NovelToon NovelToon

Setelah Menikah

BAB 1 - Sebuah Janji

"Cinta adalah apa yg tak masuk akal, dalam ruang penuh musik dan perayaan paling ramai sekalipun, aku masih mampu mendengar detak jantungmu."

Aku tersenyum, seraya menatap mata sayu lelaki yang sangat aku cintai, mas Alfath. Tiap kali mendengar kata-kata manisnya selalu mampu membuat hatiku berdebar. Bahkan meski waktu sudah merubah segalanya namun ternyata cinta itu masih tetap ada.

"Masuklah Mas, nanti Dinda mencarimu."

Hatiku seperti terisis ketika mengucapkan satu nama, Dinda. Nama wanita yang kini sudah resmi menjadi istri mas Alfath.

Kami sama-sama terdiam, hening, seolah suara hiruk pikuk perayaan pernikahan di dalam sana tidak kami dengar.

"Percayalah Ran, tidak selamanya aku bersama Dinda. Jadi tunggulah aku, aku berjanji akan menikahimu." jawab mas Alfath dan aku hanya mampu tersenyum getir.

Memang tidak ada yang lebih manis didunia ini selain janji. Janji yang sama seperti janji yang diucapkannya beberapa tahun lalu, janji yang hingga kini belum sempat ia lakukan, menikahiku.

Mas Alfath mendekat dan mencium bibirku sekilas, lalu turun dari dalam mobilku dan segera masuk ke acara pernikahan itu lagi.

Aku tersenyum getir.

Malam ini mas Alfath terlihat sangat tampan ketika menggunakan baju pengantin seperti itu, tapi sayangnya bukan aku yang menjadi pengantinnya.

Air mataku mengalir meski bibirku diam terkunci, menangis tanpa suara. Terus aku memperhatikan langkah mas Alfath yang semakin lama semakin menjauh dan hilang diantara kerumunan orang-orang.

"Aku sangat mencintaimu Mas." lirihku sendiri dan hanya didengar oleh telingaku sendiri.

Aku tidak menyalahkan mas Alfath atas pernikahannya dengan Dinda, karena itu semua memang bukan keinginannya.

Sejak awal aku menjalin kasih dengannya pun aku sudah tahu, jika mas Alfath sudah dijodohkan dengan Dinda.

Tapi kami pikir, cinta kami bisa merubah segalanya. Namun tidak, 8 tahun kami bersama nyatanya tak merubah apa-apa. Kini mas Alfath tetap menikahi Dinda, karena itu adalah wasiat ibunya.

Aku kembali menangis, hatiku hancur seperti diremat dengan sengaja.

Tok tok tok

Tok tok tok

Aku terkisap dan segera menoleh kearah sumber suara, kaca mobilku ada yang mengetuk.

Sayup-sayup ku dengar bapak-bapak itu berkata Maju Maju dengan gerakan tangan yang mengusir.

Aku melihat kearah belakang, ternyata ada juga mobil yang ingin masuk ke acara pernikahan itu. Dengan buru-buru, aku mulai membuka rem dan memasukkan gigi mobil, segara menyingkir dari perayaan ini.

Pergi bersama hatiku yang remuk redam.

Menyusuri jalanan kota Jakarta dalam kesunyian, bukan kota ini yang sunyi. Melainkan hatiku sendiri.

Aku terus melaju tanpa arah dan tujuan, hingga ponselku bergetar dan menampilkan 1 notifikasi pesan masuk dari kakakku, Mas Fahmi.

Pulang!!!

Katanya dalam pesan itu, lengkap dengan 3 tanda seru.

Aku melihat sekeliling, ternyata sudah cukup jauh aku meninggalkan kota, sepertinya akan butuh waktu 2 jam untuk sampai di rumah.

Tepat jam 1 malam, mobilku berheti tepat di depan rumah, belum sempat aku turun ternyata pintu rumah sudah dibuka kasar oleh mas Fahmi.

Aku turun dan mas Fahmi berjalan cepat menghampiriku, sementara mbak Tika istrinya mencoba menghentikan langkah itu.

Plak!

Satu tamparan mas Fahmi berhasil mendarat dengan sempurnya di pipiku. Terasa pedih dan panas sekaligus.

Aku menunduk dan memegangi pipi, sementara air mataku sudah mengalir tanpa permisi.

"Mas! apa yang kamu lakukan! keterlaluan kamu Mas!" cerca mbak Tika, ia pun mendekapku masuk ke dalam pelukkannya.

"Jangan kamu pikir aku tidak tahu apa yang kamu lakukan tadi." Mas Fahmi buka suara dan terdengar sangat dingin penuh dengan amarah.

"Sudah ku bilang, berhenti menemui Alfath, dia sudah menikah KIRAN!" bentak mas Fahmi tanpa ampun dan aku makin terisak dipelukan mbak Tika.

"Mas cukup! kita masih diluar, malu kalau sampai ada orang yang mendenger." cicit mbak Tika penuh permohonan.

"Hari ini pasti berat untuk Kiran, jadi tolong, jangan tambah lagi bebannya."

Mas Fahmi terdiam, pun aku yang tak berani buka suara.

"Terserahlah!" ucap mas Fahmi dan segera berlalu masuk ke dalam rumah.

Ku rasakan mbak Tika mengelus punggungku, memberiku kekuatan.

"Ayo masuk Ran, ini sudah sangat larut malam."

Setelah mengatakan itu mbak Tika menarikku, membimbingku untuk segera masuk ke dalam rumah.

Ya, aku memang tinggal bersama mas Fahmi dan Mbak Tika. Kedua orang tua ku sudah meninggal dan kini tinggal aku dan mas Fahmi saja yang tinggal di kota ini. Semua kerabatku tinggal di Lampung, jauh dari kami.

"Kamu baik-baik saja Ran?" tanya mbak Tika, saat sudah sampai di kamar ku.

Kami berdua duduk disisi ranjang, mendengar pertanyaan mbak Tika itu membuatku gamang sendiri. Aku pun tidak tahu, aku baik-baik saja atau tidak.

"Kamu yang sabar, yang ihklas, Alfath bukan jodohmu."

Aku terdiam, mencoba mencerna ucapan mbak Tika. Jodoh? jodoh itu apa? apakah Jodoh itu adalah pasangan kita sampai maut memisahkan? apa artinya aku dan mas Alfath masih saja bisa berjodoh? bukankah kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti? bisa saja mas Alfath akan segera bercerai dengan Dinda, seperti yang pernah ucapkan padaku.

"Ran?" panggil mbak Tika dan aku langsung tersadar dari lamunanku sendiri.

"Kamu istirahatlah, mbak tinggal."

Aku mengangguk kecil, kemudian memperhatikan kepergian mbak Tika hingga ia menutup pintu.

Aku kembali termenung, masih teringat dengan jelas semua kenangan manisku bersama mas Alfath. Kala kami tertawa bersama, bergandengan tangan dan membicarakan masa depan, dan saat ia mencium bibirku saat sedang merindu.

Aku kembali menangis, aku tersungkur duduk dilantai dan bersandar pada ranjang.

Pikiranku makin tak terkendali, ketika menyadari malam ini mas Alfath akan menghabiskan malam bersama Dinda, malam pertama mereka.

"Ya Allah." Aku memukul dadaku sendiri yang terasa sesak, nyeri, sakit sekali.

Biarlah, malam ini aku tak punya harga diri, menangisi suami orang lain dan bahkan masih berharap bisa memilikinya lagi.

Biarkan malam ini aku berdosa karena menginginkan kehancuran rumah tangga orang lain.

Biarkan malam ini aku mencaci maki dan berkata kasar sesuka hati.

"Ya Allah." ucap ku lirih berulang kali, rasanya hanya dengan menyebut nama-Mu aku bisa merasa sedikit tenang.

"Kenapa? kenapa ya Allah?"

Pertanyaan tanpa jawaban, kenapa aku harus mengalami cerita seperti ini. Kenapa aku harus merasakan sakit ini?

Cukup lama aku menangis, kini air mataku sudah kering dan bahkan suaraku pun sudah habis.

Ku angkat wajahku dan melihat jam di dinding, jam 3 dinihari.

Kenapa malam ini berjalan begitu lama? tanyaku sendiri dan tak ada pula yang bisa menjawabnya.

BAB 2 - Tawaran

Mas Alfath:

Aku mencintaimu Ran, selamat pagi.

Terus ku pandangi ponselku yang menyala, menampilkan satu pesan manis dari mas Alfath. Bodohnya, aku masih saja merasa bahagia ketika membaca kata-kata manis itu.

Aku bahagia mengetahui mas Alfath masih mencintaiku meski kini ia sudah menikahi Dinda.

Apakah aku lebih beruntung dari Dinda karena mendapatkan cinta mas Alfath?

Aku ingin tersenyum, tapi mulutku terasa kaku. Seolah melawan kenyataan yang sudah jelas dipelupuk mata, sulit.

Jika Mas Alfath mencintaimu, tidak mungkin dia menikahi Dinda. Apapun alasannya.

Hatiku berbisik miris, dan akhirnya aku mulai bisa tersenyum. Senyum getir.

Jahat kamu Mas.

Dengan berat hati, aku melangkah keluar kamar, mengabaikan pesan itu dan melempar asal ponsel diatas tempat tidur. Aku memilih keluar, berjalan menuju dapur.

Hari minggu jam 7 pagi seperti ini, biasanya mbak Tika, mas Fahmi, Raka dan Rian kedua anak mereka akan berkumpul di meja makan. Memperhatikan mbak Tika memasak dibantu oleh bude Nur, pembantu di rumah ini.

Dan benar dugaanku, mereka semua sedang berkumpul disini.

"Bulek, sini deh duduk dekat Raka," panggil Raka padaku, aku tersenyum seraya berjalan mendekat kearahnya.

Ku lirik mas Fahmi yang sama sekali tidak melihat ke arahku, ia masih sibuk membaca koran ditangannya.

"Bulek, nanti ayah sama bunda mau ajak Raka dan Rian ke Ancol. Bulek ikut ya?" ucap Rian antusias, ditangannya ada sepotong bakwan jagung yang sudah setengah termakan.

"Iya Bulek, nanti kita mandi, berenang," timpal Rian tak kalah semangat.

Raka berusia 10 tahun, sekarang sudah kelas 4 Sekolah Dasar, sedangkan Rian berusia 7 tahun saat ini sudah kelas 2 Sekolah Dasar.

Aku hanya tersenyum, menanggapi ajakan kedua keponakan ku ini. Jangankan ke Ancol, keluar kamar saja aku rasanya sangat malas, keluar rumah pun rasanya berat sekali.

Aku hanya ingin mengurung diri, menjauh dari semua orang-orang.

"Bulek di rumah saja lah, bulek harus buat laporan," kilahku asal, laporan bulananku sudah selesai seminggu yang lalu.

"Ran, menurut mbak, sebaiknya kamu ambil cuti dulu, 1 minggu dan berlibur sana, keluar negeri juga tidak apa-apa. Nanti Mbak kasih uang tambaha."

"Ck." Mas Fahmi berdecak ketika mendengar ucapan mbak Tika barusan.

Aku hanya terdiam, tahu jika Mas Fahmi tidak menyetujui ide itu. Aku pun sebenarnya tak ingin kemana-mana, jika bisa aku malah ingin ke Gua dan menyepi disana.

"Kamu kenapa sih Mas? marah terus kerjaannya, nanti darah tinggi baru tau rasa." kesal Mbak Tika sambil berlalu, ketika sudah meletakkan semangkuk sup ayam diatas meja.

Ku lirik lagi mas Fahmi, ternyata dia tidak bergeming dan aku hanya mampu menelan saliva. Sepertinya hubunganku dengan mas Fahmi akan semakin buruk.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Selesai sarapan, mas Fahmi dan keluarganya benar-benar pergi ke Ancol. Raka dan Rian berulang kali memintaku untuk ikut, tapi aku sungguh enggan.

Akhirnya mbak Tika memberi pengertian pada kedua anak itu bahwa aku tidak bisa ikut, barulah mereka menyerah.

Ku lihat mobil mas Fahmi mulai keluar dari pekarangan rumah dan aku mulai kembali masuk dan menutup pintu.

"Mbak Kiran, Bude izin keluar dulu ya, mau ada arisan ART kompleks, di rumahnya Buk Ammah, sebelum makan siang saya pulang," pamit bude Nur saat aku baru masuk sampai di ruang tengah.

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban, kemudian kembali mengantar bude Nur sampai ke depan dan kembali menutup pintu.

Kata mas Fahmi, pintu rumah harus selalu tertutup dan terkunci, baik pintu depan ataupun pintu belakang. Ya sudahlah, turuti saja, lagipula ini memang rumah dia.

Ting tong ting tong

Aku mengehela napas berat, merasa kesal, nyaris saja aku masuk ke dalam kamar malah ada yang menekan bell rumah.

Ini pasti bude ada yang kelupaaan, kebiasaan.

Aku terus menggerutu, kembali menuju pintu utama rumah ini dan membuka pintu itu.

Deg! seketika itu juga jantungku seperti terhenti, ketika ku lihat sosok mas Alfath berdiri tepat didepan pintu rumah.

Dengan gerakan cepat, ia masuk, menutup pintu dan mendorongku dengan ciumannya dibibir.

Aku mati kutu, tidak siap menerima serangan tiba-tibanya ini. Tapi bodohnya, aku malah terlena. Aku membalas ciuman mas Alfath dan menikmati semua sentuhan yang diberikan olehnya.

Bibir yang sangat aku rindukan, tubuh yang selalu aku impikan yang kini bukan milikku lagi.

Mataku membola, menyadari jika kini mas Alfath kini sudah menikah. Buru-buru aku mendorong dadanya untuk menjauh dan melepas pagutan ini.

Tapi bukannya melepas, mas Alfath malah menjatuhkan tubuh kami diatas sofa. Mendadak aku takut, takut jika bude Nur atau mas Fahmi kembali ke rumah ini.

Tidak, aku bisa mati.

Sekuat tenaga aku mendorong mas Alfath menjauh, mengetahui penolakanku akhirnya dia melepaskan lilitan lidah itu, menatap mataku yang kini berada tepat dibawah tubuhnya.

"Kenapa? kenapa pesanku tidak kamu balas? dan kenapa ciuman ini kamu lepas?" tanyanya beruntun dengan mata sayu, mata yang membuat aku tak berdaya.

Aku tak tahu harus menjawab apa, lagipula hatikupun masih sangat mencintainya. Akhirnya aku hanya mampu mengalihkan wajah, tanpa mengucapkan sepatah katapun.

"Ran," panggil mas Alfath lembut dan aku sungguh terbuai dengan panggilannya itu.

Aku menutup mata sejenak, mencari jalan terbaik untuk kami, terlebih untuk ku sendiri.

"Ran," panggilnya lagi dan aku mulai menatap matanya.

"Maafkan aku." ucap mas Alfath.

Aku mendorong dadanya pelan, akhirnya ia mau bangkit dan akhirnya kami duduk berdampingan.

Ia menggenggam tanganku erat, seolah tak ingin pisah.

"Jauhi aku Mas, dengan begitu aku bisa melupakanmu dan mengihklaskan ini semua," ucapku jujur, jujur saja, jika mas Alfath masih memperlakukan aku seperti ini sampai matipun aku tidak akan bisa melupakannya.

"Jangan asal bicara, aku tidak akan meninggalkanmu," jawab mas Alfath cepat, ia makin kuat menggenggam tanganku, hingga terasa sedikit nyeri.

"Lalu apa mau mu Mas? jika kamu terus memperlakukan aku seperti ini lama-lama aku akan membencimu." Air mataku mengalir, tega sekali mas Alfath masih menyentuhku saat dia sudah menjadi suami orang.

Sebegitu tidak berharganya kah aku?

"Aku juga butuh kepastian, jangan suruh aku menunggu lagi." lirihku diantara isak tangis.

"Mas hanya punya pilihan 2, pilih aku atau Dinda."

"Itu bukan pilihan Ran, tidak mungkin aku menceraikan Dinda saat ini, apalagi baru kemarin kami menikah."

"Ya sudah, berarti Mas pilih Dinda. Jangan temui aku lagi." Ego ku terpancing, terserahlah, aku tidak peduli lagi, lebih baik sakit sekalian daripada rasa ini berlarut-larut.

"Kita bisa menikah sirih Ran, tanpa Dinda ataupun semua orang tahu tentang itu. Kita bisa hidup bersama."

BAB 3 - Tidak Punya Pembelaan

Belum sempat aku memikirkan ucapannya itu, mas alfath kembali meraup bibirku, menyesapnya kuat hingga aku tertarik masuk ke dalam dekapannya.

Aku tak bisa melawan, karena tubuhku pun memanas sejalan dengan cumbuannya.

Perlahan, seperti wanita murahan bibirku bergerak membalas ciuman itu.

Brak!

Aku tersentak, ku dorong kuat mas Alfath untuk menjauh, ketika terdengar suara pintu yang dibuka dengan kasar.

Mas Fahmi.

Mataku membola, mendadak gamang.

"Badjingan! laknat kalian berdua!" bentak mas Fahmi diambang pintu.

Aku terkejut, rasa takut mulai menjalar keseluruh tubuhku. Dengan rahang mengeras dan langkahnya yang cepat, mas Fahmi menghampiri kami, ia menerik kerah baju mas Alfath dan menghujaminya dengan tinjuan membabi buta.

"Mas! stop mas! berhenti!" Aku berteriak, sumpah demi apapun saat ini aku sangat takut.

Tanpa ampun, mas Fahmi terus memukuli mas Alfath yang sudah tak berdaya, tersungkur diatas lantai ruang tamu.

"Mas, aku mohon berhenti!" ucapku lirih bercampur isak tangis, air mata terus mengalir tak bisa berhenti.

Plak!

Kini giliran aku yang mendapatkan tamparan keras, aku tersungkur diatas sofa, tak berdaya.

"Pergi kamu dari rumahku, jangan anggap aku kakakmu lagi. Kamu wanita menjijikkan." hardiknya tanpa belas kasih, aku terima, aku memang wanita menjijikkan.

Apalagi saat tamparan keras ini mendarat dipipiku, aku sadar, aku memang wanita menjijikkan.

Sayup-sayup ku dengar derap langkah mendekat dengan terburu-buru.

"Mas Fahmi." suara mbak Tika.

"Ran, apa yang terjadi sayang?" dengan cemas mbak Tika membantuku bangkit, mendudukkan aku dan dipeluknya erat.

"Sudahlah Tika! jangan kamu pedulikan anak tidak tahu diri ini! biarkan dia pergi bersama badjingan itu."

"Mas! cukup, aku tau Kiran salah, tapi kita masih bisa membicarakannya baik-baik."

Ku dengar mas Fahmi tertawa, tawa yang sangat mengerikan.

"Apalagi yang mau dibicarakan, kamu tau apa yang mereka lakukam tadi? mereka berzinah di rumahku!" bentak mas Fahmi dan ku rasakan pelukkan mbak Tika mulai mengendur.

Perlahan, pelukan itu luruh semakin jauh meninggalkan aku sendiri.

"Apa yang dikatakan mas Fahmi itu benar Ran?" tanya mbak Tika lirih penuh rasa kecewa dan hatiku bak diiris sembilu mendengar pertanyaan itu.

Mbak Tika adalah pengganti ibu bagiku, dan aku tidak mau kehilangan dia.

Tanpa jawaban, aku langsung bersimpuh dilantai, memeluk erat kedua kaki mbak Tika.

"Maafkan aku Mbak, maafkan aku." ucapku sesenggukan dan mbak Tika hanya terdiam.

Aku tau dia kecewa.

"Kiran tidak bersalah, sayalah disini yang salah."

Dengan suara pelan, mas Alfath buka suara, iapun mencoba bangkit sendiri dengan tertatih.

"Cih! kalian itu sama saja, setan, dajal," cerca mas Fahmi tak ada habisnya.

Mbak Tika hanya diam, biasanya dia selalu membelaku.

Air mataku semakin mengalir, aku menunduk menahan malu.

"Keluar dari rumahku," ucap mas Fahmi yang entah ditujukan pada siapa, tapi aku merasa terusir.

"Ayo Ran, ikut aku pergi," ajak mas Alfath, aku masih terduduk sambil menunduk.

Ku remat tanganku yang sudah basah dengan keringat dingin.

"Keluar!" mas Fahmi membentak, mungkin dia sudah muak karena aku hanya terdiam.

"Ran," panggil mas Alfath lagi dan aku benar-benar bingung.

Cukup lama aku terdiam, mas Alfath terus menungguku sedangkan mas Fahmi berulang kali berdecih jijik.

"Pergilah tanpa aku Mas," ucapku lirih, tapi aku yakin mas Alfath mendengarnya.

Mas Fahmi terkekeh, aku setia menunduk tak berani menampakkan wajah.

"Aku akan selalu menunggumu," jawab mas Alfath, terdengar sangat sendu ditelingaku.

Aku memberanikan diri mengangkat kepala dan menatap wajahnya sejenak. Wajah yang hancur lebam, bahkan ada darah segar disudut bibirnya.

Ia berlalu, meninggalkan senyum tipis untukku.

Apa yang akan kamu jawab jika Dinda menanyai tentang luka mu itu Mas?

Ku lihat terus punggung mas Alfath yang semakin lama semakin menjauh dan hilang. Mendadak hatiku kembali kosong, hampa.

"Kenapa masih disini? jangan pura-pura tuli, aku juga mengusirmu."

"Mas, redakan emosimu. Ran masuklah ke kamar," ucap mbak Tika mencoba menengahi.

Takut mas Fahmi semakin marah, akhirnya aku menuruti ucapan mbak Tika. Dengan langkah perlahan, aku meninggalkan ruang tamu.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

POV AUTHOR

Kini tinggalah sepasang suami istri ini di ruang tamu, Fahmi dan Tika masih sama-sama terdiam dengan pikiran yang berkecamuk dikepala masing-masing.

"Mas." Tika buka suara, ia pun menarik suaminya itu untuk duduk di sofa.

Fahmi masih terdiam, jika tadi di depan Kiran dia bisa berkata sesuka hati tapi kini ia mendadak linglung. Merasa gagal mendidik dan menjaga sang adik.

Rasanya seperti ada batu besar yang mengganjal di hatinya.

"Mas, lebih baik ki_"

"Sudahlah Bund. Kali ini jangan lagi kamu bela Kiran. Aku akan tetap mengusir dia dari rumah ini," jawab Fahmi dengan tatapan kosong, merasa cara baik sudah tak bisa digunakan untuk membuka mata adiknya itu yang sudah diselimuti cinta yang salah.

"Dengarkan aku dulu Mas." Tika bicara dengan pelan, ia bahkan mengelus lengan Fahmi agar emosi suaminya itu mereda.

"Lebih baik kita jodohkan saja Kiran." ucap Tika sedikit ragu, takut jika Fahmi ataupun Kiran tidak menyetujui idenya ini.

"Di jodohkan dengan siapa? teman-teman kita juga sudah menikah semua." jawab Fahmi acuh.

Tika terdiam, dia pun bingung kira-kira akan menjodohkan Kiran dengan siapa. Tika hanya ingin mencegah suaminya itu untuk mengusir sang adik ipar.

"Aku akan mencari calonnya, Mas sabar dulu. Jangan gegabah sampai mengusir Kiran. Nanti kamu sendiri yang akan menyesal, hanya Kiran saudara kandungmu Mas." jelas Tika dan Fahmi hanya terdiam, tidak memberi tanggapan.

Mungkin Fahmi terlihat tidak peduli pada adiknya itu, tapi jauh dilubuk hatinya ia amat sangat menyayangi Kiran. Sebenarnya pun ia merasa iba pada nasib yang menimpa adiknya, tapi tak bisa dipungkiri ia pun merasa kecewa.

"Terserah padamu saja, yang jelas aku sudah tidak sudi melihat wajahnya," final Fahmi dan Tika tak berani berkata-kata lagi.

Ia hanya bisa terus mengelus lengan suaminya itu, berharap emosinya bisa sedikit mereda.

Tanpa disadari oleh keduanya, jika Kiran mendengar semua pembicaraan mereka. Kiran berniat meminta maaf pada sang kakak sebelum masuk ke kamar. Namun langkahnya terhenti ditembok pembatas saat terdengar Tika mulai buka suara.

Kiran mendengar semuanya, tentang perjodohan itu, tentang Fahmi yang ingin mengusirnya, bahkan tentang Fahmi yang sudah tidak sudi lagi melihat wajahnya.

Air mata Kiran mengalir dengan cepat, menetes jatuh tepat diatas lantai.

Sadar jika kesalahannya sudah tak bisa dimaafkan, Kiran tak punya pembelaan.

Dengan kaki gemetar, ia berbalik dan kembali melangkah menuju kamar. Kilas balik kebersamaannya bersama sang kakak bermunculan tanpa jeda.

Masa lalu yang indah yang kini berubah menjadi sangat buruk.

Maafkan aku Mas. Batin Kiran pilu, ia berdiri didepan pintu kamarnya dan menangis tersedu, sedangkan satu tangannya memegang handel pintu kuat, menahan agar tubuhnya tetap berdiri tegak.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!