Tristan membuka jas kerja, meletakkannya di belakang kursi belakang di dalam mobil. Ia menggulung kemeja kerjanya sampai ke siku. Tapi kacamata hitam ia biarkan tetap bertengger di hidung mancungnya, menutup mata tajam yang kerap membuat gadis mana saja mabuk kepayang.
Sekilas ia melirik kaca yang tergantung di mobil, mau dilihat berapa kalipun, wajahnya akan tetap sama, ganteng juga mempesona. Sebelum keluar, ia melihat sekeliling juga memastikan alamat yang akan ia datangi adalah benar.
"Kenapa mesti masuk gang segala sih?" gerutu Tristan sambil menatap gang kecil di seberang mobilnya terparkir. Di samping gang itu ada seorang pedagang bakso dengan banyak sekali para pembeli yang duduk saling berhadapan dengan kursi plastik yang hampir mau patah. Tristan jadi tidak bisa membayangkan kalau tubuhnya yang atletis itu duduk disana. Tidak perlu dibayangkan juga, karena tujuan Tristan ke tempat yang akan dia datangi bukan untuk makan bakso.
Tristan turun dari mobil mahalnya. Sedari tadi, sebenarnya Tristan sudah menarik perhatian banyak orang termasuk para pembeli bakso. Dan ketika Tristan keluar dari mobilnya, semua makhluk yang ada di sana pada berhenti makan bakso.
"Ya Allah, itu siapa?!" Seorang gadis berambut keriting kayak mie sedap memekik sambil menunjuk Tristan yang sedang menuju ke arah mereka.
"Itu ... Kakek Sugiono!" imbuh seorang yang lain bikin yang satu di antara mereka segera menjitak kepalanya.
"Itu Christian Sugiono yang bener, Dodol!"
Gadis yang kena jitak tadi cuma nyengir. Dia tahunya cuma kakek Sugiono walaupun yang dia maksud juga sama, pria ganteng yang lagi jalan itu memang tampan seperti Christian Sugiono. Tau kan? Itu, suaminya Titi Puspa. Salah! Suaminya artis cantik, Titi Kamal. Itu yang bener. Makanya jangan keseringan nonton film begituan! Harem!
Gimana gak terpesona semua yang lagi disana. Tristan berjalan dengan gaya cool, tubuhnya tinggi dan atletis, kemeja ketat memperlihatkan otot perut yang tercetak. Belum aja dikasih lihat Tristan dalam bentuk polos, ada beberapa tato yang bikin dia semakin macho.
"Siang semua." sapa Tristan ramah. Ia membuka kacamata hitamnya. Semakin mabuk yang melihatnya, mabuk lihat cowok ganteng juga mabok cabe bakso yang bikin kepedasan dan perut jadi mules.
"Siang, Mas. Cari siapa ya?" Kali ini suaranya mamang bakso. Karena dia kesal lihat para cewek yang gak jawab, malah bengong sambil menatap Tristan.
Tristan menoleh, ia mendekat ke mamang bakso.
"Hmmmmm, saya cari alamat ini." Tristan menunjukkan sebuah alamat yang tertera di layar ponsel mahalnya. Moon maap jangan dekat-dekat panci, ntar itu hape mahal nyemplung ke kuah bakso yang lagi mendidih.
Mamang bakso tampak mengingat-ingat tapi semakin dia mengingat, dia cuma keingetan sama hutang para pelanggannya yang udah kelewat banyak. Sedih mamang bakso, mau nagih enggak enak ntar galakan yang punya utang dari pada yang ngutangin.
"Ada yang tahu gak alamat ini?" Mamang bakso malah nanya ke para pelanggan yang masih bengong menatap ke arah Tristan.
"Coba aku lihat, Mang." Gadis berambut keriting mendekat.
Dia tersenyum sumringah.
"Gimana sih, Mamang. Perasaan hampir tiap hari nganterin bakso ke alamat ini. Ini, alamatnya Nala."
"Ya, Nala kharina. Saya lagi cari dia." kata Tristan sama semangatnya.
"Saya bisa anterin kalo Mas mau. Rumahnya sih gak jauh lagi dari sini." tawar gadis itu lagi.
Tristan mengangguk lagi. Ini akan semakin memudahkannya mencari sosok Nala.
Jadilah gadis keriting itu mengantar Tristan diikuti tatapan iri para gadis lain.
"Mas ini kenapa cari Nala? Mau nyari penyanyi buat acara kantor ya?" tanya gadis keriting itu lagi.
Tristan tersenyum lalu menggeleng.
"Enggak, saya ada perlu sama dia. Memangnya dia penyanyi?" Tristan jadi balik tanya.
"Iya, Nala itu biduan dangdut disini. Dia suka nyanyi di acara kawinan atau kalau lagi ada acara di lapangan yang ada panggungnya, pasti dia diundang."
Tristan manggut-manggut. Sekalipun, Tristan belum pernah melihat biduan dangdut gang sempit itu. Juga kalau bukan karena kakeknya, Tristan tidak akan pernah mencari sosok Nala.
"Nah, itu rumahnya, Mas. Yang paling pojok dan banyak pohonnya. Juga yang ada monyet di samping rumah itu."
Beneran dong ada anak monyet lagi asyik makan pisang. Makin surprise Tristan jadinya. Udahlah si Nala ini ternyata biduan dangdut, punya peliharaan monyet yang dipakein pempers pula.
"Makasih ya, Mbak ..."
"Saya Rini, Mas. Oke deh saya tinggal ya."
Tristan mengangguk lalu membiarkan Rini, si keriting mie sedap balik ke luar gang untuk kembali makan bakso. Dengan langkah tenang, Tristan melanjutkan perjalanan menuju sebuah rumah paling asri yang ada di sana. Paling pojok pula. Banyak tanam tumbuh, pohon mangga pohon jambu pohon pisang juga pohon yang lain. Cuma pohon duit yang gak ada. Dan tristan surprise ketika melihat sebuah pohon durian besar yang ada di samping rumah itu, sedang berbuah lebat bikin dia ngiler. E buset itu rumah atau perkebunan?
Baru aja mau ketuk pintu, monyet pake pempers mendekat, mengendus Tristan lalu bersuara berisik sekali.
"Eh monyet, diem lo!" ujar Tristan keki. Monyetnya tetap gak mau diam. Tristan mengabaikan monyet yang sekarang sudah nangkring di atas pohon mangga sambil tetap bersuara berisik sambil menggoyang-goyangkan dahan pohon dengan tangannya.
"Permisi." Tristan mengetuk-ngetuk pintu kayak tukang kredit panci. Tadinya dia mencari bel, tapi gak ketemu. Jadi dengan masih dengan sabar ia tetap mengetuk pintu sampai akhirnya ketukannya berhenti ketika seseorang terdengar memutar kunci dan membuka pintu.
Tristan tertegun, seorang gadis muda dan cantik dengan hanya memakai celana pendek ketat juga kaus ketat pula berada di depannya sambil mengucek matanya yang masih nampak mengantuk.
"Cari siapa ya, Oom?"
Oom? Tristan jadi sesak nafas. Baru kali ini dia dipanggil Oom sama perempuan!
Tristan sampai membuka kacamatanya setelah ia mendengar sendiri, Nala memanggilnya Oom. Sudahlah dia kesal banget karena dipanggil Oom, terus suaranya anak monyet di atas pohon mangga makin berisik aja.
"Oom? Yang bener aja gue dipanggil Oom!" protes Tristan sama Nala yang masih nampak mengantuk. Ia bahkan kembali terpejam dengan posisi masih berdiri di depan Tristan, membuat Tristan jadi hampir hilang kesabaran.
Tapi kemudian, Nala membuka matanya ketika suara monyet makin berisik. Matanya terbuka lebar lalu dia melongo, berjalan melewati Tristan menuju ujung teras menghadap pohon dan menatap anak monyet yang sedang membuat gerakan melompat-lompat dari satu dahan ke dahan yang lain. Posisinya jadi membelakangi Tristan.
"Beben! Bisa diem gak?"
Nala berkacak pinggang sambil sedikit membuat gerakan menyuruh monyet bernama Beben itu segera turun. Sedikit gerakan bikin pinggul dan pantat Nala bergoyang. Gimana kalau lagi manggung. Tristan jadi membayangkan yang enggak-enggak.
Masih dengan serius menatap pantat semok bergoyang itu, Nala tiba-tiba berbalik, gantian menatap Tristan yang kepergok lagi mikir macem-macem.
"Oom lagi liatin apa?!" tanya Nala galak. Tristan jadi gelagapan sambil menunjuk pohon yang gerak-gerak.
"Itu, pohonnya goyang!"
Pengen rasanya Tristan menampar pantatnya Beben yang dipakein pempers karena ketahuan lagi memikirkan sesuatu yang bulat berbelah milik Nala. Lah, yang goyang pantatnya Nala, kok pantat Beben yang mau ditampol! Dasar Oom!
"Lo jangan panggil gue Oom dong! Gue masih muda, tau! Lagian, ada tamu bukannya disuruh masuk!" protes Tristan lagi.
Tersadar bahwa tamunya memang masih di teras, Nala akhirnya menurunkan tangan yang tadi lagi kacak pinggang.
"Hmmmmm, masuk deh."
Tristan mengikuti Nala masuk ke dalam.
"Oom duduk disini dulu ya, Nala buatin minum."
"Yaaaa gue dipanggil Oom lagi!" keluh Tristan.
Sembari menunggu Nala yang lagi sibuk bikin minuman, pandangan Tristan terlihat menyapu sekeliling. Ada banyak foto yang tergantung. Foto seorang bayi dengan kedua orangtuanya yang Tristan yakin itu adalah Nala waktu masih kecil dan belum berkembang seperti sekarang. Apaan yang ngembang? Tristan jadi menampar pipinya sendiri agar segera sadar karena tadi gak sengaja lihat pantat kenyal goyang-goyang.
Terus dia surprise lihat sebuah bingkai foto di dalamnya ada foto kakeknya waktu masih muda berangkulan dengan tawa renyah bersama pria sebaya yang Tristan yakini itu adalah kakeknya Nala.
Nala kembali dengan membawa nampan berisi makanan ringan juga sirup dingin yang biasanya selalu tampil di iklan tiap bulan puasa. Gak perlu disebutin merknya apa, kalian pasti udah pada tahu.
"Silahkan diminum, Oom."
"Ya ampun, berapa kali sih gue bilang gue masih muda! Jangan panggil Oom lah!" Masih protes juga Tristan.
"Ya abis, dandannya kayak Oom. Jadi Nala panggil kamu apa dong?" tanya Nala, Tristan menatap gadis itu lekat. Ia yakin gadis ini bahkan belum genap dua puluh tahun, tapi badannya padat berisi walaupun wajahnya imut kayak marmut.
"Gue Tristan, lo bisa panggil gue begitu."
"Ih, gak sopan dong. Masa kamu udah tua aku panggil nama aja."
"Gue masih muda, Nala!"
"Berapa emang umurnya?" tanya Nala lagi.
"Dua puluh delapan tahun."
"Hmmmmm gak muda-muda banget. Muda itu kayak Nala."
Nala tersenyum bangga. Kedua lesung pipinya bikin dia jadi tambah manis.
"Berapa umur lo emang?" tanya Tristan balik sambil menyesap minuman dingin berwarna hijau itu.
"Nala baru delapan belas tahun, minggu kemarin ulang tahunnya." Nala terkekeh.
Tristan terkesiap, hampir tersedak. Yang benar saja, masa dia harus nikah sama bocil gini? Biar bocil bodynya oke juga loh Tan. Bisik setan kepada Tristan.
"Kok lo bisa jadi biduan sih?" Seolah lupa dengan tujuannya mendatangi Nala, Tristan malah keasyikan tanya ini itu sama gadis ranum di depannya ini.
"Nala gak punya pekerjaan lain. Lulus sekolah, setelah kakek Nala meninggal, cuma bisa nyanyi doang, jadi sering diajak ikutan manggung kalo ada yang lagi nikahan. Besok juga Nala ada job nyanyi di kawinan orang. Enak kok jadi biduan, Nala bisa tetap makan dan dapat uang."
Berbinar, Nala menceritakan itu kepada Tristan yang cuma bisa bengong. Walau dia sendiri, tapi Nala terlihat bersemangat menjalani hari.
"Nyokap bokap lo mana?"
Nala diam beberapa saat terus dengan senyum dia menjawab. "Ayah sama Ibuk udah gak ada, Bang. Waktu umur Nala lima tahun, mereka kecelakaan. Jadi, setelah itu Nala diasuh Kakek dan Nenek. Tapi Nenek Nala sudah meninggal juga waktu Nala sepuluh tahun dan tinggal Kakek terus satu tahun yang lalu Kakek juga meninggal, Nala sendirian deh." cerita Nala, masih dengan senyum hangatnya.
"Sorry, gue gak tahu nyokap bokap lo udah gak ada." Tristan jadi gak enak hati.
"Gak papa kok. Oh iya, Bang Tristan ada perlu apa ya sama Nala? Nala gak ada loh ngambil kredit motor."
Hampir tersedak Tristan mendengar Nala ngomong begitu. Masa dia dikira deptcollector yang mau nagih cicilan tunggakan motor. Tristan mengeluarkan ponsel lalu melihat wajahnya yang tampan di kameranya. Gak ada mirip-miripnya kok sama tukang tagih kredit! Dasar bocil!
"Eh, lo kira gue deptcollector apa?"
"Iya, maaf-maaf. Terus Abang ada perlu apa sih? Nala gak pernah lihat abang di daerah sini." Nala terkekeh dan bertanya dengan heran maksud kedatangan Tristan hari ini ke rumahnya.
"Tuh, lo kenal gak sama laki-laki yang lagi rangkulan di foto itu, sama Kakek lo itu." tunjuk Tristan.
Nala mengangguk pelan. "Itukan Kakek Abimanyu, teman akrab Kakek Ridho, Kakeknya Nala."
Surprise lagi Tristan, ternyata Nala mengenal dengan baik kakeknya.
"Kakek gue pernah kesini?"
"Oh, Kakek Abimanyu itu Kakeknya Abang ya?" Tristan mengangguk. "Pernah, beberapa kali malahan. Tapi waktu Nala berumur lima belas tahun, Nala gak pernah lagi ketemu Kakek Abi. Tapi beberapa hari sebelum Kakek meninggal, Kakek Abi datang lagi. Setelah itu gak pernah lagi."
Tristan mengangguk paham.
"Lo mau ikut gue ke rumah sakit?"
"Ngapain? Nala gak sakit kok." ujar Nala cepat.
"Enggak, bukan elo yang sakit memang. Tapi Kakek gue, dan dia pengen ketemu elo."
Nala tampak terkejut, sekian lama tidak pernah berjumpa dengan sahabat karib kakeknya, kini cucunya datang mengabarkan ia sakit.
"Kakek Abi sakit apa?" tanya Nala cepat.
"Kondisinya drop, dan dia pengen ketemu elo. Makanya gue kesini. Lo bisa kan datang ke rumah sakit?"
Nala tampak menggigit bibirnya, Tristan jadi pengen digigit juga. Apaan sih?! Orang lagi serius juga!
"Bisa, kapan Nala bisa ketemu Kakek?"
"Sekarang, bisa?"
Nala mengangguk. "Bisa, tapi Nala mandi dulu ya."
Tristan mengangguk membiarkan Nala pergi ke belakang dan bayangan Nala keluar dari kamar dengan memakai handuk bikin Tristan deg-degan seketika.
"Sialan itu bocah! Kenapa gue jadi deg-degan gini sih?!" maki Tristan pada dirinya sendiri. Terus kakinya terasa dipegang, dia menunduk dan menemukan monyet pake pempers lagi menengadahkan tangannya.
"Apaan, monyet? Lo mau ini?" Tristan menunjuk sebuah pisang di atas meja. Monyet itu ketawa sambil menunjukkan giginya yang putih bersih.
Jadi deh sekarang Tristan asyik lihatin Beben lagi makan pisang. Pisangnya sendiri lagi berdenyut gak karuan padahal.
Nala keluar dengan baju kaus oblong juga celana jeans. Bajunya tampak kebesaran, sepertinya Nala sengaja memakai baju itu agar terlihat lebih sopan. Tampilannya yang begitu malah membuat Nala jadi semakin muda saja. Segar dipandang, perawan memang lebih menggemaskan walaupun janda lebih menggoda. Canda janda.
"Ayo, Nala udah siap."
Satu alis Tristan terangkat. Baju, celana, sendal teplek, semua sudah siap. Tapi gimana Tristan mau bawa itu bocil kalau handuk masih bergelung manja di rambutnya?!
Tristan mengusap wajahnya sendiri, antara gemas dan kesal pada gadis baru beranjak dewasa di depannya itu.
"Nala, gimana elo mau ke rumah sakit kalo di kepala lo masih nangkring handuk!"
Nala menghadap cermin yang ada di ruang tamu lalu menjerit.
"Iya! Nala lupa! Ya ampun!" Nala segera balik ke kamar lagi diikuti monyet pake pempers. Itu monyet bikin Tristan keki banget, kemana Nala pokoknya dia ngikut aja.
"Ya salam! Perempuan ini beneran bakalan jadi bini gue?" tanya Tristan sambil memandang foto Kakeknya itu sambil memegang kepalanya sendiri. Tristan udah pusing karena Nala hari ini. Yang pertama, dia udah kesal karena Nala memanggilnya 'Oom' lalu yang kedua, Nala polos banget bikin Tristan mesti banyak sabar jelasin ini itu.
Lagi bersandar di sofa empuk dan memandang langit-langit ruang tamu yang tidak seberapa besar itu, suara langkah kaki Nala terdengar lagi. Tristan mengalihkan wajahnya dan mendapati Nala lagi gendong Beben.
Nala udah rapi dengan rambut dikuncir kuda dan setelan kaus oblong juga celana jeans dan sendal teplek sudah berganti jadi sepatu sport. Gayanya selayaknya anak muda masa kini, sungguh cantik dan manis sekali. Tapi Beben benar-benar mengacaukan pemandangan.
"Itu monyet peliharaan lo?" tanya Tristan, udah gak tahan dari tadi pengen nanyain gak jadi-jadi.
"Enggak kok, Beben dulu datang sendiri ke sini. Mungkin karena rumah ini banyak pohonnya dia jadi suka. Terus udah Nala anterin ke hutan belakang, dia balik lagi. Tuh, gak Nala iket kan biar dia bisa balik ke hutan. Tapi dia gak mau, kalau malem malah masuk ke rumah jadi Nala pasangin pempers takutnya dia eek sembarangan. Lagian, lihat deh, dia lucu ya." Nala uyel-uyel Beben kayak uyel anak mereka. Anak mereka? Tristan lagi berandai-andai bakal punya anak sama biduan itu. Gimana enggak, sama anak monyet aja dia sayang, apalagi sama anak sendiri, duh idaman banget sih.
"Monyet itu hewan liar, Nala. Bukan buat peliharaan."
"Kan udah Nala bilangin, Bang, Beben datang sendiri ke rumah ini, dia juga gak pernah gangguin orang kok. Juga Nala gak pernah rantai Beben biar dia tetap bebas."
Tristan akhirnya mengangguk, jangan sampai anak monyet bernama Beben itu membuat perjumpaan Nala dan kakeknya jadi terlambat.
"Ya udah, sana taruh lagi Bebennya. Kita udah mau jalan. Gak mungkin lo bawa monyet ke rumah sakit."
Nala mengangguk lalu menurunkan Beben yang kayaknya enggak rela dan masih pengen digendong.
"Ayo, Bang."
Meski masih canggung karena dipanggil Abang, tapi itu lebih baik daripada dipanggil Oom sama Nala. Nala mengunci pintu lalu melangkah bersisian bersama Tristan menuju keluar gang.
"Nala, siapa tuh? Kenalin dong!" pekik para cabe-cabean yang lagi ngerumpi sambil joget-joget. Pasti mereka sedang terserang sindrom tok-tok! Tau kan? Itu aplikasi sejuta umat yang lagi viral di dunia maya sampai dunia gaib.
Nala cuma tertawa dan tetap melanjutkan perjalanan mereka. Ada ibu-ibu yang lagi ngangkat baju sekalian sama tiang jemurannya karena konon katanya area itu rawan maling, sampai tiang jemuran pun tak luput jadi sasaran.
Baru saja keluar dari gang, seorang pemuda terlihat menghentikan motor di samping mereka. Anak muda itu menatap Nala dan Tristan bergantian.
"Mau kemana, La? Aku baru mau ajak kamu jalan-jalan."
Sambil melirik Nala, Tristan menatap cowok yang lagi pakai motor gede itu dengan pandangan menyelidik.
"Hari ini enggak bisa, Dit. Nala ada kerjaan."
"Ya udah, besok aku jemput ya habis kamu manggung."
"Nala udah ada yang jemput, dia calon istri gue."
Baik Nala atau Adit, jadi sama-sama terkejut. Belum sempat mau tanya ini itu, Tristan sudah menarik lengan Nala dan membawanya masuk ke dalam mobil mewahnya. Cowok itu jadi melihat motornya sendiri. Jelas kalah jauh.
"Apa maksud kamu ngomong begitu?!" protes Nala setelah mereka sudah dalam perjalanan.
Tristan mengangkat satu alisnya lalu tertawa kecil.
"Lo bakal tahu setelah ketemu Kakek."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!