“Sesuatu yang besar, akan segera mengguncang dunia. Khu khu khu, menarik sekali.”
Ctaaar!
Gemuruh petir bersahut-sahutan di antara awan-awan hitam tebal. Langit malam yang biasa dipenuhi bintang dan sinar rembulan kini menjadi gelap gulita. Hujan bahkan turun dengan derasnya. seakan itu belum cukup, dunia mulai berguncang dan membuat beberapa penghuninya terkejut bukan main.
Namun itu tidak berlangsung lama. Guncangan itu terhenti disusul hujan dan petir yang mulai menjinak. Kemudian, suatu langit di atas hutan bernama Temp Forest, samar-samar menampilkan sebuah retakan. Retakan itu tidak memancarkan aura atau apapun, hingga langit malam itu terlihat normal. Padahal, terdapat fenomena aneh di baliknya.
Dengan jangka waktu kemunculan yang tidak lama, retakan tersebut perlahan menghilang. Namun sebelum itu benar-benar memudar sepenuhnya, retakan yang terlihat sangat samar itu seakan memuntahkan sebuah benda asing layaknya seorang manusia.
Bruuuk...!
Makhluk asing itu jatuh menimpa Temp Forest dengan suatu piringan cahaya yang seakan melindungi dirinya dari benturan langsung. Meskipun terdengar menguntungkan, piringan itu juga menyebabkan pepohonan hancur, burung-burung terbang ketakutan, dan keributan lainnya. Benar-benar cara yang tepat untuk memancing keberadaan para monster hutan.
Piringan cahaya itu segera lenyap tepat setelah makhluk dengan tampang pemuda berumur 18 tahun itu mulai tersadar. Dengan mata merah gelapnya yang sedikit berkunang-kunang, ia berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi.
“Ugh ... aku ... masih hidup. Dimana ini?"
Pemuda itu memperhatikan sekelilingnya yang tampak sangat sunyi, lalu mendapati genangan air akibat Badai berpetir yang sudah mereda tak jauh darinya. Ia menghampiri genangan air tersebut dan segera membasuh wajahnya dengan itu. Namun, ia menyadari ada sesuatu yang berubah pada dirinya.
“Apa-apaan ini?! Wajahku? Tidak, seluruh wujudku, menjadi manusia?! Makhluk lemah yang bahkan dapat kubunuh dengan mudah! Brengsek! Aku ini-"
Dewa. Benar, Pemuda ini adalah Dewa bernama Dyze. Sang penguasa, sosok disegani, perwujudan malapetaka yang sangat ditakuti. Sayangnya, itu hanyalah masa keemasan yang kini telah runtuh. Masa sebelum Dyze terusir karena kesalahannya yang sangat fatal. Ia diasingkan oleh Firmament Deity, Langit tempat para Dewa berasal.
Tempat itu akan mengusir atau bahkan mengutuk penghuninya yang telah melanggar aturan tingkat atas. Tidak peduli sekuat apapun mereka. Selama Firmament Deity lebih berkuasa diatas mereka, baik Dewa atupun Malaikat mereka tak akan mampu melawan.
Dyze adalah salah satu dewa yang telah melanggar aturan itu. Ia terusir, dan mendapat kutukan. Sialnya, tidak hanya wujudnya yang terkena efek hukuman itu. Tapi juga inti Energi kehidupannya yang kini menjadi tidak netral dan sulit dikendalikan. Padahal, EK (Energi Kehidupan) itu sangat diperlukannya untuk menggunakan skill.
Dyze tertegun sejenak. Tiba-tiba ia merasakan sakit yang luar biasa di kepalanya. Pemuda berambut hitam sedikit abu-abu itu memegangi kepalanya dengan tangannya yang bergetar hebat.
"Ah, kalian semua!"-Ia tampak terkejut mengingat sesuatu-"sialan, sialan! Apa yang telah aku lakukan?! Bodoh ... aku telah mengacaukan keadaannya...." Dyze tertunduk. Seberkas kejadian lampau, kembali terlintas dibenaknya. Tangannya kembali bergemetaran. Dia terlihat sangat kesal sekaligus menyesal mengingat kejadian 'itu'.
"Zavist ... kau!" Dengan gejolak emosi yang meledak ledak, Dyze mengeluarkan skillnya untuk mengudara. Tapi tentu saja, itu gagal.
"Aaakh benar juga, Firmament Deity sialan itu telah merusak inti energi kehidupanku. Artinya, semua skillku menjadi tidak berguna sekarang. Cihh, sial...!" teriaknya kesal.
"Siapa disana!" gertak seorang anak manusia berambut hitam panjang terurai seraya memegang pedang kayu dengan ancang-ancang. Wajahnya tidak terlalu terlihat jelas oleh Dyze. Mendung tebal, masih saja menutupi bulan malam itu.
Ck, jangan sekarang..., batin Dyze. Berurusan dengan hal lain disaat semua kekuasaan lenyap itu memang menyebalkan. Saat ini, itulah yang Dyze rasakan.
"Hmm? Seorang manusia?" ucapnya. Pedangnya mulai diturunkan. "Kau tersesat?" sambungnya.
Dia ... berbicara denganku? Siapa dia?
Dyze terdiam mematung dan mulai waspada akan anak manusia itu. Bagaimana pun juga EK Dyze tidak dapat digunakan. Kekebalan tubuhnya yang sangat hebat menurun drastis sekelas pemuda berusia 18 tahun.
Anak perempuan yang keheranan sekaligus penasaran itu mulai berjalan kearah Dyze dan perlahan melihat sosok anak manusia yang hanya mengenakan kain putih sebagai bawahan. Ya, Dyze terusir dengan wujud seorang lelaki tanpa busana terkecuali kain lusuh.
"Heiii! kemana bajumu?! Cepat pakai itu!" teriaknya seraya melempar tudung yang ia kenakan. Badannya sontak berbalik sementara matanya terpejam cepat.
"Huh? Apa-apaan, kenapa aku harus memakai ini?" balas Dyze sedikit terkejut sekaligus lega karena anak manusia itu terlihat tidak ingin menyakitinya.
"Bodoh cepat pakai! Sebagai manusia kau harusnya malu," jawabnya sinis seraya memalingkan muka.
Hmm, benda aneh ini tampaknya tidak berbahaya. Sepertinya ini adalah peraturan para manusia untuk selalu menutupi badannya. Baiklah, sementara ini aku harus mematuhi peraturan sialan ini,
"Baiklah nona cerewet...." Dyze lalu mengenakan tudung yang cukup panjang itu. Anak itu hanya terdiam dan menatap Dyze dingin.
Selain itu, orang ini ... mengapa aku merasa tidak asing padanya? Rasanya aku pernah menemuinya. Ah, tidak mungkin, ini pasti hanya imajinasiku, pikir Dyze seraya memperbaiki posisi tudung yang baru saja diberikan gadis itu.
“Lagi pula, mengapa kau berada disini? Ditengah hutan, malam, dan tanpa pengawasan?" tanya Dyze.
Orang aneh. Wajahnya sangat menyebalkan ... apa dia yang membuat pohon-pohon ini hancur? pikir anak manusia yang berusia sekitar 13 tahun itu. Tiba-tiba, matanya melirik cepat kearah belakang Dyze dan sedikit terkejut.
“Oi bocah, kau Tidak mendengarkanku?!” Dyze mulai naik pitam.
“Paman, menunduklah, dan cepat mendekat kearahku," bisiknya serius. Dyze spontan melakukannya.
Tunggu, kenapa aku harus mendengarkannya? Bocah sia-
Swoosh...! Anak itu melempar pedang kayunya dengan cepat kearah belakang Dyze.
Huh? Apa yang-
Dyze menoleh dengan cepat kearah pedang itu dilempar.
"Graaaaaawr!"
Dyze itu mendapati seekor monster hitam layaknya bayangan mengerang keras tepat di belakangnya. Tangan-tangan gelapnya memegangi matanya yang tertusuk pedang kayu anak manusia itu. Dyze nyaris saja terkena serangannya.
Reflek paman aneh ini sangat buruk. Kurasa dia hanya orang yang tersesat, tidak masuk akal jika ia penyebab dari rusaknya pohon-pohon besar ini, pikir gadis itu.
"Ikuti aku!" ucapnya seraya menarik tangan Dyze.
"Tunggu kemana kita akan-"
"Diamlah paman, hutan ini penuh monster buas yang bisa membunuh kita kapan saja. Tenanglah kalau kau masih ingin hidup," selanya dingin.
Sialan, anak yang cukup hebat. Sepertinya mengikutinya bukan pilihan yang buruk.
Mereka terus berlari, dan mulai berjalan pelan saat jarak mereka cukup jauh dari monster bayangan itu. Namun tiba-tiba,
"Awas!" teriak gadis itu seraya menarik tangan dyze untuk menunduk.
Swoosh! Suatu benda panjang sedikit berlendir nyaris saja menangkap mereka. Anak itu segera merogoh tasnya, mengambil beberapa bom asap lalu melemparnya. Poooft! Bom itu meledak dengan suara yang lembut dan pelan serta mengeluarkan asap bewarna ungu.
"Ayo!" Tangan Dyze kembali ditariknya. Mereka pun kembali berlari.
"Grrrgh...." Erangan berat monster kembali terdengar. Ia tampak kesakitan saat matanya mengenai kabut ungu itu sehingga sang monster tertinggal jauh oleh mereka berdua.
"Wah wah kau lumayan juga untuk seukuran anak manusia," komentar Dyze.
"Memangnya paman bukan?" balasnya dingin sedikit curiga.
“Ah, t-tentu saja, iya. Tidak bukan itu! Aku bukan paman! Apakah penampilanku setua itu!?” Dyze sedikit kesal dengan candaan anak itu.
"Sssh, tenanglah," bisik gadis itu mendadak berhenti berlari. Matanya memerhatikan keseluruhan hutan dengan serius. "Cih kenapa harus sekarang?" lanjutnya.
"Kenapa? Ada ap-" Ucapan dyze terputus. Samar samar terdengar suara derap langkah kaki cepat dari suatu makhluk hidup yang jumlahnya tidak sedikit.
"Paman, cepat masuk!" Anak itu segera menarik tangan Dyze untuk masuk kedalam lubang pohon yang berada tidak jauh dari mereka. Tepat setelah mereka masuk, puluhan kelompok rusa berlari cepat di depan mereka. Tidak lama setelah itu,
Bum! Bum! Bum!
Suara langkah kaki lambat yang cukup keras terdengar. Hutan menjadi sunyi selain dengan bunyi langkah berat itu. Hingga, pemiliknya menampakkan kaki super besarnya didepan lubang tempat mereka bersembunyi. Dyze sedikit terkejut melihatnya.
"Hei, apa itu?" bisik Dyze.
"Stone Giant," balasnya pendek tanpa menatap lawan bicaranya.
Cihh anak yang benar benar sombong. Tapi, beruntunglah dia masih memiliki rasa peduli walau hanya sedikit. Sialan, aku berhutang padanya, batin Dyze. Mereka lalu menunggu hingga keadaan hutan kembali tenang.
"Kurasa sudah cukup aman. Ayo," kata gadis itu datar. Ia lalu melangkahkan kakinya keluar lubang dengan hati hati yang kemudian disusul oleh Dyze. Mereka lalu mengendap-endap dari satu pohon ke pohon lain. Setelah itu mereka berjalan biasa tanpa suara.
Cahaya bulan makin meredup dengan awan tebal yang menutupinya. Serangga-serangga kecil mulai berterbangan dengan cahayanya. Beberapa jamur dan sulur yang menyala dalam gelap membuat hutan itu seakan sangat damai.
"Nah, kurasa hutan ini benar-benar aman sekarang." Dyze tersenyum lega.
"Tetap waspada paman, para mons-" Perkataan anak itu terputus dengan bergetarnya rerumputan yang mereka pijak. Mereka mundur perlahan saat rerumputan itu mulai terangkat keatas. Lalu terlihatlah suatu ekor lebar milik monster yang dapat berkamuflase dengan sangat baik. Dengan kata lain, mereka telah menginjak ekor monster itu.
"Sial, monster ini...." Gadis itu terlihat pucat. Monster besar itu mulai membalikkan badannya dengan sangat lambat. Keempat matanya menatap mereka. "Ayo!" Anak itu menyadarkan Dyze yang terpaku dengan tatapan monster itu. Mereka lalu berlari dengan cepat. Tetapi, monster hijau itu segera melesatkan sulur yang dimilikinya hingga mengikat kaki kedua anak itu.
Bruuuk! Mereka terjatuh tidak jauh dari keberadaan sang monster. Monster itu mulai berjalan lambat kearah mangsanya. Monster itu memanglah tipe pejalan lambat.
Si Gadis berambut hitam kini terlihat panik saat monster mulai mendekat. Ia segera merogoh-rogoh isi tasnya. Namun sulur lain monster itu dengan cepat melesat lalu melilit tangan dan badan anak itu.
"Ughh, sulur gila, lepaskan!"
Sial, aku harus berbuat sesuatu. Apa skillku benar-benar tidak dapat bekerja?! pikir Dyze. "Cih...! Fallen Woes!" teriak Dyze seraya mengangkat tangannya kearah monster. Monster itu sedikit waspada dan mundur beberapa langkah. Tetap saja, energi kehidupan Dyze telah teracuni. Skill Dyze tidak dapat bekerja.
"Paman apa yang kau lakukan?!" ucap gadis itu cukup keras.
"Gravity Control!" Dyze tetap mencoba. Namun, seperti sebelumnya. Skillnya tidak berfungsi. Anak perempuan itu mengabaikan Dyze dan kembali berusaha untuk melepaskan sulur yang melilitnya. Sementara monster yang merasa Dyze hanya manusia lemah kembali berjalan kearah mereka.
Sialan, sialan, aku tidak akan berakhir disini, batin Dyze. "Blindness!Teribble hurricane!" Dyze terus meneriakkan skillnya, berharap suatu keajaiban konyol akan terjadi. Tapi tetap saja, itu tidak bekerja.
Monster itu semakin dekat dan dekat. Mulutnya yang menjijikkan mulai terbuka lebar. Gadis itu menarik nafas panjang dengan tatapan kosong.
"Lucu juga, jadi ini hukuman untuk anak nakal yang suka kabur dari rumah sepertiku ya...," gumamnya pelan. Dyze sedikit mendengarnya, dan tampaknya ia cukup terganggu dengan itu.
"Ayolah, Catastrophe Coin! Bloody Wind!-" Dyze yang merasa tindakannya sia-sia mulai berusaha membuat tindakan yang mungkin akan meningkatkan peluang keberhasilannya.
Ia mengumpulkan Energi Kehidupan dari alam kemudian disatukan pada inti EK nya yang sedang tidak netral, ia kemudian mencobanya lagi : " Space Time Control : Decelerate!"
tiba-tiba,
Swooosh! Angin bertiup kencang dan sumbernya adalah Dyze. Monster yang nyaris saja melahap mereka mendadak terdiam dengan posisi mulut masih terbuka. Gadis itu mulai membuka matanya heran.
"Apa? Apa yang terjadi? Kenapa-"
Ia segera menoleh kearah Dyze. Wajah Pemuda itu tampak kelelahan. Skillnya dapat digunakan karna keberuntungan yang tidak terduga.
Namun, karna tindakannya tadi, inti Energi Kehidupannya kini menghasilkan gelombang energi yang mengguncang organ bagian dalamnya.
“D-Dyze? Kau...”
"Hosh, hosh, berisik, cepat lari ... skillku, uhuk,"-Ia terbatuk, darah mulai mengalir dari mata dan mulutnya-"tidak akan, bertahan lebih lama!"
Bruuuk
Dyze terjatuh kehilangan kesadaran.
"Di mana ini? Apa aku sudah mati?" Aku membuka mataku. Samar-samar, aku melihat seorang perempuan. Wajahnya terlihat redup kecuali mulutnya yang bergerak cukup jelas. Sepertinya dia mengatakan sesuatu. Sayangnya, aku tidak dapat mendengar suaranya.
“Aku, akan … men…." Aku mulai mendengar apa yang dia katakan meski tidak jelas. Tapi, apa yang dia maksud? Siapa dia? Sial, aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas.
"... aku berjanji!" sambung perempuan itu lirih. Air mata mulai membasahi pipinya. Sepertinya dia sedang menuju kearahku. Aku menoleh ke sekitar. Terlihat rerumputan bewarna hitam dan pohon tua dibelakangku. Tempat yang sangat asing.
“Hey, siapa kau? Mengapa aku berada disini?!”
“... kuharap kali ini akan berbeda...,” sambungnya sendu. Dengan tubuhnya yang perlahan memudar, ia mencoba memelukku, namun sayangnya tubuhnya telah hancur sepenuhnya menjadi kepingan cahaya biru.
“Aaaarghh!" kepalaku cukup pusing. Beberapa tetes keringat dingin mengalir di kepalaku. "Hosh, hosh, hosh."
“Oh? Kau sudah bangun ya, Paman."
Err..siapa? Ah, gadis yang sebelumnya kutemui di hutan. Tunggu, apa yang dia maksud bangun? Jadi rerumputan gelap dan wanita gelap itu hanya mimpi? Serius?! Tapi mengapa ... dadaku terasa sesak saat melihatnya menangis? Secara reflek aku mencengkram dadaku dengan kuat.
Eh? Mimpi? Jadi manusia dapat merasakan hal seperti ini ya.
“Hei, Paman. Kau menangis?” tanyanya sedikit datar.
“Apa? Menangis? Apa yang kau,“-aku segera mengusap mataku-“maksud?”
Eh? mengapa mataku berair? Siapa yang kutangisi? Lalu, di mana ini? Ruangan kecil dengan pintu tertutup dan beberapa jenis perabotan. Aneh, bagaimana aku bisa mengetahui soal perabotan dan lainnya? Siapa gadis ini sebenarnya?
Ia hanya terdiam heran lalu menghela nafas.
"Cih, aku tidak tahu apa yang terjadi. Tapi, setidaknya minum ini." Ia menyodorkan segelas teh bewarna hijau dengan asap yang mengepul diatasnya. Aku sedikit ragu untuk meminumnya. Bagaimana jika ini akan menyakitiku? Hmm, kelihatannya, anak ini tidak berniat jahat. Aku tidak merasakan niat buruk darinya. Tanpa keraguan, aku menerima gelas kayu itu.
"Uh, terima kasih." Aku mencoba memasang muka tulus berterimakasih. Tapi tentu saja, Dewa perwujudan malapetaka sepertiku cukup susah melakukannya. Belum lagi, anak ini baru saja kutemui beberapa saat lalu.
"Pfft...." Samar-samar terdengar suara tawa yang tertahan tepat setelah gadis itu memalingkan wajahnya. Sialaaaaan anak itu pasti menertawakan raut wajahku yang terlalu kaku. Aku lalu menyeruput teh yang baru saja dia berikan. Ternyata, aku masih hidup ya....
"Ah, apa yang terjadi kemarin? Bagaimana aku bisa selamat?"
“... paman tidak perlu mengetahuinya, bukan?” ujarnya. Jawaban yang sudah pasti kudapatkan darinya: dingin, dan kurang ajar. Aku mencoba menahan kekesalanku.
"Berhenti memanggilku paman. Itu menyebalkan. Kau bisa memanggilku Dyze, oke?" Aku kembali menyeruput teh hangatku.
"Kalau begitu, jangan panggil aku bocah, Dyze." Ia melirikku tajam.
"Pfft, tapi itu kenyataan...." Aku membalas tatapannya.
"Paman sialan, usiaku 13 tahun tau!" serunya. Gadis itu terlihat kesal. Muahahah rasanya puas sekali. Tunggu, kenapa aku merasa puas hanya karna hal kecil bodoh ini? Sial, wujud manusia ini mulai memengaruhiku.
"Baiklah baiklah, jadi siapa namamu?" tanyaku kemudian.
"Tidak ada alasan untuk mengetahui nama-"
Kreeek ... Pintu terbuka.
"Noa sayang...." Seorang lelaki yang cukup tinggi memasuki kamar tempatku berbaring. "Ah! Disini kau rupanya, Malaikat Kecilku." Dia tersenyum hangat.
Huh? Malaikat kecilku? Dia siapa?
"Eh?"-gadis itu menoleh kearah pintu dengan cepat-"Pak tua! Kau selalu saja datang di waktu yang tidak tepat!" teriaknya kesal. Wajahnya terlihat sangat marah dan ... malu? Ah, jadi orang itu adalah ayahnya? Dan malaikat kecil adalah panggilan kesayangannya?
"Pfft...." Sial, aku tidak bisa menahan tawaku. "Fuhahahah! Malaikat kecil? kau memang masih seorang bocah, ‘ya?" Aku meliriknya rendah.
"Tch,"-ia menoleh kearahku-"paman masih terluka parah lo, sebaiknya diam saja...," ucapan sedingin es dengan tatapan tajam seperti pedang dan senyum kecil yang sama sekali tidak ramah. Aku hanya memoles senyum penuh kemenangan.
Namun, seketika atmosfer menjadi dingin menusuk. Aku segera menoleh kearah ayah gadis tadi. Wajahnya yang di awal penuh keceriaan, kini menjadi suram, dan entah mengapa, aku sedikit merinding melihatnya.
“Beraninya kau ... beraninya kau menertawakan panggilan khusus Noa tersayang ... kurang ajar. Tidak bisa dimaafkan...!” kata orang itu dengan suara beratnya. Gawat, Ia mulai berjalan kearahku. Sialan, sialan ... apa orang tua ini sudah tidak waras? Ah, itu tidak penting. Aku harus-
Ptanggg, brukk. Lelaki itu jatuh tersungkur.
Eh? Bagaimana bisa? Aku segera melihat kearah orang dibalik lelaki itu. Seorang wanita berambut hitam dengan ikat kuncir kuda, berdiri sembari memegang ... apa itu? Rasanya aku pernah melihatnya, ah kalau tidak salah manusia menyebutnya "teflon". Sepertinya benda itu yang membuat orang ini jatuh tersungkur.
“Geez, dia kambuh lagi ya ... ngomong-ngomong, Noa...,”-wanita itu menatap anak sialan yang ternyata bernama "Noa" itu-“mengapa kau tidak menghentikannya? Bukankah akan runyam masalahnya jika orang yang menolongmu dihajar olehnya?” tanyanya dengan senyuman yang cukup membuatku bergidik.
“Hmmph, salahnya sendiri telah mentertawakanku!” Anak itu membuang muka. Keluarga macam apa mereka? Aku tak dapat mendengar suara langkah kaki mereka, aura yang mereka keluarkan juga tidak seperti manusia pada umumnya.
“Yah terserahlah. Hei Layond, bangun. Kau tidak perlu berpura-pura tak sadarkan diri!” ujarnya seraya menepuk kepala pria yang bernama "Layond" itu. Ia kemudian bangkit dengan kepala yang sudah memiliki benjolan.
“Hehe ... seperti biasa, kau terlihat sangat cantik dan menyeramkan, Riley.” Suasana hatinya berubah lagi. Wanita yang bernama "Riley" kemudian menatapku, atmosfer disekitarnya yang awalnya dingin menusuk, menjadi hangat serta mencairkan suasana.
“Astaga, aku sangat tidak sopan. Maaf, aku belum memperkenalkan diri, Namaku Riley Emilton.” ucapnya dengan senyuman ramah. Akhirnya, semua kembali normal.
“Kau juga perkenalkan diri!” bisiknya seraya menyenggol pria itu. Tetap saja aku dapat mendengarnya. Walau sedikit tidak jelas.
“Ekhem, maaf, aku telat memperkenalkan diri. Namaku Layond Emilton. Meskipun kau tadi mentertawakan panggilan khusus Noa, aku tetap menghargaimu karna telah menolongnya. Terima kasih," ucapnya dengan tulus. Yah, dia adalah ayah yang baik.
Aku lalu menatap lurus kearah Noa.
“Tsk, terserahlah. Namaku Chronoa Emilton.”
Ooh? Chronoa ya, sepertinya dia masih jengkel dengan kejadian tadi.
***
"Masakan buatan Riley memang yang terbaik!" Layond meletakkan piringnya yang telah kosong diatas meja. Layond dan Dyze baru saja menghabiskan makan siang mereka.
Apa ini? Makanan manusia tidak buruk juga, pikir Dyze dalam benaknya. Sementara chronoa, ia hanya mengaduk aduk makan siangnya dan memainkannya.
"Hahah tentu saja ini untuk menyambut tamu kita. Oh, Noa sayang, jangan jadikan makananmu sebagai mainan." Riley menatap Chronoa tajam. Tangannya memegang lap dan teflon yang baru saja ia cuci.
"Hmmph, ini sama sekali bukan makanan," balasnya datar seraya tetap memainkan makanannya.
"Chronoa sayang, sepertinya, ibu tidak pernah mengajarkan hal itu." Riley melebarkan senyumannya yang lembut tapi juga mengerikan.
"B-baik bu!" Chronoa segera memakan makanannya yang telah ia susun menjadi menara kecil.
Benar benar anak yang nakal, gumam dyze dalam hati.
Beberapa saat lalu, Dyze telah mengatakan bahwa dirinya kehilangan ingatan, ia juga memastikan bahwa keluarga Emilton bukanlah manusia yang akan membahayakannya. Selain itu, Dyze juga sudah cukup beradaptasi dengan wujud barunya dan beberapa benda disekitarnya.
"Jadi, Dyze, darimana kamu berasal? Apa kamu juga lupa akan hal itu?" tanya Riley sembari menduduki kursi kosong disebelah Dyze. Dyze terdiam, lalu tersenyum kecil.
"Fu-fu-fu kalian pasti tidak akan percaya." Dyze melebarkan senyum penuh misterinya. Chronoa menatapnya sinis.
"Cih, Paman Dyze itu sudah pasti hanya orang aneh yang kabur dari tempat rehabilitasi," cibir Chronoa. Senyum misterius dyze berubah menjadi senyum penuh kekesalan. Layond hanya tertawa kecil melihat mereka yang saling menatap sinis.
"Hei Malaikat Kecil, dengar saja dulu, kurasa kau tidak akan kecewa dengan jawabanku." Dyze memasang senyum arogannya. Chronoa mengabaikannya dan tetap memakan makan siangnya. Dyze menghela nafas kecil dan menutup matanya.
Atmosfer berubah total menjadi sangat mencekam. Dyze terlihat mulai serius. "Firmament deity."
Firmament deity, katanya!?
Seorang wanita dengan rambut pendek berwarna abu abu bergelombang menoleh kearah Dyze dari kejauhan. Tangannya bergetar dengan sapu di genggamannya. Ia menatap Dyze untuk beberapa lama kemudian tersadar dan segera melanjutkan kegiatan menyapunya.
Layond dan Riley hanya terdiam kebingungan seraya menatap Dyze. Sementara Chronoa berhenti mengunyah dan melirik kearah Dyze.
"Aku baru mendengarnya. Apa itu Human Country yang lain?" Tanya Layond. Ia tampak tertarik dengan apa yang Dyze bicarakan. Dengan senyum arogannya, Dyze melirik kearah Chronoa. Chronoa yang kesal segera memalingkan tatapannya dan melanjutkan makan siangnya.
"Salah besar. Firmament Deity adalah tempat dimana para dewa tinggal," ujar Dyze dengan tenang.
"Pfft." Chronoa menutup mulutnya dengan tangan. Sementara Layond dan Riley saling pandang satu sama lain.
"Paman mengkhayal ya?" Chronoa tersenyum sinis. Ia merasa sangat puas dengan perkataan konyol Dyze tanpa menunjukkannnya.
"Hahahah...," tawa kedua orang tua Chronoa. Suasana yang tadinya kaku menjadi cair kembali. Dyze hanya tersenyum kaku sedikit kesal.
"Apa kau seorang chuunibyou, Dyze?! Kau sudah tidak muda lagi!" Mereka berdua tertawa.
"Cih, apa kau tidak ingat apa yang terjadi di hutan?" tanya Dyze seraya melihat ke arah Chronoa.
"Hm? Apa yang perlu kuingat? Kau, kan, cuma berlari sesuai arahanku." Gadis itu tersenyum tipis.
Siaaaal, senyum tipisnya itu sangat menyebalkan. Gadis ini tetap menyembunyikan rasa puasnya dalam menindas. Ia bahkan tidak pernah tersenyum lebar ataupun tertawa. dia mencoba mempermalukanku yaa? Tidak akan kubiarkan, batin Dyze.
"He~ kau tidak ingat apa yang terjadi saat kau mengucapkan kalimat 'Apakah ini hukuman untuk anak nakal sepertiku?' " Dyze membalas senyum Chronoa dengan tatapan rendahnya.
"Ap,"-Layond dan Riley menoleh kearah chronoa dengan terkejut-"HAHAHA! Kamu serius Noa? Apakah kamu mengakui nya sendiri?" Kedua orang tua itu tertawa.
"Tsk." Wajahnya menjadi sangat suram. Ekspresi jengkel dan malu bercampur aduk di wajahnya yang sangat mudah dibaca. Tiba-tiba, seorang dengan rambut pendek bergelombang tadi menghampiri Meja makan.
"Maaf, apa kalian semua sudah selesai?" tanyanya. Wanita dengan setelan baju pelayan itu tersenyum kaku dengan wajah sedikit pucat.
"Oh, tentu. Kau bisa membereskannya, Lealta," jawab Riley pada wanita yang merupakan maid keluarga Emilton itu. Dyze menatapnya sedikit dan cukup heran dengan gerak geriknya yang sedikit kaku.
Aneh, sepertinya dia merasa ketakutan. Tapi akan apa? Ah itu tidak penting. Sudah bagus mereka tidak menganggapku sebagai dewa. Aaah rencanaku berjalan dengan sangat lancar..., pikir Dyze. Makan siang mereka pun selesai.
* * *
"Dimana Dyze? Aku tidak melihatnya sedari tadi." Gadis kecil berambut hitam panjang bertanya pada ibunya.
"Kurasa dia pergi keluar," jawab Riley, ibu Chronoa.
"Cih, baiklah...," balasnya. Chronoa lalu berjalan kearah luar dan menemukan Dyze tidak jauh dari rumahnya.
Dasar, apa yang dia lakukan diluar malam-malam begini? batin Chronoa. Gadis itu berjalan perlahan kearah Dyze.
"Zavist sialan. Apa tujuanmu sebenarnya?!" gumam Dyze cukup keras. Kepalanya tertunduk suram. Chronoa yang sedikit mendengarnya segera terdiam.
Apa yang dia maksud? pikirnya.
"Brengsek ... aku benar-benar bodoh...." Dyze mengangkat kepalanya seraya menutup matanya dengan penuh penyesalan.
Orang ini ... dia menyembunyikan sesuatu. Paman Dyze, siapa kamu sebenarnya..., batin Chronoa yang masih terdiam cukup dekat di belakang Dyze. Pemuda berusia sekitar 18 tahun yang dulunya adalah Dewa itu berdiri secara tiba-tiba. Ia menghela nafas panjang, dan bergumam pelan.
S-sial, dia berdiri. Aku harus segera pergi atau-
"Chronoa sayang...! Dimana kamu?!" Teriakan Layond terdengar dari dalam rumah. Dyze yang mendengar itu segera menoleh kearah suara dan mendapati Chronoa berdiri tidak jauh dibelakangnya.
"Bocah nakal."
Bertempat di perbatasan antara Historian Kingdom dan Azerbazan Kingdom, sebelah selatan dari pegunungan Azelrisia, terdapat hutan yang luas yang bernama "The Great Forest of Temp". Di luar dari tepi hutan, terdapat desa Elvire. Dengan populasi 121 orang, yang terbagi dalam 25 keluarga. Untuk ukuran desa perbatasan dari Azerbazan Kingdom, jumlah ini tidak aneh.
Kegiatan utama sehari-hari dari penduduk desa tidak terlepas dari hutan dan ladang mereka, karena hampir tak ada pengunjung kecuali beberapa ahli obat (druggist) yang sedang mencari tumbuh-tumbuhan dan petugas pengumpul pajak yang datang sekali setahun.
Itu adalah sebuah desa yang tidak bergerak dalam waktu. Para penduduk sibuk sejak mereka bangun pagi. Mereka bekerja dari terbit hingga terbenam matahari, begitulah kehidupan mereka.
Tugas pertama Chronoa Emilton setiap harinya adalah pergi ke sumur terdekat dan mengambil air. Mengambil air adalah pekerjaan seorang gadis dan ketika tangki air di dalam rumahnya sudah penuh, maka tugas pertamanya untuk hari itu telah selesai.
Bersamaan dengan itu, ibunya akan mempersiapkan sarapan, dan empat anggota keluarga akan menikmati sarapan bersama.
Sarapan terdiri dari gandum yang ditanak atau dibuat bubur, dan juga sayuran yang ditumis. Ada saatnya mereka juga memasak buah-buahan. Di meja makan, ibu Chronoa —Riley— bertanya pada anaknya, “Dimana Dyze? Apakah dia masih belum juga bangun?”.
Chronoa hanya menjawab dengan singkat sambil menarik kursi nya untuk duduk, “Dyze? Entahlah, ku rasa dia masih menikmati tidurnya layaknya bayi.” Ia kemudian duduk di kursi meja makan, Kini yang berada di meja makan hanya beranggotakan 3 orang saja, sang maid —Lealta— masih sibuk dengan urusannya menyusun makanan di meja makan. Tak lama kemudian terdengar suara derit dari arah tangga yang semakin lama semakin terdengar jelas.
Setelah suara itu terdengar, terlihat seorang pemuda dengan rambut hitam sedikit abu-abu sedang menguap sambil menuruni tangga, Kedatangan pemuda itu disambut dengan senyuman hangat dari Riley dan senyuman tipis dari Layond. Sedangkan untuk Chronoa, dia hanya menyampaikan beberapa kata yang membuat pagi penuh dengan tawa ria.
“Oh~ sepertinya dewa kita kali ini baru bangun dari tidur abadinya.” Dyze yang awalnya terlihat tak bertenaga, kini ia seperti kembali seperti semula setelah menganggapi perkataan Chronoa.
“Hah?! Apa katamu anak nakal? Jangan sombong hanya karena kau bisa bangun pagi, dasar sialan.”
“Haha sudah sudah, senang melihat kalian akur seperti biasanya,” Ucap Riley sambil tertawa dengan anggunnya.
“”Yang benar saja?!! Akur darimana nya?!!”” Jawaban mereka seakan menentang perkataan Riley, namun Riley hanya menanggapi nya dengan tertawa kecil.
Dyze yang telah turun dari tangga mendekati meja makan dan duduk di kursi yang telah disediakan, kursi yang sama dengan ia tempati semalam.
Lealta telah menyusun makanan dengan rapi, ia kemudian hendak pergi dari meja makan, namun Dyze sedikit heran dan membuatnya bertanya, “Hei, apa kau tidak ingin makan bersama kami?”
Lealta yang mendengar Dyze bertanya padanya sedikit bergidik namun ia mencoba menjawabnya agar tidak terlihat mencurigakan, “T-tidak, saya akan mengerjakan tugas lain seperti menyapu halaman rumah terlebih dahulu.” Ia kemudian berlari menuju halaman rumah.
Dyze yang melihat itu bertanya pada Lealta dan Layond tentang kelakuan aneh Lealta, “Apakah dia biasanya seperti ini?” Riley dan Layond memandangi satu sama lain untuk sesaat kemudian menjawab “Ku rasa tidak, ia tak pernah menolak jika kami menawarkan makan bersama.”
Dyze hanya menjawab dengan kata Hm~ kemudian meraih jatah makanan dan melahapnya secara perlahan.
Riley kemudian bertanya pada Dyze tentang tawaran yang ia tawarkan pada Dyze semalam.
Dyze sesaat menunjukan reaksi seperti “Adakah kau memberikan suatu tawaran padaku semalam?”
Riley dan Chronoa hanya bias menghela nafas, dan kemudian menjelaskan kembali tawaran yang dimaksud.
“Ah .. mengenai hal itu ya .. baiklah, aku telah memutuskan untuk menerima tawaran itu.”
Tawaran yang dimaksud adalah tawaran Riley pada Dyze untuk tinggal bersama, karena menurut Riley Chronoa juga membutuhkan Teman yang membuatnya tidak lagi kesepian.
Setelah sarapan, Dyze diminta oleh Riley untuk menemani Layond melakukan pekerjaan sehari-hari, seperti memotong kayu dengan kapak, dan lain sebagainya.
Dyze awalnya menolak dikarenakan baginya ini hanyalah pekerjaan yang membosankan, namun ia dipaksa oleh Layond dan ia terpaksa menyetujui ajakannya dikarenakan Layond menawari Dyze dapat bertanya apa saja padanya.
Sesampainya d itempat tujuan, tempat Layond berkerja ternyata tidak sepenuhnya membosankan seperti yang dibayangkan Dyze, dikarenakan mereka dapat melihat pemandangan Chronoa berbaju lengan pendek yang sedang berlatih memanah.
“Ugh, sebenarnya seberapa jauh obsesi orang tua ini pada anaknya sendiri?!” pikir Dyze melihat Layond yang selalu memandangi putrinya.
“Ekhem, Layond, cepatlah kerjakan pekerjaanmu, aku juga ingin bertanya banyak hal tentang dunia ini.”
“Hm? Ah, benar juga, nanti Riley akan marah padaku. Katakanlah, Tanya saja apapun yang kau mau.”
“Pertanyaan pertama, Di mana aku sekarang berada?” Layond sekilas melihat ke arah Dyze saat mendengar pertanyaan itu, kemudian melanjutkan pekerjaannya.
“Pertanyaan aneh, Kau sekarang berada di desa kecil Elvire, perbatasan Azerbazan Kingdom.”
“Pertanyaan kedua, siapa sebenarnya dirimu? Mengapa keluargamu memiliki aura yang berbeda dengan orang lain kebanyakan?”
Layond kembali terhenti sesaat, namun kini ia menghantamkan kapaknya ke tanah hingga berbekas.
“Hoo? Kau bisa menyadarinya dalam sekali lihat huh? Apakah kau juga dianugerahi Blessed Eyes?” Tanya nya dengan sedikit berat, sepertinya ia mulai mewaspadai Dyze.
“Blessed Eyes? Apa itu? Dan ‘juga’? apakah kau juga memiliki mata itu?”
“Huh?” Layond terlihat tertegun sejenak namun kembali sadar “Kuha- haha, tidak kusangka ada orang yang tidak mengetahui salah satu dari lima mata yang dimiliki para Pahlawan 3000 tahun lalu tepat berada didepanku. Dengar, bukan aku yang dianugerahi Blessed Eyes tetapi Riley. Dialah yang dianugerahi Blessed Eyes.”
“Blessed Eyes dapat membuat pengguna yang dianugerahi oleh Dewa dapat melihat Aura seseorang, hal ini akan sangat membantu sang pengguna dalam menjalani tugas ataupun kehidupannya, ia dapat dengan cepat mengetahui karakteristik sifat seseorang hanya dalam sekali lihat,” Lanjut Layond.
“Begitu rupanya .. oleh karena itu dia menerima ku tanpa berpikir kembali? Apakah karena ia telah melihat aura ku?”
“Tidak .. ku rasa tidak demikian, Riley selalu bercerita padaku tentang aura orang yang mereka jumpai, tapi khusus kemarin, ia tak menceritakan apa-apa padaku tentang aura mu, mungkin .. mungkin saja kau tidak memiliki aura sama sekali,” Jelas Layond yang kemudian mengambil kembali kapaknya.
“Yah tapi ku rasa itu tidak mungkin haha, karena setiap Manusia pasti memiliki aura mereka masing-masing.”
“Oh dan juga Blessed Eyes jugalah yang membuat Riley dapat menjadi instruktur dari para mage kerajaan Azerbazan dulu.”
“Inspektur mage kerajaan? Apa itu?”
“kau benar-benar tidak tahu apa-apa ya? Inspektur mage kerajaan, sebuah pekerjaan yang diidam-idamkan bagi semua orang yang memiliki kelebihan di bidang sihir, konon katanya pekerjaan ini setara dengan Kapten Prajurit Kerajaan. Yah rumor hanyalah rumor.”
'Kapten Prajurit Kerajaan ya? Apakah itu sama seperti Panglima Pasukan Malaikat ku? '
“mengenai dirimu ..?—“ Perkataan Dyze dipotong oleh Layond yang melihat kearahnya sambil membuat gerakan menyuruh “diam”.
“Aah .. maafkan aku, tentang itu aku tidak bisa menjawabnya, mungkin kau bisa mencari jawabannya selain dariku.” Ucapnya kemudian melanjutkan pekerjaannya
Tidak lama kemudian Chronoa datang menghampiri mereka, ia dalam kondisi yang berkeringat setelah berlatih memanah cukup lama, dan hasil dari latihannya juga tidak buruk, sekitar 13 dari 20 anak panah mengenai target sasarannya.
Ia menyeka keringat nya dengan handuk yang berada di lehernya. Ia juga meminum beberapa botol untuk melepas dahaga.
“Tak kusangka, kalian cukup akrab juga ya ..” Ucap Chronoa sambil meneguk air dari botolnya.
“Haha, tentu saja Noa Sayang .. Ayahmu tersayang ini selalu akrab dengan siapa saja~” ucap Layond sambil bergeliat
Chronoa memasang wajah seperti “Ugh menjijikan sekali, ” kemudian pergi meninggalkan Layond dan Dyze menuju pintu belakang.
Dyze sedikit penasaran dengan sikap Layond yang terobsesi dengan putri satu-satunya.
“Layond .. aku tidak keberatan jika kau tidak ingin menjawab pertanyaan ini, tapi .. mengapa engkau terlihat seperti sangat menyayangi Gadis nakal itu?” mendengar itu, Layond terdiam tidak bisa berkata-kata dalam beberapa saat.
Ia mendongak ke arah langit kemudian menutup matanya, dan menghela nafas. Kemudian mulutnya bergerak dengan perlahan-
“Kau tau .. Riley dulu telah mengalami keguguran sebanyak dua kali, kami hampir frustasi karena nya .. di saat gadis itu lahir, ia dalam keadaan mengenaskan, jantung nya tidak berdetak, ia sama sekali tidak menangis seperti bayi kebanyakan ..
Riley yang frustasi berkata dengan penuh putus asa ‘Wahai Tuhan, Iblis, Dewa, ataupun entitas yang dapat mengabulkan permohonanku. Ku mohon dengan jiwa raga ku sebagai imbalannya, hidupkanlah anak ini, berkatilah dia selama masa hidupnya, aku tidak keberatan jika harus kehilangan hidupku demi bayi mungil ini .. karena itulah, terima Doa-ku.'"
'Keguguran? Apakah itu semacam sebutan untuk orang yang gugur dalam perang? dan tak kusangka Riley berani menawarkan jiwa dan raga nya pada saat itu juga pada Iblis, benar-benar wanita yang berani.'
“Tidak lama setelah itu, Bayi mungil yang tadi seperti tidak memiliki tanda kehidupan sama sekali menjadi bercahaya kemudian terdengar suara tangisan yang berasal dari bayi mungil tadi. Ia benar-benar menjadi hidup, pada awalnya kukira Riley akan pergi meninggalkanku sendiri untuk mengurus sang ‘malaikat kecil’ ini .. namun tidak kusangka ia masih dapat menemani ku hingga detik sekarang ..”
“Setelah kelahiran Chronoa, terdapat desas-desus di seluruh desa yang mengatakan Riley menjual jiwa nya pada iblis agar Bayi nya dapat tetap hidup, namun Rumor lain mengatakan bahwa Dewa memberkati keluarga Emilton hingga membuat Bayi yang awalnya tidak bernyawa menjadi hidup kembali.
Kami tidak terlalu memusingkan rumor rumor tersebut, tepat keesokan hari setelah Chronoa lahir ke Dunia, kami menerima seseorang yang ingin melamar kerja menjadi pembantu rumah tangga. Dan senang hati kami menerimanya,” Layond bercerita dengan lega seperti baru saja melepas beban dari pundaknya.
'Pembantu huh? Apakah orang yang dimaksud adalah Lealta? '
Layond kemudian berdiri dan menyapu keringat dengan kerah lengan bajunya.
“Baiklah .. sudah selesai pekerjaan yang membosankan, mari kita menuju pekerjaan yang menyenangkan!!” seru Layond dengan penuh semangat.
“Heh! Kau penuh semangat sekali ya Layond, t-tunggu? Kita? Apakah aku salah dengar?” Dyze berharap dia salah mendengar apa yang dikatakan Layond, namun itu semua tidak berjalan sesuai harapannya.
“Sayang sekali .. yang kau dengar itu memanglah kebenaran~ ayo ajak Chronoa berburu!” Layond dengan antusias menarik jalan Dyze yang sedang melemas.
“Yang benar saja ..” Rengek Dyze.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!