Hai Teman-Teman, ini adalah karya terbaru dari Alana Alisha, mohon dukungannya dengan LIKE, KOMEN dan VOTE juga berikan HADIAH. Terima Kasih~ Dukungan Teman-Teman akan sangat berarti ^^
***
Juni. Sepucuk surat berbahasa Inggris yang dikirim melalui email sampai di tangan Harun. Ia membaca perlahan
sampai rasanya tiada satu huruf pun yang terlewat.
Surat ini sudah dinanti berbulan-bulan lamanya. Selesai membaca, Ia menjadi sumringah. Bibirnya membentuk kurva bulan sabit. Tidak sia-sia rasanya perjuangan Harun kesana sini untuk mengumpulkan berkas dan dokumen.
Hari ini semua penantian terjawab sudah. Ia memenangkan beasiswa untuk program Magisternya di Tiongkok. Transportation Planning and Management. Itu lah jurusan yang diajukan oleh Harun 6 bulan yang lalu. Alhamdulillah ia diterima. Tanpa menunggu waktu lebih lama, Harun langsung mengabarkan berita ini pada keluarga nya.
Di sebuah rumah yang tampak megah, rumah bernuansa cream-gold khas kastil-kastil Eropa, berlantai marmer, mempunyai kamar tidur tidak kurang dari 15 kamar.
Bangungan mewah yang berada di atas tanah seluas 2 hektar ini adalah milik keluarga Rasyidi. Sayangnya penghuni utamanya hanya terdiri dari 3 orang saja, di samping ada beberapa asisten rumah tangga, supir dan tukang kebun.Di rumah ini, Harun menemui ibunya,
“Nak, rasanya mama tidak kuat kalau kamu tinggal pergi lagi. Apalagi dalam waktu lama” Ibu Harun tampak sedih
mendengar kabar bahagia dari Harun. Ibu paruh baya itu tampak keberatan.
Harun adalah anak terakhir dan merupakan putra satu-satunya di keluarga Rasyidi. Ia memiliki 2 kakak perempuan yang telah menikah. Kakak pertama menikah dengan laki-laki kewarganegaraan Jerman. Karena suaminya bekerja di Qatar, jadilah mereka menetap disana. Biasanya mereka pulang mengunjungi keluarga di Indonesia 2 tahun sekali.
Kakak kedua telah menikah dengan pengusaha tambang di Kalimantan, dan kakaknya pun diboyong oleh suaminya untuk menetap di sana. Keadaaan seperti ini membuat ibu Harun sangat kesepian. Maka ia pun berat melepaskan anak trakhirnya untuk pergi lagi dalam waktu lama. Pergi lagi? Ya. Sebelumnya Harun kuliah di Brunei Darussalam selama 4 tahun. Ia baru saja menyelesaikan sarjana nya di sana. Baru 6 bulan kelulusannya, kini ia sudah harus berangkat ke China.
“Sariyah, biarlah Harun mengejar mimpinya. Biarkan ia mengeksplore kemampuan di lingkungan yang baru. Agar ia memiliki pengalaman yang mumpuni dengan memakan asam garam di negeri rantau. Ia sekarang bukan anak kecil lagi. Ia adalah seorang laki-laki dewasa” Papa mencoba membesarkan hati mama sekaligus mengingatkan. Pria paruh baya ini berkata sambil menghisap cerutu pipanya. Asap membumbung tinggi mengepul-ngepul.
“Tapi ingat nak, walaupun kamu ke Tiongkok, kamu harus tetap mempedulikan perusahaan kita. Ingat! Kamu itu pewaris papa! Papa berharap besar padamu!” Tambah tuan Rasyidi. Beliau menekankan nada di setiap kalimatnya.
“Baik pa, Harun akan terus mengingatnya. Namun, untuk kali ini sebelum Harun memegang amanah besar dari
papa, tolong izinkan Harun mencari jati diri Harun sendiri. Harun harus lebih menggali potensi pada diri Harun”
Tuan Rasyidi mengangguk-anggukan kepalanya tanda setuju.
Harun sebenarnya sedih untuk kembali meninggalkan ibunya. Dalam hati ia berjanji untuk belajar giat dan
meyelesaikan kuliahnya tepat waktu.
***
Drrrrt Drrrrt
Handphone Harun bergetar. Tanda ada orang yang menelepon nya.
“Ya, Assalamu’alaikum” Harun mengangkat hp tanpa melihat siapa yang menelepon. Ia lagi sibuk fokus membereskan administrasi untuk keberangkatannya ke China.
“Wa’alaikumsalam. Mas, mas lulus ke China??? Kenapa ga kasih kabar sih ?? Aku tau nya malah dari kak Asti. Aku
kan tunangan kamu. Masa kabar sepenting ini kamu bisa lupa sama aku. Ini kita belum menikah lho kamu sudah begini. Bagaimana nanti jika kita sudah menikah???” Harun menjauhkan handphone dari daun telinganya.
Menyadari Reva sang tunangan yang menelepon, Haris langsung bergerak cepat menjauhkan telepon
dari suara yang memekakkan telinga. Benar saja, Reva langsung menyemprotnya dengan suara lengkingan tinggi.
Huft, Padahal ia baru saja mendapatkan kabar. Kak Asti juga pasti taunya dari mama. Reva Reva. Bikin
pusing kepala saja.
“Iya Reva. Aku baru saja terima emailnya kok, baru juga mau mengabarkan kamu!”
“Kok panggil Reva sih mas?”
“Iya sayang, maaf. Aku lagi ga konsen nih. Nanti aku kabari lagi ya. aku lagi ngurus berkas yang tersisa. Ini Aku lagi
di kantor papa”
“Okay, aku antarin kamu makan siang ke kantor. Aku masak special. Daaaa sayaaang”
Tiiiiit…tiiiiiitttt
Huft, Beginilah Reva, lebih tepatnya Reva Cantika Atmaja. Gadis itu selalu saja memaksakan kehendaknya
tanpa meminta pendapat dirinya terlebih dahulu. Harun hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
Reva adalah gadis kaya raya putri tunggal tuan Atmaja Hadi Kusuma dari rekan bisnis tuan Rasyidi (papanya Harun). Mereka ditunangkan atas dasar pertimbangan perusahaan. Penyatuan dua keluarga super power ini, diyakini akan lebih memperbesar perusahaan yang memang sedang maju-majunya.
Sebenarnya Harun tidak memiliki cinta di hatinya untuk Reva. Cinta bukanlah prioritas utama baginya, setidaknya untuk saat ini. Ia menyetujui pertunangan ini sebab memang ia sedang tidak memiliki tambatan dihatinya. Berbeda dengan Reva, gadis itu memang sangat mencintai Harun bahkan sejak pertama kali mereka bertemu. Revalah yang memaksa papi nya untuk menjodohkan mereka.
Peluang ini dimanfaatkan oleh keluarga Rasyidi untuk memperluas perusahaan. Mengingat perusahaan tuan Atmaja Hadi Kusuma tengah berkembang dengan sangat pesat.
Harun melihat ka arah jam tangannya, pukul sudah pukul 11.30, berkas yang dipersiapkan belum juga beres.
Ia harus menyelesaikan pemberkasan sebelum Reva datang. Akan sangat merepotkan jika Reva datang sedang misinya belum selesai. Ia pun memanggil asisten peribadinya yang bernama Rival,
Ddrrrrt… drrrttt…
“Iya. Halo pak bos?”
“Val, tolong kamu urus sisa berkas ke Tiongkok yang sudah Sebagian saya siapkan ya, saya sudah emailkan ke kamu, coba di cek saja” Pinta Harun pada asisten pribadinya. Mereka bukan lagi layaknya bos dan anak buah. Melainkan sudah seperti saudara, umur mereka pun sebaya. Walau demikian Rival tetap menghormati Harun sebagai atasannya.
“Pak bos sih, sok-sok an mau ngerjain sendiri, gelabakan kan jadinya” Rival menggeleng-gelengkan kepala
melihat ulah bos nya. Ia sudah berulang kali mengatakan akan mengerjakan pengurusan berkas tapi bos nya sama sekali tidak menggubrisnya. Entah apa yang menjadikan bosnya tersebut sekarang jadi berubah pikiran.
“Pokoknya tolong ya. Pikiran saya tiba-tiba mumet ni”
“Okay. Siap pak bos. Segera laksanakan” Ucap Rival kemudian.
Harun mematikan handphone nya. Ia memijat-mijat tengkuk kemudian beralih ke pelipisnya. Akhir-akhir ini ia memang sedang sangat repot membantu proyek-proyek di perusahaan papanya. Ia berharap sebelum ke Tiongkok ia sudah menyelesaikan semuanya dengan baik.
Tok.. tok.. tok
“Masuk!”
“Sayaaaaang… Ini aku datang membawa makan siang” Reva sekilas sempat melihat Harun memijat-mijat tengkuknya.
“Sayang, kamu lagi sakit?” Reva menghampiri Harun.
“Tidak kok! Aku hanya sedikit pusing mengerjakan proyek terbaru” Jawab Harun.
“Sini aku bantu pijat!” Reva hendak beranjak menuju tempat duduk Harun dengan dengan cepat di cegat oleh
laki-laki ini.
“Ga pa-pa kok, Rev! ini bentar lagi juga udah mau sembuh! Ayo kita makan saja, takutnya malah nanti menjadi
dingin!” Harun menghindar.
“Okay sayang, baik lah!”
***
Suasana perkantoran berjalan seperti biasa. Para pekerja sibuk mengerjakan tugasnya masing-masing. Mulai dari pangkat terendah hingga yang tertinggi, mereka saling diburu waktu sesuai porsinya masing-masing.
Tapi, jam sudah menunjukkan pukul 12 siang, itu artinya sekarang adalah jam istirahat untuk hari ini bagi mereka para pekerja. Mereka tak segan menuju kantin untuk menyantap makan siang, ada juga yang membawa bekal dari rumah atau malah kembali pulang demi sekedar makan siang bersama keluarga.
Di sebuah ruangan yang terletak di lantai 16 pada sebuah perusahaan otomotif, tampak dua sejoli masih menikmati makan siang mereka. Makanan mewah dengan berbagai macam lauk pauk memang sudah disiapkan untuk menemani makan siang mereka berdua.
“Seharusnya kamu tidak perlu bersusah payah memasak makanan sebanyak ini, Rev!” Ucap Harun kepada tunangannya. Walau begitu ia masih saja mengunyah makanan yang telah tersaji dihadapannya.
“Hanya sekali-kali kok, lagian anggap saja ini untuk merayakan keberhasilan dalam memenangkan beasiswa program master mu di Tiongkok. Kamu memang hebat, sayang!” Puji Reva. Harun hanya menyunggingkan sedikit senyuman
menanggapi perkataan Reva.
“Apakah nanti kamu tidak merindukanku?” Reva menatap Harun dengan pandangan sendu, gadis ini sendiri sebenarnya tidak yakin akan perasaan Harun terhadapnya.
“Bagaimana jika aku nanti yang akan merindukanmu, aku tidak bisa bebas bertemu denganmu seperti hari ini” Kini mata Reva benar-benar berkaca-kaca.
“Sudahlah, jangan pikirkan hal yang belum terjadi, kita nikmati kebersamaan kita hari ini. Bagaimana hari esok, hal tersebut masih menjadi misteri dan belum pasti” Jawab Harun diplomatis.
“Apa kamu bisa berjanji kalau kamu akan setia dan tidak akan berpaling kepada Wanita lain?” Reva menatap serius ke dalam manik mata Harun.
Pemuda itu terdiam. Ia mengambil air mineral yang berada dihadapannya kemudian ia meneguk dalam sekali tegukan. Ia tampak ragu untuk menjawab, sebab kedepannya rahasia Tuhan tiada sesiapa yang mengetahuinya.
“Mas, kenapa kamu malah diam?” tanya Reva lagi.
Reva sedikit menyentuh tangan Harun, pemuda itu langsung menarik tangannya. Reva berubah sedih. Ia tiba-tiba merasa menjadi orang yang sangat menyedihkan.
Ia merasa tersinggung atas perlakuan Harun terhadapnya. Ia berpikir bahwa Harun memang sama sekali tidak mencintainya. Cinta nya bertepuk sebelah tangan.
“Aku tau mas tidak mencintaiku” Reva kembali membuka suara dengan pandangan menunduk. Ia tidak ingin terlihat begitu rapuh. Harun jadi serba salah, padahal ia tidak bermaksud menyakiti Reva sang tunangan. Ia hanya
bingung sejenak dengan keadaan. Apalagi diberondong dengan banyak sekali pertanyaan, Ia bingung harus menjawab apa dan mulai darimana.
“Reva, mengapa kamu bersedih? Ayolah. Aku ini tunanganmu. Kita dijodohkan dan akan menikah, apa lagi yang kamu khawatirkan?”
“Mengapa mas tidak pernah bersikap kepadaku layaknya aku ini tunangan mas? Bahkan sedikit saja aku menyentuhmu, kamu sudah enggan. Apa kamu merasa jijik terhadapku? Jawab mas!” Reva tidak bisa menghentikan air mata nya yang tiba-tiba saja mengalir.
“Rev, dengarkan aku! Status kita sekarang hanyalah tunangan. Kita harus menjaga batasan kita, terutama aku yang laki-laki. Aku tidak ingin merusakmu. Aku ingin terus menjaga kehormatanmu sebagai tunanganku sampai saatnya tiba, saat kita sudah berada dalam ikatan suci lagi halal. Akan ada waktu nya nanti kita bermesraan. Kamu paham maksudku kan? Sekarang aku hanya ingin mengontrol diriku sampai saatnya tiba” Jelas Haris dengan menatap dalam mata Reva.
Tampaknya Reva luluh, bahkan ada kekaguman dihatinya terhadap Harun yang mana pemuda itu begitu memegang teguh prinsipnya. Harun benar-benar calon imam yang baik. pikir Reva.
“Baiklah, terima kasih sayang. Aku percaya padamu” Mata Reva dipenuhi kekaguman terhadap Harun, tampaknya cinta begitu bersemi dihatinya. Dalam hati ia berjanji untuk terus setia pada pemuda itu.
***
Petang datang menjelang. Harun masih saja berada di kantor membereskan berkas-berkas dan menangani proyek nya, ia baru saja menghadiri rapat bulanan, sedang Reva sudah kembali menjalani aktifitas nya sepulang dari
membawa bekal makan siang yang ia makan bersama Haris.
Drrrrtttt Ddrrrt
Satu pesan masuk ke no wattsapp Reva,
Halo sayang. Masih ingat denganku?
Nomor baru tanpa nama menghiasi layar kacanya. Reva mengkerutkan kening sesaat. Ia memilih untuk tidak menghiraukan pesan yang dianggapnya tak penting itu. Namun selang
beberapa waktu pesan dari nomor tak dikenal kembali melayang ke nomornya,
Hai sayang, kenapa pesanku dibalas? Kamu yakin mau mengabaikan pesan dariku? Ayolah dibalas sayang!
Aaargh. benar-benar menjijikkan. Pikir Reva. Siapa sih orang iseng yang mengirim pesan? Apalagi mengatakan sayang sayangan segala. Dan lagi-lagi Reva memilih mengabaikan pesan menyebalkan itu.
Tak lama, Beberapa saat kemudian, pesan sejenis dan serupa kembali memasuki gawainya. Kesal. Ia pun memblock nomor dari orang yang tak ia kenal. Aman. Pikirnya.
Reva kembali mengerjakan aktifitas yang sempat tertunda, sama seperti Haris ia juga disibukkan dengan kerjaan kantornya. Sebagai direktur utama PT. Sandika Mega Citra, kegiatannya pun terbilang padat. Kini ia tengah mempelajari beberapa berkas penting untuk ia tanda tangani. Apalagi besok ia juga harus menghadiri rapat penting pemegang saham.
Sial. Lagi-lagi gawainya bergetar oleh nomor yang sama sekali tidak dikenalnya. Hal ini mengefek pada tidak bisa konsen nya ia pada kerjaaan. Kembali ia mengintip layar Handphone nya.
Jenis pesan yang sama seperti tadi namun dengan nomor yang berbeda. Mau apa sebenarnya orang ini. Baiklah, sekali kali aku harus meladeninya. Pikir Reva.
Maaf, kamu siapa? Ada perlu apa ya?
Dddddrttt drrrrttt
Tak lama balasan pesan pun datang,
Haha… Sayang, Masa kamu lupa sih dengan cinta lamamu. Aku adalah orang yang dulu sangat kamu gilai kemudian kamu campakkan dengan begitu sadis
Reva membacanya dengan tangan bergetar. Setelah melihat pesan tersebut, Reva hanya dapat mengingat satu nama saja. yaitu Edo. Tapi apa benar ini Edo? Bukankah laki-laki itu sedang mendekam di dalam penjara?
Reva berpikir keras. Ia belum membalas kembali pesan yang dikirimkan oleh orang tadi, namun pria tersebut sepertinya benar-benar ingin membuatnya sakit kepala.
Lagi-lagi pesan yang tidak Reva harapkan masuk secara bertahap, tidak hanya satu, sekali masuk sampai lima pesan. Oh my God. Ingin rasa nya ia melempar gawai yang kini berada di tangannya.
Aaarrrgh. Ia pun memutuskan beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan ruangan direktur, kemudian menuju parkiran dan menaiki mobil sedan mewahnya. Ia memilih untuk mengendarai mobilnya sendiri.
Semula ia tidak mengetahui kemana arah dan tujuan mobilnya berjalan, namun tiba-tiba ia teringat pada sahabatnya Naomi. Ya. Ia harus menemuinya untuk melepaskan semua uneg-uneg yang ada di kepala nya. Dengan gesit, ia pun memutar arah tujuan menuju rumah sahabatnya tersebut.
***
Reva memarkirkan mobil mewahnya tepat di halaman rumah Naomi, tadi saat berkendara ia sudah mengabarkan pada gadis itu bahwa akan mengunjunginya. Reva mematikan mesin mobil lalu mengambil HP dan tas jinjing kemudian keluar dari mobil tersebut.
“Hai Rev, tumben ke sini, bukannya kamu ada urusan di kantor ya?” Sapa Naomi sambil memeluk Reva ringan.
“Gawat Nao, gawat!!” Panik Reva.
“Gawat kenapa?? Duduk dulu deh! Bentar aku suruh bi Rasti bikin minum, Tarik nafas dulu!” Reva pun menarik nafas panjang dan menghembuskannya.
“Bi, tolong buatkan minuman untuk Reva ya!” Naomi memberi perintah kepada asisten rumah tangganya.
“Baik Non”
“Okay, Sekarang kamu cerita ada apa” Naomi mengamit tangan Reva dan menggenggamnya. Ia menatap serius ke dalam manik mata sahabatnya.
“Kamu baca ini!” Reva menyodorkan handphonenya dan menunjukkan pesan misterius yang baru saja didapatnya.
“Haha Ini pasti peneror iseng, kenapa kamu setakut ini? Come On, Rev!” Naomi malah menertawakan kecemasan Reva yang dianggapnya berlebihan.
“Naomi, pesan ini ga main-main. Dia serius! Aku khawatir yang mengirimkan pesan adalah Edo!!” Reva berkata dengan memasang wajah serius.
“Wait wait! Edo?? Bukannya laki-laki brengsek itu sudah mendekam di penjara?”
“Iya, makanya aku khawatir kalau ia sudah bebas dan kembali mengangguku” Ucap Reva. Raut wajah kecemasan tampak begitu jelas terlihat.
“Tenang, kamu tenang ya! kamu dan keluargamu bukanlah orang sembarangan, ia tidak akan berani macam-macam. Percayalah padaku! Lagian kamu juga sudah bertunangan dengan Harun, Pemuda itu adalah salah satu yang terbaik di kota ini. Kamu harus tenang dan menikmati hari-harimu sebelum menikah” Naomi menenangkan Reva sambil menggenggam tangannya.
“Aku hanya takut peristiwa masa lalu kembali datang dan mengusik kehidupanku. Aku takut gara-gara Edo, Haris akan meninggalkanku. Nao, Kamu tau aku begitu mencintai Harun, kan?”
“Karena dari itu kamu harus menatap ke depan dan keluar dari bayang-bayang masa lalu. Sekarang, kamu harus fokus ke kehidupanmu. Kamu jangan khawatir karena masih ada aku. Aku akan selalu ada untukmu” Naomi meyakinkan Reva.
“Kamu memang yang terbaik Nao, thank you. Aku tidak tau bagaimana jika kamu tidak berada di sisiku. Aku jauh lebih tenang sekarang”
***
Keberangkatan Harun ke negeri Tiongkok tinggal menunggu waktu. Kurang dari 3 hari lagi ia Sudah harus take off dari bandara. Segala persiapan 95 persen sudah ia persiapkan dengan rapi. Ia tidak sabar untuk segera mengenyam pendidikan di negeri asing nan menantang itu. Pepatah kuno mengatakan tuntutlah ilmu sampai ke negeri China. Dan sedikit lagi ia akan segera merealisasikan kalimat penuh makna tersebut.
Kini Harun lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama sang ibu. Sebisa mungkin ia meluangkan waktu disela-sela kepadatan jadwal harian yang ia miliki, sedang ayahnya masih sangat sibuk dengan segudang urusan bisnisnya. Inilah yang sebenarnya Harun takutkan. Ia cemas ibunya akan kesepian dalam kesendirian. Ayahnya sibuk bekerja mengurusi bisnis mereka. Kakak-kakaknya juga berada jauh di mata, dan ia sendiri akan segera berangkat dalam waktu yang lumayan lama.
“Ma, apa mata dan jemari mama tidak lelah selalu merajut seperti itu?” Harun bertanya pada ibunya yang sejak tadi sibuk merajut.
Sariyyah tersenyum.
“Mama harus menyelesaikan rajutan ini karena sangat special untuk yang special. Dan ini sudah selesai kok! Di coba dulu, nak!” Mama menyodorkan sweater rajutan berwarna abu-abu terang bercampur gelap kepada Harun.
Harun pun mencobanya. Sweater buatan Sariyah tampak begitu pas di tubuh Harun.
“Terima kasih, Ma. Tapi mama juga tidak perlu bersusah payah seperti ini kan?” Haris mendekap ibunya yang masih duduk ditempatnya. Betapa ia sangat menyayangi sekaligus menghormati ibu yang telah melahirkannya itu.
“Mama harus lakukan ini untuk anak tersayang mama. Nanti di sana 4 musim kan? Kamu juga berangkat ke kota Wuhan. Kota yang tepat berada di jantung negera China, kota yang berada di pertengahan map, yang jika musim dingin tiba wilayahnya bersuhu -3 sampai 2 derajat. Lumayan dingin juga” Bu Sariyah yang pernah melakukan perjalanan bisnis di musim dingin ke Wuhan mengetahui persis bagaimana suasana kota tersebut.
Harun terdiam, mendebat ibunya adalah bukan pilihan tepat. Ia khawatir akan kesehatan sang ibu namun ia juga tidak bisa menghentikan apa yang sudah menjadi pilihan ibunya tersebut.
“Sekali lagi terima kasih, Ma. Untuk kedepannya, mama kurangilah kegiatan merajut mama ini. Tidak baik untuk kesehatan mama, Harun khawatir minus mata mama bertambah” Harun mencoba menasehati ibunya.
“Kamu tenang saja, nak! Kalau sudah merasa Lelah mama pasti berhenti, hanya baju mu saja yang merajutnya sedikit mama kebut, mama khawatir kamu tidak sempat memakainya. Lagian, hanya kegiatan ini yang membuat mama setidaknya bisa sedikit mengusir rasa sepi” Bu Sariyah mulai berkaca-kaca. Harun jadi serba salah.
“Ma, Harun janji jika tidak ada aral melintang, setiap punya kesempatan libur Harun akan pulang. Jarak China-Indonesia tidaklah terlalu lama, hanya memakan waktu lebih kurang 5-6 jam perjalanan udara” Ucap Harun bersungguh-sungguh.
“Mama tidak meragukanmu, Nak! Andai tidak menganggu kegiatan belajarmu, Mama juga bisa mengunjungi kamu kapan saja yang mama mau” Sahut Ibu.
“Tentu saja mama boleh mengunjungi Harun kapanmu yang mama mau” Harun tersenyum sambil masih mendekap sang ibu.
“Oh iya nak, mama harus bertanya ini padamu”
Harun merenggangkan dekapannya dan duduk di samping ibu.
“Pertanyaan apa itu, ma?”
“Maaf, bukannya mama mau mencampuri hubunganmu dengan Reva, namun mama melihat kamu seperti tidak
terlalu antusias atas pertunangan ini. Apa benar kamu tidak tertarik pada Reva, nak?” Ibu bertanya dengan ekspresi setenang mungkin.
Harun menghembuskan nafasnya ke udara.
“Harun tidak tau, Ma. Harun sendiri tidak mengerti dengan perasaan Harun sendiri”
“Mama malah kasihan pada kalian, mama khawatir pertunangan di umur mu dan Reva yang baru berusia 23 tahun ini terlalu cepat”
“Apa kamu merasa tertekan?” Ibu melanjutkan sambil menatap ke dalam bola mata kecoklatan yang Harun miliki.
Harun terdiam. Sejujurnya ia tidak mencintai Reva tapi juga tidak membencinya. Ia menjalani hubungan dengan Reva tidak menggebu dan dalam suasana hati yang biasa saja. Ia sendiri memang tidak berpengalaman dalam hubungan percintaan, sedari dulu yang ia pikirkan hanya belajar, pengembangan diri dan menekuni hobi.
Ketika mengetahui akan dijodohkan dengan Reva, ia sempat menolak namun Ayahnya terus memaksa dan menyakinkannya sehingga ia tidak punya pilihan lain. Ia hanya berharap rasa cinta itu akan tumbuh dengan sendirinya setelah menikah nanti.
Harun bukannya tidak pernah merasakan yang namanya jatuh hati, Ia pernah tertarik pada teman sekelasnya dulu. Gadis manis dengan perangai lembut menenangkan juga cerdas. Gadis itu merupakan saingan belajarnya di kelas dulu. Namun, ya hanya sekedar mengagumi saja. Setelah mereka tamat, mereka tidak pernah bertemu lagi dan perasaan itu pun perlahan menghilang seiring berjalannya waktu.
“Nak, kenapa kamu hanya diam saja?” Ibu memperhatikan Harun melamun.
“Tidak ma, mama jangan mengkhawatirkan apapun ya! Harun dan Reva baik-baik saja. Masalah cinta dan ketertarikan, saat ini mungkin belum namun Harun percaya suatu saat ia akan tumbuh dengan sendirinya”
“Tapi hubungan itu harus dibina, nak! Kamu tidak bisa membiarkannya begitu saja. Mama khawatir hubungan yang seperti itu malah akan menyakiti satu sama lain nantinya. Mama tidak ragu kepada Reva, mama lihat ia sangat tertarik dan begitu mengharapkanmu, tinggal kamu nya saja yang lebih membuka hatimu untuk gadis itu” nasehat Mama.
Harun mendengarkan nasehat mama dengan saksama.
“Baik, Ma. Harun akan mengusahakannya” Harun menggenggam tangan ibunya dan ia mengerti apa yang ibunya khawatirkan.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!