“Hiks..hiks..hiks…”
Terdengar pilu suara tangis seorang gadis kecil lugu yang belum tahu apa-apa. Ia duduk sendiri di bawah pohon rindang sekitar pemakaman.
Pemakaman?
Ya, pemakaman. Tepatnya pemakaman kakeknya.
Berulang kali terdengar sang gadis kecil yang selalu menyebut nama kakeknya di sela tangisannya. Kakek dan kakek. Air mata tulus sang gadis kecil terus saja mengalir menandakan betapa kehilangannya dia akan kepergian sang kakek.
Meski ia masih kecil, tapi ia masih bisa mengingat jelas kenangan indah bersama sang kakek. Tak kuasa menahan kesedihannya, sang gadis kecil-pun duduk bersimpuh dan menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan luka kehilangannya. Hingga akhirnya seorang anak laki-laki sebayanya menghampiri.
“Kau kenapa menangis sendirian?” Tanya polos anak laki-laki kecil.
Mendengar seseorang berkata padanya, sang gadis kecil-pun menengadahkan kepalanya. “Hiks.. mereka bilang kakek sudah tidur dan tidak mau bangun lagi. Mereka bahkan melarangku membangunkan kakek..” Jawab lugu sang gadis kecil.
Sang gadis masih belum paham akan arti kematian sebenarnya.
“Tentu saja tidak boleh.” Jawab si anak laki-laki kecil yang berjongkok di depan sang gadis kecil yang sedang bersimpuh.
“Kenapa tidak boleh? Jika tadi aku membangunkan kakek dengan cepat, aku pasti bisa mencegahnya… hiks .. hiks..” Sang gadis mulai menangis lagi.
Ia sesegukkan.
“Mencegah apa..?” Si anak laki-laki kecil penasaran.
“Mencegah mereka menimbun kakek yang sedang tidur di tempat tidurnya. Mereka mengubur kakek dengan tanah.. hiks.. hiks.. kakek.. kakek…”
Tempat tidur yang dimaksud mungkin peti mati. Itulah yang muncul di benak si anak laki-laki kecil.
“Mereka melakukannya untuk membuat kakek tidur nyenyak dan mimpi indah…” Si anak laki-laki kecil memiliki pemikiran yang bisa dibilang jauh dari seusianya.
“Benarkah?”
“Hm, tentu saja. Jadi, jangan bersedih ya! Kakek sudah tidur nyenyak. Kakek juga akan di jaga oleh Tuhan dan malaikat-malaikat..”
“Kau kata siapa?”
“Ibuku yang selalu bilang begitu saat kakekku tidur seperti kakekmu.. “
Si anak laki-laki kecil menundukan kepalanya sejenak mengingat kepergian kakeknya. Melihat si anak laki-laki kecil yang menunduk, sang gadis kecil seolah mengerti kesedihan si anak laki-laki kecil itu.
“Kau jangan bersedih..!”
Si anak laki-laki kecil tersenyum manis. “Aku tidak akan bersedih, tapi kau juga harus berjanji untuk tidak akan bersedih juga..”
“Hm, aku janji. Aku tidak akan bersedih lagi!” Sang gadis kecil mengusap air matanya dan ikut tersenyum riang.
“Aku harus pergi, ibuku pasti mencariku..”
Mendengar kata-kata si anak laki-laki kecil, sang gadis kecil terlihat sedih lagi. Ia merasa masih ingin bersama dengan si anak laki-laki kecil. Si anak laki-laki kecil yang bisa membuatnya tersenyum.
“Jangan bersedih lagi! Kau sudah berjanji padaku…”
Kata si anak laki-laki kecil.
“Tapi kau mau meninggalkanku..”
Si anak laki-laki kecil memasukkan tangannya ke dalam saku celananya. Ia mencari sesuatu. Dari saku celananya, ia mengambil sebuah gelang indah berhiasan kristal warna putih. Begitu berkilau, apa lagi saat terkena sinar matahari.
“Ini satu-satunya pemberian kakekku. Simpanlah ini untukku..!” Si anak laki-laki kecil memberikan gelang kristal kepada sang gadis kecil.
“Tapi ini pemberian kakekmu..”
“Kakek bilang, aku boleh memberikannya pada gadis yang ingin aku lindungi.. dan kaulah orangnya..”
“Aku..?”
Si anak laki-laki kecil mengangguk. Sang gadis kecil-pun kembali menyimpulkan bibirnya. Entah apa yang ia rasakan. Saat itu, ia hanya sangat senang.
“Jaga dan simpanlah gelang dari kakekku ini..!”
“Apa kita akan bertemu lagi?”
“Tentu! Suatu saat nanti aku akan melihatmu pas memakai gelang itu..” Kata si anak laki-laki kecil.
Pas di sini artinya gelang itu tidak kebesaran di tangan si gadis kecil.
"Maka saat aku pas memakai ini, kau harus menikah denganku!" Kata si gadis kecil.
"Hah? Aku tidak mau.."
"Kenapa?" Si gadis kecil terlihat cemberut.
"..."
"Kenapa?" Si gadis kecil menuntut jawaban.
"Menikah itu hanya untuk orang yang saling menyukai."
"Aku menyukaimu."
Si anak laki-laki kecil itu menghela nafas. Gadis kecil di hadapannya itu masih sangat polos. "Menikah itu urusannya orang dewasa."
"Tapi kita akan menikahnya saat dewasa nanti." Si gadis kecil rupanya pandai bicara. "Jika kau tidak mau menikahiku, aku akan menangis lagi.." Kini malah mengancam.
"Hah.. baiklah, aku akan menikahimu saat dewasa nanti.." Si anak kecil ini tidak tega melihat si gadis kecil kembali menangis.
Si gadis kecil menyimpulkan senyum bahagianya. "Janji?" Si gadis kecil menunjukkan jari kelingking mungilnya.
Si anak laki-laki kecil menautkan jari kelingkingnya pada jari kelingking si gadis kecil. "Iya janji.."
"Kalau ingkar, jarinya dimakan ayam."
"Kalau ingkar, jarinya dimakan ayam."
"Kalau ingkar, jarinya dimakan sapi."
"Kalau ingkar, jarinya dimakan sapi."
Janjipun terpatri di antara dua anak kecil itu. Ketika angin berhembus dingin, di bawah pohon rindang, kawasan pemakaman.
.
.
.
Si anak laki-laki kecil menoleh ke arah jalan dimana sebuah mobil berhenti, dan nampaklah dari balik jendela seseorang melambaikan tangannya. Mengisyaratkan si anak laki-laki kecil untuk segera pulang.
“Nah itu ibuku. Baiklah, sampai jumpa ya…” Si anak laki-laki kecil berlari ke arah mobil. Tapi belum sampai mobil, si anak laki-laki kecil membalikkan badannya dan ia berteriak.
“Jangan bersedih! Karena aku yakin kita pasti akan bertemu lagi! Aku akan memenuhi janjiku!” Teriak si anak laki-laki kecil sambil berulang kali melambaikan tangannya.
Sang gadis kecil membalas dengan melambaikan tangannya juga. "Aku tidak akan bersedih lagi! Di mana aku bisa menemuimu nanti?"
"Universitas Patriot!"
Sang gadis tersenyum riang seiring mobil yang ditumpangi si anak laki-laki kecil itu pergi meninggalkannya.
.
.
.
“Ya, aku juga yakin kita pasti akan bertemu lagi…” Kata sang gadis kecil sambil menatap gelang Kristal yang sebenarnya terlalu besar untuk tangannya. “Tapi siapa nama anak itu? Aku lupa menanyakannya…”
Sebuah janji mengawali dari kisah yang akan sangat panjang ke depannya. Janji di masa muda? Ralat, di masa kanak-kanak. Bisakah mereka memegang janjinya sampai dewasa nanti? Akankah janji itu selalu teringat? Tidak terlupakan? Ada yang meragukan kemampuan mengingat masa kecil saat dewasa nanti?
Satu hal yang perlu diingat! Ini adalah klu penting bagi si gadis kecil dan si anak laki-laki kecil.
Universitas Patriot!
Ya, Universitas Patriot! Kampus ternama di Indonesia. Kampus yang sangat terkenal, bahkan anak kecilpun tahu keberadaannya. Di kampus sebagai tempat 'ketemuan' saat dewasa nanti.
Si gadis kecil maupun si anak laki-laki kecil itu bertekat jika mereka kuliah nanti, mereka akan masuk ke Universitas Patriot!
Dengan usaha dan doa, mereka yakin jika suatu saat mereka akan berjumpa lagi...
Pagi itu terlihat mentari yang besinar terang, dengan tetes-tetes embun yang membasahi dahan. Burung-burung bernyanyi merdu membuat alunan semangat untuk menghadapi hari dengan penuh harapan.
Bernuansa hangat dalam angan untuk mengucapkan selamat pagi, kawan!
Hari yang cerah ini adalah hari pengumuman kelulusan di SMA Garuda. Rasa takut bercampur bahagia terbagi disana. Takut akan hal yang tak pernah diinginkan, bahagia akan sesuatu yang sangat diimpikan. Lulus adalah kata mutlak yang ada di benak semua siswa kelas X11 yang ada di SMA itu.
Berawal dari rumah, hati terasa bersemangat dan antusias akan harapan yang menggembirakan. Sesampainya di gerbang sekolah, semangat mulai menciut, nyali pun ikut tak menentu di buatnya. Semakin kaki melangkah, semakin berat beban terasa.
Apakah ini yang dirasakan? Perasaan galau dan deg-degan. Bagaimana tidak, hanya ada dua jawaban yang ada. Lulus dan tidak. Jawaban yang sulit untuk di tebak. Jawaban yang tak akan bisa ditawar. Tetap mantap untuk melaluinya.
Waktu yang dinantipun tiba. Rasa tak karuan itu semakin menjadi. Berat sekali membuka segel amplop pengumuman ini. Keringat dingin mulai bercucuran.
Dengan sedikit keberanian akan keingintahuan, tangan yang gemetaran mulai membuka perlahan amplop pengumuman itu. Dan akhirnya semua jeripayah selama ini terbayarkan. Senyum mulai tersungging di bibir.
“Aku lulus!!” Kata siswa di SMA Garuda itu.
Mereka terlihat bahagia. Sungguh bahagia, hari itu menjadi hari yang cukup menyenangkan, bukan hanya cukup tapi sangat. Ya, semua siswa SMA Garuda lulus 100%. Air mata bahagia mulai berlinang. Syukur tak hentinya mereka ucapkan. Ini adalah balasan, hadiah atas perjuangan keras selama 3 tahun belajar di SMA Garuda itu.
“Kami bangga padamu, Sifa .. “ Kata Orang Tua Sifa.
Sifa Veriza Gunawan Putri adalah anak tunggal dari keluarga Gunawan, konglongmerat yang cukup terkenal. Sifa terlahir dari keluarga serba kecukupan, tak perlu susah payah dalam menghadapi hidupnya.
Selain itu, Sifa juga memiliki pribadi yang menarik. Cantik, manis, ceria, dan cerdas. Benar, tidak hanya itu saja, ia bahkan lulus dengan predikat juara umum di SMA Garuda. Tetapi sayangnya, ia memiliki sifat buruk yang tak mengenakan hati, cerewet dan mudah emosi.
Sifa yang hidup bekelimang kemewahan, tak membuatnya berkepala besar akan status ekonominya. Ia justru wellcome dengan siapa saja. Asal tak membuatnya emosi, tentu ia akan mudah menerimanya.
Sifa memiliki empat orang sahabat, Melisya Reizasari, Stevano Aditya dan Anggun Dahlia Ardhianti, serta Ardila Razty Alfindha. Mereka bersahabat dengan baik sejak mereka kecil. Meski beda sekolah sewaktu SMA, namun tak membuat mereka putus hubungan. Karna bagi mereka, sahabat tak terpisahkan jarak maupun waktu.
.
.
.
Sifa memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Universitas Patriot. Universitas yang sangat terkenal di kota tempat tinggal Sifa. Banyak Mahasiwa dari seluruh penjuru mencoba mendaftar di universitas ini. Namun untuk masuk ke universitas ini tidaklah mudah. Seleksinyapun cukup sulit. Beruntung Sifa mendapatkan kesempatan bisa kuliah di sana.
“Jadi, kapan kamu mulai masuk kuliah, Sayang?” Tanya Mama Sifa.
“Sekitar dua mingguan lagi, Ma... “ Jawab Sifa pelan.
“Secepat itukah? Perasaan baru kemarin kamu lulusan, tapi sudah mau masuk kuliah.” Kata Mama Sifa.
“Hm...”
“Sayang, jarak rumah sama kampus kamu sangatlah jauh. Apa kamu akan mengekost?” Tanya Mama Sifa.
“Tentu, Ma. Sifa akan buktikan jika Sifa putri Mama yang tidak manja. Sudah bisa mandiri dan bersikap lebih dewasa.” Kata Sifa cukup bijak.
Tiba-tiba saat mendengar jawaban dari putri tercintanya, Sifa, Mama Sifa pun tak kuasa menahan air mata terharu di mata binarnya. Seakan hati sangat bangga akan ucapan putrinya itu. Itu hal pertama yang Mama Sifa dengar dari seorang Sifa yang manja.
“Jujur saja, Mama agak khawatir dengan hal itu. Apalagi kamu ini masih sangat manja. Sangat tergantung pada Papa dan Mama.” Kata Mama Sifa.
“Loh, Mama kenapamenangis?" Sifa mengusap air mata Mamanya. "Ma, aku ini hanya ngekost, mama tidak usah khawatir! Aku akan baik-baik saja. Apalagi aku dengar Melly sama Anggun serta Steve juga diterima di kampus itu. Mereka yang akan membantuku jika aku butuh apa-apa.” Kata Sifa menghibur suasana hati Mamanya.
“Sedih iya, bangga juga iya. Siapa lagi yang akan teriak-teriak di pagi hari jika sepatunya tidak ada? Tapi, ternyata anak mama sudah besar ya?” Kata Mama Sifa.
Mama Sifa mencoba untuk mengerti akan keputusan putrinya, walau sesungguhnya itu akan sangat berat mengingat putrinya adalah anak yang sangat manja.
.
.
.
Selang waktu berlalu, Sifa pun bersiap-siap untuk mengemas barang-barang pribadinya untuk hidup di dunia baru, dunia kost-kostan. Mulai dari pakaian, tas, buku, asesoris, sampai pernak-perniknya sudah terkemas rapi di dalam koper pink miliknya. Dan tak lupa, Cerry si kucing berbulu putih tebal sudah ia masukkan ke dalam kandang siap untuk dibawa.
“Apa lagi ya yang kurang?” Sejenak ia berfikir. “Ah ... hampir saja lupa, boneka panda pemberian dari Papa.” Lanjutnya.
Sifa menghela nafas karena ia rasa ia telah selesai mengemas semua barang perlengkapan kostnya. Ia pun langsung menghempaskan diri ke sofa, mamanya pun menghampirinya.
“Ya ampun.. Ini mau kuliah atau mau mengungsi, Sayang? Masak mau ngekost saja barang-barangnya sampai sebanyak ini?” Tanya Mama Sifa.
“Masak sih, Ma?” Tanya Sifa yang tak sadar akan barang-barang yang sudah di kemasinya.
“Harusnya yang kamu bawa yang penting-penting saja..” Kata Mama Sifa.
Sifa hanya nyengir melihat barang-barang yang ia kemasi begitu banyaknya. Mama Sifapun langsung mengemasi kembali barang-barang yang akan dibawa Sifa.
Tak butuh waktu yang lama, akhirnya selesai juga.
“Akhirnya selesai, ini saja sudah lebih dari cukup. Biar kamu tidak repot.” Kata Mama Sifa.
“Hehe, terimakasih mamaku yang paling baik.” Kata Sifa
“Ya sudah, mandi sana! Mama dan Papa tunggu di bawah.”
.
.
.
Sifa langsung bergegas mandi dan bersiap untuk berangkat.
“Sayang, apa kamu yakin tidak mau kami antarkan ke kost kamu?” Tanya Mama Sifa.
“Tidak, Ma ... Sifa berani kok sendiri. Nanti Sifa bisa naik taxi saja. Sifa kan mau belajar mandiri.” Jawab Sifa.
“Apa perlu Papa belikan mobil atau motor, Sayang?” Tawar Papa Sifa.
“Tidak usah, Pa. Terima kasih, menurut Sifa jalan kaki akan lebih mengasyikan. Sifa ini calon dokter, jadi harus sering-sering olahraga..” Kata Sifa.
“Jalan? Tidak boleh! Itu bahaya buat kamu, bagaimana jika sampai kamu kenapa-kenapa? Kehujanan, kepanasan. Nanti kalau kulitmu mendadak jadi hitam bagaimana? Bagaimana kalau tidak ada seorang laki-lakipun yang mau mendekatimu? Tidak, Mama tidak akan mengizinkan!” Bantah Mama Sifa.
“Ma .. bukankah itu cara agar aku bisa jadi lebih mandiri dan dewasa? Mama tenang saja, aku akan baik-baik saja. Mama jangan khawatir, apalagi soal laki-laki yang akan dekat denganku nanti!... Mama juga tidak usah terlalu sedikit lebay, okey. Hehehe.” Jelas Sifa dengan canda cerianya.
“Orang tua kok dibilang lebay. Mama itu khawatir sama kamu..” Kesal Mama Sifa.
“Sudahlah, Ma… Papa yakin Sifa bisa jaga diri. Anak kita anak yang kuat. Iya kan, sayang?” Kata Papa Sifa mencoba bijak.
Mama Sifa mencoba mengerti. Ia pun mengangguk berat.
Sifa memeluk kedua orang tuanya.Air mata tulus mulai terjatuh membasahi pipi.
“Sudah, Ma, Pa ... taxinya sudah datang. Sifa berangkat dulu ya...” Kata Sifa mulai bergegas memasukkan barangnya ke bagasi taxi dibantu Papanya.
“Jangan lupa jika sudah sampai disana kamu SMS, telepon Mama atau Papa ya.” Pinta Mama Sifa.
Sifa mengangguk dan masuk ke dalam mobil taxi yang sudah ia pesan.
“Hati-hati, Sayang ...” Sifa tersenyum lalu melambaikan tangan seraya mobil taxi itu mulai meninggalkan rumah Sifa.
.
.
.
“Kenapa kamu menangis, Ma? Bukankah ini semua agar anak kita bisa menjadi lebih dewasa?” Tanya Papa Sifa.
“Awalnya memang berencana tidak mau menangis, tapi ternyata aku tidak mampu menahan air mata ini. Sifa dari kecil memang sangat manja, apa-apa harus diurus sama kita. Kini, ia pergi mencari jati dirinya.” Jawab Mama Sifa.
“Dasar wanita, bahagia saja menangis, apalagi jika bersedih? Memang, wanita itu sulit dimengertii.” Kata Papa Sifa.
“Eh Pa, apa sudah yakin dengan keputusan itu? Apa tidak terlalu dini?” Tanya Mama Sifa.
“Sepertinya tidak. Almarhum ayah memang sudah gila kali ya? Membuat perjanjian konyol seperti itu.” Kata Papa Sifa.
“Sssst, orang sudah meninggal jangan Diomongin! Kamu saja juga gila, Pa. Menyetujui juga kan? Sama saja kalau begitu.” Kata Mama Sifa.
“Habisnya, aku sudah tidak sabar, Ma... “ Kata Papa Sifa.
“Sama, Pa... Mama juga, ingin sekali menambah anggota keluarga di rumah kita.” Kata Mama Sifa.
Dan dua orang tua gaje ini menutup chapter 2 yang embuh. 😑
Cukup lama dalam perjalanan. Rasa bosan kian terasa di benak Sifa. Ia pun memutar MP3-Hpnya dan memasangkan handset di telinganya. Cukup untuk menghibur penat dan kebosanan di benaknya. Ketika ia mulai menikmatinya, suara sopir taxi mengagetkannya.
“Non, sudah sampai di alamat yang Non berikan.”
“Oh... iya pak. Terima kasih.” Kata Sifa sambil menurunkan barang-barangnya.
Setelah selesai menurunkan barang-barangnya, mobil taxi itupun pergi jauh meninggalkannya.
“Melly, aku sudah sampai nih.” Kata Sifa di telepon.
Melly langsung keluar kost dan menemui Sifa sahabatnya.
“Sifa. Ayo masuk! Sini aku bantu membawakan barang-barangmu!” Kata Melisya.
“Bagaimana Mell, apa jadi kita ngekost di satu tempat ini?” Tanya Sifa memulai membuka perbincangan.
“Aduh, aku minta maaf, Sif. Aku tadi sudah tanya sama ibu kost sini, katanya tempat ini sudah penuh. Terus bagaimana donk?” Jawab Melisya dengan kesan merasa bersalah.
“Sudahlah, Mell. Jangan merasa bersalah begitu! Aku bisa kok mencari kost lain.” Kata Sifa bijak.
“Tapi kan aku merasa tidak enak padamu. Aku sendiri yang mengajakmu ngekost bersama di sini.” Kata Melisya.
“Tidak apa-apa kok, aku pergi dulu ya. Aku mau mencari kost dulu, takut keburu malam.” Kata Sifa.
“Aku temani ya...” Saut Anggun yang tiba-tiba muncul.
“Aku juga mau menemanimu, Sif.” Kata Melisya.
“Tidak usah, terima kasih. Kurasa aku bisa sendiri..” Tolak Sifa ramah.
Melisya dan Anggun kaget dan bingung mendengar kata-kata Sifa. Mereka berdua sangat heran dengan tingkah laku dari seorang Sifa. Apakah Sifa benar-benar sudah berubah dewasa dari anak manja konglongmerat yang 19 tahun disandangnya? Melisya dan Anggun hanya bisa melongo tak percaya. Memasang tampang bloon.
“Sudah, kalian tak usah memandangku seperti itu! Doakan saja aku segera mungkin mendapatkan kost-kostan!” Kata Sifa.
.
.
.
Setelah berpamitan untuk mencari kost-kostan, Sifa pun berjalan menyusuri daerah sekitar kampusnya. Terus dan terus melangkahkan kaki. Asanya mulai melemah.
“Sudah penuh? Ya sudah, maaf sudah mengganggu, Buk. Terima kasih.” Kata Sifa meninggalkan kost-kostan itu dengan raut muka yang kecewa.
Matahari yang mulai bergerak ke arah barat membuat hati Sifa semakin lelah. Sekian tempat telah ia kunjungi, tetapi sungguh hari ini adalah hari bukan keberuntungannya.
Semua tempat yang ia datangi telah penuh. Mungkin karena kebanyakan terisi oleh para mahasiswa baru, maklum saja penerimaan mahasiswa baru saja usai. Tiada tempat yang mampu ia dapatkan untuk ditinggali.
“Dimana lagi? Aku harus kemana? Sekian tempat sudahku datangi, tapi penuh semua. Aku sangat lelah... Mama, Papa? Ah tidak, aku harus tunjukan pada mereka jika aku bisa mandiri. Aku juga tidak mau membuat mereka khawatir karena belum mendapatkan kost-kostan. Ayo Sifa semangat! Tempat pencarian masih luas.” Kata Sifa bersandar di bangku dekat taman daerah kampus sambil menyesup smooties strawberry kesukaannya.
Sifa bangkit dan melanjutkan pencarian tempat kost. Terus berusaha. Memang, kali ini keberuntungan benar-benar tak berpihak padanya. Apa daya kakinya sudah terasa semakin berat untuk melangkah.
“Haduh, dimana lagi? Sulit sekali mencari satu kost-kostan saja. Sini penuh, sana penuh, situ penuh. Semua penuh!! Andai saja ada om jin yang tiba-tiba datang dan memberi tiga permintaan, aku hanya mau minta ia memberikan tempat kost untukku. Tapi sayang, hanya berlaku di dunia dongeng saja. Huftt...” Keluh Sifa sambil berjalan lesu menuju kost-kostannya Melly dan Anggun.
“Bagaimana, Sif? Apa kamu sudah menemukan kost-kostan?” Tanya Anggun.
Sifa yang frustasi hanya bisa menggelengkan kepalanya.
“Wah, harus bagaimana? Aku jadi ikutan pusing jika kamu belum mendapatkan kost-kostan..” Kata Melisya.
“Hay hay cewek-cewek my best friendsku yang amat sangat aku cintai dan aku banggakan.” Teriak Steven dari depan pintu.
“Aduh Steve!!” Teriak Anggun yang melihat Steven tiba-tiba datang. Cowok cakep dengan rambut mowhak itu terlihat senyam-senyum melihat ada Sifa di situ, sahabat lamanya waktu SMP.
“Sifa, apa kabar. Lama tidak jumpa.. semakin cantik saja kamu.” Kata Steven.
“Aku baik-baik saja.” Jawab Sifa lemah.
“Kamu kenapa, Sif? Murung begitu raut mukamu? Seperti ayam kalah tanding.” Tanya Steven yang tidak paham suasana sedang kusut.
Sifa hanya tertunduk lesu menanggapi pertanyaan dari Steven. Steven juga sedikit heran, biasanya ia akan langsung disemprot Sifa jika ia memengejeknya. Aneh.
“Sifa belum mendapatkan kost-kostan, Steve...” Kata Melisya. Steven hanya menaikan sebelah alisnya.
“Dia sudah mencari kemana-mana tapi tetap saja tidak ada. Semua kost-kostan sudah penuh. Sekalinya ada, itupun sangat kumuh. Mana mungkin ia mau berbaur dengan kuman-kuman.” Lanjut Anggun.
“Loh? Trus sekarang kamu mau tinggal dimana?” Tanya Steven merasa khawatir.
“Entahlah...” Jawab Sifa lesu.
“Andai saja kamu cowok, di kostku masih ada dua kamar kosong. Tapi sayangnya, kostku itu hanya untuk cowok saja.Tidak boleh ada cewek.” Kata Steven asal.
“Nah iya jika aku cowok, tapi aku saja kan cewek. Mana mungkin aku bisa ngekost di tempat kamu. Huft...” Kata Sifa kesal.
“Kenapa tidak menjadi cowok saja?” Kata Anggun yang tiba-tiba menyela pembicaraan.
“Hah? Kau gila, ya? Suasana kusut begini masih saja meledekku. Huh.” Tanggap Sifa dengan kerasnya.
Bagaimana bisa Anggun menyuruhnya menjadi cowok?
“Duh, bisa tidak jangan keras-keras? Kupingku kan jadi sakit… Lagian kalau bukan gila itu bukan temanmu!” Kata Anggun.
“Ma.. maaf, habis kamunya begitu sih? Akukan jadi sebal…” Kata Sifa cukup menyesal.
“Kan aku hanya memberi ide.” Kata Anggun.
“Ide?... Maksudnya?” Tanya Sifa bingung.
“Kamu pura-pura jadi cowok saja!!” Jawab Anggun.
Steven dan Melisya mengangguk-angguk setuju dengan ide Anggun.
“Boleh juga ide dari Anggun...” Tanggap Melisya.
“Wah, benar juga ide kamu, Nggun. Jika Sifa pura-pura jadi cowok pasti bisa ngekost di tempatku. Lumayan kan, tidak bosan karena ada pemandangan baru? Lebih indah dari bunga sakura di Jepang yang sedang berguguran. Hahaha.” Kata Steven.
“ ... Steven ....” Geram Sifa.
"Sif, coba pikirkan dulu deh! Begini ya, kamu sudah tidak dapat kost-kostan kan? Padahal ini hari sudah malam, nah terus kamu mau tidur dimana? Mungkin malam ini kamu bisa menginap di kostku, tapi mau sampai kapan? Beberapa hari lagi juga sudah mau masuk kuliah. Kamu mau tinggal dimana coba? Dimana?" jelas Melisya.
Sejenak Sifa berfikir.
“Melly benar, kamu sudah mencari kemana-mana, tapi tidak mendapatkannya kan? Apa salahnya dicoba?” Kata Steven.
“Apa mungkin seorang Sifa mau tidur di jalanan? Tidak, kan?” Lanjut Anggun.
“Mana mungkin... Tapi masih ada hotel. Aku bisa di sana.” Sahut Sifa.
“Hotel? Gila kamu ya? Kamu mau menghabiskan uang berapa coba? Nanti jika Bokap kamu tanya kamu begitu banyaknya menghabiskan uang bagaimana? Kamu mau jawab apa?” Kata Steven.
“Bokap pasti tidak akan mempersalahkan itu.” Tanggap Sifa.
"Dasar holang kaya. Iphone X cuma ganjel pintu rumahmu ya?" Sindir Steven.
“Yah mungkin memang begitu karena kamu memiliki banyak uang. Tapi, mau sampai kapan? Hotel jauh lagi dari kampus kita? Menurutku lebih baik kau mengekost saja, lebih dekat ke kampusnya. Jadi tidak khawatir akan telat.” Kata Anggun dengan ekspresi sedikit menyindir juga.
“Kau menyindirku ya? Memang benar sih, aku sering telat… Haduh aku jadi pusing begini ya? Padahal aku sudah bilang ke orang tuaku jika aku mau mandiri.” Kata Sifa frustasi.
“Tuh, kamu bilang mau mandiri kan? Ngekost di hotel itu bukan solusi tepat untuk menjadi mandiri jika kamu masih memakai uang orang tua kamu.” Kata Melisya.
“Iya, kamu benar Mell. Aku tidak mau mengingkari janjiku sama orang tuaku.” Kata Sifa.
“Makanya pikirkan dulu deh ide dari Anggun! Sekarang tuh pikirkan malam ini kamu mau tidur dimana jika sampai sore ini kamu masih juga belum dapat kost-kostan. Yang penting juga tidak membuat kedua orang tuamu khawatir..” Kata Steven.
Sifa manggut-manggut dan mempertimbangkan ide yang menurutnya sangat konyol itu.
"Aku takut kenapa-kenapa.." Kata Sifa.
"Kan ada Steven, dia pasti akan menjagamu.. Iya kan, Steve?" Kata Melisya.
"Jangan khawatir, Sif! Jiwa dan raga ini selalu melindungimu.. Aku tidak akan memiarkanmu terluka.." Kata Steven gaje.
"Aku justru meragukanmu, Steve..." Kata Sifa.
"Pertimbangkan saja, Sif! Tidur nyenyak malam ini lebih penting. Lagipula ini kantidakakan lama. Ini hanya sementara saja, nanti jika sudah dapat kost yang baru, kamu kan bisa langsung pindah. Sementara saja.. Sementara, Sif.. Tidak lama!!" Tambah Anggun.
Melisya, Anggun, dan Steven memajukan wajahnya mengisayaratkan menunggu jawaban dari Sifa. Setelah cukup lama Sifa berfikir, iapun mendapatkan keputusannya.
"Okey. Untuk Sementara saja, kan? Aku setuju menjadi cowok!" kata Sifa mengangguk pasrah karena keadaan.
"Jadi… kapan mau ke kostku?" Tanya Steven.
"Sepertinya sekarang saja deh, soalnya sudah mau malam. Aku juga sudah sangat lelah, setelah muter-muter daerah sekitar kampus sini. Tapi… aku kan tidak tahu tempatnya." kata Sifa menggeleng.
"Aku yang mengantarkanmu, dekat kok dari sini. Kita kan akan menjadi tetangga kamar baru di
kost?” Kata Steven memainkan matanya.
“Okey, thanks. Mata kamu sakit ya, Steve?” Kata Sifa sambil sedikit iseng.
“Kamu ini Sif,tidak asyik sama sekali.” Dengus Steven.
Seketika itu terdengar tawa di sela-sela mereka. Steven hanya membalas Sifa yang iseng dengan senyum manisnya. Meski begitu, Sifa cukup lega karena ia sudah mendapatkan kost-kostan. Setidaknya, ia bisa tidur nyaman malam ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!