Mas Minang dan Adek Jawa
Part 1
"Berapa harganya Mas?" Anita memegang sebuah baju seragam sekolah tingkat Dasar.
"Seratus lima puluh sepasang," jawab Faisal--si penjual pakaian.
"Bisa kurang, Mas? Seratus tiga puluh, ya? Kalau bisa saya ambil dua pasang," tawar Anita berharap tawarannya disetujui.
"Ndeh, belum bisa lagi dek, seratus empat puluh gimana?" Faisal mencoba mempertahankan harga.
"Seratus tiga puluh, ya, Bang?"
Setelah bergaya seolah berpikir keras, Faisal menyetujui harga yang ditawar oleh Anita. Akad jual beli pun terlaksana.
"Acok-acok belanjo kamari," ucap Faisal sambil membungkus pakaian yang telah Anita pilih.
"Maaf Mas. Saya nggak ngerti."
"Keceplosan Dek, maksudnya sering-sering belanja ke sini." Faisal tersenyum selengekan. Dia yang baru empat bulan merantau masih sering terbawa bahasa daerahnya--Sumatera Barat
Anita mengambil kantongan yang disodorkan Faisal. Setelah mengucapkan terima kasih, Anita pergi, tetapi sesekali dia menoleh ke belakang yang ternyata disambut senyuman dari Faisal.
Lelaki 'Minang Kabau' berperawakan tinggi, kulit kuning langsat masih saja tersenyum saat merapikan pakaian yang diacak-acak Anita tadi.
"Manga wa ang Yuang? Cando urang gilo den caliak (ngapa kau, *Yuang? Mirip orang gila aku lihat)," kelakar Danil, teman sekampung Faisal. Mereka berdua mencoba keberuntungan berjualan pakaian sekolah dan anak-anak.
"Ado cewek ancak balanjo tadi (Ada cewek cantik belanja tadi)," tutur Faisal antusias.
"Yang tadi?" Ulang Danil meyakinkan. "Itu si Anit." Sambung Danil.
Faisal terkejut, kenapa bisa temannya mengenal cewek itu.
"Sok tau waang, (sok tau kau)" gerutu Faisal.
"Woi bele. Anit tu anak ibuk nan punyo rumah kontrakan (woi bodoh. Anit, tu, anak ibu yang punya kontrakan." geram Danil sambil menjitak Faisal.
Merasa bodoh sangat Faisal, sudah empat bulan tinggal di kontrakan tersebut tidak mengenal cewek cantik bak jelmaan bidadari itu.
***
Setelah sore hari, buru-buru Faisal menutup toko, ia ingin segera pulang. Membuktikan perkataan Danil. Apa benar cewek tadi itu tetangga mereka.
Sesampai di kontrakan, Faisal bergegas mandi, memakai baju kaos dan celana jeans selutut tidak lupa parfum disemprotkannya di bagian leher dan pergelangan tangan.
Dengan alasan menunggu tukang nasi goreng lewat, ia duduk di teras. Berharap bisa bertemu Anita.
Suara kuali yang dipukul sutil ciri khas gerobak nasi goreng, dibiarkan berlalu oleh Faisal. Benar sekali, menunggu nasi goreng hanya alasan.
"Sal, wa ang kecek nio bali nasi goreng, manga indak wa ang panggiah, (Sal, kau bilang mau beli nasi goreng, ngapa nggak kau panggil)," teriak Danil kesal. Dia sudah membawa piring keluar rumah, ternyata penjual nasi goreng sudah jauh. Dibiarkan saja oleh Faisal dia berlalu.
Jurus ngeles Faisal keluar, biar tidak begitu disalahkan oleh Daniel.
"Ah, kecek sajo wa ang nio caliak Anita (Ah, bilang aja kau mau lihat Anita)," ledek Danil. Danil yang tadinya lapar bertambah lapar saat melihat temannya seperti orang bego.
"Sok tau. Sia nan nio caliak Anita (Sok tau. Sispa ysng mau lihat Anita)," elak Faisal.
"Malam Anit," ucap Danil.
Sontak Faisal langsung celingukkan mencari-cari sosok Anita. Melihat Faisal begitu, Danil tidak bisa lagi menahan tawanya. Padahal dia tadi hanya becanda--pura-pura menyapa Anita. Padahal orangnya tidak ada.
"Malam Bang Danil." Seorang cewek berkerudung, memiliki senyum dapat menyebabkan diabetes menyapa.
Danil dan Faisal langsung terdiam, ternyata yang menyapa itu Anita.
"Malam juga, Anit. Baru pulang?" Danil mencoba berbasa-basi.
"Ia Bang. Tadi kebetulan di rumah singgah kedatangan demawan jadi agak lama kami pulang," terang Anita. Faisal hanya diam menantap ke arah Anita.
"Oh, iya Bang. Saya bawa banyak nasi kotak. Sengaja saya bawa. Mana tau abang mau. Kalau Abang tidak keberatan tolong dikasihkan ke pengghuni kontrakkan yang lain, ya."
"Bisa ... Bisa, tenang aja. Bang Faisal bisa bantu." Danil menyikut Faisal.
"I-iya, bisa dek," jawab Faisal terbatah.
"Kalau nggak salah, ini Mas di toko pakaian tadi, ya?" tanya Anita kepada Faisal.
"Be-benar."
"Ya udah. Saya pamit dulu. Ditolongin, ya Mas Faisal." Anit melanjutkan langkahnya, memasuki sebuah rumah berpagar tinggi.
Rumah Anit dan rumah kos milik orang tuanya tidak berada satu halaman. Rumah besar itu dikelilingi pagar tinggi bercat hitam. Sulit melihat kegiatan apa saja yang dilakukan oleh tuan rumah.
Dengar cerita dari tetangga, hanya Anita lah anggota keluarga di rumah itu yang tidak angkuh.
"Pucuk di cinta, ulam pun tiba. Di saat lapar ada yang ngasih nasi kotak. Hemat juga pengeluaran," seloroh Danil.
Rumah kos ini terdiri dari sepuluh pintu. Lima pintu di bawah dan lima pintu di atas. Kebetulan mereka menempati kamar di bawah. Kalau di atas nggak mungkin teriak-teriak jika ingin menegur Anita.
"Woi, Danil. Apo bedanyo bulan jo Anita? (Woi, Danil. Apa bedanya bulan dengan Anita)," tanya Faisal setelah mereka selesai makan.
"Antalah, ma tau wak (entahlah, mana tau aku)," jawab Danil.
"Kalau bulan menerangi malam, tapi kalau Anita menerangi hatiku," kelakar Faisal.
Mengetahui kawannya akan kesal, ia langsung berlari masuk kamar. Secepat itu pula, tangan Danil menjangkau sendal untuk melempar Faisal. Beruntung hanya kena betis Faisal. Di dalam kamar ia tertawa puas melihat Danil kesal.
Pekanbaru, 16 Mei 2021
Mas Minang dan Adek Jawa
Part 2
Aroma embun menyeruak saat pertama kali membuka jendela kamar, udara segar masih dapat dihirup di kota ini walaupun tidak sesegar di kampung Faisal.
"Selamat pagi dunia tipu-tipu, ayuk kita mulai hari ini dengan sarapan karena ngadapi kenyataan hidup itu butuh tenaga," teriak Danil.
Saketika handuk basah mendarat tepat di kepalanya. "Makak! (berisik!)," bentak Faisal.
"Biasalah!" balas Danil, kembali ia melempar handuk tersebut kepada pemiliknya.
Setelah berpakaian Faisal terpaku di depan cermin berukuran 20 x 30cm. Menatapi wajahnya yang cukup menarik.
"Alah tu Mas Faisal! Lah gagah (Sudah tu Mas Faisal! Sudah gagah)," ledek Danil yang masih saja berdiri depan jendela. Mas Faisal merupakan panggilan yang disematkan Anita kepada Faisal.
Faisal melangkah keluar kamar, semakin lama dia bersama Danil, semakin banyak bully-an yang keluar dari mulut lelaki berambut cepak itu.
"Kama waang Mas Faisal? (Kemana kau Mas Faisal?)" teriak Danil dari dalam kamar.
"ma angek-an oto (Memanaskan mobil)," sahut Faisal.
Mereka memiliki mobil pick up yang digunakan untuk mengantar jemput barang dan terkadang mobil itu juga disewakan jika ada yang membutuhkannya. Bagi anak rantau yang terpenting piti masuak (uang masuk).
"Alasan. Kecek jo nio mancaliak Anit (Alasan. Bilang saja mau melihat Anit)." Kembali terdengar teriakkan Danil dari dalam rumah.
"Anok se, lah, ang, Yuang! (Diam aja. Lah, kau, Yuang!)," upat Faisal kesal. Takut pemilik nama itu mendengarnya.
Pukul delapan kurang, Danil dan Faisal akan berangkat menuju pasar, saat Danil sedang mengunci pintu kos dan Faisal akan masuk ke dalam mobil terdengar suara seseorang memanggil. Ternyata itu Anita baru keluar dari pintu pagarnya.
"Mas Faisal mau ke toko, ya?" tanya Anita setelah jarak mereka hanya satu meter.
"I-iya. Kenapa Nit?"
"Anu Mas, anu." Anita pun jadi gugup dengan situasi ini.
"Hahahha Kenapa anunya Mas Faisal?," celetuk Danil.
Pertanyaan nyeleneh Danil menimbulkan rona merah di wajah Anita. Semakin membuat Faisal klepek-klepek.
"Bang Danil iso ae, isin saya, Bang. (Bang Danil bisa aja, malu saya, Bang)." cicit Anita sambil menahan malu. "Iku loh, Mas. Saya mau nitip baju seragam seperti kemarin, ukurannya sama juga. Mas Faisal masih ingat, nggak?"
"Tentu masih ingat Mas Faisal ini, warna baju yang Anit pakai kemarin aja Mas Faisal masih ingat," sela Danil.
"Anok, lah, ang! (Diam, lah, kau!)," sergah Faisal.
"Masih, Dek. Mas masih ingat ukuran M, kan?" Faisal memastikan kembali.
"Iya Mas, Matur nuwun,(Iya Mas, Terima kasih)," ucap Anit sambil sedikit membukukkan badannya.
Suara Anit begitu lembut, sinkron dengan wajahnya yang ayu ciri khas gadis jawa.
"Gini aja, Nit. Tinggalkan aja nomor WA nanti bisa dikirim gambarnya, biar nggak salah bawa." Danil memberi ide.
"Boleh juga, Bang. Catat ya, Bang," sahut Anita.
"Catat di HP, Mas Faisal aja!" suruh Danil. Dijawab anggukan oleh Anita. "Gagehlah kalua an HP, tu, kapuyuak! (Bergegaslah keluarkan HP, tu, kapuyuk!)," perintah Danil kepada Faisal.
Setelah mencatat nomor Anita, mereka pamit akan segera ke pasar. Sepanjang jalan Faisal tidak berhenti tersenyum. Membayangkan begitu dekat dengan Anita.
"Cadiak juo waang. Dapek nomor HP Anita, (Cerdik juga kau. Dapat nomor HP Anita)," ucap Faisal dan tangan kirinya menepuk bahu Danil.
"Sakik woi, kapuyuak. Waang nyo bele. Lambek bana. Lambek-lambek disalib jo oto lain, nio ang? (Sakit woi, kapuyuk. kaunya bodoh. Lambat sekali. Lambat-lambat disalib dengan mobil lain, mau kau)?" gerutu Danil. Danil ini orangnya lebih ceplas-ceplos dalam berbicara, semua akan dibikinnya asik.
***
"Dino iki ojo nandi-nandi, Nita! (Hari ini jangan ke mana-mana Nita)!" perintah Ibuk Wardani--Ibu Anita.
"Njih, Buk, (Iya, Buk)," jawab Anita santun.
"Sekon Ndi, Koe? (Dari mana, Kamu?)."
"Hmm, maeng nang ngarep diluk, (Hmm, tadi ke depan sebentar, Buk)," sahut Anita.
Buk Wardani sedang menghitung beberapa lembar uang hasil dari kebun duriannya. Anita pamit, ia berniat memasak, hari ini dia akan memasak semur ayam campur tahu dan tumis kangkung.
Ibuk Wardani memang tidak suka dengan kegiatan yang ditekuni Anita. Bagi Buk Wardani bekerja itu harus menghasilkan uang, bukan seperti pekerjaan Anita sekarang ini--mengajar di rumah singgah bagi anak-anak jalanan.
Anak kebanggaan Buk Wardani hanya Bayu--anak pertamanya yang berprofesi sebagai PNS. Sedangkan anak ke duanya bernama Wulandari--ia tidak mau dijodohkan dan memilih menikah dengan pilihannya sendiri yang bekerja sebagai karyawan biasa di pabrik tekstil.
Dia tidak ingin Anita mengikuti jejak Wulandari, hidup susah karena mengandalkan perasaan. Maka dari itu dia tidak suka Anita pergi ke rumah singgah karena akan bertemu dengan orang-orang biasa.
Selesai masak, Anita mengajak Buk Wardani makan. Orang tuanya hanya tinggal Ibu. Bapak Santoso--bapaknya Anita telah kembali ke istri pertamanya. Menghabiskan masa tua dengan istri yang tidak matre mungkin menjadi pilihan Pak Santoso.
Selesai makan Anita kembali masuk kamar, urusan membereskan rumah ada orang yang bekerja di rumah mereka. Itu pun pulang hari. Datang pukul tujuh pagi dan pulang setelah pekerjaan selesai.
Ponsel yang dari pagi tertinggal di dalam kamar ternyata telah menampung banyak pesan. Ada satu pesan dari nomor baru, setelah dilihat foto profilnya ternyata pesan dari Faisal.
Ia mengirimkan foto pakaian yang dipesan oleh Anita.
[Maaf Mas, baru lihat HP. Iya yang itu aja. Tapi bisa minta tolong nggak, Mas? Kirimkan pakaian itu pakai ojek online. Ntar alamatnya saya kirimkan. Uang ojeknya saya antar nanti malam ke kontrakan.]
Di toko yang kebetulan sedang sepi pelanggan, Faisal tersenyum saat melihat ponselnya.
"Manga ang, bele? (Ngapa kau, bodoh?)," tanya Danil yang heran melihat temannya, akhir-akhir ini suka senyum-senyum sendiri.
"Tetanggaku idolaku," jawab Faisal acuh.
"Mak ... Rayo tahun muko amak baminantu, (Mak ... Raya tahun depan mamak punya menantu,)" ledek Danil.
***
Setelah salat Magrib selesai, Anita keluar rumah tanpa sepengetahuan Buk Wardani, Buk Wardani sudah masuk ke dalam kamar dan akan keluar lagi pagi hari. Rumah begini besar hanya ditinggali dua orang. Ini yang membuat Anita jenuh tetapi ia tidak ada nyali untuk melawan.
Setelah mengucapkan salam di depan kamar kos, orang yang dicari pun keluar.
"Dek Anit, ada apa?" tanya Faisal basa-basi. Padahal hatinya sangat senang didatangi bidadari yang tersesat di bumi.
Mungkin ini bidadari dalam cerita jaka tarub yang kehilangan selendangnya sehingga tidak bisa lagi balik ke kayangan.
"Mau bayar ongkos ojek tadi, Mas."
"Nggak usah lagi, dek!" tolak Faisal.
"Terima, lah, Mas. Ini uang yayasan, semua pengeluaran sudah dicatat," paksa Anita.
Pekanbaru 18 mei 2021
Mas Minang dan Adek Jawa
Part 3
Karena Anita memaksa, akhirnya Faisal mau menerima uang pengganti biaya kirim barang tadi.
"Mas, tadi saya masak agak banyak. Kalau dibiarkan di rumah jadinya mubazir--nggak ada yang makan. Mas mau? Kalau mau saya ambil, kan," Anita sengaja tidak langsung membawanya, takut jika ditolak karena ada sebagian orang yang tidak mau menerima pemberian.
"Mau Nit," sela Danil dari dalam rumah.
Anita sedikit melihat ke arah dalam. "Bentar, ya, Bang Danil. Anita ambil dulu."
Tidak perlu menunggu persetujuan Anita langsung balik ke rumah. Sepuluh menit kemudian dia kembali sambil membawa semangkok semur ayam.
"Terima kasih, Dek," ucap Faisal saat menerima mangkok yang disodorkan Anita.
"Njih Mas, (Iya Mas)," jawab Anita lembut. Anita pamit pulang ke rumah.
Faisal masih berdiri di teras sambil memegang mangkok hingga Anita hilang di balik pagar rumahnya.
"Buek malu ang, kapunduang, (Buat malu kau, kapundung)," cerca Faisal.
"Biasalah! Razaki indak buliah ditolak, (Biasalah! Rezeki nggak boleh ditolak)," bantah Danil.
Danil sudah menbawa sepiring nasi akan disantap bersama lauk pemberian Anita.
"Ondeh, kolak ayam kiro e. (Aduh, kolak ayam rupanya)."
"Gigik jo dek ang lado kotiang di! (Gigit aja dengan kau cabe rawit tu!)" lontar Faisal sambil tertawa.
Sejak Mengenal Anita, merantau punya gairah tersendiri bagi Faisal. Kenapa tidak? Sekarang tujuannya bertahan di kota ini bukan hanya sekedar mengumpulkan harta, melainkan ada hati yang akan ia perjuangkan.
Kedekatan Faisal dan Anita semakin hari semakin nyata. Tak jarang Anita mengirimkan makan siang untuk Faisal dan Danil, walau terkadang makanan yang dikirimnya bukanlah selera mereka.
Berbalas pesan hingga larut malam sering mereka lakukan. Faisal bukan takut bertamu ke rumah Anita, hanya saja selalu dilarang. Anita takut bila Ibunya tahu tentu akan membuat dia sulit untuk keluar rumah.
Sebenarnya Anita bukanlah anak yang suka keluyuran atau membantah orang tua. Hanya saja ia memiliki pemikiran berbeda dengan Ibuk Wardani. Bekerja di rumah singgah merupakan panggilan jiwa. Membuat anak-anak jalanan tertawa lepas ada kebahgiaan sendiri bagi dia dan teman-temannya.
Dia bukan tidak bergaji seperti yang dikatakan Ibuk Wardani hanya saja, yayasan tempat Anita dan kawan-kawan bernaung belum bisa memberi lebih besar.
Pukul lima sore Faisal sudah menunggu Anita di depan rumah singga tempat Anita mengajar. Senyumnya ikut mengembang saat anak-anak berhambur keluar ruangan dengan gelak tawa tanpa beban dari mereka.
"Sudah lama nunggu, Mas?" sapa Anita.
"Baru sepuluh menit," jawab Faisal. Sesekali ia melambaikan tangan kepada anak yang memberi lambaian kepadanya.
"Mereka ini anak-anak yang orang tuanya pemulung. Di sini kami ajarkan baca tulis karena anak kelas satu SD saja sudah harus bisa baca soal cerita," jelas Anita tanpa ditanya Faisal.
"Iya, ya? Zaman kita dulu masih belajar ini Budi, ini Bapak Budi," sahut Faisal.
"Ampe keselek si Budi dipanggil tiap hari." Mereka pun tertawa.
Kami berjalan kaki menyusuri gang menuju jalan besar. Faisal memarkirkan mobil pick up miliknya di tepi jalan.
"Anita!" Seorang pria keluar dari dalam mobil jazz merah keluar dan memanggilnya.
Penampilannya parlente, dibalut baju kemeja dan celana katun beserta sepatu fantofel seperti karyawan kantoran.
Berbanding tebalik dengan Faisal yang hanya menggunakan baju lengan panjang dengan lengan baju sedikit dinaikkan, celana jeans belel dan sendal jepit converse KW.
"Siapa, Dek?" tanya Faisal heran tepatnya ada rasa cemburu bercampur minder.
Belum sempat Anita menjawab, Pria itu sudah menghampiri dan mengulurkan tangan kepada Faisal.
"Perkenalkan, saya Aryo Senopati. Calon tunangan Anita," ucapnya penuh percaya diri.
"Saya Faisal, yang ngekost di rumah Anita. Kebetulan tadi lewat, jadi mampir ke sini," jawab Faisal.
Anita memandang Faisal dengan raut wajah entahlah.
"Aku di kongkon ibuk jemput pean,
(Aku disuruh Ibuk jemput kamu)," terang Aryo.
Mendengar kata 'Ibuk', Anita sudah tidak berani lagi membantah. Aryo menarik tangan Anita tanpa persetujuan dari Anita.
Anita tetap memandangi Faisal hingga dia masuk ke dalam mobil milik Aryo. Anita membuka kaca pintu mobil dan memandang Faisal dengan wajah bersalah. Ada sedikit perih yang Anita rasakan di posisi ini.
"Pean onok hubungan opo karo arek iku?
(Kamu ada hubungan apa dengan dia)?" tanya Aryo di dalam mobil.
Anita hanya melirik, dia enggan menjawab. Anita tidak pernah menyetujui perjodohan ini, tetapi tidak berani membantah.
Mobil mereka tiba di kediaman Anita. Setelah masuk, ternyata sudah ada orang tua Aryo. Tiba-tiba hari indah yang ia jalani berubah menjadi hari sangat melelahkan.
"Piye kabare, Bude, Pakde (Bagaimana kabarnya, Bude, Pakde)?" sapa Anita sambil menyalami dan mencium tangan mereka.
"Ojo nyeluk ngono, Nak. Diluk engkas Ibu dadi morotuomu, berarti dadi wong tuomu! (Jangan panggil itu, Nak. Sebentar lagi kami akan menjadi mertuamu Berarti orang tuamu juga)!" Sedikit protes Bude Wati terhadap panggilan Anita.
Anita pamit sebentar ingin meletakkan tasnya ke kamar. Dengan sedikit berlari ia menaiki anak tangga menuju kamarnya. Dari jendela kamar dia bisa melihat ke arah rumah kontrakan. Belum terlihat mobil Faisal terparkir.
Perasaan Anita semakin tidak menentu. Dia begitu merasa bersalah. Gegas Anita mengambil ponsel mengirim pesan ke Faisal.
[Di mana, Mas?]
Pesan dikirim, centang dua abu-abu. Berubah centang dua biru. Berharap segera dibalas. Lima menit menunggu tidak juga ada balasan.
"Anita!" teriak Ibuk Wardani dari lantai bawah.
"Njih, Buk," sahut Anita sambil berlari dan membawa ponselnya.
Tidak ada satu pun pembicaraan mereka yang tertangkap di kepala Anita. Ia hanya sibuk memperhatikan ponsel, berharap pesan dibalas.
Selesai makan malam keluarga Aryo baru pulang. Ibuk Wardani langsung masuk kamar, tidak ia pedulikan Anita yang membereskan sisa makanan. Setelah membereskan meja makan dan mencuci piring, Anita menuju kamar. Pukul delapan, belum juga ada balasan pesan dan mobilnya juga belum kelihatan.
Pukul sebelas malam Anita berlari ke arah jendela kamar saat mendengar suara mobil berhenti. Ternyata Faisal baru pulang.
***
"Dari ma waang, kapuyuak? (Dari mana kau, kapuyuk)?" tanya Danil, saat itu dia sedang video call dengan pacarnya.
"Ado nan nyewa oto. Piti masuak, langsuang awak gas, (Ada yang nyewa mobil. Uang masuk langsung aku gas)," jawab Faisal berbohong.
"Alah, tu, ba a Anita? (Udah, tu, gimana Anita)?"
"Inyo baliak jo ojek online. (Dia pulang dengan ojek online)." Kebohongan Faisal kedua.
"Bele ang mah! (bodoh kau!)" upat Danil sambil melempar bantal tepat mengenai kepala Faisal.
Setelah membersihkan badan dan melaksanakan salat Isha, Faisal merebahkan badannya di kasur busa yang diletakkan di lantai. Rasa lelah kerja seharian membuat dia langsung terlelap. Dia bukannya tidak mau membalas pesan dari Anita, hanya saja tadi masih repot membantu temannya mengangkat barang.
Pekanbaru, 22 Mei 2021
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!