DSP prolog
Peperangan akan segera berakhir. Sang raja yang menyeringai penuh dengan rasa bangga, mulai menurunkan pedangnya dan menyuruh pasukannya untuk mempersiapkan negosiasi kedua.
Ia pun turun dari kudanya dan mulai menyeka darah yang ada di pipinya dengan tangannya.
“Padahal, peperangan ini tak akan terjadi jika mereka mau menurut dan tidak mempercayai surat konyol itu” ujar sang Raja.
Sang Raja awalnya berpikir bahwa peperangan tersebut terjadi karena orang-orang di pemerintahan baru kerajaan Aerel —kerajaan tetangga— tidak menyetujui kesepakatan lama, mengenai tanah kosong yang berada di perbatasan wilayah kerajaan mereka.
Begitu mendengar permasalahan tersebut, sang raja yang terkenal dengan kebijaksanaannya, langsung turun tangan dan kembali berdiplomasi dengan mereka untuk mendapatkan keputusan yang terbaik. Namun, tawaran tersebut ditolak mentah-mentah oleh mereka. Yang secara tidak langsung, mereka telah mendeklarasikan perang pada Sang Raja.
Entah orang-orang yang menduduki pemerintahan baru tersebut memang bodoh, ataukah selama ini, pihak kerajaan tersebut memang ada dendam tersembunyi pada kerajaannya. Hal itu terlihat dari bagaimana mereka memulai penyerangan dengan gegabah, seakan peperangan adalah permainan anak kecil.
Tak lama ketika persiapan untuk penyerangan balik mulai dilakukan, sang raja yang masih merasa heran pun mendengar kabar dari salah seorang mata-mata kerajaan.
‘Sang raja dan pasukannya, sudah tidak sebaik dulu. Alih-alih berperang demi tanah yang tidak layak huni, akan lebih baik jika wilayahnya kita rebut.’
Begitulah isi surat yang menjadi awal mula peperangan itu terjadi. Sang mata-mata pun memberitahukan pada Sang Raja, bahwa ada seorang tokoh di sana yang memiliki dendam pribadi terhadap beliau. Sehingga, begitu surat itu datang, ia dengan gigihnya mencari rekan untuk melancarkan misi tersebut.
“Hahahaha” mengingat laporan tersebut, sang raja tertawa dan merasa semakin bangga dengan kemenangannya.
“Yang mulia,” tiba-tiba suara berat dari arah pepohonan, memanggil tegas sang raja. Sosok lelaki berpakaian hitam, datang selangkah demi selangkah sambil memegang dua kepala yang terpenggal di tangannya.
“I.. itu” perasaan senang dan bangga yang tadinya menyelimuti hati sang raja, tiba-tiba hilang begitu saja, ketika ia menyadari siapa pemilik kepala-kepala tersebut.
“Para pangeran sudah mati.” Tidak ada rasa sedih dan ragu ketika kalimat tersebut diucapkan. Matanya yang menatap tajam sang Raja, malah terlihat sedang menantikan reaksi seperti apa yang akan diperlihatkan oleh sang Raja.
Sang raja menutup mulutnya. Ia menelan ludahnya dengan kuat seakan ada yang mengganjal di tenggorokannya. Udara dari pepohonan hijau yang seharusnya membuatnya tenang pun malah membuatnya sesak.
Bagaimana tidak, lelaki yang memegang dua kepala tersebut adalah anak ketiga sang raja. Hanya saja, ia tidak seperti kakak-kakaknya yang berasal dari rahim sang ratu, ia berasal dari seorang pelacur.
Sang raja terpaksa mengangkat dan mendidik lelaki tersebut di kastilnya, karena figurnya yang sangat mirip dengan sang raja dan anak pertama sang raja.
“Siapa yang berani melakukan ini?” Tanya sang raja.
Ia masih tidak percaya apa yang ia lihat. Ketiga anaknya mendapat pelajaran seni pedang sejak mereka masih belia. Ia sangat percaya, ketiganya adalah ahli pedang yang sangat baik. Bahkan, tidak satupun dari ksatria berani melawan mereka.
Lelaki yang sedari tadi mengambil langkah perlahan mendekati sang raja, sekarang telah sampai dengan jarak tidak jauh di hadapan sang raja. Ia lalu memberi sinyal pada sang raja untuk mengusir orang-orang yang ada di sekitarnya.
Sang raja pun menurutinya. Tak lama, orang-orang di sekeliling mereka pun mengambil langkah mundur. Menberi privasi pada kedua orang tersebut, agar mereka dapat berbicara dengan tenang.
Lelaki tersebut tersenyum. “Apa kau tidak tau siapa yang melakukan ini?” Ucapnya.
Mata sang raja membulat ketika melihat anak lelakinya itu menyeringai. Ia tidak ingin berpikir bahwa pelaku pembunuhan keji itu, tidak lain adalah adik kandung dari para korban tersebut.
Tangan sang Raja pun bergetar. Sambil mencoba berpikir jernih, ia menurunkan tangannya untuk meraih pedang yang sudah ia masukkan ke dalam sarungnya. Tetapi, belum ia berhasil mengambil pedang tersebut, tiba-tiba...
Bersambung.
***
“Hah? Apa-apaan ini?” Mysha mengomel ketika mendapati novel ‘The Dark Prince’ yang ia baca bersambung di tengah jalan. Padahal ia sudah menanti jilid kedua novel tersebut selama enam bulan lamanya.
Dengan kekesalan yang menyelimutinya, akhirnya ia menutup novel tersebut dan berbaring di kasurnya. “Kalau aku tau buku keduanya akan bersambung di tengah jalan seperti ini, seharusnya aku tunggu sampai jilid tiga keluar dulu” gerutunya.
‘Pangeran Egon. Apa dalang dari peperangan itu dia ya? Padahal dia sudah diberi kesempatan kedua untuk hidup kembali, tetapi kenapa malah ia gunakan untuk balas dendam?’ Sambil melihat langit-langit kamarnya, ia pun mencoba mencari jawaban atas pertanyaannya tersebut.
‘Hah, andai saja aku di sisi Egon, aku akan menyuruhnya mencari jalan lain untuk balas dendam. Siapa juga yang bisa hidup tenang jika membalas dendam dengan cara keji seperti itu?’ Gerutunya kembali.
‘Egon... Apakah ada cara, agar kamu bisa bahagia?’ Lanjutnya.
Begitulah kalimat terakhir yang diucapkan Mysha pada dirinya sendiri, sebelum akhirnya, ia menutup matanya untuk tidur.
Malam itu, tiba-tiba hujan lebat dan angin kencang mengganggu tidur Mysha. Perasaan Mysha yang masih terhanyut dalam novel ‘The Dark Prince’ membuat ia semakin tidak tenang. Setiap saat ia memejamkan matanya dengan kuat, sosok Egon yang mengenaskan muncul dihadapannya. Pangeran ketiga sang raja itu menatap Mysha dengan tangan yang menjulur kearahnya, seakan sedang meminta pertolongan padanya.
Mysha mencoba untuk tidak memedulikan sosoknya tersebut. Ia sangat yakin bahwa itu hanyalah khayalannya.
Karena memang, setiap kali ia membaca dalam cerita novel yang membuatnya terhanyut, mimpi dan imajinasinya menjadi liar.
”Kau yang akan memberitahuku cara hidup bahagia bukan?” Ujar lelaki tersebut.
Mysha tersentak mendengar hal tersebut. Bukankah itu yang ia ucapkan sebelum ia tertidur tadi? Mysha yang merasa bersalah pun, akhirnya meraih tangan tersebut. Lalu, ia pun kembali tertidur lelap.
***
Malam telah berganti. Sang mentari datang mengantikan tugas sang rembulan untuk bekerja memberi cahaya di kehidupan.
Mysha yang akhirnya dapat tertidur lelap pun terbangun oleh alarm ponselnya yang berbunyi nyaring. Saat ia meraih ponselnya dan mengintip ke layarnya untuk menekan tombol ‘snooze,‘ ia dikejutkan oleh bayangan seseorang yang berdiri tidak jauh dari tempat tidurnya.
Ia pun membuka penuh matanya. Sambil mencoba untuk tetap tenang, ia mengangkat kepalanya untuk memeriksa sosok tersebut. Dan ternyata apa yang ia lihat itu benar. Seorang lelaki berdiri tidak jauh dari tempat tidurnya. Menggunakan pakaian lengkap kerajaan layaknya seorang pangeran yang sering digambarkan di cerita bertema kerajaan.
Ia menarik nafas panjang. Memperhatikan sosok tersebut dengan teliti. “Pangeran.. Egon?” Ucapnya ragu.
Lelaki tersebut memiliki mata hijau seperti batu jade. Rambutnya sedikit bergelombang dengan warna rambut hitam, sehitam bulu burung gagak. Posturnya tinggi dan kulitnya cerah bagaikan mutiara.
Gambaran yang sama dengan pangeran Egon yang ada di dalam novel.
Mysha mengubah posisinya. Ia duduk di kasurnya sambil tetap menatapnya tidak percaya.
‘YA AMPUN! Apakah aku mati dan bereinkarnasi ke dalam novel? Padahal aku pikir..’ sebelum ia melanjutkan ucapannya dalam hati. Ia terdiam sejenak. Ia memperhatikan sekelilingnya, juga ponselnya yang masih ada di genggaman tangannya.
‘Tunggu, ini kan... INI KAN KAMARKUUUU?’
***
Bersambung.
Beneran bersambung.
Pangeran kegelapan. Itulah julukannya.
Pada kehidupan pertamanya, ia dikhianati oleh ayahnya sendiri, sang raja. Ia diberi gelar ksatria kerajaan terbaik. Sebuah gelar yang sangat baik untuk dirinya yang berasal dari seorang ibu pelacur. Akan tetapi, tanpa ia sadari, ternyata itu adalah permainan tipu daya sang raja yang membuat nasibnya berakhir tragis.
Pemenggalan di alun-alun kota sebagai tersangka pemberontakan. Itulah yang rakyatnya tau.
Mendengar vonis tersebut, pangeran yang merasa telah dikhianati oleh ayahnya sendiri pun murka.
“Demi Tuhan. Sang Raja akan mati dalam keadaan kepala yang terpisah dari tubuhnya” begitulah ucapnya sebelum akhirnya pisau guillotine pun dijatuhkan.
Saat itu pula, tiba-tiba keajaiban muncul. Sang pangeran yang seharusnya sudah tidak dapat merasakan hidup, tiba-tiba terbangun di masa beberapa tahun sebelum masa pemberontakan terjadi.
Ingatannya tentang pisau tajam yang memenggal lehernya, membuat karakter sang pangeran ketiga, yang digambarkan seorang yang ramah dan ceria, berubah menjadi kelam. Ia kehilangan senyum di raut wajahnya. Tidak ada yang pernah melihatnya tersenyum sejak saat itu. Perubahannya yang tiba-tiba itu, membuat orang-orang berpikir bahwa ia telah dirasuki oleh jiwa lain.
Dari situlah, ia pun dijuluki sebagai pangeran kegelapan.
Dan pangeran kegelapan tersebut, sekarang ada di depan mata seorang gadis pecinta novel reinkarnasi. Awalnya, gadis tersebut berpikir bahwa ia telah bereinkarnasi ke dalam dunia novel, tetapi kenyataannya, pangeran kegelapan di dalam novel itulah yang justru muncul ke dunianya.
“Pangeran Egon?” Ucap wanita itu tidak percaya.
“Kau.. dimana aku?” Ucap sang pangeran. Ia mengenakan pakaian formal kerajaan, seakan ia mau menghadiri sebuah pesta.
“Benar! Kau pangeran Egon kan!” Matanya berbinar layaknya seseorang yang baru saja menemukan permata langka. Egon yang tersentak dengan jeritan kecil Mysha pun mundur satu langkah dengan perlahan.
“Ya, aku Egon. Kau siapa?”
“Ya ampuuuuun! Aku Mysha! Dan kau sekarang ada di kamarku!” Jawabnya.
Egon lalu mengernyitkan dahinya. Ia sangat yakin, bahasa yang sekarang ia gunakan saat berbicara dengan Mysha bukan bahasa ibunya, tetapi bagaimana dia bisa mengerti?
Mysha lalu turun dari kasur dan mendekati Egon. Ia berdiri dihadapannya dan sedikit mendongak ke atas untuk melihat wajahnya.
“Kau tinggi!” Ucap Mysha, masih dengan mata yang berbinar.
Egon menatap Mysha tidak percaya. Ini pertama kalinya ia mendapat perlakuan tidak sopan seperti itu.
Walaupun ia pangeran dari seorang ibu pelacur, orang-orang selalu mencoba untuk menunjukkab hormat kepadanya. Tapi anak ini? Tanpa ragu Ia berdiri dan menatap langsung mata Egon.
“Kau.. tidak takut mati?” Tanya Egon ragu. Egon yakin, ketika ada seseorang yang melakukan hal yang tidak sopan pada seorang bangsawan, hukumannya bisa menyangkut nyawa.
‘Apalagi...’
Egon melihat sekelilingnya.
‘Gadis itu bilang, kalau aku berada di kamarnya. Kamar sekecil ini. Dia pasti dari kalangan rakyat jelata.’ Pikirnya.
Dinding putih gading yang didekorasi dengan hiasan minimalis. Foto polaroid bersama dengan teman-temannya pun banyak menempel di sana. Suasana dan barang-barang yang tidak pernah Egon lihat sebelumnya.
“Duduklah dulu yang mulia,” ucap Mysha sambil tersenyum seperti orang bodoh. Ia menggeret kursi tak jauh dari meja belajarnya.
Ketika Egon pun tersadar bahwa ia tidak bersenjata, Ia pun mencoba untuk menuruti Mysha terlebih dahulu. Mencoba waspada kalau-kalau ia sedang dalam perangkap musuh.
Mysha berjalan ke dapur yang tak jauh dari kamarnya, untuk mengambil teh dingin dalam kemasan dari kulkas. Ia lalu menyodorkan teh tersebut pada Egon sambil tetap tersenyum lebar.
“Jadi bisa kau ceritakan terlebih dahulu, keadaanmu sebelum muncul di sini? Ah, minumlah dulu. Ini teh dari bunga melati. Dan ini sudah ditambah gula.” Mysha tersenyum. Ia sangat percaya diri bahwa Egon akan menyukainya.
Tentu saja karena ia tahu bahwa para bangsawan di dalam novel ‘The Dark Prince’ banyak yang tergila-gila dengan teh yang ditambah gula —juga kudapan.
“Hmm? Ah, terima kasih,” Egon terdiam melihat barang ditangannya. Ia memperhatikan dengan seksama, bertanya-tanya kenapa tidak pernah sekalipun terpikirkan olehnya untuk menjual teh di dalam botol kemasan. ‘Dan ini.. terbuat dari bahan apa?’
“Pangeran Egon?” Mysha memanggil Egon yang masih belum menjawab pertanyaannya.
“Ah, maaf. Kenapa kau bertanya seperti itu? Apa kau pendeta?”
“Huh? hahaha. Bukan, aku orang biasa. Kau bisa memanggilku Mysha. Aku mahasiswi”
“Mahasiswi?”
“Yap. Umm.. murid yang pergi ke univ—ah semacam akademi, itu disebut mahasiswi,” jelas Mysha.
“Oh, begitu..”
“Aku yakin banyak sekali yang ingin kau tanyakan di sini. Aku bisa bantu untuk menjelaskan satu-satu, semua yang ingin kau ketahui. Tapi, bisakah kau cerita padaku lebih dulu, tentang ingatan terakhirmu sebelum datang ke mari?”
“Hmm..” Egon terdiam ragu. Ia benar-benar tidak dapat menebak situasinya sekarang.
“Aku tau ini bukan pertama kalinya kau mengalami seperti ini” jelas Mysha.
“Maksudmu?”
“Kejadian di alun-alun kota, kau kembali ke masa sebelum itu kan?”
Egon yang sedari tadi berusaha untuk menjauhi tatapan Mysha, mulai menatapnya balik dan menunjukkan rasa ketertarikan. Bagaimana tidak, selama ini, tidak ada yang tau mengenai hal tersebut. Bahkan pendeta dan penyihir terkuat di kerajaan pun tidak ada yang sadar dengan hal tersebut. Tetapi, anak gadis yang tidak jelas asalnya muasalnya, tiba-tiba duduk di hadapannya dan membeberkan rahasia tersebut dengan mudah.
“Apa kau berhasil balas dendam pada ayahmu?”
“... tidak” Egon mengalihkan pandangannya ke jendela yang menghadap ke luar.
“Lalu perangnya?”
“Saat aku pikir aku akan berhasil balas dendam. Tiba-tiba aku ada di sini”
‘Berarti ia kemungkinan muncul di sini tepat di saat bagian cerita novel itu bersambung’ pikir Mysha.
‘Tapi kenapa dia memakai pakaian megah seperti ini? Bukankah lebih masuk akal kalau dia pakai seragam ksatria ya?’ Lanjutnya.
“Baiklah. Kalau begitu.. aku akan jelaskan semuanya padamu. Dengar baik-baik ya,” Mysha mulai menjelaskan pada Egon tentang kenyataan, bahawa dirinya adalah seorang tokoh utama pada sebuah novel yang bertemakan kerajaan.
Ia pun menjelaskan bahwa dunia Egon pada novel tersebut, berlatar belakang sebuah kota fantasi pada abad pertengahan, sementara dunia Mysha sekarang berada di masa modern. Tidak ada yang namanya kutukan atau sihir seperti yang ada pada dunianya.
Kereta kuda atau burung pengantar surat pun bukan lagi hal lumrah di sini. Teknologi mesin dan kecepatan informasi telah menguasai arus kehidupan.
Terakhir, Mysha memperlihatkan dua jilid novel, ‘The Dark Prince,’ yang baru saja ia selesaikan malam sebelumnya. Buku berlatar hitam dengan gambar mahkota perak yang dilumuri darah, dengan tulisan judul yang berwarna emas membuat Egon penasaran dengan bagaimana dirinya digambarkan pada novel tersebut.
***
“Kau benar..” ucap Egon ketika ia selesai membaca novel tersebut.
“Cerita di novel ini mirip dengan ceritaku..” lanjutnya.
“Jadi sekarang kau percaya kalau kau ada di luar dunia novel?”
“Aku masih ragu, bisa jadi aku memang terbawa ke dimensi lain, tapi mungkin juga ini hanya semacam mimpi dan tubuhku yang asli sedang tertidur..”
“Hmm.. aku tidak yakin dengan yang kedua.. Karena aku yakin, kehidupanku ini nyata..”
“Hmm..”
“Ada yang mau kau tanyakan lagi?”
“Mungkin sudah cukup. Untuk sementara aku akan melihat kondisi di sini dengan mata kepalaku sendiri dulu,” Jawab Egon.
Egon bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke arah jendela. Memperhatikan langit sore berwarna jingga yang tidak jauh berbeda dari dunianya.
Di bawah matahari yang akan segera terbenam, terlihat berbagai macam jenis kendaraan yang belum pernah ia lihat, ramai memenuhi jalanan. Beberapa orang berjalan kaki dengan mengenakan pakaian yang simple tanpa perhiasan yang mencolok.
“Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang.”
Mendengar itu, Mysha pun menyusulnya dan ikut berdiri di sampingnya. Sorot mata Egon yang tertuju pada kehidupan asing di bawah sana, membuat Mysha merasa kasihan pada Egon.
“Selamat datang di duniaku” ucap Mysha dengan senyuman.
***
Bersambung…
“Lihat. Dia ganteng banget ga sih?”
“Eh! Kamu tau Prince Egon di The Dark Prince? Kalau nyata, dia mirip orang itu ga sih?”
Sosok Egon yang mencolok bak artis terkenal berhasil membuat kegaduhan di sisi kota.
Bagaimana tidak, tubuhnya yang tinggi terlihat sangat mencolok dibandingkan dengan kebanyakan orang di sekelilingnya. Kulitnya yang pucat kontras dengan warna langit gelap di atasnya. Bibirnya merah seperti apel. Rambutnya hitam sehitam bulu burung gagak dan warna matanya yang bersinar seperti batu jade. Sosok sempurna yang mungkin sulit untuk dijumpai bahkan di dalam dunia hiburan sekalipun.
Sejak mereka keluar dari apartemen Mysha, tidak hanya satu atau dua orang yang mencoba curi-curi pandang pada Egon. Beberapa orang pun terlihat mengambil foto Egon secara diam-diam.
Egon yang menyadari itu, awalnya berusaha untuk tidak peduli. Tetapi, semakin mereka masuk ke dalam area perbelanjaan, tatapan-tatapan tersebut semakin terlihat agresif. Bahkan bisikan-bisikan yang seharusnya tidak bisa ia dengar pun, malah semakin jelas menusuk telinga.
“Tidak bisakah kita memilih baju apapun yang cukup untukku?” Ucapnya pada Mysha yang sedari tadi terlihat galau memilih baju.
Ya, Egon masih dengan baju seragam kerajaannya. Mysha tidak dapat memberi pinjam bajunya, karena badan Egon yang cukup besar. Bahkan, baju Mysha yang paling longgar pun tidak muat padanya. Maka dari itu, tak lama setelah Egon menyelesaikan novel ‘The Dark Prince,’ Mysha pun mengajak Egon ke pusat perbelanjaan saat itu juga, untuk membeli beberapa helai baju baru.
“Baik yang mulia,” Mysha menjawab dengan nada sedikit menggodanya. Ia cukup mengerti, selain karena Egon risih dengan tatapan dan ucapan yang orang lain lontarkan padanya, Egon juga pasti merasa malu karena mengenakan baju yang tidak biasa di tempat itu.
“Kalau tidak salah, aku sudah memperingatkanmu tentang panggilan ‘yang mulia’ padaku,” Egon menggerutu pelan.
“Hehe!” Mysha hanya terkekeh. “Kau tau Egon, selain karena bajumu yang mencolok, kau memang terlihat sangat tampan. Makanya mereka memperhatikanmu terus,” jelasnya.
“Lagi pula, novel ‘The Dark Prince’ memang sedang naik daun. Dan figurmu terlihat sangat…… ‘Egon,’ jadi wajar kan kalau mereka tertarik padamu?” lanjutnya lagi.
Egon menghela nafas, mencoba menerima nasib malangnya itu. Tidak terpikirkan olehnya bahwa di dunia asing pun, ia berhasil menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitarnya.
***
Setelah beberapa toko mereka kunjungi, akhirnya Mysha pun berhasil menetapkan baju-baju yang akan ia beli. Ia pun tidak lupa untuk membeli beberapa pakaian dalam untuk Egon, walaupun itu membuatnya agak malu karena ia harus menentukan ukurannya. Untung saja staff di sana mau membantunya untuk memilih.
Melihat banyaknya baju yang dibelikan oleh Mysha, Egon pun merasa tidak enak padanya. Ditambah lagi, ia tidak membawa uang sepeser pun. Jangankan itu, bros lambang kerajaan yang biasa melekat di pakaiannya itu saja tidak ada. Padahal ia pikir, ia bisa menjualnya karena terbuat dari emas murni.
“Kamu tidak perlu merasa terbebani seperti itu.. Kalau memang kau merasa tidak enak dengan apa yang kuberikan, kau bisa membayarku kapan pun kau mau!” ucap Mysha dengan senyuman tulus yang menghiasi wajahnya.
Egon pun hanya membalasnya dengan anggukan pelan. Sesungguhnya, daripada memikirkan cara untuk membayar Mysha, pikirannya sekarang, lebih terpenuhi dengan pertanyaan, ‘bagaimana sebuah barang modern berupa kartu, bisa menjadi alat untuk bertransaksi?’
Egon yang sedari tadi terus mencoba mempelajari kehidupan di dunia Mysha pun, tanpa sadar sudah kembali ke ruangan yang berada di tingkat atas, apartemen tempat Mysha tinggal.
***
“Mau mandi terlebih dahulu?” Tanya Mysha sambil membuka jaket denim yang ia kenakan.
“Oh ya! Tidak ada bathtub! Hanya ada shower. Biar kujelaskan caranya,” Mysha berjalan ke arah kamar mandi, memandu Sang Pangeran yang mengikuti di belakangnya. Ia pun membuka pintunya dan menyuruh Egon untuk ikut masuk ke dalam.
“Ini shower untuk mengeluarkan air. Kau bisa melepas gagangnya seperti ini atau—Egon!”
Saat Mysha melepaskan gagang shower dari penyangganya, Egon yang penasaran dengan knob kerannya, tidak sengaja menaikkannya. Mysha pun tersentak kaget begitu air dingin dari shower yang ia pegang membasahi baju dan kulitnya. Ia sedikit menyesal tidak menyalakan mesin pemanas airnya terlebih dahulu.
“Maaf, aku penasaran. Kau tidak apa-apa?” Tanya Egon dengan nada khawatir.
Ia memperhatikan gadis di depannya. Kaos crop tee berwarna putih yang menempel dibajunya menjadi terlihat sedikit transparan karena air yang mengguyurnya. Ia pun dapat melihat sehelai pakaian lebih minim berwarna hitam yang ada di balik kaos tersebut. Meskipun ia tidak mengenali barang tersebut, ia langsung dapat menebak fungsinya.
“Yang benar saja, untung sekarang bukan musim dingin” keluh Mysha sambil mencebik.
Muka Mysha sedikit memerah menyadari kemana arah pandang Egon tertuju. Mysha tahu, bahwa Egon bukanlah pria hidung belang yang akan menggunakan kesempatan seperti ini untuk melecehkan seseorang. Bahkan, di dalam novel pun ada bagian yang menyebutkan bahwa Egon tidak tertarik dengan wanita, sampai-sampai ia selalu menolak wanita-wanita yang mencoba menggodanya.
“Ehem,” Mysha berdehem keras, membuat pria di hadapannya langsung memalingkan pandangannya ke atas.
“Aku tahu kau penasaran sama penutup dada ini kan,” Mysha menggodanya, sementara lengannya mencoba menutupi bagian branya yang samar terekspos.
Dan benar saja, Egon pun langsung tersadar dengan apa yang sedang ia lakukan. Ia pun langsung menutup sebagian wajahnya yang memerah dengan tangannya sambil pandangannya ia alihkan ke arah pintu kamar mandi yang terbuka.
“Maaf, aku tidak bermaksud yang lain..” jelasnya dengan penuh penyesalan.
“Aku tahu..” tanggap Mysha sambil tersenyum-senyum kecil.
“...”
“... Jadi, bisakah kau keluar? Aku mau mandi.” Egon pun langsung menurunkan tangannya, dan beranjak dari tempat tadi ia berdiri.
“Ah, iya. Mau kubantu membuka bajunya?” Tanya Egon dengan polosnya.
Padahal matahari sudah tidak terlihat sinarnya di luar sana. Tetapi, ruangan sempit tersebut terasa panas hanya karena sebuah tawaran bodoh.
Mysha ingat, di dunia tempat Egon tinggal, membukakan pakaian wanita adalah hal yang sangat sakral. Jika seorang pria menawarkan hal itu pada seorang wanita, sama saja dengan bertanya apakah wanita itu berkenan jika ia ditandai sebagai miliknya.
“Ah, aku tidak punya maksud lain. Kau sendiri yang bilang kalau kau tidak punya pesuruh yang membantumu kan. Aku pikir, karena aku di sini, aku bisa membantumu untuk membuka korset yang kau kenakan, atau semacam...”
“Egon..” Tanpa terlihat peduli dengan alasan yang Egon buat, Mysha dengan lugas memanggil nama pria tersebut.
“Ya?”
“Keluar.”
Wajah Mysha memerah. Ia tidak habis pikir akan pikirannya yang bekerja terlalu keras memikirkan tawaran Egon.
*****
Satu jam telah berlalu sejak Egon diusir Mysha dari kamar mandi. Ia duduk menunggu Mysha di kamarnya, sambil membuka ulang novel ‘The Dark Prince’ yang sedari tadi tergeletak di atas meja belajar Mysha.
Egon terlihat masih tidak percaya dengan hal ini, bahkan sampai saat ini pun ia masih mencurigai Mysha, gadis mungil berkulit cerah seperti mentari, dengan mata coklat dan bulat seperti hazelnut. Rambutnya yang coklat seperti warna matanya, panjang terurai dan bergelombang, persis seperti rupa seorang penyihir.
Tetapi, mengingat mata Mysha yang berbinar ketika mendandaninya dengan baju-baju aneh, dan bagaimana Ia membuat lelucon tentang dirinya, membuat keraguan Egon lengah. Ditambah lagi, ekspresinya yang begitu jujur ketika ia menawarkan diri untuk membantunya membuka bajunya tadi, membuat ia tidak yakin, jika seorang penyihir akan sebaik itu dalam berperan.
‘Sial!’ Umpatnya dalam hati.
“Egon?” Suara Mysha membangunkan Egon dari pikirannya. Ia pun langsung menoleh ke arah sumber suara tersebut.
“Bisakah kau lihat ke arah jendela dulu? Aku tadi tidak membawa apapun..” Mysha hanya memunculkan kepalanya dari balik pintu kamar mandi. Panasnya air dan udara di dalam kamar mandi membuat pipinya merona merah. Rambutnya yang tergulung ke atas, menampakkan leher dan bahunya yang masih sedikit lembab.
Egon yang terpesona dengan apa yang dilihatnya, langsung memalingkan wajahnya kembali ke arah berlawanan. Ia pun segera bangkit dan pergi berpindah tempat tanpa menjawab apapun.
***
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!