Rintik hujan malam ini membuat suasana kian mencekam. Satu tahun sejak kejadian buruk yang menimpa Kinan, sang Istri membuat Alvino Dirgantara kehilangan dunianya. Harapan, angan dan semua hal yang tertanam dalam benaknya seakan sirna.
Brugh
Pria itu menghempaskan tubuhnya di sofa, menatap nanar langit-langit ruang tamu begitu dalam. Jika saja ia mampu mencintai dengan cara baik-baik, mungkin Kinan takkan pergi dengan cara yang tidak baik, pikirnya. Ego yang terlampau tinggi membuat Vino kehilangan Kinan secara nyata.
"Ays!! Kenapa bisa demikian?!" Di tengah kondisinya yang tengah baik-baik saja, Gio menelpon. Kekacauan di kantor dan bisnisnya cukup membuat Alvino meradang.
"Kau jangan bercanda, Gio!! Aku bahkan baru saja pulang, bisakah kau membuatku tenang?!"
Pemilik tubuh altetis itu mengeraskan rahangnya, tangan yang mengepal serta gigi yang bergemelutuk cukup menjelaskan betapa ia tengah marah kali ini.
"Bereskan semua, jangan sampai ada yang tersisa." Vino mematikan ponselnya usai mendengar secara rinci masalah yang kini tengah menimpa perusahaannya.
Mengetahui kekacauan yang ternyata ulah dari orang kepercayaannya membuat Vino sakit kepala, begitu mudah ia percaya kepada orang lain hingga ia bisa seperti ini.
Dalam keadaan seperti ini, Vino akan memilih menenangkan pikiran dengan minuman keras dan wanita tentu saja. Segera ia mengambil kontak mobil dan berlalu meninggalkan apartemen mewahnya.
Pergi sendiri mencari ketenangan adalah kebiasaan Vino sejak perginya Kinan, hancurnya pria itu cukup menjadi perhatian bagi Broto, mantan mertuanya. Sejak menikahi Kinan, ia telah mendapat hak istimewa sebagai menantu terbaik oleh Broto.
"Ays!! Lagi-lagi macet, sungguh aku membenci dunia ini." Begitulah hari-hari Vino, segala hal bisa menjadi pemicu amarahnya.
Tak peduli dengan jalanan yang tengah ramai, Vino melintas seenaknya. Beberapa pengendara mengeram kesal akan ulah pria itu, sungguh tidak tahu sopan.
Chittt
Menghentikan mobil seenaknya tak peduli ia akan menabrak apa adalah kebiasaan buruk Vino juga, segera ia turun dan masuk ke tempat maksiat itu dengan langkah pastinya.
"Hai, Boy." Salah satu wanita cantik yang begitu mengenalnya kini menghampiri Vino yang tengah duduk di salah satu kursi di sana.
kelap kelip cahaya lampu yang mendominasi tak membuat ketampanan pria itu luntur. Justru sebaliknya, pria itu semakin tampan dan menggoda wanita yang berada di sana. Bagaimana tidak, tak seorangpun mampu berpaling dari pesona seorang Alvino Dirgantara.
"Pergilah, aku sedang tidak ingin bermain denganmu." Alvino menepis tangan wanita yang kini mulai bermain di dadanya, sungguh ia tak suka disentuh jika ia tidak memintanya.
"Hey, kau kenapa?" tanya wanita itu begitu mendayu, sungguh suara penggoda yang kerap membuat Vino muak.
"Kau tuli? Pergilah selagi aku meminta baik-baik, Eva." Mata tajam itu seakan membunuh lawannya, mendengar penolakan kasar Vino, wanita itu menelan salivanya susah payah.
"Baiklah, aku hanya akan menemanimu, boleh kan?" rayu wanita itu kembali, bukan tanpa alasan ia melakukan hal itu.
"Cih, kau pikir aku bodoh!! Kau menginginkan ini bukan?!!" Alvino mencengkram dagu wanita itu dan menghempasnya bersamaan dengan beberapa lembar uang seratus ribuan disana.
"Ambil dan pergi, dasar murahan." Vino berucap dingin, bahkan seakan menusuk jantung wanita itu. Tak ia duga pria yang ia temani malam itu berubah dalam sekejab.
"Aku tidak suka memakai wanita lebih dari satu kali," ujarnya menarik sudut bibir, menyeringai tipis dan kembali menikmati minuman yang sejak tadi tersedia untuknya.
Sementara di tempat lain, jauh dari hingar bingar hiburan dunia malam yang begitu Vino sukai, seroang pria paruh baya tengah menatap nanar keluar jendela. Memikirkan nasib Vino yang kini tengah di titik kehancurannya, ia tak memiliki anak laki-laki, karena itulah baginya Vino sunggih berarti.
"Kina, kau mau kemana? Hari sudah malam, Nak." tanya pria itu kala sang putri tengah bersiap hendak pergi.
Wajah ayu gadis yang masih duduk di bangku SMA itu begitu menenangkan, tak kalah cantik dengan Kinanti, sang kakak.
"Kak Gio memintaku mendatangi apartemen kak Vino, Yah. Sepertinya dia sedang tidak baik-baik saja."
Kinara menatap sendu sang Ayah yang juga menatapnya begitu lembut. Entah mengapa malam ini terasa berbeda, ada semburat kekhawatiran di wajah sang Ayah. Namun, segera ia tepis dengan sejuta sangkaan baik di benaknya.
"Ayah istrirahat saja dulu," ujar Kinara tersenyum hangat, tak ingin sang Ayah memikirkan hal yang tidak perlu lantaran kini ia tengah sakit.
"Hati-hati, Kina, dan ingat segera kembali ya."
Kinara melangkah usai mengangguk patuh dan mencium punggung tangan sang Ayah. Sudah menjadi kebiasaan Kinara menghantarkan makan malam untuk Vino, perlakuan cuek Vino tak sedikitpun membuatnya merasa lelah untuk terus memberi perhatian pada kakak iparnya itu.
Dengan fasilitas yang diberikan Vino, memudahkan Kinara untuk mengunjunginya. Meski sudah berkali-kali Vino melarang gadis itu untuk datang, tetap saja ia melakukan niat baiknya.
Temaram lampu jalan menghiasi perjalanan Kinara, bayangan akan keadaan Vino kembali memenuhi benaknya. Beberapa waktu lalu, pria itu terlibat pertenggkaran yang membuatnya terluka cukup parah. Entah mengapa, gadis mungil itu begitu khawatir dengan keadaan Alvino.
Dengan langkah pasti, ia segera menuju ke lantai 20 tempat dimana sang Kakak tinggal. Dengan pakaian yang over size membuat tubuh mungilnya seakan tak terlihat.
"Ck, dia pergi lagi," ujar Kinara menatap sekeliling ruang yang tampak begitu sepi.
Segera ia berlari ke meja makan untuk menyiapkan makanan yang ia masak tadi sore, meski gadis itu masih menginjak usia 17 tahun, tetapi ia sudah cukup lihai dalam hal-hal seperti ini.
"Oke, beres." Kinara tersenyum manis kala menyaksikan meja makak yang kini tertara begitu rapih.
Brukk!!
Kinara segera berlalu ke ruang tamu kala mendengar suara gaduh itu, setengah berlari karena ia merasa takut akan kehadiran pencuri di sana.
"Kakak!!" Kinara berlari menyadari suara gaduh itu adalah Vino yang kini terkulai lemas di lantai.
"Bantu aku," pinta Vino dengan suara parau yang begitu lemah, matanya terlihat memerah dan wajah yang begitu kacau.
Susah payah Kinara membantu sang Kakak masuk ke kamar, tubuhnya terlalu tinggi jika dibandingkan dengan tubuh Vino.
Brugh
Keduanya terhempas di ranjang king size itu, Kinara mencoba melepaskan diri lantaran ia terhimpit sang kakak. Aroma alkohol begitu menyeruak, membuat Kinara merasa tak nyaman.
"Kinan," racau Vino kini mendekap tubuh mungil Kinara, aroma tubuh gadis itu membuat jiwa kelelakian Vino memberontak.
"Kakak lepas, ini Kinara, Kak." Kinara mencoba melepaskan diri sekuat tenaga, namun apalah daya ia hanya anak kecil yang tak memiliki kekuataan untuk menghindar.
Alvino mengunci tubuh Kinara, dengan tangan yang di kunci di atas kepala membuat wanita itu gemetar. Saat ini ia tak mengenali siapa yang ia tatap, Vino takkan pernah berpikir mendekatinya, pikir Kinara.
"Kakak!! Lepaskan aku!! Pergilah, Kak!!" Teriakan Kinara cukup mengganggu pendengaran Vino. Hingga pria itu menutup mulut Kinara dengan telapak tangannya cukup kuat.
"Diam, Kinan!! Kau ingin menolakku? Lagi? Hahaha ayolah, kita sudah menikah berapa lama, Nan, dan kau masih saja sama?!"
Seringai jahat begitu mengerikan tergambar jelas di wajah sangar Vino, tangisan Kinara makin menjadi kala pria itu menatapnya dengan mata yang kini memerah.
"Hhmmmmppp." Kinara mencoba memalingkan wajah kala Vino membungkam bibir tipisnya dengan ciuman yang begitu kasarnya.
"Diam!!" Bentakan Vino membuat Kinara semakin ketakukan, seakan dunianya akan runtuh.
Hatinya menjerit, memanggil sang Bunda yang entah berada dimana. Perlakuan kasar Vino membuat tubuhnya bergelinjang, bahkan kini pria itu lancang menelusupkan tangan di balik jaketnya.
"Bundaaaaaaa!!!!" Kinara menjerit, memohon pertolongan pada malaikat penjaga yang kini telah tiada.
"Diam, Sayang," bisik Vino begitu halus di telinganya. Seketika itu bulu kudu Kinara berdiri, hanya tangisan yang mampu ia perlihatkan kala meminta iba pada sang Kakak.
"Aaaaaaaaaa, Bundaaaaaaa!!!" Lagi-lagi Kinara berteriak kala kesempatan.
PLAK
PLAK
Dengan kasar Vino bahkan tega menampar wajah mulus Kinara, pengaruh alkohol sungguh membuatnya buta malam ini. Di matanya Kinara saat ini adalah Kinan, mendiang sang istri yang begitu ia cintai sejak dahulu.
Bersamaan dengan perlakuan kurang ajar Alvino, gadis cantik itu hanya mampu menangis. Air mata yang membasah di pipi seakan tiada guna, seberapa kuat ia berontak takkan mampu mengalahkan tenaga Alvino yang memang di bawah pengaruh alkohol.
"Aku merindukanmu, Kinan."
Pria itu berucap lirih tepat di telinga Kinara, aroma alkohol serta hembusan napas hangat menyentuh kulit. Pria itu memeluk erat tubuh mungil wanita yang kini tengah meratapi hidupnya, air mata malam itu menjadi saksi hancurnya hidup Kinara.
Lemah. Tak ia duga mimpi seburuk ini terjadi, ia ingin terbangun. Kinara berharap sesegera mungkin akan membuka mata, namun bagaimana matahari tak jua menyapa.
Napas teratur Alvino membuat terdengar begitu jelas, bak alunan musik yang begitu indah namun menakutkan. Keringat yang mengucur di sekujur tubuhnya kini begitu lengket, dan Kinara merasakan itu.
Dalam gelap, Kinara menatap nanar langit kamar. Napas yang bahkan belum teratur lantaran sesenggukan membuatnya perlahan memejamkan mata. Bahkan untuk berteriak Kinara tak mampu lagi, sungguh pria keparat itu benar-benar menjadikannya sasaran empuk malam ini.
*****
Bias cahaya menyelinap dari celah jendela kamar, begitu berat rasanya namun mata cantik itu kini perlahan membuka. Kinara mengerjap menyesuaikan cahaya di sekelilingnya, sesaat ia tersadar akan apa yang kini terjadi.
Kinara menatap bagian perutnya, tangan kekar itu melingkar begitu eratnya. wanita itu kini menoleh, manatap wajah tampan nan menjijikkan di sisinya. Lagi dan lagi, Kinara bergetar, terbayang akan aksi brutal yang ia terima dari pria itu.
Perlahan Kinara melepaskan diri dari pelukan pria itu. Badannya kaku, sungguh ia jijik dengan dirinya sendiri. Namun sayang, lagi-lagi ia terlalu lemah, air mata yang tadi malam sempat terhapus kini kembali berurai. Sadar dirinya bukan bermimpi, semua adalah nyata. Dunia tak lagi membelainya, takdir tak lagi memeluknya.
Kinara menarik napas dalam-dalam serta menghelanya perlahan. Pelukan itu tak lagi seerat sebelumnya, kini ia mampu untuk melepaskan diri. Gadis cantik itu segera beranjak dan hendak meninggalkan kamar hina yang menjadi saksi bisu kehancurannya.
"Mau kemana, Kau?" Kinara tersentak kala tangan kekar itu menggenggam pergelangan tangannya, ia masih terlalu kecil untuk berhadapan dengan pria. Jelas saja takut yang mencekam itu masih ada.
Tak ada jawaban dari bibir mungil Kinara, ia terlalu lemah bahkan untuk sekadar bernapas. Isak tangis dan air mata yang seenaknya tak mampu ia tahan, berulang kali ia menepis kasar tangan Alvino hingga membuat pria berwajah tampan itu perlahan membuka mata.
"Haaaaaaaaa!! Sedang apa kau di sini?!! Kenapa kau berada di sampingku, Kinara!"
Saat ini, Kinara terasa teriris, bukankah seharusnya ia yang berucap demikian. Lantas, mengapa justru Alvino seakan menjadi korban dalam hal ini.
Vino mengusap kasar wajahnya, sedikit menjauhkan tubuhnya. Perlahan ia menyingkap selimut, sungguh ia tak dapat megartikan dengan cepat apa yang tengah terjadi. Kini, pria itu hanya mampu menutup mulut yang menganga seraya susah payah menahan salivanya.
"I-ini tidak benar kan? Ti-tidak ada yang terjadi di antara kita benar kan, Kinara?" Alvino menatap sekilas Kinara yang kini tenggelam dalam tangisnya, ia sedikitpun tak dapat mengingat apa yang ia lakukan terhadap gadis kecil di sampingnya.
Dalam tangisnya, gadis itu semakin terhenyak. Mengapa pria itu bahkan tak sedikitpun menyadari apa yang ia perbuat sendiri. Kinara memeluk lututnya erat seraya bersembunyi di balik rambut panjangnya.
"Kina!!! Jawab!!!" Alvino memerah, pria itu meninggi seraya menjambak rambut Kinara.
"Aaaakhhh!! Kakak, lepaskan aku!!" jerit Kinara begitu pilu, sungguh menyakitkan, ia tak menduga perlakuan kasar Vino yang kerap ia saksikan kini ia rasakan.
"Kau sengaja kan? Haah!! Cih, menjijikkan." Alvino mencengkram dagu Kinara, menatap tajam mata yang kini begitu sembab. Ia tak sudi tubuhnya tersentuh wanita jika bukan inginnya, begitulah sikap Alvino.
"Katakan!! Siapa yang memintamu?!! Ayahmu? Bukankah kehidupan kalian sudah membaik dengan bantuanku?" Alvino menuntut Kinara dengan tuduhan tak bermakna yang begitu menyesakkan dada.
"Berani juga kau, bahkan kakakmu yang sok suci itu enggan menyerahkan tubuhnya untukku."
"Lalu kau? Cih, bahkan dengan sengaja memberikannya padaku? Hem?"
Cengkraman itu semakin menguat, bahkan kini gadis kecil itu kesulitan bernapas, belum lagi wajah Alvino begitu dekat dengannya tanpa celah.
"Aaaaarrrrrrgghh!! Gadis sialan!!" Alvino menghempas Kinara begitu kasar, lagi-lagi hanya air mata yang mampu berbicara.
Detak jantung yang seakan tak terkendali, Kinara menatap punggung Alvino yang kini berlalu ke kamar mandi. Tak ia duga, niat baik dan tulusnya berakhir tuduhan hina dari mantan kakak iparnya.
"Ya Allah, Kina takut." Kinara meremas ujung selimut yang menutupi tubuhnya, bahkan tanda kemerahan di sekujur tubuhnya begitu menyakitkan.
Sejak tadi, ingin rasanya Kinara berlalu pergi. Namun rasa ngilu yang menyiksa tepat di miliknya hingga kini masih terasa. Bahkan untuk berubah posisi saja ia tak mampu, apalagi berjalan.
Ceklek!!
......
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!