NovelToon NovelToon

Terlambat Sudah

Bab 1

Menerima pernikahan ini, tidak ada jaminan bahagia. Namun, menolak pernikahan ini, hanya membuatnya hidupnya semakin susah. Laki-laki bernama Barim itu hanya uang dan uang, dia tidak perduli siapapun. Daripada Fidiya menikah dengan pemuda pemabuk teman-teman pamannya, lebih baik dirinya meng-iyakan lamaran yang datang. Agar bisa jauh dari laki-laki yang dia panggil paman itu. Menolak lamaran itu juga tidak bisa, paman Barim terlihat sangat menginginkan pernikahan ini terjadi, Fidiya menolak atau menerima, pernikahan itu juga pasti akan terjadi.

Seminggu berlalu. Resepsi sederhana pun diselenggarakan.

Kebaya putih itu membalut tubuh kecil itu, lengkap dengan konde juga bunga melati yang menghiasi kepalanya. Saat ini dia sudah mengenakan kebaya pengantin.

Fidiya masih menganggap semua ini mimpi, kenapa begitu mudah seorang pengusaha pabrik textil yang bernama Ridwan Renardi menjatuhkan pilihan pada dirinya untuk menjadi calon istrinya. Tapi, ini bukan mimpi.

Tas jinjing yang berisi pakaiannya ada di dekatnya. Setelah acara selesai, dirinya akan mengikuti keluarga barunya.

Fidiya berulang kali menghela napasnya, berusaha menguatkan dirinya. Dia tidak memiliki keberanian untuk menolak lamaran ini, hanya harapan yang menguatkan Fidiya. Semoga tidak ada Barim yang lain di tempat tinggal suaminya nanti.

Selain pamannya yang tidak punya hati itu, Fidiya juga tidak berdaya untuk menolak lamaran yang datang. Yang kaya yang berkuasa, sedang dirinya hanya gadis miskin yatim piatu yang selama ini hanya hidup bersama neneknya. Tapi, wanita yang begitu berjasa bagi hidup Fidiya sudah istirahat di bawah batu nisan yang bertuliskan nama wanita tua tersebut.

Rasanya Fidiya sudah putus asa, keluarga yang sayang padanya juga tidak ada di desa ini, hanya keluarga sahabatnya yang terasa menyayangi dirinya.

Paman Barim, hanya memiliki ikatan darah dengannya, tapi tidak pernah perduli padanya. Dengan menikahkan Fidiya, pastinya rumah neneknya yang selama ini Fidiya tempati, akan menjadi milik pamannya yang serakah itu. Barim juga yang paling bahagia atas pernikahan Fidiya ini.

Fidiya menatap lekat pantulan dirinya yang ada pada cermin yang ada tepat di depannya. Sungguh tidak percaya kalau itu dirinya, memakai lipstik saja tidak pernah, cukup taburan bedak bayi yang sehari-hari dia pakai untung merias wajah ala dirinya.

Tok! tok tok!

Suara ketukan pintu, menyadarkan Fidiya dari lamunannya, perlahan pintu itu terbuka.

"Fidiya ...." Gadis cantik itu berusaha menahan suaranya. Saat melihat sahabatnya begitu cantik dengan balutan busana pengantin yang dia kenakan.

"Ismi ...." Fidiya sangat bahagia, Ismi bisa berhadir di acara akad nikahnya. Padahal kehidupan sahabatnya sebelas dua belas dengan dirinya, namun Ismi lebih beruntung, karena memiliki kedua orang tua lengkap dan punya dua adik cantik, sedang dirinya, hanya neneknya hal yang berharga yang dia miliki, namun hal berharga itu sudah pergi untuk selamanya.

"Makasih ya Is, kamu bisa berhadir di sini." Fidiya langsung memeluk sahabatnya itu.

"Sama-sama."

Belum puas rasanya memeluk sahabatnya itu, tapi pintu kembali diketok, terlihat dua wanita cantik yang melewati pintu itu.

"Kakak ipar, ayo kita menuju meja akad sekarang."

Fidiya dan Ismi melepaskan pelukan mereka.

"Kalau begitu, aku duluan keluar, sampai ketemu lagi, Fid," ucap Ismi.

Fidiya hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya perlahan. Gadis yang bernama Ismi itu sudah pergi, Fidiya pun diapit oleh kedua adik dari laki-laki yang akan menjadi suaminya.

Saat Fidiya terlihat, semua mata tamu undangan yang berhadir hanya menyorot satu arah, di mana Fidiya dan dua wanita cantik lain itu ada. Semua mengagumi kecantikkan mempelai wanita itu.

Fidiya duduk di samping seorang laki-laki tampan, yang terlihat lebih dewasa darinya, dia adalah Ridwan, laki-laki yang mempersunting dirinya.

Tanpa membuang waktu, acara pun segera di mulai, rangkaian demi rangkaian acara di lewati, hingga saat detik yang paling menegangkan yaitu pengucapan akad.

Dengan satu sentakkan tangan, Ridwan begitu lancar dan lantang mengucap akad nikah, suara 'sah!' dari kedua saksi terdengar, bagaikan angin sejuk yang berhembus membuat hati setiap orang di sana ikut merasa tenang.

Suasana tegang berganti dengan suasana nan hangat, Fidiya dan Ridwan bersanding di pelaminan, menyalami para tamu yang datang dan mengucapkan selamat atas pernikahan kepada kedua mempelai.

Tatapan sayu dari sepasang bola mata milik perempuan paruh baya itu selalu ter-arah pada kedua mempelai.

"Ibu kenapa?" Ismi bingung melihat reaksi wajah ibunya.

"Fidiya, apakah keluarga kaya itu akan memperlakukan dia seperti manusia?" Lidia mengusap air mata yang telanjur menetes.

Keluarga Ismi tidak mempunyai ikatan darah dengannya, tapi kekuarga Ismi sangat menyayangi Fidiya.

Ismi terdiam, keluarga mempelai pria terlihat begitu dingin, bahkan rasanya mereka tidak memandang Fidiya.

Fidiya terus tersenyum menyambut tamu yang menyalaminya, Ismi hanya bisa memandangi dari kejauhan. Sedang paman Barim, terus tersenyum melihat amplop yang terus dimasukkan tamu undangan dalam kotak yang tersedia. Sok pasti semua untuknya, karena Fidiya langsung pergi setelah resepsi sederhana selesai.

Acara resepsi terus berjalan, di akhir acara, Fidiya pergi bersama keluarga barunya, meninggalkan desa yang menjadi saksi bisu pertumbuhannya, kenangannya semasa kecil, kebahagiaannya bersama almarhumah neneknya.

Ismi dan warga yang berhadir di resepsi pernikahan Fifdiya, hanya bisa menatap mobil yang terus menjauh membawa Fidiya meninggalkan desa itu

*****

Perjalanan panjang di tempuh Fidiya menuju rumahnya yang baru. Pertama kali dalam hidupnya naik pesawat terbang, melihat wajah-wajah itu begitu dingin, Fidiya hanya bisa diam.

Saat duduk di kursi penumpang, Fidiya bingung, bagaimana memakai sabuk pengaman, laki-laki yang menjadi suaminya sungguh tidak perduli padanya.

Ingin menangis, tapi tidak tau menangis karena apa. Fidiya melihat keadaan sekitar, memerhatikan mereka yang memakai sabuk pengaman. Senyuman terukir di wajah Fidiya, akhirnya dia tau cara memasang sabuk pengaman.

Pesawat itu perlahan terbang ke udara, bermacam rasa bergemuruh dalam diri Fidiya, bahagia dirinya bisa merasakan bagaimana naik pesawat terbang, tapi sedih, laki-laki yang menjadi suaminya sama sekali tidak melihat dirinya. Laki-laki itu hanya memerhatikan kedua adiknya dan wanita paruh baya yang dia panggil ibu.

Fidiya berusaha mengalihkan pikirannya, agar tidak memikirkan semua ini terlalu jauh. Perlahan matanya terpejam, dia larut kealam mimpi.

"Kakak ipar, kakak ipar ...." Berulang suara itu samar Fidiya dengar, perlahan Fidiya membuka matanya, keadaan terlihat sepi. Entah berapa lama dirinya tertidur.

"Kakak ipar, ayo turun, kita sudah sampai," ucap Ara, adik dari Ridwan.

"Bagaimana melepas ini?" Fidiya sungguh tidak tau bagaimana melepas sabuk pengaman itu.

"Dasar udik!"

Hardikkan itu begitu menyayat hati Fidiya, bukannya membantu dirinya, laki-laki itu malah menghardik dirinya karena kegaptekkan dirinya.

"Tekan ini kak, nah tarik saja."

Benar saja sabuk pengaman itu terlepas. Fidiya segera bangkit, mengambil tasnya dan segera mengikuti langkah kaki Ara, laki-laki itu sudah tidak terlihat lagi di depan matanya.

Ya Tuhan, bagaimana hidupku dengan laki-laki yang sama sekali tidak menganggap aku ada. Gerutu hati Fidiya.

Akhirnya mereka keluar dari pesawat itu, terlihat di depan sana, laki-laki itu begitu manis memperlakukan ibu dan adiknya, entah kenapa kemanisan itu tidak didapatkan oleh Fidiya.

Fidiya terus melangkahkan kakinya, pikirannya terbang entah kemana, melihat laki-laki itu terus menggadeng adik perempuannya, sedang dirinya di abaikan.

Cemburu?

Fidiya tersenyum sendiri dengan pertanyaan yang dia tujukan untuk dirinya sendiri.

Dia adiknya, Fid. Tidak pantas kamu cemburu.

Fidiya hanya bisa menyemangati dirinya sendiri.

Dua buah mobil ada di depan sana terlihat, Ridwan membantu ibunya masuk kedalam mobil itu, diikuti oleh Melly, dia juga adik Ridwan.

"Kak, kak Ridwan sama kakak ipar di mobil itu, biar kami menaiki mobil milik kak Mel," ucap Ara.

"Aku juga bersama kalian, biar dia bersama supir di mobil itu." Tanpa memandang perempuan yang menjadi istrinya itu.

Senyuman kaku terukir diwajah Fidiya, sakit mendapatkan perlakuan seperti di awal pernikahan ini. "Iya, aku tidak mengapa, kalian lanjutkan saja, aku akan naik mobil itu kan?" Jari telunjuk Fidiya menunjuk kerah mobil yang satunya.

Bukan jawaban yang Fidiya dapat, laki-laki itu malah menutup pintu mobilnya, perlahan mobil itu pergi lebih dulu.

Dengan lemas, Fidiya melangkahkan kakinya menuju mobil yang satunya. Kali ini air matanya tidak bisa ditahan lagi, Fidiya memasuki mobil itu. Tanpa memandang sopir yang berada di kursi depan, Fidiya bersandar pada sandaran kursi dan memandangi pemandangan lewat kaca mobil yang ada di sampingnya. Tapi, air matanya terus mengalir mengingat keadaannya saat ini.

"Nyo--" Laki-laki yang berpakaian sopir itu tidak bisa meneruskan kata-katanya, saat melihat sosok wanita yang duduk di kursi bagian belakang mobil itu.

"Aaa---"

Suara deringan handphone yang ada di saku-nya, membuat laki-laki itu batal meneruskan perkataannya, laki-laki itu langsung menggeser icon bewarna hijau mengangkat panggilan telepon itu.

"Iya Pak."

"Fariz, langsung bawa istriku pulang! Dan cepatlah!" titah dari ujung telepon sana.

Tanpa menyapa wanita yang duduk di bagian belakang, laki-laki yang bernama Fariz itu segera melajukan mobilnya. Ada kata yang sangat menggores jiwanya, 'Istriku' Artinya wanita di belakangnya itu sudah menikah dengan majikannya.

Dengan perasaan kacau, Fariz melajukan mobil yang dia kendarai menuju kediaman bos-nya.

Bab 2

Mobil yang Fidiya tumpangi akhirnya sampai di kediaman suaminya, Fidiya menegakkan tubuhnya, matanya terus memandangi keadaan sekitar. Rumah nuansa putih yang di kelilingi pagar yang menjulang tinggi ditangkap oleh kedua matanya. Biasanya Fidiya melihat rumah seperti ini hanya pada layar televisi dalam sebuah sinetron. Rumah Pak Adip saja, orang terkaya di desanya tidak memiliki rumah semewah ini. Pak Adip adalah utusan dari keluarga Ridwan yang melamarkan Fidiya untuk Ridwan.

Seorang gadis berjalan semakin mendekat ke mobil yang Fidiya tumpangi, dia memberi isyarat pada seseorang yang ada dalam mobil itu, yang pasti itu sopir.

Tekkk!

Pintu mobil itu terbuka, membuat Fidiya terkejut, dirinya tidak menyentuh apapun, tapi pintu mobil di dekatnya sedikit terbuka. Tiba-tiba pintu itu terbuka lebar, terlihat senyuman manis seorang gadis menyambutnya.

“Ayo kakak ipar, turun. Kita sudah sampai.”

Fidiya segera turun dari mobil itu mengikuti langkah kaki wanita yang berjalan di depannya. Di depan sana terlihat wajah yang teramat menyakitkan bagi Fidiya, seorang lelaki yang berstatus suaminya, tapi tidak bisa bersikap ramah maupun manis kepadanya, saat ini saja wajah itu terlihat angkuh.

“Mbok Eni, antar istri Tuan Ridwan ke kamar mereka,” titah seorang perempuan paruh baya itu kepada seorang perempuan yang tampak tidak muda lagi, perempuan itu memakai seragam yang sama dengan beberapa orang yang masih berdiri menyambut mereka semua.

“Baik, Nyonya besar.” Perempuan itu berjalan mendekati Fidiya. “Nona, mari ikut saya,” pintanya lembut.

“Tas saya masih di mobil itu,” sela Fidiya.

“Nanti pelayan yang lain yang mengantarkannya ke kamar, Nona.”

Fidiya diam, dia segera mengikuti langkah kaki wanita yang mengajaknya masuk. Fidiya terus memandangi keadaan rumah milik suaminya. Entah kenapa bermacam rasa, menjadi satu dalam dirinya, rasa kagum akan bagunan rumah ini, rasa sedih akan reaksi suaminya, juga rasa takut. Kenapa dirinya bagai Cinderella yang menikahi pangeran tampan, tapi ini bukan hal indah, tapi hal yang menimbulkan banyak pertanyaan dalam diri Fidiya.

“Paling ujung itu kamar Tuan Ridwan, itu kamar Nona dan Tuan.”

Ucapan itu membuat Fidiya tersentak dari lamunannya yang membuat jiwanya semakin kalut.

“Saya Fidiya, ibu siapa?” Fidiya berusaha mengenalkan diri.

“Saya Eni, Nyonya biasa memanggil saya Mbok Eni, saya pelayan paling senior di sini.”

Fidiya tertegun, ternyata pakaian yang dikenakan wanita itu adalah seragam pelayan. Akhirnya mereka sampai di kamar itu. Mbok Eni membukakan pintu kamar itu. Pemandangan baru juga kembali menyambut mata Fidiya. Ini kamar, tapi jauh lebih besar dari rumah almarhumah neneknya.

“Ayok ikut mbok, mbok bantu Nona mengenali sudut tiap kamar ini.”

Fidiya pun mengikuti langkah kaki wanita itu, sudut demi sudut Fidiya lihat, mengikuti arahan wanita itu, hingga dirinya sampai pada sebuah ruangan yang satu ruangan dengan kamar mandi, ruangan itu di penuhi pakaian laki-laki, yang pasti itu semua baju-baju milik suaminya.

Fidiya duduk di closet yang tertutup, menyaksikan wanita itu mengisi sebuah bak pemandian, bak mandi yang tidak diketahui Fidiya apa itu namanya, dia hanya sering melihat benda itu pada iklan sabun mandi.

“Nona sangat beruntung, Tuan Ridwan itu, mbok kira tidak bernafsu sama wanita. Selama ini banyak wanita yang mendekatinya, tak satupun yang berhasil."

Eni terbayang kilas masa lalu, di mana pernikahan pertama Ridwan dengan Elvina hanya bertahan sebentar saja. Pikiran Eni, Ridwan tidak normal sehingga istrinya waktu itu pergi dari rumah ini.

Kedua alis Fidiya tertaut mendengar penjelasan dari pelayan itu. “Maksud ibu?”

“Jangan panggil ibu mbok saja.”

“Iya.”

“Bagi Tuan Ridwan, dunianya, hanya ibunya dan kedua adiknya, tidak ada hal lain yang Tuan inginkan, hanya kebahagiaan untuk ibunya, dan kedua adiknya.”

“Dia normalkan Mbok?”

“Mana Mbok tau, nanti cari tau saja sendiri, apakah Tuan normal atau—” Mbok Eni memperagakan layaknya seorang yang sering bergaya kemayu.

Fidiya tersenyum melihat tingkah pelayan itu, tiba-tiba senyum Fidiya hilang, saat dia sadari setelah akad nikah hingga sebelum detik barusan, dia tidak bisa tersenyum tulus seperti saat ini.

“Ayuk mandi atuh Non, jangan melamun.”

Ucapan pembantu itu membuat Fidiya kembali tersadar. “Mandi?”

“Iya mandi. Ini airnya sudah mbok siapkan. Apa perlu mbok yang memandikan?”

“Kayaknya enggak deh mbok, tapi saya juga tidak mengerti.”

“Ya sudah, lebih baik  mbok tetap di sini, kasih tau caranya nanti, tapi Non pasti risih kalau Non dimandiin.”

Fidiya hanya tersenyum. Dia segera mengikuti apa yang mbok Eni ucapkan.

Pertama dalam hidup Fidiya, mandi dilihat orang lain, mau bagaimana, Fidiya tidak mengetahui bagaimana menggunakan benda yang ada di kamar mandi itu.

Selesai mandi, mbok Eni meminta Fidiya memakai pakaian yang diberikan pelayan lain, katanya Ara dan Melly yang meminta. Selagi Fidiya memakai baju yang dia berikan, mbok Eni keluar dari kamar mandi, dan menyemprokan wewangian keseluruh baguan kamar itu, selesai tugasnya, mbok Eni segera keluar daru kamar itu.

Sedang di ruangan bawah.

“Ra, kenapa sih kamu minta abang nikah? Abang itu nggak mau durhaka sama ibu, atau sampai menelantarkan kalian karena wanita yang bukan siapa-siapa yang menjadi istri abang.”

“Bang … Fidiya mah aman, dia gak bakal buat abang lupa sama kami, atau durhaka sama ibu. Karena dia lugu dan kolot!” ucap Ara.

“Abang mah tenang, perempuan kayak gitu nggak bakal bikin abang lupa sama kami, percaya deh!” Melly menambahi.

“Percaya saja sama adik-adikmu, Wan. Adikmu perempuan tentu bisa mengenal mana perempuan aman dan perempuan berbisa.” Bu Retna menambahi.

“Iya bu. Semoga saja dia tidak seperti Elvina.”

"Tidaklah bang, kami jamin itu, kalau dia terlihat mencurigakan, kami yang akan mendepak dia dari sisi abang," ucap Ara.

“Mending abang datangi istri abang, abang itu manusia biasa, juga butuh pendamping. Ini salah satu bentuk rasa terima kasih kami pada abang, karena selama ini abang berjuang buat kami. Saatnya nikmati kehidupan rumah

tangga abang,” ucap Melly.

Melihat keadaan beberapa teman-teman kerjanya yang melupakan keluarga karena wanita yang dicintai, membuat Ridwan takut jatuh cinta lagi dan takut menikah lagi. Apalagi pengalaman saat pertama kali jatuh cinta pada seorang gadis, yang hampir membuat dirinya meninggalkan kedua adik dan ibunya Dia tidak ingin hal itu terulang lagi, tidak mau melupakan apalagi menelantarkan kedua adiknya, juga ibunya, untuk kedua kalinya, walau wanita itu hanya ibu tirinya.

Ridwan menghempaskan napasnya begitu kasar, menyadari dirinya sudah menikah dan memiliki istri lagi. “Bagaimana aku bisa mendekatinya, pembantu di rumah ini jauh lebih enak di pandang dari gadis udik itu.”

“Tenang bang, dia sedang proses, mbok Eni sudah saya kasih tugas, biar itu gadis kampung lebih enak di pandang.” Ucap Ara.

Dengan berat hati, Ridwan melangkahkan kakinya menuju kamarnya. Saat dia mendekati pintu kamarnya, saat bersamaan mbok Eni juga keluar dari pintu kamar itu.

“Tuan.” Mbok Eni tetap menundukkan pandangannya.

Laki-laki itu tidak menyahut, dia berlalu begitu saja dan masuk kedalam kamarnya. Bau harum menyambut dan memanjakan hidung Ridwan saat memasuki kamar itu, matanya terpejam menikmati wewangian itu.

Ceklakkkk!

Suara pintu terbuka membuat mata Ridwan yang tadi terpejam langsung terbuka. Ridwan terdiam saat melihat wanita udik itu terlihat begitu seksi, dengan gaun malam yang begitu transparan, Ridwan bisa melihat semua lekuk tubuh wanita itu, membuat Ridwan berulang kali menelan saliva-nya. Lekuk tubuh itu, juga apa yang wanita itu miliki membuat darahnya seakan mendidih dan sangat merindukan rasa yang satu itu, yang selama ini dia tahan hanya karena rasa takut.

Fidiya masih menunduk memandangi dirinya yang memakai baju, tapi serasa tidak memakai apa-apa, karena itu rasanya bukan kain, tapi seperti kaca, dia bisa melihat apa saja yang ada di balik kain tipis itu.

“Mbok … apa baju ini nggak sall—” Saat Fidiya menegakkan wajahnya, dia tidak bisa meneruskan ucapannya, saat melihat suaminya sudah ada di depan matanya. “Maaf ….” Fidiya kembali masuk kedalam kamar mandi.

“Hey!!”

Teriakkan lantang itu membuat nyali Fidiya menciut, dia segera kembali ketempat sebelumnya. Fidiya menunduk, rasanya sangat malu, memakai pakaian kekurangan bahan juga menerawang begini di depan laki-laki asing, walau statusnya adalah suaminya.

Ridwan perlahan mendekati Fidiya yang masih mematung pada tempatnya. Perlahan Ridwan melepaskan apa yang sudah menempel pada tubuhnya.

Tanpa bicara apapun pada Fidiya, dia menggendong tubuh wanita itu menuju tempat tidur, dan melepaskan hasratnya dengan cara yang dia mau, tanpa memikirkan keadaan wanita yang berada di bawah kukungannya.

******

Bersambung.

******

Duudududuuuu Kabur ........

Bab 3

Fidiya FOV

Apa yang dilakukan laki-laki ini? Ini sangat menyakitkan. Tuhan … Aku hanya bisa menangis, sekuat tenaga berusaha menahan suara tangis ini agar tidak terlepas. Dia terus melakukan apa yang dia mau, tempat tidur ini bergoncang begitu hebat, aku sangat sakit ya Tuhan.

Arggghhh!

Dia meleguh, terlihat dia sangat menikmati keadaan ini, apakah dia tidak bisa berbuat sedikit saja lebih manis untukku? Jangankan memandang, menoleh saja dia tidak, setelah dia menyemai benih kedalam tubuhku, setelah selesai dia pergi begitu saja.

Aku hanya bisa memadangi langit-langit kamar ini, apakah aku ini hanya seperti sebatang kayu?

Ini sangat sakit … seperti apa untuk menghilangkan semua rasa sakit ini? Menangis, hanya menangis yang aku bisa. Inikah yang dinamakan malam pengantin? Inikah yang dinamakan bercinta? Kenapa aku hanya bisa merasakan sakit, ini bukan percintaan, tapi ini penyiksaan.

Samar terdengar suara pintu kamar mandi terbuka, segera ku hapus air mata ini, mencoba tersenyum padanya. Percuma, dia sama sekali tidak memandangku. Lelah, lebih baik memejamkan mata ini, daripada melihat semua ini. Berharap semua ini hanya mimpi, dan saat terbangun melihat desa yang indah.

****

Kepalaku terasa pusing, kenapa tempat tidur ini bergoncang

begitu hebat, perlahan kubuka kedua mataku. Astaga … kenapa laki-laki ini kembali menumpahkan hasratnya, dia hanya bisa memuaskan dirinya.

“Mas ….” Pekikku. Berharap dia sedikit saja iba padaku.

Dia tidak perduli, dia hanya tau memuaskan dirinya, dan masa bodoh dengan diriku, setelah menumpahkan semuanya, dia kembali tidak melihatku. Benar saja, saat dia selesai, dia pergi lagi.

“Sabar Fidiya, mungkin dia malu.” Berusaha menguatkan diri sendiri dengan bersangka baik padanya.

Saat dia selesai dari kamar mandi, aku segera masuk kamar mandi. Kami berselisihan di depan pintu kamar mandi, dia terlihat begitu tampan, dengan setelan rumahan. Wajahnya juga terlihat segar dengan rambut basahnya. Tapi, dia sama sekali tidak menghiraukanku.

Kembali berusaha kuat, segera ku pacu langkah kakiku memasuki kamar mandi, biar bisa menumpahkan air mata ini.

Apalagi yang bisa aku adukan padamu Tuhan?

Air mata ini terus menetes, melihat Ridwan sama sekali tidak menganggapku, tapi dia memakai tubuhku saat dia mau. Menangis terus juga tidak mengurangi rasa sesak di hati, juga tidak membuat mas Ridwan peka.

Cahaya matahari mulai terlihat, hawa yang tadi begitu dingin perlahan kamar ini terasa hangat. Selesai melakukan kewajiban subuh tadi, aku hanya mengurung diri di kamar, ini sangat tidak baik, jika hanya berdiam diri di kamar. Sedang mas Ridwan selesai melakukan pekerjaan subuhnya, dia sudah pergi dari kamar ini.

Segera ku langkahkan kaki menuju meja makan atau dapur, barangkali ada pekerjaan yang bisa dilakukan di sana.

Sesampai lantai bawah, terlihat pelayan yang tadi malam menemaniku. “Mbok Eni ….” Sapaku.

Mbok Eni tersenyum, dia melambaikan tangan padaku, dengan begitu semangat aku segera menghampirinya.

“Pengantin baru bisa bangun pagi-pagi,” ledek mbok Eni.

“Mbok, ada yang bisa aku kerjakan?”

“Rumah ini sudah sangat banyak pelayan, lebih baik Nona berkumpul saja dengan Nona Ara dan Nona Melly, mereka di meja makan mengobrol dengan Nyonya besar.”

“Iya mbok.” Segera ku langkahkan kaki menuju meja makan, benar saja di sana ada tiga orang.

“Selamat pagi semua.” Ku coba menyapa mereka semua.

“Pagi juga kakak ipar,” ucap Melly dan Ara bersamaan.

“Pagi juga, nak.” Sapa ibu.

Alhamdulillah, mereka masih bisa melihatku. Tidak seperti laki-laki itu.

“Ayo, sini sayang. Kita kumpul pagi, karena hanya pagi dan malam kita semua bisa berkumpul. Ara dan Melly kalau siang, mereka bekerja,” ucap ibu mertuaku.

Aku hanya menganggukkan kepala, segera duduk di kursi yang rada jauh dengan mereka. Meja makan ini besar, cukup untuk dua belas orang.

“Melly, di butik kamu perlu pegawai, kalau perlu masukan saja Fidiya di sana, aku tidak suka melihat orang yang menganggur!”

Ada rasa sakit mendengar ungkapan itu, tapi sakit kenapa? Lagi-lagi, aku hanya bisa tersenyum.

“Maaf kak, di keluarga kami, semuanya ibu rumah tangga+wanita karir yang sukses. Jadi … kami sangat benci jika orang yang tidak menggunakan waktunya, dan menghabiskan waktu hanya untuk rebahan atau berdiam diri.” Melly menambahi.

“Jika mas Ridwan setuju, aku tidak masalah, padahal tadinya aku hanya berharap untuk mengabdikan diriku untuk mas Ridwan, menjadi istri pada umumnya.”

“Kalau kami miskin itu tepat, tapi kami punya pembantu dan mereka lebih professional dibanding dirimu!”

Kata-kata itu terlontar dari mulut laki-laki yang berstatus suamiku. Aku berdiri untuk menyambutnya. Percuma, dia sama sekali tidak perduli.

“Maaf mas, sebagai seorang istri, aku hanya ingin membuat mas bahagia, dan kewajibanku berbakti, taat dan patuh padamu.”

“Ingin aku bahagia, cukup bahagiakan kedua adikku dan ibuku,

mereka adalah kebahagiaanku. Andai mereka tidak memintaku untuk menikahimu, tidak sudi aku tidur sekamar dengan orang lain.” Dia memandangku dengan tatapan dingin dan sinis, sangat berbeda saat dia memandang kedua adiknya dan ibunya.

Jlebbbb!

Sadis! Tidak sudi? Tapi dia menumpahkan segala keinginan

lelaki yang satu itu padaku, fix! Aku hanya pelampiasan nafsunya. Semoga engkau.tidak bosan memberi kekuatan padaku, ya Rabb.

Ridwan merubah arah pandangannya, tatapan yang begitu teduh tertuju pada ibunya. “Maaf ya bu, aku lupa menyapa ibu.”

Satu per satu pelayan mendekat, meja makan yang tadi hanya berisi buah dan satu teko air putih, perlahan di penuhi makanan. Waw, menu yang luar biasa, aku terbiasa sarapan pagi dengan nasi hangat dan sebutir telor ceplok atau dadar, bahkan sering tidak makan, kalau tidak dapat pekerjaan lagi. Tapi saat itu hati ini sangat bahagia, tidak seperti saat ini.

“Ayo makan kakak ipar,” ucap Ara.

Aku hanya tersenyum dan menganggukkan pelan kepalaku. Kami semua menikmati sarapan pagi ini. Tidak ada pembicaraan lagi, semua menikmati makanan yang ada di piring masing-masing. Terlihat mas Ridwan mulai berdiri sambil mengelap bagian mulutnya.

“Mau berangkat kerja mas?” tanyaku lembut.

“Memangnya kenapa? Kemana aku bukan urusanmu!” bentaknya.

“Maaf mas, aku hanya ingin salim sama mas.”

“Tidak perlu!” Dia pergi begitu saja meninggalkanku dengan segala rasa perih.

“Abang ….” Rengek Ara.

“Iya dek ….” Jawabnya lembut.

“Hati-hati.”

“Iya dek.” Ridwan berjalan mendekati Ara, Melly dan ibunya. Dia mengusap lembut pucuk kepala adiknya begitu penuh kasih sayang, dan mendaratkan ciuman di sana, juga salim pada ibunya, tidak lupa mencium pipi kanan ibunya. “Pamit ya bu, dek ….” Ucapnya.

“Iya, hati-hati.” Ketiga wanita itu menyahut dengan kalimat yang sama.

Ingin rasanya kutenggelamkan diri ini ke dasar bumi, sakit, malu, kecewa, menjadi satu. Kenapa dia menikahiku kalau hanya menorehkan luka pada hidupku?

“Lihat Fidiya, jangan pernah berpikir untuk menguasai anakku!” cerca wanita itu.

“Menguasai? Apa maksud ibu?”

“Biasanya seorang laki-laki kalau menikah melupakan keluarganya

dan asyik dengan istrinya, tapi kalau kakak kami tidak, lihat saja dalam

hidupnya hanya ada kami.” Melly menambahi.

Aku masih tidak mengerti. “Menguasai seperti apa yang ibu maksud?”

“Jangan pura-pura embodoh, kami sudah tau seperti apa perempuan yang menginginkan posisi Nyonya Ridwan. Tapi sebelum kamu salah jalan, patuhi kami, maka posisi kamu aman, karena seperti yang Ridwan bilang, kami bahagia dia juga bahagia,” terang ibu.

“Kalau bersama kalian mas Ridwan sudah bahagia, kenapa kalian malah meminta dia menikahiku?”

“Karena hanya seorang istri yang bisa melayani yang satu itu, kalau yang lain, tidak perlu.”

Melly dan Ara pamit pada ibu mereka, sedang aku masih mematung memahami ini semua.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!