Aku baru saja menginjakkan kaki di bandara Ahmad Yani. Sekarang aku memang lagi berada di Semarang. Dengan langkah berat, aku mengekor langkah Papa dan Mama yang berjalan di depanku. Aku merasa asing di tempat ini. Tapi apa boleh buat. Sebagai anak, aku harus mengikuti kemana orang tuaku pergi.
Aku menyesalkan rencana Papa untuk membuka perusahaan properti di kota ini. Aku benci itu. Kenapa Papa tidak bekerja di Jakarta saja. Aku benci harus pindah ke kota ini. Sekarang, langkahku semakin melambat. Sepertinya aku ingin berlari kembali ke dalam pesawat dan terbang kembali ke Jakarta. Kembali bertemu Gigi, sahabatku. Seharusnya, aku dan Gigi sekarang sedang bersenang-senang menikmati liburan kenaikan kelas. Tapi, gara-gara Papa, aku harus ke kota ini. Harus pindah sekolah, yang berarti aku harus berpisah dengan Gigi.
"Ma, aku nggak mau pindah! Aku mau pulang ke Jakarta!" Papa dan Mama berhenti melangkah. Mereka menoleh ke arahku sambil menggeleng-gelengkan kepala. Lalu Mama menghampiriku.
"Kamu kenapa, sih?" Mama menatapku sedikit kesal.
"Ma, Lala nggak mau pindah. Lala suka dengan sekolah Lala yang di Jakarta. Biar Lala balik aja, ya. Lala bisa tinggal sama Gigi. Atau Lala nge-kost aja." Aku mengiba dengan mata berkaca-kaca.
"Denger kata Mama, kamu pikir gampang apa hidup sendirian? Sudah, nggak usah cengeng seperti itu!"
Sekarang air mataku membanjir. Mama selalu tidak pernah mau mengerti. Mama selalu begitu. Selalu! Sebagai orang tua, Mama terlalu otoriter dan overprotektif terhadapku. Aku tidak pernah dibiarkan melakukan apa yang aku suka. Mama selalu mendikte apa yang harus aku lakukan, bahkan sejak aku masih kecil.
Aku ingat sewaktu masih di TK Mama tidak pernah mau meninggalkan aku semenit pun. Meskipun para guru menjamin tidak akan terjadi apa-apa terhadapku. Akibatnya, aku jadi tidak leluasa bermain bersama teman-temanku karena selalu diawasi Mama.
Belum lagi saat aku sudah SD, Mama selalu membekaliku makanan dari rumah. Aku dilarang jajan. Otomatis, di sekolah aku tidak bisa bersenang-senang dengan teman-temanku. Begitu juga ketika ada kegiatan sekolah seperti camping pramuka, Mama selalu melarangku. Alhasil, aku jadi terasing karena tidak bisa terlibat tentang pembicaraan seru diatara teman-temanku. Aku merasa freak. Aku merasa rendah diri.
Lalu aku mulai menemukan hobiku, yaitu menulis. Mungkin ini juga akibat dari tidak sanggupnya aku meng-apresiasi-kan perasaanku di bawah tekanan Mama. Hanya dengan menulis saja aku bebas melakukan apa yang aku suka. Sejak SD aku mulai mengarang cerpen, mengkhayali tokoh-tokoh seperti yang aku inginkan. Tapi ketika Mama melihat tulisanku, bukannya senang, ia malah marah besar.
"Kamu jangan jadi pengkhayal, Lala. Kamu bisa tidak normal." Begitulah kira-kira ucapan Mama. Aku menangis. Aku sedih. Apa Mama tidak tahu jika sikapnya itulah yang telah membuat aku jadi tidak normal? Yang membuat aku jadi pengkhayal?
Dan Papa sama sekali tidak bisa membantu. Dia jarang di rumah. Sebagai seorang arsitek yang terkenal, Papa selalu mendapat proyek di luar kota dan itu membuat aku merasa jauh dari Papa.
Semua yang terjadi padaku akhirnya membentukku menjadi pribadi yang tidak percaya diri, aneh dan takut dengan orang lain. Aku paling sulit masuk ke dalam lingkungan baru. Aku tidak pintar bergaul. Untungnya aku masih punya sahabat yang baik, dialah Gigi. Selama ini, hanya Gigi yang menurutku paling bisa mengerti aku. Di kota ini, pasti akan sulit menemukan sahabat seperti dia.
Aku segera menyeka pipiku yang basah, lalu masuk ke dalam mobil Om Pras, teman bisnis Papa yang menjemput kami. Aku membuang pandanganku ke jalanan, memerhatikan setiap kendaraan yang berseliweran di luar.
Bagaimana dengan sekolahku yang baru? Apakah anak-anak di Semarang lebih bisa menerimaku? Apakah di sana ada cewek yang seperti Shela, si model majalah atau Dilan yang menjadi vokalis band yang populer? Aku pasti akan sulit bergaul meski mungkin orang-orang seperti Shela dan Dilan tidak ada. Aku memang freak. Aku tidak cantik. Prestasiku juga biasa-biasa saja. Aku sangat pendiam, sampai-sampai teman-teman sekelasku malas mengajakkku bicara.
Satu-satunya sahabatku adalah Gigi. Gigi adalah teman SMP yang kebetulan satu SMA denganku. Yang sedikit mengecewakan adalah aku tidak sekelas dengan Gigi. Karena itu, saat kami naik ke kelas dua dan ternyata kami ditempatkan di kelas yang sama, aku dan Gigi bersorak gembira. Tapi semuanya sirna saat kutahu akan mengikuti Papa pindah ke Semarang.
"Lala, kita sudah sampai," Mama membuyarkan lamunanku. Dengan berat hati, aku turun dari mobil. Aku menatap sebuah rumah indah di hadapanku. Rumah ini tidak jauh berbeda dengan rumah yang di Jakarta.
"Welcome to Semarang, Lala!" Om Pras berkata kepadaku. Aku berusaha tersenyum tapi aku rasa aku tidak bisa. Aku berusaha menahan air mata agar tidak turun lagi.
"Ayolah sayang... senyum dong. Ok, it's sukcks! But you're gonna love it!" Papa mencoba menghiburku. Bagaimana mungkin aku bisa menyukainya? Ini seperti bencana baru buatku. Ini akan menjadi liburan terburuk sepanjang hidupku.
Taeyeon sebagai Lala
Aku memilih menghabiskan liburanku dengan terus berada di rumah. Aku tidak mau diajak Mama dan Papa pergi ke rumah teman-temannya. Pasti membosankan! Mending aku di rumah dan video call dengan Gigi. Yang buat aku sangat iri adalah mengetahui kalau Gigi menghabiskan liburannya di vila keluarganya di puncak bersama sepupu-sepupunya. Uh! Itu pasti seru banget. Jauh berbeda dengan keadaanku sekarang. Aku harus mendekam di dalam rumah.
Papa memang sudah lama meninggalkan kota kelahirannya ini. sejak umur sepuluh tahun, Papa harus pindah ke Kalimantan mengikuti Kakek yang bertugas sebagai perwira polisi di daerah itu. Dan sejak saat itulah, Papa jarang pulang ke Semarang.
Papa bertemu Mama dan saling jatuh cinta saat di Bandung. Setelah lulus SMA Papa memutuskan untuk kuliah di ITB. Mama adalah mahasiswi paling cantik saat itu menurut Papa. Tetapi kecantikan Mama juga disertai sifat Mama yang judes, apalagi sama cowok-cowok yang naksir dia. Papa adalah cowok yang beruntung yang dipilih Mama. Tapi, tentu saja, kejudesan Mama dan keras kepalanya masih bertahan sampai sekarang. Tanpa disadari, sifat Mama itu berbanding terbalik dengan sifatku.
Karena sifat Mama itu, aku ingin sekali punya saudara kandung. Dan bukannya menjadi anak tunggal. Paling tidak, sifat keras kepala Mama tidak ditunjukkan untukku seorang. Tetapi, sampai sekarang, di usiaku yang hampir tujuh belas tahun ini, aku tidak pernah mendapatkan seorang adik. Dulu, setiap aku merengek minta seorang adik, Mama pasti berkata permintaaanku belum dikabulkan Tuhan. Lama-lama aku lupa dengan permintaan itu. Dan sepertinya, Tuhan memang menunda untuk mengabulkan permintaan itu.
"Lala, kesini sebentar!" Aku mendengar suara ramai di bawah. Pasti Mama dan Papa pulang dengan membawa rombongan lagi. Dengan enggan, aku keluar dari kamar, dan tidak lupa berusaha tersenyum sebelum bertemu dengan teman-teman orang tuaku. Dan itu sudah biasa kulakukan sekarang.
Dengan senyum yang tersungging di bibir, aku menatap satu persatu teman Papa dan Mama, tetapi ada satu orang yang lain di antara mereka. Tatapanku berhenti pada satu sosok yang hhmmm... cakep, menurutku.
"Lala, udah besar dan cantik, ya. Tante sampai pangling, lho."
"Ingat nggak, La, sama tante Riani?" tanya Mama sambil tersenyum padaku.
"Sepertinya kalau sama Junot, ingat dong." Tante Riani melirik cowok yang tadi sempat membuat hatiku bergetar.
"Hai..." cowok itu menyapaku.
Ternyata, Tante Riani adalah tetangga kami sepuluh tahun yang lalu waktu di Jakarta. Dan Junot, yang aku ingat adalah cowok nakal menyebalkan saat itu. Dia sering mengejekku dengan satu kata yang membuatku memusuhinya sampai sekarang. Dan gara-gara itu aku jadi ingin kembali ke rahim Mama dan terlahir dengan rambut lurus.
"Week... keriting. Anak cewek kok rambutnya keriting, kayak indomie!"
Uggh..! menyebalkan! Memang salah ya punya rambut keriting. Lagian rambutku tidak keriting kok. Cuma ikal. Bukan keriting. Dasar! Dan hari ini orang yang sering mengjekku dengan kata itu, berdiri di hadapanku dengan charming-nya. Wajahku langsung merengut. Aku langsung mundur beberapa langkah karena aku yakin rambut ikalku ini yang menarik perhatiannya sekarang.
"Kamu masuk SMA Pancasila, kan?" Junot berusaha memecah kebisuhan di antara kami. Aku hanya bisa mengangguk. Duuh, goooblook-nya aku. Memang kamu bisu apa? Suara hatiku menyalahkanku karena sikapku yang terlalu 'coool'.
Mungkin karena melihat aku hanya bersikap seperti seorang autis dan sama sekali tidak bisa diajak ngobrol secara normal. Junot pun mulai memperlihatkan rasa bosannya saat berada di sisiku. Dia malah asyik membolak-balikkan majalah otomotif Papa dan bersikap cuek padaku. Karena bosan dari tadi terus mengheningkan cipta, akhirnya Junot memilih ikut bergabung dengan kelompok para orang tua, dan aku memandang pasrah sambil menyumpahi kebodohanku.
Tapi ketika hendak pulang, perkataan Junot sempat sedikit menghiburku.
"Besok ketemu di sekolah, ya."
Ahh... leganya.
.
Kris Wu sebagai Junot
Hatiku berdebar kencang. Ini hari pertamaku di SMA Pancasila. Dengan perasaan yang tidak menentu, aku melangkah memasuki halaman sekolah. Aku bisa melihat sekelompok cewek yang sedang asik ngobrol sambil tertawa. Mungkin mereka sedang membicarakan pengalaman liburan mereka.
Aku berusaha mencari ruangan kepala sekolah. Aku menebarkan pandangan ke setiap penjuru ruangan, tetapi aku belum menemukan ruangan yang bertuliskan kantor kepala sekolah. Apa aku harus bertanya? Yaiyalah! Tentu saja aku harus bertanya! Aku mengumpat diriku sendiri. Aku kembali mengedarkan pandangan ke sekelilingku. Tetapi, sepertinya semua orang sedang sibuk dengan urusannya masing-masing. Aku seperti alien di tempat ini. Baru saja aku berbalik tiba-tiba... UPS, seseorang menabrakku. Emm... Sebenarnya aku yang menabraknya. Hehehe...
"Mmmm... Maaf, ya." Aku sekilas memandang orang itu. Cowok. Cakep! Tapi, tanpa memandangku, cowok itu segera menghampiri segerombolan cewek yang lagi asyik ngrumpi.
Fiuuuhh... Lala, malang benar dirimu.
"Hai..." Seseorang menyapa. Aku segera menoleh ke arah suara itu.
"Tolong dong, bolanya." Cowok itu kembali berkata, aku masih bengong.
"Halo... Jangan bengong, dong. Bolanya, tolong dilempar." Cowok itu sekali lagi bersuara. Sekarang aku melihat beberapa pasang mata cowok di lapangan itu memandang ke arahku. Aku semakin mati gaya. Aku bahkan lupa apa yang diomongin cowok itu. Emang dia bilang apa, sih? Ya Tuhan, rasanya aku mau nangis.
Lalu dengan tiba-tiba, seseorang sudah ada di dekatku.
"Bolanya..."
Heh, aku menoleh. Cowok itu tersenyum ramah. Ia berwajah jenaka. Lalu dia mengambil bola basket yang tergeletak tak jauh dari kakiku. Sekarang, baru aku ngeh. Cowok itu mengambil bola basket itu dan melemparkannya ke arah segerombolan cowok di lapangan.
"Nih... Bolanya."
"Gitu dong. Itu cewekmu dikasih tahu, Am. Jangan suka bengong, nanti kerasukan jin." Cowok-cowok itu ketawa. Ya ampun, betapa malunya aku. Aku pengen lari terus nangis.
"Kamu nggak apa-apa? Aku kok nggak pernah lihat kamu," kata cowok itu.
Aku hanya diam saking nggak tahu harus mau ngapain dan bilang apa.
"Kamu anak baru?"
Aku mengangguk lemah.
"Aku A'am. Kamu siapa?"
"A..aku Lala.".
"Ya udah, La. Aku mau ikutan main basket. Selamat datang di SMA Pancasila." Sebelum cowok itu pergi entah keberanian dari mana, aku memanggilnya.
"Am..."
"Iya, La?"
"Emmm... Ruang kepala sekolah di mana, ya?" kataku malu-malu.
"Yuk. Aku anterin."
Aku mengikuti langkah A'am hingga sampai di sebuah ruangan bertuliskan Ruangan Kepala Sekolah. Lalu A'am pergi meninggalkanku. Untungnya aku tidak lupa untuk bilang terima kasih. Setelah itu aku segera masuk ke dalam ruangan kepala sekolah.
***
Pak Harfan, kepala sekolah SMA Pancasila membawaku ke sebuah kelas. Pak Harfan, pembawaannya santai dan berwibawa. Jika aku mendeskripsikannya, pak Harfan mirip banget dengan Pak Ridwan Kamil. Itu lho, walikota Bandung yang populer.
Pak Harfan menempatkanku di kelas IPA III. Aku deg-degan. Aku khawatir mereka tidak menerimaku. Apalagi aku tidak pandai beradaptasi dengan sebuah lingkungan yang baru.
Saat aku masuk ke kelas IPA III, keadaan kelas lagi riuh, berisik. Khas kelas yang tidak ada gurunya.
"Pagi anak-anak!"
"Pagi Paaak......!"
"Di sini ada teman baru dari Jakarta..." Belum selesai Pak Harfan berbicara, kelas kembali riuh. Aku menahan napas, siap mendengar celetukan dari salah satu di antara mereka. Ini sering terjadi di kelasku dulu kalau ada anak baru.
"Dari Jakarta atau gunung kidul, Mbak?" Tawa seluruh kelas meledak mendengar celetukan itu. Aku hanya tertunduk. Ternyata, di mana-mana sama, anak baru selalu jadi bulan-bulanan, apalagi anak baru sepertiku.
"Sudah anak-anak, ayo. Kembali tertib!" Kelas kembali hening.
"Ayo kenalin diri." Pak kepala sekolah berkata kepadaku dengan senyum yang ramah. Inilah saat-saat yang paling kutakutkan, aku selalu merasa grogi parah ketika berbicara dihadapan orang sebanyak ini. Aku bahkan tidak mampu mengangkat wajahku. Aku bisu. Kelas kembali riuh.
"Malu ya, Mbak.... Kok diam aja." Sebuah celetukan kembali terdengar. Mukaku terasa panas. Aku menggigit bibirku, berusaha mengumpulkan keberanian.
"Ng... Namaku, Trifianna Arista. Aku pindahan dari SMA Trisakti Jakarta, dan..."
"Dipanggil apa, nih? Tri? Via? Anna? Aris? Rista?" Kelas kembali riuh. Aku melirik ke arah cowok yang berseru itu. Tampangnya memang konyol dan pasti dia memang badut di kelas ini Dan... tunggu dulu, bukannya dia A'am, yang barusan tadi nganter aku ke ruang Kepsek. Dia ternyata, tega...
"Wuih... Perhatian amat, Mas, hapal luar kepala, Bo!" Sekarang suara cewek di depannya menyahuti cowok itu, yang kemudian dibalas dengan tawa anak-anak yang lain. Wajahku semakin panas. Kembali pak Kepsek menenangkan seisi ruangan.
"Aku... Biasanya di panggil... Ng... Lala," aku kembali bersuara.
"Halo Lala... Welcome to Semarang!" Suara konyol itu lagi.
Akhirnya aku disuruh duduk di sebelah seorang cewek. Aku tersenyum padanya sebelum menarik kursi disampingnya. Cewek yang cantik, pikirku dalam hati. Setelah aku duduk, pak Kepsek segera keluar dari kelas. Dan dalam sekejap, kelas kembali riuh. Aku hanya duduk terdiam di kursiku, sedangkan cewek di sebelahku mulai asyik mengobrol dengan beberapa cewek yang duduk di dekat kami.
Sebagai anak baru, aku memang tidak bisa menjadi pusat perhatian. Aku tidak punya keistimewaan yang membuat orang-orang bisa merasakan tertarik untuk mengajakku berkenalan. Dan aku bahkan tidak mampu membuka obrolan dengan cewek di sampingku. Mungkin menurutnya, aku bukanlah jenis cewek yang bisa diajak masuk ke dalam gengnya meskipun aku dari Jakarta. Benar, kan? Biasanya, anak Jakarta dikenal sebagai anak yang gaul, metropolis dan lain sebagainya itu.
Tapi sepertinya aku memang pantas dibilang sebagai anak dari daerah gunung... Gunung apa tadi yang dibilang si A'am. Aku berusaha mengingatnya.
"Halo... Arista..." Suara itu... Aku segera menoleh dan kudapati tampang yang tadi pagi bantu aku ke ruang Kepsek sekaligus yang selalu nyeletuk konyol. Ya ampun, tega banget sih ini orang menggodaku sampai seisi kelas menertawakanku. Padahal tadi dia sepertinya cowok yang baik dan bukan konyol seperti ini.
"Lala!" Aku mengoreksi.
"Tapi Arista lebih keren, lho." A'am kembali nyengir.
"Kenalin aku Ahmad Mufti Amrillah. Panggil aja A'am."
"Kan tadi pagi udah kenalan." Aku mengernyit heran.
"Hahaha... Kalau kenalan lagi yang lebih formal nggak papa kan." Cowok itu mengulurkan tangannya padaku. Dengan enggan, aku menerima uluran tangannya. Dalam cerpen sering aku tulis, biasanya seorang anak baru selalu menjadi incaran cowok cakep di sekolahnya. Tetapi tentu saja ini tidak akan terjadi padaku. Sekali lagi aku melihat cowok ini tersenyum konyol padaku.
Sampai akhirnya Bu Indah, wali kelas IPA III masuk.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!