Abigail termenung di dalam kamarnya. Sudah dua hari ini kedua orangtuanya pergi tanpa meninggalkan kabar. Namun Abigail hanya bisa pasrah tanpa berani menghubungi sama sekali. Karena jika ia menghubungi, pasti yang akan di dengarnya hanyalah suara operator.
Abigail tidak membenci hidupnya, justru ia harus banyak bersyukur karena di karuniai oleh banyak kesempurnaan. Tapi ya, tidak ada yang sempurna di dunia ini.
Seperti hidupnya yang hampa tanpa kasih sayang sedikit pun. Walau Abigail selalu membantah hatinya, menekankan bahwa kedua orangtuanya sangat menyayangi dirinya. Karena hingga sampai saat ini segala kemewahan selalu ia dapatkan. Terlepas dari kasih sayang yang tak pernah ia rasakan.
“Noona, nyonya dan tuan menitipkan barang ini untuk anda. ”
Abigail menoleh, ia tersenyum tipis menerima paperbag mahal yang berisikan barang seharga puluhan juta.
“Makasih. ” ucap Abigail berterimakasih. Maid itu pun hanya tersenyum lalu melenggang pergi.
Senyum Abigail semu, tidak bertahan lama. Karena hanya itu lah yang perlu ia lakukan. Tersenyum dan tersenyum tanpa memikirkan hal lain. Kadang Abigail bertanya-tanya, sebenarnya kapan ia bisa memulai untuk menjalani hidup yang sesungguhnya tanpa bergantung dengan siapapun.
Namun nyatanya Abigail tidak bisa. Abigail selalu hidup dalam bayang-bayang orangtuanya. Hidup penuh kekayaan namun dengan minim nya kasih sayang.
Setidaknya ia memiliki uang, uang dan uang. Uang yang bisa membeli apapun, kecuali kasih sayang.
“Mau punya temen. Tapi caranya gimana. Abigail bingung.” bisik Abigail lirih terhadap dirinya sendiri.
Abigail membuka satu persatu foto di kamarnya, hanya terdapat satu wajah di sana. Wajahnya sendiri. Bukan wajah orang lain. Abigail seringkali meminta kedua orangtuanya untuk foto bersama, namun mereka selalu menolak dengan seribu alasan.
Pada akhirnya, Abigail hanya bisa termenung. Hidupnya hanya di lengkapi oleh banyaknya materi pelajaran. Hingga entah sudah berapa piagam serta sertifikat yang terkumpul di dalam laci kamarnya.
Menjadi seorang yang di kenal cerdas, membuat banyak orang segan dan canggung padanya. Apalagi mengetahui bahwa Abigail bukan gadis biasa seperti yang lain.
Abigail pun tak mempersalahkan hal itu. Ia pikir teman akan datang seiring waktu berjalan. Saat ia beranjak semakin dewasa. Namun ternyata Abigail salah. Bahkan sampai umurnya yang menginjak angka 19 ini. Abigail belum sama sekali memiliki teman atau pun kerabat dekat.
“Nanti pasti dateng sendiri kok.”
Ucap Abigail bermonolog. Ia mulai kesepian sekarang. Entah sampai kapan hidupnya akan seperti ini. Abigail sudah tak sabar untuk memiliki pasangan. Ia sudah tidak sabar ingin memiliki suami.
Karena salah satu impiannya adalah menikah muda. Lalu memiliki seorang anak dan suami yang sepenuh hati menyayangi dan mencintainya. Tidak seperti kedua orangtuanya.
“Kalau Abigail mau punya suami, suaminya itu harus tinggi, kekar, kuat dan banyak duit! Eh, enggak deh. Intinya harus mencintai Abigail. Titik!” ujar Abigail dengan mimik wajah ber andai-andai, sambil melihat view pemandangan dari luar kaca rumahnya.
...★★★...
Seorang pria tampan, sedang berkutat dengan banyak berkas di tangannya. Matanya yang setajam elang, terlihat sangat fokus dengan layar monitor di hadapannya. Bibirnya yang sangat seksi dan sangat menggoda, terkatup rapat.
Hingga dering ponsel membuat kegiatannya terhenti, menunjukkan layar pada benda pipih itu menyala.
“Halo anak muda.” sapaan ramah yang berbau formal itu, menyapa indra pendengaran dari Alexander.
“Ya, paman?”
“Tolong bantu paman. Paman membutuhkan pengacara untuk perceraian paman. Tapi kau jangan bilang siapa-siapa, tutup rapat-rapat hal ini. Kau hanya perlu menjaga putri paman yang sedang berada di rumah.”
Mendengar penjelasan itu Alex menegang seketika. Entah kenapa sudut bibirnya terangkat sedikit. Seolah menyambut secercah kehidupan baru yang akan hadir dalam hidupnya.
...———...
Semuanya terjadi disaat-saat yang tidak biasa. Kisah cinta yang klasik namun juga memancing puncak nya gairah secara bersamaan. Abigail adalah gadis pendiam yang bisa banyak bicara di depan orang yang ia kagumi.
Abigail biasa melakukan semuanya di balik rumah besar, tempatnya di besarkan. Pada umumnya Abigail adalah anak tunggal dari konglomerat. Kedua orang tuanya adalah manusia yang gila kerja hingga membuat semua waktu luang yang seharusnya Abigail rasakan di masa pertumbuhan, menjadi terhambat karena pekerjaan orang tuanya.
Abigail diberikan segala hal yang ia inginkan. Mobil, rumah, villa, tas branded, dan barang-barang dengan harga selangit. Ia juga turut menjadi siswi perempuan yang cerdas dalam nilai akademiknya, membuat Abigail menjadi kesayangan guru-guru di sekolah.
Namun siapa sangka ketika Abigail mulai bosan dengan kesempurnaan yang dimilikinya, ia berniat merasakan suatu hal yang masih menjanggal dalam jiwanya yang manis, polos dan lugu. Abigail menginginkan suatu hal yang baru. Ia menginginkan cinta dari seseorang yang ia sayangi dan juga menyanginya.
Tapi semuanya menjadi taboo disaat-saat Abigail yang seharusnya memiliki pasangan se umuran dengan dirinya, justru Abigail lebih memilih jatuh cinta pada Alexander Lazuardi. Teman papanya yang lebih pantas menjadi pamannya.
...Abigail point of view....
Hari ini adalah hari yang sangat membosankan untukku. Well, karena semua yang berjalan memanglah sangat monooton. Aku melirik jam yang sudah menunjukkan pukul delapan malam lewat lima belas menit. Berarti hanya punya waktu lima belas menit lagi untuk aku merias wajahku yang jarang sekali terpolesi makeup. Walaupun begitu, ada banyak sekali alat-alat yang tersedia dan bisa kugunakan untuk mempercantik diriku.
Sebagai sentuhan akhir aku mengolesi bibirku dengan lipgloss merah muda yang glossy. Setelah menyemprotkan spray agar makeup ku memperlihatkan hasil mate. Aku segera melangkah keluar meninggalkan kamar ku yang di penuhi oleh furniture-furniture mahal.
Tubuhku bergerak mendekati meja makan yang panjang. Disana sudah tertata rapih berbagai macam makanan. Aku jatuhkan pantat ku, di atas kursi. Aku lebih memilih diam karena ini adalah hal yang sangat membosankan.
Siapa memangnya yang tidak bosan datang ke acara kaku seperti ini. Semuanya tidak ada yang berbicara ataupun berbincang ketika makan. Mereka sibuk bertata krama yang baik. Dan setelah makan, mereka hanya akan berbincang tentang perkembangan bisnis yang menurutku sangat tidak penting.
Sepertinya ada yang berbeda di makan malam kali ini. Ternyata benar. Ada sesosok pria matang yang baru saja datang, dan langsung duduk di hadapan ku. Dengan santai nya ia ber-highfive bersama rekan-rekan bisnis di sana.
Ahh, sungguh keren! Selama ini belum ada seseorang yang setampan dia di dalam acara formal yang ku datangi. Aku tidak tahu siapa namanya. Yang pasti ia sungguh istimewa dengan balutan jas berwarna navy.
Rahangnya sangat tegas. Apalagi senyum nya yang sungguh menawan dari bibir nya yang tipis. Aku ingin mencium nya.
Aku menggeleng menyadari apa yang baru saja batinku katakan. Kau harus belajar berciuman dulu jika ingin mencium nya, Abigail.
Aku terus saja menatap nya. Hingga tanpa kusadari, ia juga membalas tatapanku. Jantungku berdegup dua kali lebih cepat, seperti ada desiran- desiran aneh yang mengalir di dalam tubuhku. Aku sangat menyukai nya.
Tak kusadari, bahwa makan malam telah usai begitu saja. Padahal biasanya aku selalu melihat jam dinding di sepanjang sesi. Namun kali ini aku terhanyut akan tatapan nya yang memabukkan. Inikah yang namanya cinta? Ah aku tidak pernah merasakannya. Yang pasti aku benar-benar tertarik pada pria itu.
“Sayang...”
Aku menoleh seketika disaat suara yang sudah aku kenali. Memanggil ku. “Apa ma?” tanyaku tersenyum kecil.
“Mama sama papa ada perjalanan bisnis. Kamu, mama tinggal sebentar ya? Cuman dua bulan aja kok.”
Aku tersenyum culas. Baru saja mereka pulang. Namun aku tetap saja mengangguk. Toh kalaupun aku menolak mereka tetap tidak akan mendengarkan nya, hufts. Sudahlah, lagipula aku juga sudah sembilan belas tahun. Bukan waktunya untuk merengek lagi dengan mereka.
“Tapi jangan khawatir, mama udah nitipin kamu sama temen papa.” mamaku tersenyum penuh arti. Aku menyeringit bingung saat kedua orangtuaku jarang sekali seperti ini. Biasanya mereka meninggalkanku, dan akupun akan sendirian bersama para maid disini. Tapi kenapa sekarang berbeda.
Hingga beberapa saat aku kembali mengangguk walau terkesan ragu. Aku tetap saja menerima nya, karena mereka lah yang mengatur hidupku. Lagipula, aku juga tak berani keluar dari garis aman yang membentang disekitar ku.
“Permisi.”
Aku menoleh merasakan suara maskulin, yang terdengar tegas dan juga menyeramkan. Mataku membulat disaat orang yang baru saja beberapa waktu lalu aku kagumi. Sekarang sudah berada tepat di hadapanku. Aku ulurkan tanganku cepat walau ia menyeringit heran.
“Hai.” sautku gembira.
“Abigail, dia Alexander. Rekan kerja papamu. Dia yang akan menjagamu selama kita pergi, sayang.”
Entah bagaimana bisa aku terlonjat girang dan langsung memeluk tubuh kekarnya. Hingga dapat kurasakan, tubuhnya sampai terhuyung. Setelah beberapa saat aku memeluknya, dia membalas pelukanku dengan mengusap punggung ku. Itulah yang membuatku tersadar. Dengan cepat aku lepaskan pelukannya. Aku melirik kedua orangtua ku yang hanya tersenyum saja. Mereka tampak sekali tenang.
“Semoga kalian bisa berhubungan dengan baik. Aku harap kau bisa menjaga anak ku satu-satu nya Alex.”
Aku menatap nya ketika ayahku mengatakan hal itu. Ia sekali lagi tersenyum. Dan itu sangat menawan. Mengapa aku jadi tergila-gila begini dengan nya. Sebelum nya aku samasekali belum pernah mengagumi lawan jenisku.
Ia sangat berbeda diantara pria-pria yang ingin sekali berkencan denganku. Jika mereka berbondong-bondong ingin menaklukan hatiku, justru sekarang aku yang akan menggapainya.
Hingga hal ini lah yang akan merubah kehidupanku yang sebelumnya. Kehidupanku yang sudah tertata rapih dari awal akan berubah seiring berjalannya waktu ketika aku bersamanya. Dia yang akan merubah jalan pikirku, juga kebiasaan-kebiasaan lamaku.
Dan saat nanti aku semakin mencintai nya. Sebuah rahasia besar akhirnya terkoak. Membuat diriku bimbang. Haruskah aku berjuang mempertahankan. Atau merelakan dan melupakan nya.
...Abigail point of view...
Aku sangat menikmati makan malam kali ini. Bukan makan malam formal ataupun bisnis lagi. Karena sekarang hanya ada aku dan Alex. Ia sangat giat ternyata, aku pikir business man terpandang sepertinya tidak bisa menyentuh dapur samasekali. Namun ternyata aku salah, Alex justru lebih terampil dalam memasak dibandingkan diriku ini.
“Sudah selesai.” ujarnya membawa dua piring berisi omelet dengan topping saus tomat, dan beberapa lada bubuk sebagai penyedap rasa di atasnya. Aku mengangguk dengan semangat, lidahku seolah tidak sabar mencicipi lidahnya. Maksudku nasi omelette nya.
“Ini sangat lezat tuan Alex.” puji ku jujur setelah habis mengunyah penuh nasi dan omelette nya. Ia mengangkat sudut bibirnya keatas, tersenyum miring sambil menatap ku dalam.
“Melihat mu makan juga sangat lezat Abi.” pipiku memerah, ia membuatku terbang dengan kalimat ringan nya yang terdengar ambigu.
“Akan semakin lezat jika kamu mencoba nya!” pekik ku semangat. Tanpa sadar aku melangkah kan kakiku mendekat kearah nya yang berada di sebrang sana. Ia tampak tak terganggu samasekali, justeru Alex menarik kursi di sebelahnya. Mempersilahkan ku untuk segera duduk di samping nya.
nyam~
Alex mengunyah makanan nya sendiri dengan tenang. Aku memperhatikan rahang nya yang bergerak mengikuti kunyahan pada lidahnya. Aku ingin sekali mengusap bulu-bulu kasar di rahangnya. Lagi-lagi aku berkhayal terlalu jauh.
“Kenapa?”
Suara bariton itu menyadarkan diriku yang tengah memikirkan banyak hal aneh. Aku langsung saja menggelengkan wajahku cepat sembari tersenyum. Karena enggan membuatnya curiga. Walau pada akhirnya ia tetap menyeringit bingung.
“Kamu sangat tampan.”
Ucapku tersenyum. Aku memang tidak bisa berbohong kepada siapapun. Jikalau setelah ini ia akan meninggalkanku karena merasa risih. Aku akan terima saja. Aku tidak ingin memendam banyak perasaanku untuk Alex. Tetapi reaksi yang ku terima sangat diluar dugaan. Alex justeru tertawa mendengar ucapanku.
“Wajahmu sangat lugu sayang.”
Alex berkata dengan mengusap pipiku lembut. Permukaan tangan nya yang kasar, dapat memberikan ku rasa hangat. Aku tidak tahu mengapa bisa begitu, karena sebelumnya tidak ada yang pernah menyentuhku. Lalu, ia bilang aku lugu?
Oh yaa, Abigail memang sangat lugu. Saking lugu nya dia, ia sangat berharap bisa memiliki hubungan khusus dengan pria dihadapannya.
...Abigail point of view off...
Malam-malam selanjutnya pun terus berlanjut. Hubungan mereka menjadi dekat sekali. Dari Abigail yang selalu saja menjahili Alex. Lalu Abigail yang mengikuti kelas memasak hanya untuk menghidangkan Alex sebuah makanan. Dan Abigail yang menjadi aktif dalam berbicara, Melupakan segala tatak krama yang sudah ia pelajari.
Namun ada satu hal yang membuat Abigail menjadi ragu. Pernah hal nya, ia mengambil minuman di dapur bawah. Niat Abigail yang ingin kembali kelantai atas, menjadi terhenti disaat-saat mendengar derap langkah kaki seseorang. Dan ternyata itu adalah Alex. Abigail menjadi heran, mengapa pria itu pergi di malam hari. Karena rasa penasarannya itu, Abigail selalu men cek keadaan di jam yang sama. Dan selama berturut-turut ternyata Alex selalu meninggalkan rumahnya disaat malam hari. Ada rasa kecewa yang hinggap di hatinya, namun ia juga harus sadar diri. Kalau dirinya dan Alex memang tidak memiliki hubungan apapun yang dapat membuat Abigail berhak mengetahui segala sesuatu tentang pria itu.
...Abigail point of view...
Seperti malam ini, aku terbiasa menonton film dengan nya diruang tamu. Jam masih menunjukkan pukul delapan malam. Masih terlalu sore untuk dibilang larut. Ia beserta dengan pakaian kasual nya, hanya celana pendek dengan kaos hitam yang mencetak jelas dada bidangnya. Sedangkan aku mengenakkan baju tidur pink polos terusan.
Alex duduk di sampingku. Jarak kita lumayan jauh karena terhalang oleh satu popcorn diantara aku dan Alex. Ingin sekali rasanya aku membuang popcorn itu. Namun apa daya, aku hanya berani berbicara dalam diam.
Tanpa aku sadari Alex ternyata beranjak pergi dari samping ku. Aku yang masih saja terdiam menyaksikan tayangan movie di hadapanku. Tak menghiraukan kepergian nya. Hingga sampai dia kembali lagi dengan membawa satu cangkir minuman.
“Abigail, minum coklat panas nya.” titahnya masih berdiri di sisi ku. Dia menyodorkan cangkir itu. Aku yang berniat memegang gagang cangkir itu menjadi gugup saat melihat dia yang sudah toples.
Naas, nya.
“Aw!!”
Coklat panas itu tumpah diatas pahaku yang tertutup rapat. Ia langsung taruh cangkir itu dengan cepat disaat melihat ku yang meringis terkena buliran coklat susu itu yang mengalir sekilas di paha ku. Otomatis aku membuka kedua pahaku menjadi terbuka lebar. Aku mengibas-ngibas kan pahaku dengan sangat cepat. Ini sangat panas. Benar-benar panas.
“Uuhhh!!” aku meringis kepanasan. Bibirku meniup-niupkan pahaku dengan punggung yang sedikit membungkuk.
“Sstt, tahan.”
Gerakkan tubuhku terhenti. Saat Alex memegang kedua pundak ku, untuk kembali mundur pada posisi semula. Entah kemana rasa panas yang ku rasakan. Kini aku hanya fokus memandang Alex yang sedang berlutut di hadapan ku.
Bibirku refleks terbuka saat kedua tangannya berada di atas masing-masing dengkul ku. Membuka kedua belah pahaku menjadi semakin terbuka.
Aku memejamkan mataku, saat Alex meniupkan pahaku yang terkena air coklat panas itu dengan bibirnya. Hingga menimbulkan angin kecil yang dapat membuat tubuhku menegang seketika.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!