu?”

“Iya pak.”

“Oke. Hati-hati. Dika kamu rangkap tugas Farid ya.” Perintah atasan Farid.

“Terima kasih pak.”

Farid langsung meninggalkan tempat kerjanya di team IT di kepolisian. Karena terlalu panik, Farid tidak bisa berpikir. Dia berhenti sejenak untuk berpikir kemana dia akan mencari adiknya itu. Tidak butuh waktu lama. Dia sudah mengetahui kemana tempat tujuannya. Dia berlari kecil ke parkiran untuk mengambil motornya dan mengendarainya ke kampus adiknya. Entah kenapa perasaanya mengatakan bahwa adiknya masih di sana.

Sampai di kampus dia langsung meminta ke satpam kampus untuk di tunjukkan rekaman CCTV. Dia ingin mengecek ke arah mana adiknya pulang. Namun, sebelum menunjukkan rekaman CCTV pak satpam mengatakan bahwa ada satu sepeda motor yang masih terpakir di kampus. Farid meminta satpam itu mengantarkannya ke tempat parkir memeriksa apakah itu motor Fatma atau bukan.

Mereka pun berjalan di menuju tempat parkir di temani suasana yang menyeramkan. Meski semua lampu menyala terang. Mata Farid tidak fokus ke lorong kampus dia menoleh ke kanan dan ke kiri mana tau dia melihat adiknya yang masih di berada di dalam kelas.

“Itu mas motornya.” Ucap pak satpam.

“Itu punya adik saya.”

Sesaat suasana menjadi tegang bercampur menyeramkan. Mereka merasa ada yang tidak beres jika motor itu masih terparkir di kampus. Karena motor itu terlihat jelas masih layak untuk di kendarai. Ban motornya terlihat juga tidak kempes sedikitpun.

“Perasaanku semakin gak enak.” Batin Farid.

***

Di tempat lain.

Erina masih berguling-guling di tempat tidurnya, dia juga menunggu kabar dari Sari, ibu Fatma. Di merasa sangat cemas karena tidak biasanya sahabatnya pulang terlambat tanpa kabar, apalagi sampai selarut ini.

“Aduhh.. gak bisa tidur.”

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas. Erina masih belum bisa tidur. Berkali-kali dia menatap layar ponselnya. Berharap segera mendapat kabar dari ibu Fatma. Dia mencoba tenang dan memejamkan matanya namun kegelisahannya lebih menguasai dirinya.

“Tauk ah.” Gumamnya geram.

Erina menelepon Sari, ibu Fatma. Dia tidak peduli apakah perbuatanya ini sopan atau tidak. Perasaanya benar-benar tidak tenang saat ini. Dia ingin segera tau keadaan sahabatnya. Mengingat Sari tadi sudah berjanji akan mengabari segera jika Fatma sudah ketemu.

“Hallo... Rin.” Telepon tersambung.

“Ha-halo ibu... maaf bu menelepon malam-malam.” Ucap Erina lirih agar tidak membangunkan anggota keluarganya.

“Iya gak apa-apa. Kamu kok belum tidur nak?” Tanya Sari.

“Saya gak tenang bu, jadi gak bisa tidur. Apakah Fatma sudah pulang?”

Satu menit Sari diam saja tidak menjawab. Erina semakin khawatir. Dia juga mendengar suara seperti sedang menahan tangis. Suara itu memang samar, tapi dia yakin saat ini Sari sedang menangis. Dia juga berpikir bahwa Fatma belum ketemu.

“Kamu tidur ya nak. Ibu gak mau kamu sakit. Nanti ibu akan segera kabari kok. Udah tenang aja ya nak.” Ucap Sari.

Akhirnya Erina pun menurut dan menutup teleponnya. Dia tidak bisa memaksakan kehendaknya. Karena sekarang juga sudah malam. Dia juga harus menghormati keputusan Sari. Dia mencoba tidur sebisa mungkin. Beruntungnya dia bisa tidur sekitar jam 1 dini hari.

***

Keesokan harinya.

Erina bangun dengan badan yang terasa pegal-pegal dan masih mengantuk karena tidurnya terlalu larut. Dia menggeliat meregangkan tubuhnya. Matanya mencoba mengintip dan menyesuaikan cahaya yang cukup terang karena dia lupa mematikan lampu utama kamarnya.

Bib bib bib

Alarm berbunyi.

“Ah... iya bangun, iyaa!” Gumamnya.

Erina mematikan alarmnya yang ada di meja belajar. Kemudian, dia duduk untuk mengumpulkan tenaga. Sambil menguap Erina meraba meja belajarnya untuk mencari ponselnya. Berharap ada kabar baik dari keluarga Fatma.

Erina membuka matanya perlahan menyesuaikan kembali matanya dengan cahaya ponsel yang menyala terang. Dengan pandangannya yang masih kabur Erina susah payah membuka pesan dari Sari.

Erina terkejut dengan pesan yang dia baca. Dia mengucek matanya dan mengedipkannya berkali-kali sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tidak percaya dengan apa yang dia baca.

“Fatma...” Ucap Erina bergetar.

Perlahan air matanya menetes membasahi pipi dan layar ponselnya. Dia tidak bisa menahan tangisnya karena dia membaca kabar bahwa Fatma meninggal. Dia di temukan tidak bernyawa di belakang kampus. Dia tidak percaya dengan apa yang di baca. Otaknya otomatis mengingat kenangan-kenangan bersamanya.

“Huhuhu.”

Suara tangis Erina semakin kencang hingga membangunkan keluarganya. Pintunya di buka paksa oleh ayahnya. Tidak lama emaknya datang dan memeluk erat Erina yang masih terisak dalam tangisnya.

“Kamu kenapa Rin?Mimpi buruk?” tanya Tia, emak (ibu) Erina cemas.

Erina menggeleng pelan. Air matanya terus menetes. Semakin lama semakin deras hingga dia sesak napas. Tia dan Dodit kebingungan melihat anaknya yang tidak kunjung berhenti. Galuh adik Fatma yang masih kelas tiga sekolah dasar jadi ikut panik, hingga menangis melihat kakaknya menangis.

“Fatma meninggal ma....” Akhirnya Erina berbicara lemah.

Seketika Dodit dan Tia terkejut. Mereka saling menatap satu sama lain untuk beberapa saat. Kemudian, Tia memeluk anaknya lebih erat lagi. Dia memahami pasti ini sangat berat bagi anaknya. Mengingat Fatma adalah teman pertama Erina yang mampu membuat Erina menjadi anak yang lebih percaya diri. Meski mereka baru berteman selama satu tahun.

***

Di rumah Fatma.

Seluruh mahasiswa dan mahasiswi datang ke rumah duka. Mereka datang masih dengan baju seadanya. Mereka semua tidak tau jika kampus di tutup karena adanya keperluan investigasi. Semua merasa sangat kehilangan Fatma mahasiswi paling ceria serta pandai di kelasnya. Namun, di antara mahasiswa dan mahasiswi yang berduka. Ada beberapa anak yang menunjukkan ekspresi tegang. Mereka adalah Binar, Kenzo, Anton, dan Hesti. Wajah mereka terlihat tegang hingga terlihat pucat pasi. Mata mereka menatap ke arah satu orang yang sedang duduk di sebelah Sari yaitu Erina.

“Aku harus berbuat apa?” Gumam Binar.

~ Terima kasih, sudah mampir baca ~

Rumah Duka

Mereka menatap Erina dengan ekspresi tegang itu. Erina yang merasa di perhatikan menatap balik mereka dengan tatapan tajam. Seketika semua mengalihkan pandang ke segala arah. Dan beberapa saat setelah di rasa aman semua kembali melirik Erina.

Terlihat Erina sudah tidak menatap mereka. Erina kini sibuk menenangkan Sari dengan menepuk-nepuk punggungnya. Sambil bibirnya bergerak mengucapkan sesuatu yang tidak dapat di dengar oleh mereka. Karena jarak duduk mereka cukup jauh.

Selang beberapa detik, pak Edo selaku wali dosen dan beberapa  dosen lainya berdiri. Dia menatap ke arah anak-anaknya. Dia memberikan kode mereka untuk bersiap pulang. Mereka mengangguk mengerti. Kemudian, pak Edo berjalan ke arah Sari. Dia menjabat tangan Sari yang masih duduk lemas dengan berlinang air mata.

“Kami seluruh warga kampus ikut berduka cita atas meninggalnya Fatma ya bu. Semoga ibu dan keluarga di berikan ketabahan dan keikhlasan yang besar.” Ucap pak Edo sambil bersalaman dan memberikan amplop. Di susul beberapa dosen dan juga mahasiswa lainnya yang mengenal Fatma.

“Terima kasih.” Jawab Sari singkat.

Pak Edo berpamitan meninggalkan rumah duka di ikuti semua mahasiswi dan mahasiswanya. Namun, sebelum benar-benar pergi pak Edo berbicara terlebih dahulu kepada Erina.

“Erina gak pulang?” Tanyanya.

“Enggak pak. Saya di sini aja. Nanti pulang bareng emak.” Jelas Erina.

Pak Edo mengangguk paham. Serta memberi senyuman lembut kepada Erina bermaksud memberikan dukungan untuk Erina agar tetap tabah. Karena dia tau bahwa Erina dan Fatma adalah teman dekat. Dia pun melangkah keluar dengan kepala tertunduk.

Mahasiswa dan mahasiswi yang berbaris di belakang pak Edo menyusul. Mereka juga tidak lupa memberi semangat Erina agar tetap kuat melewati musibah ini. Kecuali Binar, Hesti, Anton dan Kenzo. Mereka hanya memberikan senyum canggung kepada Erina.

“Semoga Fatma tenang di sana. Mereka sudah tidak akan mengganggumu lagi Fat.” Gumamnya setelah Binar, Hesti, Anton dan Kenzo melaluinya.

Di halaman depan.

Seluruh dosen dan teman-teman Fatma yang hadir bersiap untuk pulang. Namun, sebelum itu pak Edo mengumumkan kepada semua mahasiswa dan mahasiswinya bahwa kampus di tutup dua hari untuk keperluan investigasi. Dia juga mengingatkan mereka agar tidak terpengaruh akan kejadian ini. Karena beredar gosip bahwa Fatma bukan bunuh diri tetapi di bunuh dengan di dorong dari roof top kampus. Mereka pun mengangguk paham dan bersiap pulang.

“Psstt... denger-denger Fatma itu meninggalnya karena di dorong dari atap?” Bisik Hesti.

Setelah itu Hesti langsung diam tidak berkutik. Dia jadi merinding sendiri. Jika benar itu adalah pembunuhan, pasti akan berdampak untuk kampus. Terutama jurusan teknik dan komunikasi karena Fatma meninggal di gedung itu. Padahal mereka adalah anak jurusan pendidikan. Namun, siapa yang berani mendorong Fatma di kampus? dimana hari itu adalah hari yang sibuk karena hari menjelang akhir ujian. Biasanya banyak mahasiswa mahasiswi berkeliaran di kampus meski pada malam hari.

“Bagus dong! Kita jadi aman kan. Kita gak akan jadi saksi atau apalah itu. Ingatkan kemarin kita ngapain?” Ucap Binar antusias.

“Huss jangan ngaco. Kan tadi pak Edo udah bilang. Sebelum hasilnya keluar kita gak boleh ngomong sembarangan. Apalagi ikut menyebar gosip itu.” Bantah Kenzo.

“Heh Binar, kalaupun gosip itu benar. Kita belum tentu aman. Siapa tau aja kalau....” Ucap Anton terpotong.

“Kenzo!” Teriak Erina.

Seketika semua menoleh ke arah sumber suara. Seakan-akan mereka adalah pemilik nama itu. Lagi-lagi mereka tegang dan panik. Apalagi melihat Erina berjalan ke arah mereka dengan tatapan tajam. Semakin dekat semakin terlihat mengerikan. Hingga akhirnya Erina berdiri di depan Kenzo.

“Kita perlu bicara.” Tegasnya.

Kenzo menoleh sejenak seakan meminta pertolongan ke teman-temanya. Namun apalah daya mereka masih takut dan bimbang akan gosip akan kebenaran gosip itu. Karena jika gosip itu benar maka mereka aman. Tetapi jika gosip itu salah. Maka mereka akan mendapat imbasnya. Karena mereka adalah anak-anak yang membully Fatma secara halus di saat dia masih hidup. Saking halusnya tidak ada satu orang pun yang tau.

Karena tidak ada respon Kenzo pun harus menguatkan diri untuk pergi bersama Erina. Dia berusaha terlihat tenang di depan Desya meski jantungnya berdetak tidak karuan saat ini. Mereka pun pergi ke suatu tempat. Binar, Hesti dan Anton hanya melongo menatap kepergian salah satu temannya itu.

“Ton... tadi mau ngomong apa?” Ucap Binar mencoba memecah keheningan.

“Oh... belum tentu kita bebas karena bisa jadi Erina di panggil jadi saksi. Kan dia teman dekatnya tuh. Apapun kasusnya, dia akan di panggil jadi saksi. Gimana kalau dia bersaksi kalau kita membully Fatma.” Jelas Anton dengan suara semakin merendah.

Mendengar itu Hesti dan Binar berpikir bahwa ucapan temannya itu benar juga. Kenapa mereka tidak berpikir sampai ke situ? Mereka mulai tegang dan panik lagi. Kali ini mereka benar-benar tidak bisa menyembunyikan ekspresi mereka. Kini mereka hanya bisa menunggu Kenzo kembali dan menjelaskan apa yang dia bicarakan dengan Erina.

Di tempat lain jauh dari keramaian.

Erina melipat kedua tangannya di dada sambil mencoba menahan emosinya. Dia berkali-kali mengatur napasnya yang tidak stabil itu, agar dia bisa berbicara dengan Kenzo. Dia menatap Kenzo dengan tatapan benci.

“Jadi, kemarin kalian kemana?” Tanya Erina penuh selidik.

Erina mengingat jelas bahwa Fatma menolaknya untuk pulang bersama karena dia ingat bahwa Fatma ada janji dengan seseorang. Dia menebak, dari ekspresinya Fatma yang buru-buru biasanya dia ingin bertemu dengan Kenzo yang mana adalah kekasih Fatma. Selama ini hanya Erina yang tau jika Fatma dan Kenzo berkencan. Padahal kemarin Kenzo mengajak Fatma untuk bertemu diam-diam untuk membahas masalah hubungan mereka.

“Ke...kemarin aku cuman ajak dia ke tempat biasa buat ketemuan aja kok.” Ucap Kenzo bohong.

Erina menatap Kenzo masih tidak percaya. Dia melihat jelas mata Kenzo terlihat bergetar dan tidak mau menatap matanya dengan tegas. Namun, dia masih mencari celah untuk menunggu kebenaran dari Kenzo.

“Emmm... beneran?”

“Iya.” Ucap Kenzo semakin lemas.

“Kamu denger kan? Kalau ada gosip Fatma itu di dorong dari roof top?”

“Ah... itu Cuma gosip. Pak Edo tadi bilang gitu.”

Kenzo menjawab sesingkat mungkin, berharap ini semua cepat selesai. Rasanya dia seperti sedang di introgasi guru BK karena datang terlambat ke sekolah. Pertanyaan yang mudah di jawab seakan-akan menjadi pertanyaan yang sulit bahkan tidak ada jawabannya.

“Aku bakalan awasi kalian. Hah? Kali aja kalian yang mendorongnya. Motif kalian cukup kuat untuk melakukan itu.” Tegas Erina yang sudah tidak tahan lagi.

Deg!!!

Jantung Kenzo berdetak semakin kencang. Tiba-tiba tangannya terasa dingin padahal saat itu cuaca sedang cerah. Kini tenggorokannya juga terasa kering seakan dia sudah berlari maraton di siang hari yang terik.

“Hey... kamu juga punya motif yang kuat untuk jadi orang yang mendorong Fatma. Kamu kira aku gak tau kalau kalian itu pernah cekcok karena aku?”

Ucapan Kenzo mampu memojokkan Erina yang tadi terlihat tegas, kini menjadi sedikit goyah karena ucapannya. Karena beberapa bulan lalu. Erina memang bertengkar dengan Fatma karena perkara merebutkan Kenzo.

~ Terima kasih, sudah mampir baca ~

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!