NovelToon NovelToon

Rainy Couple

[SEASON 1] Dekat di Hati

Mau kemana arah pandang mata Kezia tertumbuk, tetap saja pemandangannya selalu orang, orang, dan orang. Hari ini, tanggal 31 Desember, mal Summarecon Mal Serpong--atau akrab disebut SMS--ramai dikunjungi. Banyak warga Tangerang dari beberapa kawasan yang datang ke SMS untuk merayakan pergantian tahun. Apalagi beberapa musisi dan grup musik kenamaan datang. Pula ada acara kembang api segala. Terang saja mal itu sesak. 

Sesungguhnya Kezia tak mempermasalahkan kepadatannya. Seorang introvert seperti dirinya sudah terbiasa dengan pemandangan riuh seperti itu. Bukankah di kampusnya, tiap menjelang perkuliahan, kampusnya juga seramai SMS? Di dekat loket tata usaha dan bank-bank, banyak mahasiswa-mahasiswi yang sibuk mengurus administrasi. Walau, memang menyebalkan kericuhan seperti itu. Berisik. Pusing. Bikin dongkol. Terakhir, pasti bau keringat. 

Yang dipermasalahkan Kezia dari keramaian di SMS itu.... matanya selalu nyaris berlinang saat menyaksikan beberapa keluarga yang menikmati pergantian tahun baru di SMS. Ah, sudah berapa lama yah, pemandangan seperti itu menghilang dari memorinya? Kali terakhir ia bepergian ke mal bersama keluarganya itu waktu ia kelas 12 SMA. Itu saat ibundanya masih ada. Saat ayahandanya tak sehiper-aktif sekarang--dengan ***** bengek pekerjaan yang menurutnya terlalu diada-ada. Itu juga saat kedua kakaknya belum menikah. 

Dari pagar pembatas dekat tangga jalan, ia memonitor situasi di lantai dasar mal. Sembari mengamati beberapa keluarga yang berjalan bersama-sama dengan penuh keceriaan, memorinya terbawa ke masa beberapa tahun silam. Itu terjadi saat hari menjelang natal. Ia nyengir sendiri saat mengingatnya. Lucu mengingatnya. Juga menyesal jadinya. Sebab ia baru sadar betapa pentingnya keluarga itu. Kebersamaan keluarga itu amat penting. Jadi menyesal rasanya saat dirinya menolak ikut jalan-jalan ke mal bareng. Alasannya saat itu: "Kayak anak kecil aja, Dad. Lagian aku lebih suka belanja natal sendiri atau bareng teman."

Tapi Daddy-nya itu terus memaksa; hingga akhirnya Kezia mau juga pergi ke SMS bersama keluarga intinya. Waktu itu, selama menyusuri lorong demi lorong yang ada di SMS, Kezia terus memberengut. Ia acuh tak acuh terhadap obrolan Daddy, Mommy, dan kedua kakaknya: Lucy dan Thalia. Ia tetap menekuk bibirnya, meskipun mereka sudah berada di toko pakaian (Ia paling suka berbelanja pakaian). Menurutnya, berburu pakaian natal atau hang-out itu lebih mengasyikan bersama-sama teman-teman sebayanya. Menyebalkan pergi ke mal bersama Kak Lucy atau Kak Thalia. Kak Lucy itu kolot, tidak mengerti fashion; tiap kali ia meminta saran soal dress mana yang bagus, kakaknya yang berambut ikal itu selalu menjawab, "Iya, itu bagus," - kesemua pilihan baju. Alhasil ia jadi pusing sendiri memilih baju mana yang hendak dibeli. Sementara Kak Thalia itu sok mengerti fashion; padahal aslinya sama saja dengan Kak Lucy. Si Muka Bulat itu selalu bilang, "Yang ini aja, Zia." Alamak! Kezia jadi terbengong-bengong sendiri. Baju itu sungguh tidak fashionable. Warnanya juga norak. Kalau Mommy-nya, yah jelas beda jaman. Pasti kurang mengerti selera anak-anak remaja seusianya. Terus kalau Daddy, biasanya tiap ke toko pakaian, pria yang selalu mengenakan tali untuk kacamatanya itu tak pernah ikut. Daddy selalu menunggu seraya membaca beberapa buku di toko buku. 

Sekarang semuanya berubah. Kak Lucy sudah lama menikah dan memiliki dua anak kembar beda kelamin yang lucu nan menggemaskan. Kak Thalia juga sudah menikah. Kakak keduanya itu menikah setahun sebelum Mommy dipanggil Yang Maha Kuasa. Yah Mommy harus berpulang karena tak kuasa menahan gempuran virus-virus kanker serviks yang sudah tiga tahun hidup dalam tubuh. Karena kematian itulah, Daddy jadi menyibukan diri dengan beberapa bisnis. Daddy selalu beropini, "Kalau Daddy terus di rumah, Daddy bisa keingat terus sama Mommy kamu. Dan pasti Daddy jadi uring-uringan dan nggak nafsu makan. Apa kamu sudah siap Daddy menyusul Mommy-mu juga?" Oh iya, Daddy-nya itu sudah pensiun sebelum pernikahan Kak Lucy. Sebelumnya, Daddy bekerja di sebuah perusahaan multi-nasional yang berkantor di Jakarta. 

Ia tertawa. Tapi getir. Mau menangis rasanya. Ia begitu tersiksa dengan kesepian ini. Tadinya ia mau jalan bareng kawan-kawannya. Tapi ia sadar bahwa teman-teman kampusnya yang berdomisili di Tangerang itu jumlah minim sekali. Yang akrab dengannya itu kebanyakan berdomisili di Bekasi atau Depok. Masa mau menghabiskan malam tahun baru saja perlu menghabiskan isi dompet dulu sih? Sementara beberapa teman SMP dan SMA-nya, kesemuanya sudah memiliki rencana sendiri terhadap malam tahun baru - dan itu pasti, merayakan tahun baru bersama keluarga di kampung halaman. 

Ah kampung halaman yah? Ingatannya melompat ke sebuah daerah pedesaan nan asri di provinsi Jawa Tengah. Kali terakhir main ke Purbalingga itu jaman ia masih kelas 8 SMP. Itu saat Eyang Putri dari Mommy masih hidup. Kalau Eyang Kakung sih sudah lama tak dilihat. Hanya Kak Lucy yang tahu seperti apa rupa Eyang Kakung. Sementara Grandpa dan Grandma dari Daddy itu tinggal di San Fransisco. Tadinya ia ingin sekali merayakan natal dan tahun baru di Amerika, namun Daddy tak mengijinkan. Bukan soal ijin juga sebetulnya, namun Daddy nyaris tidak mempedulikannya. Tiap kali bersua di rumah, Daddy hanya berkata, "Eh, Sayang, sudah bangun? Kamu sudah sarapan? Tuh Daddy udah bikinin omelette. Sudah yah, Daddy harus ke Makassar ketemu rekan bisnis." Baru datang malamnya, paginya sudah pergi. Daddy sama sekali tak memberikan kesempatan padanya untuk mencurahkan isi hati. Kezia jadi senewen. Digenggamnya erat tiang-tiang dari pagar pembatas itu. Padahal kalau Daddy tak tergesa-gesa, ia ingin mengutarakan hasratnya berlibur ke San Fransisco. 

"Mommy...." rintihnya dengan mata berkaca-kaca. "....I really miss you. Missing the moments we spend the sat-nite each other. But i know, it's impossible." 

"Mommy, aku menyesal. Benar-benar menyesal kenapa dulu selalu ogah-ogahan tiap kali Daddy ngajak ke mal bareng. Sekarang aku kangen banget sama momen-momen itu lagi..." ujar Kezia, seolah-olah Mommy ada di dekatnya. Ia tahu, Mommy sudah berbeda alam dengannya. Walaupun demikian, ia masih bisa merasakan kehadiran Mommy. Pepatah "jauh di mata, dekat di hati" itu sungguh benar adanya. Mommy akan selalu hidup di memorinya, hatinya, bahkan alam bawah sadarnya. 

Kepala Kezia tertunduk. Matanya terpejam erat, seolah-olah dapat membendung air mata. Padahal sia-sia belaka. Air matanya tetap saja mengalir deras. Kini ia jadi menangis sesenggukan. Saat membuka mata, ia sadar jadi objek perhatian para pengunjung SMS. Ia jadi malu sendiri. Tergopoh-gopoh ia lari masuk ke dalam toko buku. Katanya pada para pengunjung: "Nggak ada apa-apa, kok." 

Di dalam toko buku, ia langsung menuju rak novel. Segera saja sekujur tubuhnya aktif mencari novel-novel mana yang bungkusnya terlepas. Bungkusnya sengaja terlepas memang disengaja, karena sebagai sampel. Dapat satu buku. Ah sial, kenapa malah tentang sebuah keluarga sih? Kezia mencari novel lainnya. Jelek. Yang ini malah ceritanya sedih banget. Pindah lagi ke novel lainnya, namun sama saja. Tak ada novel yang bisa menghapus kesedihannya. Gadis berambut panjang dengan tampang Hispanik itu jadi uring-uringan tak menentu. Urat-urat wajahnya menegang. Bibirnya sulit membentuk sebuah senyuman. Ia mondar-mandir saja di toko buku itu. Hanya menyaksikan pengunjung yang ada. Lagi-lagi pemandangannya sama. Cukup banyak keluarga di dalam toko buku. Malah ada seorang ibu tengah memilihkan buku untuk buah hatinya. Itu semakin mengingatkannya saat ia masih SD. Dulu Mommy juga selalu seperti itu. Saat ia mau membeli buku cerita yang ia suka, Mommy selalu mencegah dengan alasan ceritanya belum cocok dibaca olehnya. Ia jadi merengek dan karena Daddy-lah, bisa membeli buku yang ia mau. 

Oh... selain banyak keluarga, di toko buku itu juga dikunjungi sepasang kekasih. Kebanyakan sebaya dengannya. Dalam hatinya, sumpah, ia jadi iri. Sepertinya menyenangkan juga, mengunjungi toko buku bersama seseorang spesial. Saling bergandengan tangan ke sebuah rak, lalu membaca-baca beberapa buku sembari berdebat soal isinya. Sangat romantis. Kezia jadi ingin punya seorang pacar. Terkait masalah pacar, Kak Thalia sering menelepon dan menanyakan kapan ia punya pacar, lalu beranjak menikah. Apaan sih Kak Thalia? Dikira gampang apa cari cowok. Lagian gengsi dong nembak duluan. Ia berkata seperti itu sebetulnya memiliki maksud tersendiri. Tak sekedar gengsi. Ia memang tidak pernah terlihat bersama seorang lawan jenis. Itu bukan karena ia penyuka sesama jenis. Bukan juga karena tak ada lelaki yang menarik perhatiannya. Hanya saja, hati, pikiran, dan jiwanya tersebut telah dipesan oleh seorang pria. 

I Found You

"Hei,"

Ada seseorang yang menjawil bahunya. Ia spontan menoleh. Ternyata seorang cowok dengan wajah penuh jerawat dengan dahi ditutupi poni. Kalau si cowok mengenakan pengeras rambut, model rambutnya bakal mirip Lupus, tokoh fiksi karangan Hilman dan Boim--yang novel-novelnya merupakan kegemarannya. 

Ia menelengkan kepala. Menatap lekat kedua mata si cowok yang ditutupi lensa-lensa cukup tebal. Sepertinya ia lumayan familiar dengan cowok ini, tapi siapa yah? Ia memutar-mutar bola mata. Kepalanya pusing sekali. Ia sama sekali tak mendapatkan petunjuk. 

Ia mengernyitkan dahi seraya bertanya, "Siapa, yah?"

Si cowok nyengir. Nyaris terkekeh. Lalu kedua pipinya digelembungkan dan kedua mata disipitkan. "Kalau kayak gini gimana? Udah ingat belum?" 

Ia ingat sekarang. Cowok ini Matias. Adik kelas sekaligus cinta pertama dan pacar pertamanya. Saat jadian, ia duduk di kelas sepuluh; sementara Matias masih kelas delapan. Matias sendiri murid pindahan. Waktu Kezia masih SMP, cowok itu belum tiba di SMP Tarakanita. Secara fisik, Matias lumayan tampan dan gagah' meskipun cowok itu masih lebih pendek daripadanya. Sama sekali tak terlihat kalau cowok itu masih SMP. Pantas saja banyak siswi perempuan di SMA yang jadi tergila-gila dengan Matias. Kezia sendiri tak tertarik. Alasannya: masa cewek SMA suka sama cowok SMP? Gengsi dong. Itulah Kezia--yang selalu peduli akan yang namanya gengsi. 

Tapi akhirnya, Kezia malah terjatuh ke pelukan Matias yang humoris dan apa adanya. Ia terkesan dengan pembawaan Matias. Cowok itu sungguh dewasa. Tak hanya secara fisik, namun secara karakter. Matias tak seperti cowok remaja SMP kebanyakan yang menurutnya norak. Bahasa gaulnya itu alay. Di saat banyak murid SMP yang membawa motor ke sekolah, Matias dengan percaya dirinya mengayuh sepeda. Badan cowok itu juga jarang bawa parfum yang baunya bikin ia mau muntah. Rambutnya jarang sekali terlihat licin oleh minyak rambut. Jika banyak murid SMP yang sok berkelakuan dewasa atau minimal seperti pelajar SMA (Bahkan ada yang sudah berani menghisap rokok), Matias tetap berani dengan identitas otaku-nya. Ia tak takut dicibir masih bocah, karena masih gemar membaca Detektif Conan, Hi Miko, Crayon Shinchan, dan beberapa komik Jepang lainnya. Di mata Kezia, Matias sungguh cowok yang memiliki karakter. 

Makanya sewaktu Matias menembaknya di Gading Media, toko buku mini di seberang Tarakanita, Kezia otomatis mengatakan: "Iya, gue mau," Ia tutup mata dengan usia Matias yang empat tahun lebih muda darinya. Setelah enam bulan berpacaran, cowok itu memang luar biasa dewasa. Walau hari-hari cowok yang dulunya berbadan sedikit gempal itu selalu kesepian (Ayah-Ibu Matias tinggal di Jepang, karena urusan pekerjaan), Matias selalu tegar dan tersenyum. Ia anak tunggal, tapi tak pernah merasa kesepian. Baginya, komik-komik dan game-game Playstation sudah cukup menemani hari-harinya yang hanya ditemani pembantu yang usianya sudah sepuh. "Masih enak dulu, saat opung gue masih hidup. Gue masih ada 'teman'." tutur Matias singkat, saat ia bertanya apakah cowok itu merasa kesepian di rumah yang cukup megah. 

Sayang hubungan dirinya dengan Matias berlangsung singkat. Saat ia naik kelas tiga, Matias otomatis lulus SMP.  Cowok itu memutuskan hijrah ke Jepang, yang menyusul kedua orangtuanya. Matias mulai jengah dengan segala hari-hari yang memilukan. Apalagi kedua orangtuanya juga setuju Matias bersekolah di Jepang. Sehingga pembantu yang sudah bekerja lumayan lama itu bisa dipensiunkan. Keluarga Matias bisa utuh lagi. 

"Gimana?" ucap Matias nyengir. "Udah ingat belum, Kak?"

"Apaan sih lu, Yas?" katanya terkikik. "Nggak usah pakai 'Kak' juga kali."

"Tapi kamu selalu kesel kalau aku manggil nama kamu langsung tanpa embel-embel 'Kak'." sindir cowok itu terkekeh. "Kamu selalu bilang, 'Aku ini lebih tua empat tahun, jadi yang sopan sama yang lebih tua.' Gitu kan katamu. Haha."

Kezia memonyongkan bibirnya. "Itu kan karena pacaran kita backstreet. Kamu sendiri juga kan yang usulin pacaran secara backstreet. Katanya, takut kedua orangtua tahu, lalu marah-marah."

Matias tergelak. Kezia lalu memperhatikan lamat-lamat. Sungguh cowok itu sudah berubah. Fisiknya berubah. Sekarang cowok itu lebih tinggi darinya. Kulitnya jauh lebih putih pula. Tak lagi gempal. Malah dadanya jadi bidang, yang nyaris six pack. Matias jadi mirip Won Bin. Hmm, Kezia jadi jatuh cinta untuk kali kedua. 

"Biasa aja lagi, lihatin bodi aku," sahut Matias. "Oh iya, kamu gimana kabarnya? Maaf yah, selama ini bikin hubungan kita jadi complicated. LDR nggak kelihatan, tapi dibilang single juga bukan. Maaf banget, aku nggak pernah kasih kamu kabar." 

Ia geli. "Iya, aku mengerti kok. Setelah Friendster berubah haluan, aku jadi agak kesulitan cari kontak kamu di internet. Nama kamu itu--Matias Immanuel--benar-benar pasaran yah? Dan parahnya lagi, nggak ada satupun yang gendut."

Cowok itu terkekeh lagi. "Kamu beneran cari tahu soal keberadaan aku lewat internet?" Mata cowok itu membelalak seolah tak percaya ada seorang gadis yang luar biasa mencintainya. 

"Ya iyalah, kita kan juga belum putus." tukas Kezia terkekeh. 

"Kirain, kamu berpikiran negatif, lalu cari cowok lain." 

"Cewek itu lebih susah move-on ketimbang cowok." 

Matias tergelak lagi. Kemudian cowok itu berhenti sejenak. Ia mendapati mata Kezia begitu sembap. "Kamu kenapa? Lagi ada masalah yah?" 

Kezia menggeleng. "Nggak ada apa-apa, kok."

Cowok itu nyengir sambil menggelengkan kepala.  "Kamu itu selalu begitu yah? Selalu sok tegar di hadapan aku. Alasannya selalu karena kamu lebih tua dari aku. Kenapa sih kamu nggak akui saja, kalau aku lebih dewasa dan kuat?"

Kezia merengus. Ia lalu meninju dada Matias. "Apaan sih kamu ini? Mentang-mentang SMA-nya di Jepang, jadi sok yah?"

"Nggak ada hubungannya lagi," kata Matias nyengir. "Eh tapi, kalau kamu ada masalah, curhat aja sama aku. Gantian aku yang menghibur kamu yang sekarang jadi kesepian." 

Cewek itu terpana. Ini mengapa Matias jadi sensitif terhadap perasaan seorang wanita? 

"Nggak usah bingung gitu kali." ujar Matias nyengir. "Tadi pas kamu di luar Gramedia, aku sempat ketemu kamu. Tapi kamu belum sadar itu aku." Ia terkekeh. "Aku sempat dengar kamu kangen Mommy kamu yang sudah meninggal. Aku turut berduka yah."

Ganti cewek itu yang tergelak. "Emang kedengaran yah? Padahal, kukira, suaraku itu udah pelan banget."

"Kakak kelasku ini memang lemot yah?" ledek Matias. "Kalau pelan, nggak mungkin kan kamu dikerubunin banyak orang gitu tadi." 

"Udah sok, sekarang jadi hobi kepo yah?" ledek balik Kezia.

"Apa sih kepo itu?"

"Pengin tahu urusan orang."

"Tapi kamu mau juga kan dikepoin?"

"Kata siapa? Mulai deh sok tahunya."

Matias tergelak lagi. Cowok itu segera meraih lengan Kezia. 

"Apaan nih?" protesnya dengan dahi berkerut. "Udah sok, kepo, eh sekarang maksa lagi."

"Kita nonton yuk," ajak Matias tersenyum. 

"Males." tukasnya cemberut. "Filmnya nggak ada yang bagus. Malah bikin galau."

"Sekarang kamu yang sok tahu." ujar Matias nyengir. "The Hobbit bikin galau yah? Baru tahu aku."

Cewek itu jadi bersemu merah. 

"Udah kamu nurut aja." kata Matias tersenyum, tapi nada bicaranya itu cukup tegas. Kezia jadi segan membantah. "Kali ini, aku pengin membalas segala perlakuanmu padaku dulu. Dulu kamu sudah bikin hari-hariku jadi lebih hidup lagi. Kamu juga yang menyadarkan padaku, banyak dunia yang lebih menarik diselami lagi, selain dunia yang ada pada komik atau anime. Dan sekarang, giliranku yang membuat hari-harimu jadi lebih hidup. Aku juga ingin mengembalikan senyum seorang bidadari yang dulu pernah bikin aku jadi melupakan komik sejenak." 

Kezia terpana lagi. Kali ini, ia tak berontak. Ia menurut saja kemana Matias membawanya. Benar saja, cowok itu membawanya ke lantai teratas di Summarecon Mal Serpong. Cowok itu benar-benar mengajaknya untuk menonton film "The Hobbit", sebuah film yang diangkat dari novel karangan J. R. R.  Tolkien. Yah film itu bukan genre romance. Jauh sekali dari kata romantis. 

"Pas banget yah?" ucap Matias tersenyum. "Pas banget kita pesan tiketnya, saat filmnya lagi mau diputar. Yuk, kita buruan masuk ke studio dua." 

Kali ini, cowok itu mengajaknya dengan merangkul pundaknya. Kezia jadi tercengang. Masa studi di Jepang sungguh menjadikan Matias jadi cowok yang teromantis dan begitu peduli dan perhatian terhadap seorang perempuan? Sudah memiliki kedewasaan yang melampaui cowok-cowok sebayanya, ditambah romantis, itu membuat Matias jadi cowok pujaan setiap wanita. Namun itu aneh sebetulnya. Dari beberapa sumber di internet, Jepang merupakan negara paling tak romantis. Walau komik-komik romance banyak dihasilkan, hubungan asmara di negeri Sakura itu jauh dari kata romantis. Kebanyakan cowoknya itu pemalu pula. 

"Kamu kok jadi romantis begini, sih?" katanya nyengir. 

"Kenapa, yah?" Cowok itu mengangkat bahu. "Mungkin karena komik dan anime. Nggak ada salahnya kan, masih menikmati hiburan seperti itu?" Terkekeh-kekeh. 

Kezia ikutan tergelak. 

"Eh, ada yang lucu yah, sama kata-kataku barusan?" 

Ia menggeleng. "Tapi aneh aja. Masa komik dan anime bisa bikin seorang cowok yang tadinya nggak romantis jadi romantis?"

"Tidak ada yang tak mungkin di dunia ini. Lagian apa yang terjadi di dunia dua dimensi itu bisa terjadi juga di dunia tiga dimensi." kata Matias sambil menyerahkan dua lembar tiket kepada petugas yang berdiri di luar pintu studio dua. 

Ia tercenung lagi.

"Udah, nggak usah melamun gitu. Mending masuk yuk. Filmnya kayaknya udah mulai." Cowok itu menyeretnya untuk segera masuk ke dalam ruangan yang kini penerangannya hanya mengandalkan pancaran cahaya dari layar. 

Sebetulnya film itu cukup bagus. Sebagus novelnya. Tapi perhatian Kezia tidak tercurahkan ke alurnya. Ia malah lebih memperhatikan wajah Matias. Ia masih saja belum terbiasa dengan segala perubahan Matias yang kini benar-benar telah menjelma menjadi laki-laki idaman tiap wanita. Pula siapa sangka malam tahun barunya jadi luar biasa indah. Ini tak seperti malam tahun baru sebelumnya. Malam tahun ini sungguh berkesan. 

Di tengah-tengah penayangan, ponselnya berdering di dalam tas selempangnya. Kezia langsung saja membongkar dan mengecek ponselnya. Ternyata dari Kak Thalia. 

"Eh, Yas," desisnya, merapatkan diri ke Matias. "Aku keluar dulu yah. Kakakku telepon."

Cowok itu berjengit. 

Ia kemudian berjalan keluar studio. Tak jauh dari pintu studio dua, ia segera menerima panggilannya--yang terus saja berbunyi agak mengganggu selama berusaha keluar dengan payahnya dari dalam. 

"Halo," ujarnya tersenyum. Kali ini bukan senyum kepedihan. Kali ini senyum yang betulan senyum. Senyum seorang bidadari, istilahnya Matias. 

"Selamat tahun baru yah, Zia," ujar Kak Thalia blak-blakan. 

"Sekarang masih jam sebelas kali, Kak."

"Eh kamu lupa yah, Kakak kan tinggal di Menado. Di sini udah tahun baru, Zia."

Kezia menepuk keningnya. "Eh iya, aku lupa. Selamat tahun baru juga, Kak."

"Maaf yah, Zia, Kakak nggak bisa ke Tangerang. Suami Kakak kehabisan tiket."

"Nggak apa-apa."

"Kak Lucy ke rumah, kan?"

Spontan ia menggeleng. "Nggak. Soalnya si Toni sakit keras, jadi nggak bisa ke rumah."

"Daddy pergi lagi yah?"

Ia menghela napas. "Iya."

"Dasar Daddy! Sejak kematian Mommy, kamu selalu saja ditinggal sendirian."

"Nggak apa-apa, Kak."

"Nggak apa-apa gimana? Kakak kasihan melihat kamu merayakan natal dan tahun baru sendirian aja."

Kezia jadi bersemu merah. Ia senyum-senyum sendiri. "Kali ini, aku nggak sendirian kok."

"Nggak sendirian?" Ada hening yang cukup lama. "Oh Kakak  mengerti sekarang. Akhirnya...."

"Emang apaan, Kak?" ujarnya nyengir. "Kan aku belum bilang."

"Udah deh, nggak usah pura-pura. Kakak tahu kok. Ya udah yah, Kakak mau kebaktian dulu bareng keluarga Kakak. Happy dating, Adikku Tersayang!"

Kedua pipi Kezia semakin memerah mendengar selorohan kakaknya yang nomor dua itu. Yah seperti yang sudah dikatakan, malam tahun baru kali ini, ia tidak kesepian. Sudah ada seseorang yang menemani. 

Kelinci Omelette

POV KEZIA

Kurebahkan tubuh mungil ini ke atas spring bed. Mataku tertuju pada sosok Luna, boneka kelinci berwarna abu-abu. Sepeninggal Luna yang asli, aku selalu coba mencari kelinci pengganti. Namun tak kutemukan. Yang ada, malah Luna ini, yang kubeli di sebuah toko suvenir sepulang dari Australia. Aneh yah, replika Luna malah kutemukan bertahun-tahun dan bermil-mil dari lokasi aku berada.

Bukan soal Luna yang aku bicarakan. Luna hanya benda mati. Dia tak bernyawa. Yang ingin aku.....

.....

Matias.

Hari ini Matias ribut lagi sama Kak Thalia yang sok paham fashion (padahal aku yang paling mengerti). Lagi-lagi Kak Thalia masih terus menyalahkan Matias atas meninggalnya Daddy. Padahal itu bukan soal Matias. Matias tak bersalah. Semuanya terjadi begitu saja. Kita tak bisa mengontrol apa yang seharusnya terjadi. Mungkin ini memang jalan terbaik: Daddy harus pergi dengan jalan seperti itu.

"Luna... aku sayang sama Matias... tapi aku juga sayang sama Kak Thalia. Aku harus gimana? Kayaknya mereka susah banget didamaikan. Ini udah sepuluh kali mereka ribut, kayak ****** dan kucing." lirihku sambil membelai-belai salah satu kuping panjangnya.

Masih terngiang di benak bayangan kejadian tadi sore.

Selepas mengantarku ke rumah--sehabis menemaniku berbelanja kebutuhan sehari-hari, belum sampai pintu depan rumah, Matias sudah mendapatkan semprotan dari Kak Thalia. Mungkin ini yang paling dahsyat.

"MAU APA LO KE SINI? UDAH GUE BILANG JANGAN PERNAH KE RUMAH INI LAGI!"

Matias menabrakan sebelah tangan ke sebelah mata. "Apaan sih, kakak kenapa sih, Om juga udah lama meninggal kan? Udah tiga bulan lalu, dan bukan gue yang bikin. Itu murni kecelakaan."

"Kecelakaan, katanya? Kalo lu gak ganggu konsen Daddy, Daddy pasti masih hidup. Dan lu pasti sengaja gak perbaiki persnelingnya gara-gara lu dendam, kan, Daddy marah-marahin lu yang bikin lecet sepulang lu sama Kezia jalan-jalan ke Bali."

Kupejamkan mata. Kubiarkan peluh jatuh membasahi kedua pipi ini. Aku masih kesal dengan sikap Kak Thalia. Matias kan sudah mencoba beragam cara untuk menebus rasa bersalahnya. Lagian bukan salah Matias juga jika seorang tukang tambal ban bikin satu kekeliruan, yang awalnya katanya baik-baik saja.

Dari Luna, aku beralih ke Dipo, sebuah boneka beruang pemberian Matias. Kupeluk Dipo erat-erat seraya tengah memeluk Matias.

*****

"Ah, shit!" makiku sambil ******* telunjuk yang kecipratan minyak panas.

Dalam hati, aku mengumpat. Kenapa sih Kak Thalia harus begitu sama Matias? Padahal Matias itu baik banget.

Ah, semoga saja omelette ini rasanya tak keruan. Tanpa sadar sebutir darah dan sebulir air mata jatuh ke penggorengan, membumbui omelette-nya. Kalau pun rasanya berantakan, toh nanti Kak Thalia yang akan memakannya. Dia yang meminta. Aku sudah menolaknya dengan alasan.....

Di keluarga ini, orang yang paling jago bikin omelette itu Daddy. Memang Mommy yang paling jago masak. Tapi urusan omelette, Daddy yang paling jago. Setelah Daddy pergi, aku rasa aku tak mau berurusan lagi dengan yang namanya omelette. Aku sebagai penerus resep rahasianya, tak sudi bikin omelette. Sebab itu akan semakin membuat pedih hati, tambah runyam suasana, dan--sudahlah, Daddy sudah pergi, ikhlaskan saja. Itu memang murni kecelakaan. Kalau memang ada yang harus disalahkan, biarkan Tuhan yang membalas.

Kasihan Matias!

Aku kasihan sama adik kelasku yang sangat otaku, yang kini jadi kekasihku. Kuakui, terkadang Matias bisa jadi paling anak-anak dari seorang anak kecil. Namun kalau sudah salah, Matias bisa menjadi seorang ksatria, kok. Sangat ksatria malah.

Benar katanya dulu--waktu aku dan dia kencan kali pertama di mal itu. Dia pernah bilang, apa yang terjadi di dunia dua dimensi, bisa terjadi pula di dunia tiga dimensi. Apa saja mungkin terjadi. Dan, Matias sungguh mengingatkanku akan sebuah tokoh fiksi yang... aduh Kezia, dari dulu kalau urusan mengingat, kamu memang paling payah!

Ya ampun! Omelette-nya gosong! Gimana nih?

Tapi masa bodoh-lah, Kak Thalia ini yang akan memakannya. Biar tahu rasa dia. Hahaha.

"Ya ampun, Kezia!" raung Kak Thalia yang sekonyong-konyong tampak. "Kamu ini gimana sih, Zia? Bisa sampai gosong gini? Tuh tangan kamu kenapa lagi? Pasti mikirin si Biang Sial itu lagi, kan?"

Biang sial? Enak saja Matias-ku dibilang si Biang Sial! Matias-ku itu orang paling istimewa dalam hidupku, tahu!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!