Yah? inilah rutinitas tiap jumat. Begitu bel istirahat berbunyi, Thea langsung terbirit-birit mengikuti serombongan kecil kawan-kawannya ke lantai tiga. Ruang laboratorium komputer. Apalagi kalau bukan untuk berselancar di dunia maya, sebelum kegiatan mata pelajaran Teknologi, Informatika, dan Komputer benar-benar dimulai. Hanya di ruang itulah, ia bebas berinternet ria dan gratis.
Di rumah, sebetulnya bisa. Hanya saja karena menjelang Ujian Nasional, orangtuanya cukup ketat. Tiada internet, selain hari sabtu dan minggu. Itu juga waktunya dibatasi. Hanya boleh jam tiga sampai jam enam. Sisanya, modem tersebut ada di kamar orangtuanya.
Mau ke warnet, Thea begitu iba mendengarkan raungan kecil sang dompet merah jambu. Selain tarif warnet yang cukup mahal, rasanya berinternet di warnet cukup riskan. Masih sedikit warnet yang tiap biliknya memiliki sekat. Terlebih ia suka jengah dengan segerombolan bocah yang bisa kapan saja menghampirinya yang sibuk memelototi layar. Rasa ingin tahu bocah-bocah itu membuatnya muak untuk menginjakan kaki di warnet lagi.
Hotspot yah? Hmm, urusannya uang lagi dong. Jarak dari rumahnya menuju ke tempat-tempat yang menyediakan wifi cukup jauh. Itu juga belum menjamin benar-benar gratis. Seringkali untuk mendapatkan layanan wifi, ia dipaksa secara langsung atau tak langsung untuk membeli sesuatu yang ditawarkan. Dan itu tak cukup dengan uang Rp 5000. Lebih seringnya harus keluar Rp 20.0000. Alamak.
Pilihan jitu..... yah ruang laboratorium SMA Tarakanita. Waktu istirahat yang kurang lebih tiga puluh menit itu baginya sudah lebih dari cukup. Apalagi guru-guru yang mengajar juga tak terlalu disiplin; berbeda dengan yang sebelumnya, saat masih kelas sepuluh. Selepas menerangkan atau tugas yang diberikan selesai ditunaikan, para murid boleh mengakses internet sesuka hati dan - tentu saja - gratis. Tanpa perlu keluar biaya.
Kali ini, ada yang berbeda dengan aktivitas internet Thea. Ia tak membuka Facebook, Twitter, atau semua akun media sosial yang dipunyai. Dengan cepatnya, ia mengetik di address bar: http://jkt48.com/. Ada sesuatu yang menarik di situs yang dimiliki oleh idol group yang menginduk pada AKB48.
"Pendaftaran Audisi Generasi ke-3 JKT48!"
Begitulah salah satu artikel yang ia baca di situs itu. Semalam ia diberitahukan oleh teman lesnya bahwa idol group itu mengadakan open audition lagi. Ia sangat berhasrat menjadi bagian dari idol group tersebut. Itu mimpinya sejak kecil. Ia selalu berhasrat untuk bisa tampil di atas panggung. Unjuk suara, lenggak-lenggok, dan tersenyum lebar menyaksikan banyaknya tepuk tangan bergemuruh. Ia memimpikan kelak bakal didatangi fan lelaki yang memintanya menandatangani albumnya. Dan audisi itu merupakan kesekian kalinya ia ikuti. Sudah lima audisi, namun ia gagal. Audisi masuk JKT48 yang ini juga merupakan yang kedua. Sebelumnya pada tahap audisi awal, ia ditolak. Bodohnya, ia tak mencari informasi lebih dahulu--yang mana, untuk mengikuti audisi itu, ia mutlak wajib menyanyikan lagu berbahasa Jepang. Astaga, ia selama ini jarang sekali mendengarkan musik-musik Jepang.
Sebab itulah, setelah gagal, ia terbakar. Ia bersumpah, harus bisa menjadi bagian dari JKT48. Ia jadi rutin dengar lagu-lagu berbahasa Jepang. Temodemo no Namida, Gingham Check, Aitakatta, Sayonara Memories, Migikata, hingga Sukiyaki - lagu Jepang era lawas. Apalagi baca-baca artikel di internet, menjadi bagian dari JKT48 itu dekat dengan uang dan popularitas. Ia pernah dengar, ada salah satu member yang punya fans base sendiri di luar JKT48. Membayangkannya saja, ia sudah senyum-senyum sendiri.
"Hei," sapa seseorang yang membuatnya harus menghentikan mengetik sesuatu penting yang berhubungan dengan audisi tersebut.
"Eh, Aldo," tengoknya. Ternyata itu Aldo, kekasihnya sejak kelas sepuluh.
"Kamu suka banget yah sama idol group itu?" pancing Aldo nyengir.
"Iya, Do." Matanya berbinar. "Waktu kita ke teaternya, aku kagum banget sama penampilannya, apalagi penampilannya Jeje, Shania atau Ve. Keren, Do."
Aldo terkekeh. "Sampai buka situsnya yah?"
"Apa sih?" Thea pura-pura jengkel. "Eh Do, aku mau daftar, doain yah supaya nggak gagal audisinya."
Aldo mengangguk, tersenyum. Tapi sejenak kemudian, ia diam sebentar, lalu terhenyak. Ia membuyarkan lagi konsentrasi Thea yang sibuk meregistrasi. "Te, sebaiknya kamu jangan ikutan deh audisi itu. Ikut kontes yang lain aja."
Thea tersenyum polos. "Emang kenapa? Kamu emang nggak suka yah punya pacar yang tampil di televisi tiap harinya? Lagian tenang aja deh, kalau aku terkenal nanti, aku nggak bakal mutusin kamu."
Aldo yang masih berdiri - sementara Thea duduk manis, agak terkekeh getir. Otaknya dipenuhi kecemasan. Ia mulai paranoid. "Bukan gitu, Te. Yah aku sih seneng banget bisa punya pacar seleb, dan aku juga yakin kamu bakal tetap setia. Tapi kamu tahu nggak?"
Aldo berhenti bicara seolah mempersilahkan Thea untuk menyela. Memang benar, Thea langsung menginterupsi. "Tahu apa?"
"Soal idol group ini," tunjuk Aldo ke arah layar monitor.
"Yah tahu-lah, Do." Thea nyengir - meremehkan. "Ini JKT48 kan? Sister group-nya AKB48 yang dari Jepang itu? Yang lagu-lagunya sering kamu dengar di gadget kamu itu? Yang single-nya barusan keluar? Apa namanya? Koisuru Fortune Cookies--"
Dalam benak Thea, dirinya masih saja terngiang-ngiang suasana teater JKT48. Memang dua minggu lalu, Aldo mengajaknya bermalam minggu di teater idol group tersebut yang berlokasi di mal fX yang berlokasi dekat stadion utama Gelora Bung Karno. Namun sesungguhnya, kali pertama menyambangi JKT48 theater bersama sang pacar itu terjadi setahun lalu. Terjadi sebelum audisi JKT48 generasi kedua. Saat itu, ia begitu terkesima dengan atmosfernya. Di matanya, ia takjub melihat penampilan tiap personelnya bernyanyi dan menari di atas panggung guna menghibur para fan yang sibuk berteriak-teriak "Hai, hai, hai,...." atau "Tiger, fire, cyber, fiber, diver, viber,...." Akan sangat luar biasa bernyanyi-nyanyi di atas panggung dengan reaksi penonton seperti itu. Mendorongnya untuk bernyanyi yang lebih baik lagi.
" - Fortune Cookies yang Mencinta." lanjut Aldo meralat.
"Iya, iya, itu lagunya." kata Thea nyengir. "Aku tahu, lho, soal mereka. Aku juga fans mereka."
Aldo terkekeh. "Oh yah, kalau tahu, kamu tahu nggak kalau mereka punya rule nggak boleh pacaran selama masih jadi bagian JKT48?"
Thea tersentak. Lidahnya kelu. Ia menatap tajam pacarnya itu. "Kamu serius?"
Aldo mengangguk. "Makanya itu, aku nggak mau kamu ikut audisi itu. Aku takut kamu diterima dan hubungan kita otomatis harus kandas. Nggak mungkin juga kita bisa backstreet. Cepat atau lambat, pasti bakal ketahuan kalau kamu punya pacar di luar teater. Dan aku nggak mau hubungan pacaran kita yang sudah dua tahun ini harus berakhir. Jadi, please, Te.... jangan ikut audisi itu."
Thea terpaku. Ia hanya mematung tanpa keluar sepatah kata pun. Ia bingung harus berbuat apa. Memang sih tak ada jaminan ia bakal lolos audisi. Tapi segalanya bisa terjadi, bukan? Bukan tak mungkin ia lolos audisi. Kalau lolos dan sudah menjadi bagian, ia rasa ia tak siap untuk menjalani hubungan dengan Aldo secara backstreet. Pacaran diam-diam itu tak menyenangkan sama sekali. Itu seperti bukan pacaran. Tak jauh berbeda dengan berteman. Thea sungguh dilema. Ia berada dalam posisi hendak memakan buah simalakama. Ia jadi cukup lama tercenung.
Sementara Aldo menunggu kelanjutan dari aksi Thea. Cowok itu berharapnya pacarnya itu segera menutup tab, membatalkan registrasi untuk mengikuti audisi JKT48.
"Gimana, Te?" tanya Aldo yang gemas menanti jawaban Thea. "Ayolah, batalin aja. Kamu ikut audisi yang lain aja. Cita-cita kamu hanya mau jadi penyanyi kan? Masa iya kamu tega mengakhiri hubungan kita cuma untuk mimpi kamu?"
Thea tak menggubris. Ia bolak-balik menatap layar monitor dan wajah Aldo yang begitu tegang. Lalu di tengah Thea yang masih bimbang dan belum menunjukan reaksi akan membatalkan atau meneruskan ikut, tangan cowoknya itu sigap saja ke arah mouse dan menggerakan pointer-nya untuk menutup tab. Thea langsung tersadar dan menatap galak Aldo.
"Kamu apaan sih?" protes Thea judes.
"Ayolah, Te, nggak usah ikutan audisi JKT48. Masih banyak, kok, jalan buat jadi penyanyi. Nanti aku bantuin, deh, cari-cariin info soal kontes nyanyi." ujar Aldo kaku.
"Tapi kalau aku bisa lolos, ada kesempatan aku go international. Kudengar, JKT48 pernah konser di Jepang. Iya, kan?" kata Thea dengan ekspresi yang bertentangan dengan ekspresi pacarnya itu.
"Maksud kamu?" Aldo mulai takut. "Jangan bilang juga..."
"Aku harus ikut audisi ini, Do. Ini kesempatan aku buat terkenal jadi penyanyi dan bisa ke luar negeri. Aku bisa ke Jepang--bisa lihat menara Tokyo atau lihat bunga Sakura mekar." ucap Thea bersemangat. "Maaf, yah, Do, kayaknya kita harus putus."
Badan Aldo semakin lemas. Ia nyaris ambruk. Perlahan ia tinggalkan pacarnya itu dan kembali ke bangkunya. Percuma saja berdebat dengan Thea yang punya pendirian kukuh.
Sungguh hari ini tak biasa. Aldo tak bersemangat. Itu sejak mendengar kata-kata pedas dari Thea. Baru kali ini, ia melihat pacarnya seperti itu. Bicara tanpa dipikir. Kata anak gaul bilang, nyablak. Selama jam pelajaran "Teknologi, Informatika, dan Komputer" berlangsung, cowok berwajah penuh jerawat itu tak bisa berkonsentrasi. Tugas yang diberikan para pengajar, dikerjakannya ala kadarnya. A-la-ka-dar. Selama bersekolah di Tarakanita, itu mata pelajaran favoritnya. Segala tugas dikerjakan dengan semangat empat-lima. Hingga di lapangan parkir sekolah, ia masih berwajah kusut.
Sementara Thea....
Banyak yang bilang, cewek itu makhluk yang susah ditebak. Mungkin iya, mungkin tidak. Namun kalau untuk kasus Thea, mungkin iya. Selama jam pelajaran tadi, sikap Thea sungguh aneh. Ia sama sekali tak membuang muka ke Aldo. Justru Aldo yang berwajah dingin dan seperti menghindari cewek dengan ujung rambung bergelombang itu. Teman-teman sekelas - yang tak tahu menahu kejadiannya - terheran-heran. Thea dengan enteng menjawab: "Nggak tahu yah, dia lagi ada utang kali?" Mata Thea berbinar-binar, bahu terangkat. Cewek itu malah berani untuk mendekati Aldo - sekedar bercakap-cakap. Seolah-olah sebelum berlangsung, tak ada sesuatu yang terjadi.
Tapi jangan pernah kau sangka cewek itu brengsek. Jangan pernah. Di dalam mobil antar berwarna merah tomat, cewek itu merenungi kejadian tadi. Ia mengertakan gigi erat sekali. Kesal mengapa bisa berkata seperti itu? Yang dibilang Aldo itu ada benarnya juga. Jalan jadi penyanyi kan tak hanya audisi tersebut. Masih banyak. Ini kenapa dia memutuskan hubungan hanya demi audisi itu?
Eh tapi, audisi ini spesial deh. JKT48, kan? Idol group yang merupakan sister group dengan AKB48. Kalau lolos audisi, aaaah....... ia sudah memimpikan tiap harinya akan dipandangi banyak mata. Selama ini, selama ia menyanyi di depan umum, rasa-rasanya belum pernah disoroti oleh puluhan mata yang begitu antusias menonton penampilannya. Suara gemuruh tepuk tangan pasti lebih dahsyat daripada gemuruh saat pentas seni atau acara gereja. Belum lagi ada kesempatan bertemu idol-idol dari negeri Sakura. Jangan lupa pula, bisa ke Jepang. Di-ba-ya-ri. Luar biasa, bukan?
Kalau ia ikut kontes atau audisi lainnya dan mengabaikan audisi ini, belum tentu juga memiliki privilige seperti audisi JKT48 yang sudah memiliki jadwal penampilan. Ia sering dengar, beberapa jebolan kontes-kontes bakat seringkali harus pontang-panting cari duit. Pendapatannya juga belum tentu sebesar - kalau bersama - idol group tersebut.
Namun ia juga iba dengan Aldo. Masa hubungan mereka selama dua tahun harus kandas? Kalau dipikir, sayang juga. Tapi kesempatan seperti ini, masa dibuang begitu saja? Memang belum pasti lolos audisi sih. Saingannya pasti ratusan - dan juga harus bersaing dengan kontestan dari Jepang. Ah, memikirkan itu Thea jadi mengurut-urut pojok kanan keningnya.
""Te," Bahunya ditepuk.
"Eh, lu, Ter, ada apa?" tanyanya.
"Wajah lu kenapa? Kusut gitu? Habis berantem sama pacar lu itu yah?" tanya balik Ester yang berwajah lumayan imut.
"Gue mutusin dia, Ter." jawab Thea datar.
Ester setengah kaget. "Lho? Kenapa?"
Thea lalu menceritakan apa yang terjadi. Selama itu, Ester seperti berusaha menahan tawa. Sepertinya memang benar mau tertawa. Selepas bercerita, Ester meledak tawanya. Tak hanya Ester juga sama. Termasuk pula, Om Jono, si sopir mobil antar jemput tersebut.
"Apa sih?" protes Thea. "Kok pada ketawa semua?"
"Thea, Thea," Om Jono melihat sekilas gadis itu. "Kamu itu lucu juga yah?"
"Apanya yang lucu, Om?" Cewek itu belum sadar rupanya.
"Kak Te," Kali ini adik kelasnya bernama Jeko menimpali. "kegeeran banget sih?! Belum audisi aja, udah yakin keterima. Pake mutusin cowoknya dulu lagi."
"Thea, sainganmu itu puluhan. Dan mungkin ada lagi yang bersuara atau nge-dance lebih bagus daripada kamu." ujar Om Jono lagi dengan suara khas opa berusia 70-an. Biasa-lah, giginya sudah mulai ada yang copot.
"Bener tuh kata Om Jono." kata Ester membenarkan. "Lagian kamu juga belum terbiasa kan nyanyi lagu-lagu berbahasa Jepang. Pengucapanmu aja masih banyak yang salah." Ester ini mengambil kelas ekstrakurikuler Bahasa Jepang.
"Sok tahu ah." Segera Thea menyanyikan sebuah lagu Jepang. Ester yang J-Freak, pastinya tahu pasti itu lagu apa. Watashi no Hikari yang dibawakan oleh Tomomi Kasai. "Bagus, kan?"
"Bagus banget, Kak." seru Tomi yang duduk di belakangnya. "Yah, tapi masih bagus suaranya Melody. Wajahnya juga." Tomi yang berkacamata itu merupakan oshimen dari Melody JKT48.
"Cantikan juga gue - ketimbang Melody itu." sungut Thea.
"Yah walau suaramu bagus sih, tapi sainganmu itu puluhan. Jangan besar kepala dulu, Te." Om Jono mewanti-wanti.
"Tapi, Kak..." kata Jeko. "Kak Thea, kudengar, pernah ikut audisi itu tapi gagal, kan? Itu gimana ceritanya? Jangan-jangan Kak Thea sempat putus sama Bang Aldo yah? Kok jadi kayak lagunya BBB yah? Yang putus-nyambung-putus-nyambung itu."
Sumpah Ester mau ngakak. "Iya, Jek. Si Thea waktu itu diam-diam ikut audisinya. Gue yang nemenin dia audisi. Katanya sih, kalau lolos, dia bakal kasih tahu si Aldo. Gue nggak kebayang deh...."
"...kalau Kak Thea lolos jadi anggota JKT48, nggak kebayang deh ribut-ributnya bakal kayak apa di sekolah. Bakal ada drama banget kayaknya." sela Jeko yang cukup sering menggodai Thea.
Kali ini Ester tergelak. "Pastinya gue bakal rutin dicurhatin dia, Jek."
Yang jadi objek utama pembicaraan, merengut. Wajahnya memerah. "Apa sih kalian ini? Suka banget bikin gue bete."
Ester terkekeh. "Yah, habis lu-nya juga yang lucu. Pedenya maksimal pol. Kayak suaranya bagus banget gitu. Lu nge-dance aja masih suka kaku atau salah gerak. Si Aldo juga paranoid berlebihan. Kayak bakal keterima aja."
"Kali ini pasti bakal keterima." Kedua telapaknya mengepal erat. "Kali ini, gue pasti bakal lolos audisi. Siapin aja duit kalian buat lihat penampilan gue di fX."
Tawa meledak lagi. Kali ini lebih kencang. Om Jono sampai kehilangan konsentrasi dalam mengemudi. Ia nyaris menabrak sebuah sedan. Nyaris juga menyerempet sebuah motor sport.
"Terus Aldo gimana?" Ester sampai menitikan air mata karena gelak tawa. "Eh iya, kan udah putus yah? Nggak nyesel?"
"Kalau gagal audisi gimana, Kak?" pancing Geri.
"Pasti lolos." Thea seperti terbakar semangat, sehingga melupakan soal dilemanya yang tadi mengusik pikirannya. "Kalau nggak lolos, gue bakal traktir lu semua di Solaria."
"Wuih, asyik nih." seloroh Jeko. "Siap-siap yah kita bobol dompetnya,"
Ester menepuk-nepuk pundak Thea. "Te, Te. Itu soal Aldo gimana? Kayaknya lu belum siap deh - putus sama Aldo?!"
Thea tersentak. Ia baru sadar telah melupakan sesuatu yang penting. Bukankah ia masih berada di posisi dilematis? Ia menatap lagi pemandangan di luar jendela. Dalam otaknya terus terbayang-bayang dua kata: Aldo, JKT48. Kata-kata itu terus mengalun seolah-olah sedang berada di padang rumput sembari memetik tiap bagian dari sebuah mahkota bunga - hingga kelopaknya pula tercabut. Kedua hal itu sebetulnya sama pentingnya untuk Thea.
"Eh Kak Thea, jadi ngelamun. Ngelamunin apaan sih? Jangan-jangan ngelamunin saat-saat bakal bangkrut yah ntar?" ledek Jeko yang lalu terbahak.
"Atau jangan-jangan..." Ester berhenti sejenak. "...dia lagi galau, saudara-saudara."
Kesekian kalinya, tawa meledak. Thea sungguh senewen di dalam mobil minibus itu. Ingin sekali segera sampai di rumahnya. Berbaring dalam kamarnya. Yah untuk memikirkan baik-baik soal masalah barunya itu. Mana yang ia harus pilih sebetulnya: JKT48 atau Aldo?
Sesungguhnya tadi laboratorium komputer, Thea sudah sempat meregistrasi. Sudah mengklik "submit" juga. Ia membuka kembali situs JKT48 itu hanya untuk sesuatu. Sesuatu yang sukar dijelaskan. Rumit. Saking rumitnya, ia hanya celingak-celinguk tiap sisi dari situs idol group pertama di Indonesia itu. Entah apa tujuannya. Mungkin sekedar mengenal lebih lanjut dari JKT48. Gadis itu masih saja punya firasat akan menjadi bagian dari idol group itu.... suatu saat, kelak.
Ia buka laman "Member". Jari-jarinya lincah berpindah dari satu foto ke foto lain. Aki Takajo, Ayana Shahab, Bebi Chaesara Anadila.... hingga Thalia Ivanka Elisabeth. Semuanya ada empat puluh tujuh gadis muda nan cantik - yang sebaya dirinya, mungkin. Ia akui, mereka cantik-cantik. Terlebih anggota yang bernama Jessica Veranda yang akrab disapa Ve itu. Yang ia heran, mengapa ada istilah trainee? Ini sebetulnya grup musik atau sebuah kantor sih? Lalu kenapa anggota yang keluar dikatakannya graduate? Ah, mungkin itu semacam eufemisme. Yang bikin dahinya semakin berkerut.... kenapa anggota AKB48 harus ditransfer ke JKT48? Itu semakin mirip sebuah kantor saja.
Namun Thea memilih tak memusingkannya. Bukan itu yang ada di kepalanya. Ia masih dilema. Sangat dilematis. Dilemparkan pandangannya menuju jam dinding yang tergantung tepat beberapa centi dari pendingin udara. Sudah jam sembilan lebih beberapa menit. Harusnya ia tidur. Kalau tidak, ia bisa terlambat ke sekolah. Terlambat artinya dapat hukuman keliling lapangan sepakbola yang cukup luas - sebanyak sepuluh putaran. Tapi hukuman itu bukan sebuah persoalan besar. Persoalannya adalah....
....dilemanya itu.
"Gue ini bodoh banget sih..." gerutunya dengan suara sepelan mungkin. Mungkin untuk mencegah ada yang mengupingnya dari luar kamar. Terlebih adiknya yang jahil, Felix.
Thea masih menyesali keputusannya untuk meregistrasi diri. Mengapa harus cepat-cepat isi formulir dan submit? Sebegitu cepatnya melakukan registrasi, padahal ia masih bimbang. Malaikat sebelah kanan berkata: "Jangan daftar, Te! Kasihan Aldo. Masa kamu tega mengakhiri hubungan kalian selama dua tahun?" Sementara setan berkata: "Udah, registrasi aja. Kesempatan nggak datang dua kali." Dasar setan konyol. Kesempatan apa sih maksudnya? Lolos saja belum. Itu kan baru registrasi. Setan Thea memang aneh. Sangat aneh.
Tiba-tiba pandangannya sudah kembali ke layar komputer jinjing warna birunya. Tangannya gesit saja - membuka tab baru. Di tab itu, ia mengetikan sebuah alamat. Itu Youtube. Iseng saja mengetikan kata kunci "JKT48". Sudah lumayan banyak video berbau JKT48 yang diunggah ke sana. Ada yang resmi dari JKT Operational Team, ada juga yang berasal dari fan; itu biasanya berupa video rekaman di atas panggung idol group yang kebanyakan personelnya masih pelajar putih abu-abu. Ia pindah dari satu video ke video lain. Sampai akhirnya, tiba juga di sebuah video. Sebuah fancam lagi. Ada seorang fan yang mengunggah video rekamannya terhadap penampilan panggung Jeje dan Melody yang menyanyikan lagu "Temodemo no Namida".
Bukan suara penyanyinya, bukan juga iramanya. Yang ia perhatikan lirik lagunya. Oh tidak. Liriknya sangat menyentuh dirinya. Hatinya meleleh dahsyat. Bak lelehan magma yang turun gunung dan membanjiri sawah-sawah di bawahnya. Kata demi kata dari lagu itu membangkitkan kembali sebuah memori.
Itu waktu dirinya masih kelas sepuluh - kali pertamanya jadi pelajar SMA. Masa-masa MOS yang menyenangkan sekaligus menyebalkan. Saat itu, tiap murid masih harus mengenakan seragam putih-biru. Selepas dari mobil ayahnya yang sedan perak, ia bergegas menuju gerbang sekolah. Tak berani ia masuk. Hanya berada di pos satpam. Bukan takut juga, hanya saja ia sedang menghubungi temannya, Ester. Ester merupakan sahabatnya sejak SD. Ia masuk ke SMA itu juga karena Ester. Mereka berdua datang dari sekolah negeri; SD mereka juga dulu SD negeri. Keputusan dirinya dan Ester mendadak memilih sekolah swasta, karena dengar-dengar sekolah swasta memiliki standar lebih tinggi; apalagi sekolah swasta tersebut cukup terkenal dan lumayan teruji di SNMPTN.
"Kok nggak dijawab sih?" gerutu Thea. "Lu lagi dimana sih, Ter? Bentar lagi belnya bunyi, gue nggak enak sendirian di tempat yang masih baru ini."
Thea mulai senewen. Duduk-berdiri-duduk-berdiri; itulah yang terus dilakukannya. Sampai si satpam mau tertawa. Terlebih seorang remaja pria yang beringsut padanya. Telinganya disumpal sebuah headset. Tapi tenang saja, tak ada suara yang akan keluar dari gadget-nya.
"Permisi," kata anak laki-laki itu.
"Yah?" balas Thea dengan ponsel masih berada dekat telinga.
"Kamu itu anak baru juga yah?"
Thea mengangguk.
Laki-laki itu hanya berjengit sambil ber-"Ooooh..."- lalu ia langsung melengos begitu saja sembari mengantongi kedua lengannya. Kepalanya agak mendongak. Ia menyiulkan sebuah lagu. Entahlah, ia tak tahu. Dari iramanya, ia tidak terlalu familiar.
Thea merengus. Sebal. Laki-laki itu sungguh tak sopan. Main selonong saja, tak ada ucapan terimakasih. Pikirannya mulai berpikir yang bukan-bukan. Jangan-jangan, laki-laki itu dari keluarga yang rusak? Atau seorang anak yang kesepian. Itu seperti yang diceritakan di sinetron-sinetron atau drama-drama Asia. Salah satunya, Meteor Garden.
Ah.....
Thea tersentak. Lagu yang ia dengar tadi itu nada-nadanya seperti lagu yang ia dengar tadi. Walau demikian, Thea merasa tak seratus persen mirip. JKT48 itu lahir di tahun 2011. Sedangkan ia dan Aldo (Yah si cowok sombong itu ialah Aldo) baru masuk. Mungkin itu lagu AKB48. Dengar-dengar sih, lagu-lagu JKT48 itu masih daur ulang dari AKB48. Ia lalu iseng saja mencari tahu lebih soal versi bahasa Jepang-nya. Tapi...
...siapa sangka juga, lagu dari sebuah idol group dapat mempertemukan kedua anak manusia yang masih berusia belasan tahun.
*****
Kebetulan atau tidak, Aldo juga berada di depan laptop. Layarnya menampilkan Youtube. Ia asyik mendengarkan lagu "Temodemo no Namida". Versi bahasa Jepang. Dibawakan oleh Haruka Shimazaki dan Mina Oba. Itu lagu yang sama dengan lagu yang didengarkan saat ia bersua dengan Thea kali pertama. Bedanya hanya penyanyinya saja - ialah oleh Yuki Kashiwagi dan Mika Saeki.
Hanya saja Aldo malah tak sadar - atau tepatnya lupa - momen pertama ia berjumpa dengan Thea. Cowok itu malah tak pernah tahu perasaan Thea yang sesungguhnya. Yang ia tahu, ia menembak Thea saat jam Olahraga dan.... diterima. Ia hanya tahu Thea terkesan dengan usahanya yang menyatakan suka seraya lari keliling lapangan basket; tak kenal rasa malu pula, karena aksinya itu diperhatikan oleh banyak orang. Ia tidak tahu Thea yang sebetulnya sudah menyukainya lebih dahulu sebelum ditembak. Gadis itu suka dengan Aldo yang apatis, penuh percaya diri, dan bisa dikatakan apa adanya. Yah cowok itu tak peduli dengan anggapan orang-orang akan dirinya yang fan JKT48, maniak anime, seorang wota sejati, atau si aneh yang suka melanturkan kata-kata berbahasa Jepang - yang kalau orang tahu artinya, pastilah akan angguk-angguk takzim.
"Do!!!" seru ibunya dari arah luar kamarnya. "Udah tidur, besok sekolah. Kamu jangan kemalaman gitu internetannya."
"Bentar lagi, Ma." seru balik Aldo.
Lima menit berselang, Aldo tak kunjung tidur. Ia masih saja saja terpaku di depan laptop. Masih berusaha menghilangkan rasa kecewa akibat diputusi Thea. Besok nanti, ia harus melakukan apa kalau bertemu mantannya itu? Haruskah minta balik? Tapi ia tak tega. Kalau ia lakukan, itu sama saja artinya menghalangi seseorang untuk menggapai mimpinya. Tapi kalau ia abaikan - lalu cari pacar baru, ia masih cinta. Juga tak enak dengan anggapan orang. Itu terlihat, hubungan mereka putus karen dirinya sendiri.
Aldo berdecak. "Masih SMA gini, kenapa masalah gue udah kayak orang dewasa aja? Pusing gue."
Laptop langsung dimatikan. Ia bergegas ke arah tempat tidur. Bukan untuk tidur, hanya merebahkan diri sebentar. Lalu ia bangkit berdiri, berputar-putar seperti orang linglung. Ia mendekati kembali meja belajarnya. Dipandanginya foto Thea. Bibirnya manyun.
"Te, lu kok bisa kayak gini sih sama gue? Ternyata lu egois yah." desah Aldo nyaris tanpa senyum.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!