. Ditaman kota, seorang gadis berjalan menyusuri setiap sudut. Memperhatikan semua orang yang berlalu lalang. Berharap ada sebuah kebetulan di setiap harinya, sebuah kebetulan yang akan mempertemukannya kembali dengan kekasih lamanya.
Avril berhenti dan mendongak, menatap awan yang ada di atasnya. Kemudian kembali berjalan dan duduk di salah satu kursi taman. Menerawang jauh kedepan, mengingat kembali 5 tahun silam saat Avril menemani Aldi ke bandara. Pertemuan terakhir itu masih membekas di ingatannya. Dimana Aldi yang erat memeluk Avril sembari menangis.
*5 tahun lalu. Bandara
"Maafkan aku Avil. Aku tak bisa menolak keinginan ayah dan ibuku." Aldi sedikit terisak.
"Aku mengerti Aldi. Aku tak marah padamu." Avril memeluk semakin erat. "Berjanjilah kau akan pulang menemuiku."
"Aku berjanji Avril." Aldi melepas pelukan dengan lembut. "Tunggulah aku pulang." Avril mengangguk.
Aldi perlahan melepaskan genggaman Avril pada jaketnya. Melangkah menjauh dari tempat Avril berdiri.
Avril menyaksikan pesawat Aldi lepas landas. Avril menoleh pada Galih yang menunggunya.
*end.
Di taman kota, Avril tersenyum dengan air mata yang berderai.
"5 tahun ya? Apa kau yakin akan menemuiku setelah sekian lama?" Gumam Avril pelan.
Avril berdiri, dan kembali berjalan menuju mobilnya. Meninggalkan taman yang mulai sepi karena sudah sore.
Avril Vania, putri bungsu dari 2 bersaudara. Ayahnya pemilik perusahaan "A". Dan kakaknya Galih Permana, yang sebentar lagi akan menduduki posisi presdir di perusahaan. Usia nya lebih tua 6 tahun dari Avril. Galih lebih perhatian pada Avril daripada Ayahnya.
Ibu Avril meninggal ketika Avril masih berusia 12 tahun karena penyakitnya.
Hidup Avril semakin hampa ketika kepergian ibunya, dan sekarang Aldi yang entah kapan dia kembali. Bayangan senyuman terakhir mereka terus memenuhi pikiran Avril.
. Setelah sampai dirumah, Avril berjalan menuju kamarnya. Bibi menyambut dengan hangat.
"Non Avril ditunggu oleh tuan besar di ruang kerja." Ucap bibi ramah.
"Ada apa bi? Apa aku melakukan kesalahan?" Bibi hanya menggeleng dengan senyuman.
Avril sedikit berlari memasuki ruang kerja. Avril duduk tepat di depan ayahnya.
"Avril. Lusa kau tak ada acara bukan?" Tanya ayah.
"Emmmm. Aku free ayah. Tapi aku berencana ingin mengerjakan tugas kampus dengan Syifa." Jelas Avril sedikit mengingat.
"Begitu ya?" Avril menatap heran ayahnya.
. Keesokan harinya, Avril menunggu Syifa di taman kampus. Ditemani sebuah novel dan minuman kesukaannya.
"Hai." Syifa duduk di samping Avril.
"Kau menangis?" Tanya Syifa khawatir.
"Ah tidak.... ini tidak sengaja." Avril menyeka air matanya yang keluar tanpa izin.
"Ada apa?" Syifa terlihat khawatir.
"Aku hanya merindukan dia." Jawab Avril tersenyum.
"Apa masih tak ada kabar?"
Avril hanya mengangguk. "Aku semakin yakin dia tak akan kembali." Avril menerawang ke mata Syifa.
"Jangan begitu. Aku yakin kau bisa kembali bertemu dengannya." Syifa memeluk Avril.
"Syifa... ada yang ingin aku bicarakan." Ucap Avril melepas pelukan dan tiba-tiba menggenggam tangan Syifa.
"Aku juga." Syifa terlihat serius.
"Eh? Kau juga?" Avril memiringkan kepalanya.
"Besok, bisakah kau menemaniku?" Syifa menunduk.
"Besok? Kemana?" Avril menatap lekat Syifa.
"Kerumahku." Syifa mendongak menatap Avril.
"Ada apa? Sepertinya serius?" Avril lebih lekat menatap Syifa.
"Aku... besok ada acara lamaran dirumahku." Syifa mengalihkan pandangan.
"Kau serius?" Teriak Avril. Syifa mengangguk.
"Aku ingin besok kau temani aku" Syifa memohon, Avril masih ternganga tak percaya. "Aku tahu ini dadakan" lanjut Syifa.
"Kapan kalian bertemu?" Avril penasaran.
"Belum" jawab Syifa.
"Apanya yang belum?" Teriak Avril.
"Kami di jodohkan. Aku saja belum tahu namanya." Syifa kembali memalingkan wajahnya.
"Dan kau menerimanya begitu saja.?" Avril menyernyitkan dahinya.
"Aku tak menerimanya, ini keputusan ayahku. Dia baru kembali tapi sudah membuatku kesal." Syifa melipatkan tangan di dadanya.
Avril menghela nafas panjang. "Maafkan aku Syifa. Besok aku tak bisa." Ucap Avril menyesal. "Besok aku harus menghadiri acara di kantor ayahku."
"Baiklah aku mengerti Avril. Tapi aku harap, di acara pernikahanku kau harus datang bersamanya." Syifa tersenyum mengelus lengan Avril.
"Baiklah." Avril tak kalah manis dengan senyumnya.
. Sepulang dari kampus, Avril mampir ke kedai kopi lalu menuju taman kota. Avril berjalan santai menyusuri jalur yang mengelilingi taman sambil sesekali meminum moccacino kesukaannya yang ada ditangannya.
Bagaikan adegan slowmotion, Avril berpapasan dengan seseorang yang membawa secangkir latte kesukaan Aldi. Avril menghirup aroma itu dan tanpa sadar Avril berbalik dan bertatapan dengannya.
Dengan tiba-tiba cup yang Avril bawa, terjatuh bersamaan dengan cup miliknya. Seketika badannya lemas.
Air matanya kembali menetes mematung dan menatap mata sayu tapi sedikit dingin.
"Nona? Hei?" Dia melambai-lambaikan tangannya tepat didepannya. Avril tersadar dari lamunannya.
"Ah maaf." Avril memalingkan wajahnya.
"Kau baik-baik saja?" Avril hanya mengangguk dan tersenyum.
"Syukurlah. Aku terkejut melihatmu menjatuhkan cup mu."
"Dan kau? Mengapa cup mu juga jatuh?" Avril dengan wajah penasaran.
"Ohhh.. iya. Tadi aku tidak sengaja menjatuhkannya, aku ikut terkejut setelah melihatmu." Avril memiringkan kepala dengan bingung akan jawabannya "ohh aku Alvian." Lanjutnya mengulurkan tangannya.
'Deg' jantung Avril berdebar. Apakah salah dengar? Namanya sama.
"A.. aku Avril." Avril membalas uluran tangannya. "Baiklah. Jika kau ingin mudah mengingatku, panggil saja Al." Alvi tersenyum.
Dadanya semakin sesak. "Aldian?" Ucap Avril sambil menjatuhkan bulir bening dari kelopak matanya.
"Ah maaf! Kau salah sebut. Namaku Alvian, bukan Aldian." Ucapnya menjelaskan.
"Ah maaf. Aku salah dengar." Ucap Avril sambil mengusap pipinya.
"Apa ada sesuatu dengan nama itu?" Tanyanya penasaran.
"Ahh tidak." Avril tersenyum. "Emm baiklah aku duluan" Avril berbalik dan tidak menoleh kebelakang lagi.
Disisi lain, Alvian tersenyum. Betapa bersyukurnya dia bisa bertemu dengan gadis cantik yang ditemuinya beberapa waktu lalu. Saat Alvi menabraknya di supermarket dan menjatuhkan semua belanjaannya. Alvi membantu Avril merapikan barang yang jatuh, namun tak sedikitpun Avril menoleh pada Alvi.
*POV Avril
Keesokan harinya, aku mengikuti acara di kantor Ayah.
Semua yang hadir adalah petinggi perusahaan dan para pejabat kota.
Sebelum masuk kedalam lift, Alvian menghampiriku.
"Avril?" Tanyanya memastikan.
"Iya?" Aku mengerutkan dahiku.
"Kau disini? Sedang apa?" Dia bertanya seolah dia pemilik perusahaan.
"A.. a.. akuu... disini..."
"Ahhh kau juga tamu undangan? Kalau begitu kita bersama saja ke aula? Bagaimana?" Ucapnya dengan ramah.
"Ohhh baiklah." Aku memasuki lift bersama Alvian. Alvian sesekali melirikku, entah karena aku yang terlihat gugup, atau karena aku yang memakai gaun. Karena kemarin aku bertemu dengan Alvian memakai celana jeans, kaos, dan blezer saja.
"Kau terlihat gugup." Ejeknya melirik kearahku.
Aku hanya menunduk sedikit.
Setelah pintu lift terbuka, aku dan Alvian keluar, terlihat semua pasang mata tertuju padaku dan Alvian. Terdengar bisik-bisik para wanita-wanita dan nyonya-nyonya disana.
"Hei lihat, bukankah itu Avril, adik Galih?."
"Iya. Dia sangat cantik. Seperti rumor yang beredar, dia sangat anggun dan manis."
"Andai aku punya anak lelaki, aku ingin sekali punya menantu seperti Avril."
"Bukankah yang bersamanya itu...."
Belum jelas terdengar olehku, kak Nadia menghampiriku dan mengajakku ke arah ayah dan kak Galih. Aku tak sempat mengobrol kembali dengan Alvian.
Di aula sebesar ini, entah kenapa aku masih merasa kesepian.
Saat aku berkecamuk dengan pikiranku, kak Galih menepuk punggungku pelan.
"Ingatlah! tak perlu selalu tentang kehadirannya, aku dan ayah selalu bersamamu." Aku menunduk lalu tersenyum. Aku menyandarkan kepalaku di lengannya, karena tinggi badanku hanya sebahu kakakku. Kak Galih dan Kak Nadia bersamaan mengelus kepalaku.
"Jadi, kapan kalian akan menikah?" Tanyaku tiba-tiba.
" 3 bulan lagi. " jawab kak Galih datar.
Aku tersenyum. Semoga di hari itu, Aldi sudah kembali ke kota itu.
. Acara berjalan dengan lancar, meskipun aku tidak nyaman terus ditatap oleh para tamu undangan. Pada akhirnya, ayah memperkenalkanku pada publik. Terlihat Alvian sedikit salah tingkah.
Semua yang datang menjamu makanan yang disediakan.
Karena kak Galih dan ayah sibuk dengan tamu, aku lebih memilih duduk sendiri membawa segelas air untuk menemaniku. Dipinggir ruangan, dengan jendela yang terbuka.
Alvian duduk didepanku. Dan aku secara refleks menoleh.
"Maafkan aku." Alvian menatapku
"Untuk apa?" Tanyaku heran.
"Sudah salah mengira."
"Tentang apa?"
"Tentang keberadaanmu disini."
"Ohhhh..... Lupakan. Aku tidak tersinggung." Aku kembali menoleh ke arah jendela.
"Apakah diluar lebih menarik perhatianmu daripada acara ini?" Aku lalu menoleh kembali ke arahnya dan ke arah orang-orang sekitar.
"Entahlah. Rasanya pemandangan diluar lebih menarik untukku saat ini." Angin yang menerpa rambut lurusku. Menyibakkan sedikit poni yang menghalangi mata kiriku.
Alvian menatapku lekat.
"Lalu? Mengapa kau kemari?" Tanyaku membalas tatapannya
"Yaahhh aku hanya tidak bisa membiarkan seorang wanita duduk sendirian menatap keluar seperti ini." Alvian sedikit mengacak rambutnya. "Apa ada yang mengganggu pikiranmu?" tanyanya kembali menatapku.
"Begitulah. Bohong jika aku menjawab tidak ada apa-apa." Tatapanku pada jendela semakin lekat.
"Kau sedang memikirkan seseorang?" Tanyanya lagi.
"Yah!"
"Hei! Kau tidak bersemangat seperti ini." Ucapnya berdiri dan menarik tanganku. Menghampiri ayah dan kak Galih.
"Bolehkan aku mengajak nona muda ini untuk keluar?" Tanya Alvi pada ayah.
"Asal jangan pulang terlalu malam" jawab ayah datar.
"Apa?" Teriakku dan kak Galih bersamaan.
"Ayah dengan mudah mengizinkan Avril pergi dengan dia?" Kak Galih menatap ayah dan menunjuk Alvi.
"Ayah...." rengekku.
"Kenapa? Ayah percaya padanya." Jelas ayah.
"Semudah itu?" Lagi-lagi aku dan kak Galih kompak.
"Kalian sangat kompak" Alvi tertawa. Aku dan kak Galih menatap tajam padanya.
"Hemmm. Maafkan aku." Alvi berhenti tertawa.
"Apa kau tak pernah mempercayaiku tuan Galih?" Lanjut Alvi.
"Aku sudah tahu kau seperti apa Alvi. Apa kau pikir aku akan semudah itu memberikan adikku.?" Kak Galih memalingkan pandangan.
"Aku tidak seperti yang kau pikirkan Galih." Ucap Alvi datar.
Alvi menarik tanganku menuju lift. Kak Galih terlihat kesal. Kak Nadia mengelus lengan Kak Galih.
"Sudahlah. Aku yakin Avril akan baik-baik saja."
"Tapi itu Alvi Nad. Kau tahu Alvi seperti apa?" Galih memijit dahinya.
"Ayah yang lebih tahu Alvi seperti apa." Galih menoleh pada ayah dengan heran.
Sampai di depan lift, pintu lift pun terbuka. Alvi tak sedikitpun melepaskan genggamannya. Sekilas aku melihat seseorang yang tak asing di antara kerumunan, sebelum akhirnya tak terlihat karena terhalang pintu lift yang tertutup.
. Seorang pria mengepalkan tangannya, berdiri diantara kerumunan, menatap seorang gadis yang dicintainya digandeng pria lain menuju lift.
"Inikah keputusanmu?" Lirihnya. "Mungkin aku juga harus mengambil keputusan dengan cepat hari ini." Ucapnya tersenyum sinis.
Dering ponselnya berdering, dia menjawab panggilan.
"Aku akan datang. Tunggulah 15 menit lagi." Dia menutup kembali penggilan telponnya, berjalan menuju lift dan meninggalkan gedung itu.
"Avil." Lirihnya melajukan mobil dengan cepat.
. Alvi membawa Avril ke suatu tempat yang sedikit jauh dari kota.
"Kenapa kesini?" Tanya Avril heran. Alvi melirik jam di tangannya.
"Jika sore hari, disini akan tenang bukan? Kau bisa melihat senja dan merenung sesukamu." Alvi turun dan membukakan pintu untuk Avril.
Memang benar di danau ini sangat cocok untuk melihat senja.
Alvi menarik tangan Avril menuju dermaga yang ada disana. Di tepi danau, Avril berhenti.
"Kenapa?" Alvi menoleh pada Avril.
"Aku takut air." Avril mundur beberapa langkah.
Alvi tertawa. "Kau takut air? Lalu bagaimana kau mandi Avril?"
"Tertawalah sepuasmu." Avril menggembungkan pipinya.
"Ini lucu Avril. Kau takut dengan air, sedangkan kau mandi dan minum dengan air." Alvi yang masih tertawa.
"Aku serius Alvi. Aku takut air yang dalam seperti ini."
Jelas Avril memalingkan pandangannya. Alvi berhenti tertawa.
"Danau ini tidak terlalu dalam Avril." Alvi berjalan ke tengah dermaga.
"Hati-hati Alvi. Jika kau tenggelam, aku tak bisa menolongmu."
"Kau mengkhawatirkanku?" Alvi berbalik menatap Avril.
"Aku tidak sedang becanda Alvi." Jelas Avril yang terlihat kesal.
"Ahaha baiklah nona, karena kau mengkhawatirkanku, maka aku akan menurutimu." Alvi berjalan menghampiri Avril.
Alvi duduk di bawah sebuah pohon.
"Alvi, siapa kau sebenarnya?" Avril duduk dan menerawang jauh ke dalam danau.
"Aku? Apa kau baru penasaran siapa aku?" Alvi menoleh pada Avril.
"Alviiii......" Avril menatap Alvi.
"Ahaha kau sangat menakutkan Avril." Alvi tertawa sejenak. "Aku Alvian Revano, presdir perusahaan 'D'. Kata ayahmu, aku adalah anak dari teman ibumu. Ibuku Mama Maya, dan ayahku papa Ahmad." Jelas Alvi.
"Lalu? Jika mereka teman ibuku, mengapa mereka tidak datang?" Tanya Avril heran.
Alvi hanya tersenyum. "Mereka sudah pulang. Tepat saat aku baru lulus SMA. Mereka mengalami kecelakaan pesawat."
'Deg' hati Avril terasa teriris mendengar cerita Alvi.
"Ternyata kau lebih kesepian dariku." Avril menunduk merasa bersalah.
"Sekarang sudah tidak." Alvi tersenyum pada Avril. Avril hanya menatap kosong wajah Alvi yang tersenyum tanpa menyembunyikan apapun. Alvi kehilangan kedua orang tuanya, masih bisa tersenyum seperti itu. Dan Avril hanya ditinggalkan oleh ibunya, sampai tak bisa tersenyum dengan bebas lagi. Mungkin sekarang ini, sumber senyumannya adalah Aldi. Itupun jika kembali.
"Avril... apa aku boleh bertanya sesuatu?"
"Apa?" Avril menyernyitkan dahinya.
"Siapa Aldian? Apa dia pacarmu?" Tanya Alvi semakin lekat menatap Avril.
"Dia temanku" singkat dan jelas.
'Deg' sejak kapan? Sejak kapan Aldi menjadi temannya.
Alvi hanya mengangguk pelan.
-bersambung
Kulihat Alvian masih terdiam menatap senja yang mulai gelap.
Aku yang masih tak percaya, berbicara bahwa Aldi adalah temanku. Aku benar-benar tak mengerti dengan otak ku saat ini.
Setelah itu, Alvi mengantarkanku pulang.
Sampai dirumah, bibi memberitahukanku bahwa seseorang datang mencariku.
"Siapa bi?" Tanyaku duduk di sofa.
"Dia tidak menyebutkan namanya, namun bibi seperti mengenal dan pernah melihatnya." Jelas bibi
"Aku tidak punya teman laki-laki, selain Bagas, Reno dan Alvian sekarang bi." Aku semakin bingung.
Apakah Aldi? Tapi jika benar itu Aldi dia akan memberikan penjelasan pada bibi, setidaknya menyebutkan namanya.
"Tapi setelah bibi memberitahu bahwa non pergi ke acara di kantor, dia langsung bergegas pergi." Lanjut bibi menjelaskan.
"Baiklah bi. Aku akan memikirkannya nanti." Aku berlalu menaiki tangga menuju kamarku.
Pikiranku kembali berkecamuk. Perasaan tak karuan, tidurpun tidak nyenyak.
. Esok paginya, aku ada janji lagi dengan Syifa ditaman. Sebelum akhirnya aku masuk kuliah.
Jadwal kuliahku hari ini siang. Aku punya banyak waktu bertukar cerita dengan Syifa.
. Sampai ditaman, Syifa sudah menungguku.
"Sudah lama?" Tanyaku duduk disampingnya.
"Tidak juga." Jawabnya tersenyum. "Bagaimana acaranya?" Lanjutnya bertanya
"Alhamdulillah lancar." Jawabku tersenyum.
"Syukurlah" ucapnya berbinar
"Dan kau?" Tanyaku membalas bertanya.
"Lancar, tapi..." Syifa sedikit menunduk.
"Tapi?" Aku memiringkan kepalaku.
"Sepertinya dia tak menginginkan perjodohan ini." Aku semakin heran dengan ucapan Syifa.
"Tapi anehnya dia tetap melanjutkan dan menerimanya." Lanjut Syifa menjelaskan.
"Hemmm mungkin memang seperti itu. Bersabarlah, hubungan kalian akan baik-baik saja kedepannya." Avril mengusap lengan Syifa. Syifa mengangguk pelan. "Jika sudah baik-baik saja, jangan lupa kenalkan aku padanya." Lanjut Avril dengan nada ejekan.
"Baiklah...." Syifa tertawa kecil menanggapi Avril.
Dering ponsel Avril berbunyi, dilihatnya siapa yang menelpon.
"Bagas? Hallo" tanda Avril menjawab panggilan.
"Kau dimana?" Tanya Bagas dari sebrang.
"Aku ditaman kota. Ada apa?" Avril mengerutkan alisnya.
"Benarkah? Kau disebelah mana?"
"Aku di sebelah utara di kursi warna merah." Jelas Avril.
"Baiklah! Aku akan kesana!" Bagas menutup panggilannya.
"Ada apa Avril?" Tanya Syifa.
"Bagas. Aku tak mengerti apa maksudnya. Tapi dia bilang akan kesini." Avril menjelaskan dengan wajah polos menatap ponsel.
"Avril.. aku duluan. Aku mau ke toko buku dulu. Setelah itu mungkin aku langsung ke kampus." Ucap Syifa.
"Baiklah.. hati-hati. Aku akan disini sementara waktu, menunggu Bagas datang." Avril tersenyum.
"Ya sudah! Jangan sampai telat ke kampus oke?" Syifa meninggalkan Avril.
Avril mulai fokus pada ponselnya.
"Avril" panggil Bagas yang sudah ada disampingnya.
"Ya?" Avril mendongak, lalu berdiri dari duduknya. Menjatuhkan ponselnya, dan menatap seakan tak percaya siapa yang di depannya.
"Avil" lirih Aldi tersenyum namun menahan genangan air di kelopak matanya.
Aldi memeluk Avril dengan erat. "Maafkan aku...." Air matanya sudah tak terbendung lagi. Avril membenamkan wajahnya di dekapan Aldi.
"Kau tak salah. Kau tak perlu minta maaf." Mulai terdengar isakan Avril.
"Sungguh Avil. Aku minta maaf. Aku mengecewakanmu." Aldi semakin erat memeluk Avril.
"Aku senang kau pulang. Jangan pergi lagi..."
"Hei. Kalian melupakanku?" Bagas mengambil ponsel Avril yang terjatuh.
Aldi melepas pelukan Avril, lalu menggenggam tangannya. "Jangan menangis."
"Kenapa kau tak memberitahuku? Aku bisa menyempatkan menjemputmu ke bandara." Lirih Avril.
"Maaf. Ini mendadak dan aku juga tidak tahu akan pulang ke kota ini. Dan aku tak percaya kau masih menungguku." Aldi menatap datar Avril.
"Kau bicara apa Al. Aku selalu menunggumu."
"Lalu, siapa orang yang menggandeng tanganmu saat acara di kantor ayahmu?" 'Deg' Avril menatap Aldi.
"Maksudmu Alvi? Dia teman kak Galih. Dan bagaimana kau tahu?" Avril semakin lekat menatap Aldi.
"Aku melihatnya sendiri." Jawab Aldi datar.
Avril menggenggam tangan Aldi seakan tak mau melepaskan. Bagai sebuah pisau yang menusuk didadanya, hatinya hancur, nafasnya sesak begitu melihat sebuah cincin melingkar di jari manis Aldi.
"Apa maksudnya Al?" Avril menunduk menatap cincin pertunangan itu. "Apa ini yang ingin kau tunjukan?" Avril mundur beberapa langkah.
"Avril..." ucap Bagas lirih.
"Dan kau, kenapa kau tak bilang bahwa Aldi...." Avril melirik Aldi. Avril tak melanjutkan ucapannya, menghela nafas berat, dan menatap Bagas dengan tajam. Avril merebut ponselnya dari Bagas, dan berlari meninggalkan taman.
Kemudian Avril melajukan mobilnya dengan cepat. Avril menangis sejadi-jadinya. "Salah apa aku Tuhan? Kau mengambil ibuku, dan sekarang kau memisahkanku dengan Aldi." Ucap Avril didalam mobil.
Saat jalanan sepi, Avril sengaja membantingkan kemudi nya, menabrak pembatas jalan yang mengakibatkan kerusakan parah pada mobilnya. Kemudian kesadarannya mulai memudar.
. Saat membuka mata, terdengar isakan tangis seseorang disampingnya. Avril mengedarkan pandangan, mendapati kak Nadia yang menunduk di samping ranjang.
"Kak Nadia." Lirih Avril. Nadia mendongak, dan mengusap lembut Rambut Avril. "Syukurlah..." Nadia kembali menundukan kepalanya pada lengan Avril.
"Apa aku masih hidup?" Avril menerawang menatap atap.
"Kenapa aku tak mati? Bahkan jika selamat pun, setidaknya aku amnesia." Avril memejamkan matanya. Lalu membuka kembali, menatap jauh pada kedua mata kakak nya. Avril bangun dan bersandar. Menatap dalam pada Galih yang menatap Avril datar.
"Bukankah aku terbentur cukup keras? Semua badanku sakit, kaki ku patah, tapi kenapa kepalaku hanya tergores sedikit saja?" Avril terlihat putus asa.
Galih berjalan mendekati Avril.
"Kak. Bukankah lebih baik jika aku bertemu dengan ibu secepatnya?" Avril menatap lurus kedepan tanpa melirik sedikitpun pada Galih.
'Plak' tamparan keras tepat dipipi Avril. Meninggalkan bekas merah, namun tak membuat Avril meringis kesakitan, bahkan terlihat tak merasakan apapun.
"Kau pikir aku akan diam saja melihatmu seperti ini?" Tegas Galih menatap tajam Avril. "Sudah cukup aku kehilangan ibu, aku tak ingin kehilanganmu, orang yang aku sayangi untuk yang kedua kalinya." Bulir bening mulai mengalir di pipi Galih.
"Tamparanmu tak ada apa-apanya, dibanding rasa sesak yang terus menghalangi pernafasanku." Ucap Avril datar.
"Terserah kau mau mengoceh apa, tapi jangan karena orang seperti Aldian, kau rela kehilangan nyawamu hanya karena sakit hati." Ucap Galih melangkah menuju pintu.
"Kau tahu seberapa besar aku mencintainya kak." Galih berhenti dan menoleh pada Avril.
"Itulah salahnya. Kau terlalu mencintainya, berharap lebih padanya, hingga kau menggantungkan kebahagiaan padanya. Hingga saat kau kecewa, kau merasa dunia tak adil. Tapi sebenarnya kau tak bisa melihat bahwa kebahagiaanmu ada di depan mata. Selama ini ada aku, ayah, bahkan Nadia selalu mencoba membuatmu bahagia, tapi kau sendiri yang memilih rasa sakit itu. Lihatlah orang yang menyayangimu, bukan hanya orang yang kamu sayangi saja. Ingat itu Avril. Aku kakakmu, dan akulah yang tahu persis bagaimana perasaanmu." 'Deg' penjelasan Galih membuat Avril tak berbicara lagi. Galih keluar dari ruangan, berpapasan dengan seseorang yang tak dikenalnya.
"Siapa kau?" Tanya Galih menyernyitkan dahinya.
"Saya Ray tuan" jawab Ray sedikit menundukan badannya. "Saya asisten pribadi tuan Alvian." Lanjut Ray dengan ramah.
"Lalu?" Galih dengan tatapan datar.
"Saya ingin memberikan ini pada nona Avril. Karena beliau sedang ada rapat penting, jadi tak bisa memberikan secara langsung." Ray memberikan sebuah parcel buah-buahan ditangannya.
"Hanya ini?" Galih menatap buah itu dan menerimanya.
"Ummmmm... selebihnya hanya tuan Alvian yang bisa memberikannya." Jawab Ray berfikir sejenak.
"Kau bicara apa Ray. Ahh aku semakin tak mengerti apa yang si playboy itu rencanakan." Galih mengacak rambutnya. Galih kembali kedalam ruangan Avril dan memberikan kiriman itu. Ray hanya tersenyum melihat Galih yang pergi tanpa bicara lagi.
'Benar-benar keluarga dingin' gumam Ray dalam hati.
"Cepat sekali kau membelinya Galih? Apa kau memanggil pengantar pesanan?" Tanya Nadia yang sudah duduk di sofa.
"Ini dari Alvian." Jawab Galih yang membuat Avril menoleh seketika. "Apa? Kau mau bertanya dimana dia?" Galih menatap tajam Avril.
"Tidak" Avril kembali memalingkan pandangannya.
"Aku yang ingin bertanya itu Galih." Timpal Nadia dengan serius.
"Hemmm jadi kau mulai berani menanyakan laki-laki lain padaku?" Galih berjalan menghampiri Nadia. "Aku calon suamimu Nadia!" Lanjut Galih mendekatkan wajahnya pada Nadia. Nadia menepuk kedua pipi Galih dan menatapnya.
"Tentu saja tidak tuanku." Nadia tersenyum memejamkan matanya. "Aku hanya ingin tahu saja apakah Alvian benar-benar menyukai Avril atau tidak." Lanjut Nadia sedikit berbisik.
"Hemmmm benarkah?" Galih menatap lekat kedua mata Nadia.
"Ahemmm... apa kalian tak bisa menahan diri? Ada aku di sini." Avril yang masih memalingkan wajahnya.
'Ceklak' suara pintu terbuka.
"Avril. Akhirnya kau sudah bangun" ucap Bagas terengah-engah.
Avril hanya menoleh sedikit dan kembali fokus pada jendela.
"Kau masih marah padaku?" Avril tak menjawab pertanyaan Bagas.
"Avril... aku mohon jangan seperti ini. Aku benar-benar baru tahu juga saat itu." Bagas menghampiri Avril.
"Sudahlah Bagas. Aku sudah tak ingin mendengar ocehanmu. Kau tak salah, tak perlu meminta maaf seperti itu. Aku saja yang terbawa emosi." Avril tetap fokus pada jendela disampingnya.
"Avril... aku ingin memelukmu." Rengek Bagas.
"Silahkan Bagas. Aku juga ingin sekali memukul kepalamu." Avril memasang senyum manisnya.
"Baiklah. Tidak jadi." Bagas memalingkan pandangannya.
"Hei kak Galih! Apa kau akan merestui jika aku menyukai adik kesayanganmu ini?" Ucap Bagas menoleh pada Galih.
"Tidak akan.!" Tegas Galih.
"Ayolahh... aku tidak akan mengecewakannya. Aku berjanji." Lanjut Bagas memasang 2 jari.
"Aku tidak akan memberikan adikku pada berandalan sepertimu." Tegas Galih lagi.
"Be-beran-dalan?" Seketika Bagas menjadi depresi.
"Hei Bagas?" Panggil Avril.
"Hmmmm?" Bagas menoleh pada Avril.
"Apa banyak tugas saat aku tak masuk?" Avril menatap Bagas datar.
"Bukan banyak lagi, tapi menggunung. Kau tak masuk selama 1 pekan, dan bersiaplah saat kau sembuh maka kau akan cepat masuk rumahsakit lagi karena stres dengan tugasmu." Ucap Bagas menatap tajam Avril. Avril terbelalak mendengar ucapan Bagas, lalu menoleh pada Galih. Galih hanya memalingkan pandangannya dan Nadia hanya memasang wajah tidak tahu.
"Sial. Ini tidak lucu." Avril mencengkram erat selimut di depannya.
Bagas menatap ngeri teman kecilnya itu.
"Baiklah. Aku pulang dulu! Cepatlah sembuh. Teman-teman sudah merindukanmu." Ucap Bagas yang berlalu ke balik pintu.
Avril terdiam. Rasanya hanya ingin berdiam saja dikamar itu.
'Ceklak' suara pintu kembali terbuka. Seorang dokter muda memasuki ruangan dan menyuruh Galih dan Nadia untuk keluar selama dia memeriksa Avril.
Avril dengan sikap dinginnya mematuhi apa yang di ucapkan dokter itu.
"Badanmu akan segera pulih, tapi untuk kakimu sebaiknya jangan dipaksakan untuk berjalan. Karena akan fatal nantinya. Jika ingin berpergian, gunakan tongkat atau kursi roda." Jelas dokter itu dan Avril hanya mengangguk.
Meski sudah selesai, Noah masih tetap menatap kearah Avril yang sedari tadi menatap keluar jendela.
"Avril. Terimakasih! Kehadiranmu sudah merubahnya." Avril menoleh dan terheran, tak mengerti apa yang di ucapkan Noah. "Kau tak mengerti ya?" Noah menggaruk kepalanya.
"Akan ku ceritakan." Noah berjalan dan membuka lebar jendela. Menatap ke kejauhan gedung-gedung, dan menghela nafas panjang. "Aku punya teman. Dia sangat kesepian, orang tuanya sudah meninggal. Aku sendiri tak bisa menghiburnya. Setiap malamnya, dia habiskan untuk minum di club. Pulang dengan keadaan mabuk. Yaa sebelum kehilangan orang tuanya, dia anak manja yang memakai uang orang tuanya untuk memikat para wanita di sekolahnya. Tapi setelah insiden itu, dia benar-benar berubah. Aku tak mengenali sahabatku sendiri. Tapi tak ku sangka, seorang Avril Vania yang dikenal dingin bisa memikat hati sahabatku. Padahal selama ini, tak ada wanita yang bisa menarik perhatiannya. Jadi, aku harap kau tak meninggalkannya Avril." Noah menatap harap pada Avril.
"Apa yang kau maksud itu Alvi?" Tanya Avril datar.
Noah terkejut. Lalu menggaruk kembali kepalanya.
"Ternyata kau sudah tahu."
"Mudah sekali menebak ceritamu dokter...." Avril menatap konyol pada Noah. "Jadi? Kapan aku pulang?" Tanya Avril penuh harap.
"Sekitar 3 hari lagi, itupun jika kakimu sudah membaik." Avril menggembungkan pipinya mendengar jawaban Noah.
"Baiklah. Cepat sembuh nona Revano." Noah berjalan berlalu menuju pintu.
"Jangan mengejekku dokter sialan" geram Avril.
"Ahaha pundakku terasa panas sekali. Ha ha ha." Noah menutup pintu sedikit keras. Lalu mempersilahkan kembali Nadia untuk masuk. Namun Galih sudah tak disana.
"Terimakasih Noah. Upss maaf dokter." Nadia menutup mulutnya.
"Tak apa kak. Panggil aku sesukamu. Toh saat dirumah, kau akan kembali mengejekku." Noah melipatkan tangan di dadanya.
"Baiklah jangan marah." Nadia membuka sedikit pintu.
"Kak! Jika saja Alvi tidak menyukai Avril, apa kau akan mengizinkanku mencintai Avril?" Ucap Noah tiba-tiba. Nadia terdiam memegang erat gagang pintu.
"Sebaiknya kau tanyakan itu pada dirimu. Jika kau juga mencintai Avril seperti Alvi, bersainglah secara sehat. Tapi aku harap salah satu dari kalian ada yang mengalah." Nadia berlalu masuk kedalam ruangan. Noah menghela nafas panjang. Lalu kembali ke ruangannya.
. Didalam kamar pasien, Avril kembali terisak. Entah karena badannya yang sakit, atau mengingat mobilnya yang pasti rusak parah, atau juga mengingat kembali kenyataan bahwa Aldi sudah mengkhianatinya. Dadanya sesak. Pikirannya kembali kacau. Nadia memeluk erat Avril, dirasanya Avril sudah seperti adiknya sendiri.
"Sudah. Semuanya akan baik-baik saja." Nadia mengelus lengan Avril.
"Aku merindukan ibu." Tangisnya pecah.
-bersambung
. 2 minggu berlalu, akhirnya aku bisa menghirup udara segar. Entah aku harus senang atau kesal hari ini, aku senang karena sudah diperbolehkan pulang. Tapi aku juga kesal, kenapa harus Alvi yang menjemputku pulang?.
Alvi mendorong kursi rodaku, diikuti Noah disampingnya.
"Kenapa kau yang menjemputku?" Tanyaku dengan nada kesal.
"Ayahmu yang menyuruhku." Jawab Alvi datar.
"Apa ayah sesibuk itu? Dan kenapa kau mau disuruh oleh ayah?" Ocehku terus menerus.
"Aku tidak tahu. Aku juga sedang sibuk, tapi aku tak bisa menolak." Hening beberapa saat.
"Jika bukan aku, siapa lagi yang akan menjemputmu?" Tanya Alvi melirik jam tangan. Aku hanya terdiam.
"Noah bisa mengantarku." Ucapku datar.
"Noah sedang sibuk dengan pasiennya" ucap Alvi cepat sebelum Noah bicara. Noah mendelik pada Alvi.
"Atau kau mau Aldi yang menjemputmu?" Lanjut Alvi dengan nada datar.
"Sebaiknya kau jangan menyebut nama itu lagi." Terdengar suara nafas berat yang aku hembuskan.
"Baiklah nona.." ejek Alvi.
"Noah? Apa aku benar-benar sudah pulih?" Tanyaku menoleh sedikit ke kanan.
"Jangan memaksakan Avril. Kakimu belum sepenuhnya bisa berjalan. Aku sarankan agar kau tidak mencoba berjalan tanpa bantuan." Jelas Noah yang masih mengikuti langkah Alvi disampingnya.
Sampai depan loby, Ray sudah memarkirkan mobilnya tepat di ujung teras loby.
Ray membukakan pintu belakang dan mempersilahkan tuannya untuk masuk.
"Biar aku yang menggendongnya." Ucap Noah sedikit melangkah ke depan.
"Tak perlu. Aku bisa melakukannya." Ucap Alvi membuat Noah mematung.
Alvi mengendong Avril masuk ke dalam mobil. Kemudian Ray menutup pintu mobil dan kembali ke kursi kemudi.
Mobil Alvi melaju meninggalkan rumahsakit. Noah masih menatap kepergian mobil hitam itu.
"Aku tak bisa menang darimu Alvi." Ucap Noah lalu berbalik kembali memasuki rumahsakit.
Diperjalanan, tak ada yang bicara. Ray melirik spion memperhatikan kedua orang di belakangnya.
"Es dan es, aku merasa sedang berada dikutub utara." Gumam Ray dalam hati dengan memasang senyuman.
"Kau tersenyum?" Tanya Alvi menatap tajam Ray.
"Tidak tuan." Jawab Ray.
Mobil kembali hening.
"Maaf nona, apa nona lapar?" Tanya Ray melirik spion pada wajah Avril.
"Sedikit." Avril melirik Ray.
"Apa nona ingin makan dulu sebelum sampai ke rumah?" Tanya Ray kembali.
"Tidak. Aku ingin makan dirumah saja." Ucap Avril menerawang keluar kaca.
Alvi hanya menatap Avril. Entah perasaan apa yang sedang Alvi rasakan saat ini.
Melihat Avril membuatnya merasa senang, namun ada rasa iba dan kasihan karena kesepian seperti dirinya, ada juga rasa yang tak bisa Alvi artikan. Jantungnya selalu berdebar saat bertemu dengan Avril.
Lama Alvi menatap Avril. Tak sadar, senyumnya tersungging di bibir manisnya ketika menatap Avril yang hanya menyandarkan kepalanya pada kaca mobil.
Ray kembali tersenyum ketika melihat tuannya bertingkah lain dari biasanya.
Tak lama, mobil sampai di rumah Avril.
Terlihat bibi berlari dan memberi sedikit hormat pada Alvi. Alvi tersenyum ramah pada bibi.
Ray membukakan pintu mobil, Avril melangkahkan kakinya keluar mobil namun tangannya di tahan oleh Alvi.
"Jangan. Biar aku yang membantumu". Alvi keluar lebih dulu.
"Aku bisa sendiri Alvi." Namun Alvi tak menghiraukan Avril.
Alvi kembali menggendong Avril. Belum memasuki rumah, Alvi berhenti mendengar suara mobil yang berhenti tepat di samping mobilnya.
Avril melirik dari balik lengan Alvi siapa yang datang. Matanya terbelalak, lalu merangkulkan tangannya dan membenamkan wajahnya di pangkuan Alvi. Alvi merasa heran, lalu memutar tubuhnya melihat tamu yang di belakangnya.
"Avil" lirih Aldi menatap Avril yang tak meliriknya sedikitpun.
"Avil. Aku ingin menjelaskan semuanya." Lanjut Aldi.
Avril masih terdiam. Menatap tajam objek didepan matanya.
"Aku mohon dengarkan dulu penjelasanku." Aldi melangkah mendekat.
"Melihat sikap Avril, harusnya kau sudah tahu apa artinya." Ucap Alvi menatap dingin Aldi. Aldi tak kalah dingin menatap Alvi.
"Siapa kau?" Tanya Aldi.
"Dan kau siapa?" Tanya Alvi membalikan pertanyaan. Aldi hanya terdiam.
"Buakankah sudah jelas, jika dikatakan siapa kekasih Avril, jawabannya ada pada bukti yang terlihat." Lanjut Alvi.
"Apa maksudmu?" Aldi menyernyitkan dahinya.
"Bukankan Kau sudah bertunangan?" Aldi terbelalak.
"Urusanku dengan Avril. Bukan dengan kau." Aldi memasang wajah tegas.
"Hmmphh bahkan yang ingin kau temui tidak melirikmu sedikitpun." Alvi tak kalah tegas.
Aldi tak berbicara lagi, tangannya mengepal.
"Aku hanya perlu mendengarkanmu saja kan?" Avril menoleh pada Aldi. "Alvi turunkan aku di sofa. Tidak baik menerima tamu seperti ini." Alvi hanya menatap Avril.
Alvi berjalan menuju ruang tamu. Menurunkan Avril, dan duduk disamping Avril. Avril menatap dingin Aldi yang duduk tepat didepannya.
"Katakan apa yang ingin kau katakan." Ucap Avril dingin.
"Aku ingin berbicara berdua denganmu." Aldi sedikit memohon.
"Ada atau tidak adanya Alvi, itu sama saja." Jawab Avril datar.
Aldi melirik Alvi yang menatapnya penuh kemenangan.
"Jadi, apa kau tak akan bicara?" Tanya Avril masih menatap datar. "Jika kau merasa terganggu oleh Alvi, anggap saja dia tak ada." Lanjutnya membuat Alvi sedikit mendelik.
"Avil. Apa benar kau menungguku selama 5 tahun ini.?" Tanya Aldi menahan airmata.
"Jika iya, lalu kenapa?" Jawab Avril dengan datar.
"Apa kau tak memiliki kekasih selain aku?" Tanya Aldi melirik pada Alvi.
"Menurutmu?"
"Itu tak menjawab pertanyaanku Avil."
"Menurutmu? Jika aku punya kekasih selain dirimu, tak mungkin aku sampai seperti ini." Ucap Avril dengan nada menahan kesal.
"Maafkan aku Avil... aku salah mengira. Dan aku salah mengambil keputusan. Aku pun masih mencintaimu Avil." Kini airmatanya tak bisa lagi terbendung.
"Apa maksudmu?" Tanya Alvi menatap Aldi yang tak berpura-pura menangis.
"Itu benar-benar airmatanya. Sebesar apa cinta Aldian pada Avril?" gumam Alvi. Avril hanya menyernyit, lalu kembali tenang.
"Andai saja aku tahu jika orang yang berada disisimu saat ini bukan kekasihmu, aku tak mungkin menerima perjodohan ini." Lanjut Aldi mengusap kedua pipinya.
'Deg' Avril tersentak mendengar ucapan Aldi.
"Dijodohkan?" Alvi dan Avril bersamaan.
"Ya. Aku di jodohkan Avil. Aku tak berniat mengkhianatimu. Sejak awal aku di berikan pilihan antara malamarmu atau menerima perjodohan ini." Jelas Aldi menatap Avril.
"Tidak berniat mengkhianatiku? Lalu kenyataan ini apa? Kenyataan kau lebih memilih perjodohan itu daripada aku." Pecah sudah tangis yang sedari tadi Avril tahan.
"Aku sudah menunggumu sejauh ini, berdoa untukmu setiap hari, berharap kau pulang. Tapi mungkin doa ku yang salah. Aku hanya meminta keselamatanmu dan kau kembali untuk menemuiku, bukan untuk melamarku. Mungkin aku yang terlalu berharap lebih pada harapan yang jelas tak memihakku." Avril mengusap pipi nya.
"Kau tanya kenapa aku menerima perjodohan ini?" Alvi menghela nafas sesaat. "Aku kerumahmu saat itu, tapi bibi bilang kau ada acara dikantor ayahmu. Aku bergegas untuk menemuimu, berniat meminta jawaban atas pertanyaanku. Tapi, saat aku disana, apa yang ku dapat? Kau terus bersama dengan orang ini di acara itu, bahkan dia terus menggandeng tanganmu sampai di dalam lift. Dan kau juga tak menolaknya. Disaat itulah aku pikir kau sudah memiliki penggantiku disisimu. Aku berfikir wajar saja jika kau berpaling, aku sudah meninggalkanmu selama 5 tahun tanpa kabar." Alvi memalingkan wajahnya.
"Apa yang ingin kau tanyakan padaku?" Lirih Avril.
"Pertanyaan yang terus membuatku ragu. Jika aku melamarmu, apa kau akan menerimaku?" Tanya Aldi menatap lekat pada Avril.
Avril menundukan kepalanya, ditahan dengan tangan kanannya. Semuanya tampak kacau, memusingkan, dan membuatnya sakit kepala. Pandangannya memudar, dan kemudian gelap.
Avril terlelap ke pangkuan Alvi. Aldi beranjak dan berlari menghampiri Avril.
"Avil... Avil... sadarlah." Aldi mengguncang tubuh Avril beberapa kali.
"Sudahlah. Itu percuma. Avril tak sadarkan diri." Ucap Alvi lalu menggendong Avril menuju kamarnya.
"Kau pikir kau siapa Alvian?" Tegas Aldi masih berdiri ditempatnya.
"Aku bukan siapa-siapa." Alvian terus melanjutkan langkahnya. "Sebaiknya kau pulang. Aku yang akan menjaga Avril. Dan kau tak usah khawatir, dia akan baik-baik saja bersamaku." Lanjut Alvi tanpa menoleh ke belakang dan berlalu ke kamar Avril diikuti bibi dari belakang.
Aldi mengepalkan tangannya menatap kesal pada Alvi.
"Sial kau Alvi!" Gumam Aldi berbalik dan pergi meninggalkan rumah Avril.
. Esok harinya, Avril memaksakan pergi ke kampus. Alvi sudah berada di depan teras.
"Sedang apa kau?" Avril berhenti tepat diantara pintu.
"Aku mengkhawatirkanmu gadis bodoh." Alvi menoleh sedikit pada Avril.
"Aku bisa sendiri." Avril berjalan melewati Alvi.
"Dasar keras kepala." Alvi menarik tangan Avril. "Kau pikir aku tak tahu kau menahan sakit di kakimu saat ini." Lanjut Alvi membuat Avril terdiam.
"Jadi? Apa kau akan memaksakan dirimu mengemudi sendiri nona?" Alvi sedikit medekatkan wajahnya pada Avril.
"Baiklah! Karena kau memaksa, aku tak bisa menolak!" Avril berjalan dengan wajah sombongnya. Ray membukakan pintu mobil. "Terimakasih Ray!" Ucap Avril tersenyum pada Ray, dan Ray hanya membalas dengan senyum pula.
"Apa-apaan itu? Harusnya aku yang mendapat senyuman itu." Gumam Alvi menatap tajam Ray. Alvi kemudian berjalan mendekati Ray "kupotong gajimu Ray." Bisik Alvi sebelum akhirnya masuk kedalam mobil.
"Eh? Apa salahku tuan?" Lirih Ray kebingungan.
Ray melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Seperti sebelumnya, Avril hanya terdiam menatap keluar. Namun kali ini Avril memasang wajah kesal. Melipatkan tangan di dadanya.
"Kapan Ayah dan kak Galih pulang? Apa mereka sengaja meninggalkanku dan membiarkan Alvi seenaknya padaku?" Gumam Avril sedikit mencengkram lengannya.
"Kau masih mencintai Aldi?" Avril menoleh mendapati pertanyaan dari Alvi.
"Kenapa kau bertanya?" Avril menatap Alvi dalam.
"Aku hanya ingin tahu." Jawab Alvi tanpa menoleh sedikitpun pada Avril.
"Bukan urusanmu." Avril memalingkan pandangan kembali fokus pada jalanan diluar.
"Itu menjadi urusanku jika menyangkut perasaanmu." Lirih Alvi.
"Apa?" Avril menoleh sedikit berteriak.
"Apa?" Alvi menyernyitkan alisnya.
Ray tersenyum melihat tingkah tuannya.
"Katakan saja tuan, bahwa tuan mencintai nona Avril." Gumam Ray.
Sampai di depan gerbang kampus, semua mata tertuju melihat Avril turun dari mobil dengan seorang presdir idola mereka. Benar-benar diluar dugaan, seorang Avril Vania yang selalu menolak setiap lelaki yang menyukainya, termasuk seniornya saat itu, kini memilih dengan Alvian Revano, seorang presdir muda yang sukses membawa perusahaan D menjadi perusahaan terbaik ketiga di kota itu. Yang dikenal sangat dingin pada siapapun. Bahkan Alvian dikenal tidak pernah tertarik pada perempuan manapun.
"Terimakasih Ray." Lagi-lagi Avril memberikan senyum manisnya pada Ray. Ray hanya tersenyum menanggapi Avril. "Tak apa nona."
Alvi menatap tajam pada Ray. Ray menyentuh pundaknya. "Pundakku mendadak panas" Gumam Ray.
"Kau tidak berterimakasih padaku nona?" Alvi menatap Avril datar. Avril menatap tajam Alvi, lalu berbalik meninggalkan mobil Alvi dan berlalu tanpa menoleh kembali.
"Ray. Gajimu kupotong 50%." Geram Alvi.
"Heeehhhhhh? Apa salahku tuan?" Ray semakin kebingungan.
"Kau sudah mencuri senyuman Avril yang seharusnya aku dapatkan." Tegas Avril.
"Apa? Hanya karena senyuman, gajiku dipotong begitu saja.😭" Ray melajukan mobilnya menuju kantor perusahaan D.
Ditaman kampus, Aldi mencegat Avril.
"Aldi? Kau kuliah disini?" Tanya Avril tak percaya.
"Avil. Aku ingin bicara." Aldi menatap Avril lekat.
"Mau apa lagi?" Avril terlihat kesal.
"Ada yang ingin aku tanyakan."
"Iya apa? Bukankah semuanya sudah jelas. Penjelasanmu sudah aku dengarkan, dan sekarang apa lagi? Ayolah mood ku sedang tidak baik hari ini." Avril hendak melewati Aldi, namun Aldi menghalangi.
"Apa kau masih mencintaiku?" Tanya Aldi membuat Avril semakin kesal.
"Pertanyaan yang sama. Untuk apa kau menanyakan hal itu?"
"Jika kau masih mencintaiku, aku akan membatalkan perjodohan ini. Aku akan memilihmu, aku akan melamarmu, dan aku--" 'PLAK' belum sempat Aldi melanjutkan, tamparan keras Avril membuat Aldi terdiam.
Avril benar-benar terlihat kesal.
"Kau pikir hal seperti itu bisa dimainkan sesukamu?. Itu sudah menjadi keputusanmu, kau yang memilihnya. Bukankah kau sendiri yang bilang? Kau tidak akan menarik kembali kata-katamu, dan sekarang kau mengingkari ucapanmu sendiri?" Avril berlari meski kakinya terasa sakit.
Sampai di kelas, Avril menangis. Entah karena Aldi, atau karena kakinya yang terus menerus terasa sakit.
"Avril..." Reno menghampiri Avril.
"Reno!" Avril memegang ujung jaket Reno.
"Harusnya jangan masuk dulu, kau belum pulih." Reno berjongkok tepat di depan Avril. Bagas berlari menghampiri Avril dan Reno.
"Avril.... kakimu masih sakit?" Bagas ikut berjongkok. Avril menggeleng.
"Bukan kakiku, tapi hatiku." Lirih Avril.
"Apa maksudmu?" Tanya Baren (Bagas Reno) bersamaan.
"Kalian jangan berpura-pura tidak tahu." Avril mengusap kedua pipinya.
"Maaf Avril. Tapi aku juga tak bisa apa-apa." Ucap Reno menatap Avril.
"Aku juga tak bisa mencegahnya." Bagas memalingkan pandangannya.
Terdengar langkah kaki yang semakin dekat menghampiri ketiga sahabat itu.
"Avril." Syifa memeluk Avril penuh haru. "Kau baik-baik saja? Mengapa kau menangis? Jika belum pulih, jangan memaksakan." Avril semakin terisak. Memang hanya Syifa yang selalu menenangkan hatinya.
Mata Avril terlihat sembab. Bahkan beberapa dosen mengejek Avril, namun Avril tak menghiraukan ejekan dosennya.
1 minggu Avril menahan sakit dikakinya, kini harus menahan penasaran karena Alvi tak lagi datang mengunjunginya.
"Kenapa aku memikirkannya?" Avril menggelengkan kepalanya. "Aku tidak peduli padanya." Ucapnya kesal sendiri di dalam kamar. "Sial! Aku mulai kesepian tanpanya." Avril membaringkan tubuhnya di sofa.
-bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!