NovelToon NovelToon

Anugerah Terindah Yang Pernah Kumiliki

Perkenalan

"Prilla, kamu hebat!" Ucap Jeni, seniornya sambil tepuk tangan bersama yang lain.

"Sekarang sudah berani tampil di depan, yah." kata Celine, yang tak kalah bangganya.

Mereka sedang melakukan glady sebelum acara baksos di panti asuhan minggu depan.

Prilla yang selama ini di kenal kalem dan pendiam, ternyata punya bakat terpendam menjadi seorang MC.

"Ini semua karena Cassie." Ungkap Prilla malu-malu.

"Jangan terlalu merendah. Gak bagus." Bantah Cassie, yang baru saja datang.

"Tumben, kesiangan. Habis kencan, yak?" Goda Jeni.

"Gak dong, aku tadi mampir dulu ke rumah Mia." Sahutnya, Mia adalah sekretaris Cassie di dalam organisasi Gereja.

"Dianter cowok yang tadi?" Selidik Maya, yang baru kembali ke ruangan.

"Cieee, siapa tuh?"

"Tukang ojek!" Timpal Cassie, sambil memeletkan lidahnya.

Ruangan itu pun penuh dengan riuh sorakan. Gadis bernama Cassie itu, memang terlalu cuek dan bodoamatan. Hal itu membuatnya kerap di bully.

Apalagi jika di bully, Cassie malah ikut tertawa. Beda dengan yang lain, kalau di bully langsung nyolot tapi kalau nge-bully juara.

...###...

"Cassie, kamu beneran masih jomblo?" Tanya Prilla takut-takut.

"Kenapa tegang gitu, sih? Santai aja." Cassie menepuk pundak Prilla.

"Masa sih, gak ada yang deketin?" Kata Prilla. "Kamu kan cantik, pinter lagi. Masa iya, gak ada yang suka."

"Ya mau gimana lagi, emang gitu." Cassie cekikikan sendiri.

"Mau ku kenalin sama seseorang, gak?" Prilla berbinar.

"Siapa?"

"Abangku. Dia baru pulang berlayar. Orangnya baik, ganteng lagi." Prilla sangat bersemangat.

"Banyak duitnya, dong?" Sahut Cassie, mereka tertawa bersama. Prilla tahu betul, Cassie hanya bercanda karena dia jelas bukan cewek matre.

"Boleh, deh. Siapa namanya?"

"Cliverly." Ucap Prilla, mantap. "Boleh gak, langsung kasih nomer kamu?"

"Ntar aja yah, kalau udah ketemuan. Takutnya dia nyesel." Timpal Cassie.

"Dia gak mungkin nyesel. Orang baik kayak kamu kan langka banget. Malah dia beruntung kalau bisa dapetin kamu." Tandasnya.

...###...

Sementara itu di rumah Prilla...

"Bang, mau ku kenalin sama temanku gak?"

"Siapa?"

"Ada, bang. Orangnya cantik, pinter, baik lagi. Abang pasti suka."

"Coba kirimin kontaknya."

"Kata dia, kamu yang harus minta sendiri pas kenalan, bang. Biar abang gak nyesel katanya." Kata Prilla sambil tertawa.

"Dia bilang gitu? Menarik." Gumam abangnya.

...###...

Minggu berikutnya, saat ibadah di Gereja selesai...

"Temen kamu, mana?" Bisik abangnya, di halaman Gereja.

"Sabar, bang. Dia lagi serahin laporan program kerja ke Sekretaris Umum. Orang sibuk, dia mah."

Lima belas menit kemudian, yang di tunggu-tunggu datang juga.

"Selamat hari minggu!" Kata Cassie sambil bersalaman dengan Prilla.

"Selamat hari minggu, Cassie." Sahut Prilla, membalas.

"Ini abangku, yang ku ceritain waktu itu." Bisik Prilla, lalu melepas jabatan tangan mereka.

"Aku Cliverly, biasa di panggil Clee." Kata abangnya, mengajak bersalaman.

"Oh, Hai! Aku Cassie." Balasnya.

"Kamu sudah semester berapa?"

"Aku baru selesai. Sekarang lagi cari kerja."

"Wah, sudah selesai? Kalah cepet dong, si Prilla."

"Dia kan memang seniorku, seumuran sama abang." Prilla mengerling.

"Silahkan ngobrol berdua, yah. Aku tunggu di sana." Tandasnya, sambil menunjuk arah parkiran.

"Ternyata kita seumuran? Ku pikir kamu seumuran Prilla." Clee terkekeh.

"Iya, nih. Aku masih sering disangka anak SMA. Masih suka ditanyain kelas berapa, padahal udah lulus kuliah."

"Awet muda, sih." Mereka berdua tertawa.

"Cassie!" Suara ibu Sekretaris Umum memanggil dari dalam Gereja.

"Iya, bu!" Cassie mengangkat tangan, lalu ibu Sekretaris Umum masuk kembali ke dalam.

"Kamu di cariin, tuh. Masuk aja, aku tungguin."

"Gak usah, ini bakalan lama soalnya mau rapat tahunan."

"Boleh minta nomer kamu, gak?"

"081355xxxxxx"

"Aku boleh sering-sering nelpon?"

Cassie hanya mengangguk lalu bergegas masuk. Sepertinya gadis itu merasa cocok dengan abang temannya. Mereka masih ingin mengobrol banyak tapi keadaan tidak mendukung.

"Tadi ngobrol sama siapa?" Bisik Celine, saat Cassie baru masuk ke dalam ruangan.

"Temen."

"Temen apa temen?"

"Ya temen, aja."

Cassie bergegas mencari ibu Sekretaris Umum, sepertinya laporan yang dibuatnya harus segera direvisi sebelum rapat berlangsung.

...###...

"Iya, selamat sore!" Sahut Cassie, mengangkat telepon.

"Selamat sore, Cassie. Ini aku, Clee."

"Oh, iya." Cassie bergegas masuk ke dalam mobil yang telah menunggunya di depan.

"Aku ganggu, gak?"

"Gak kok, ini lagi di jalan mau pulang."

"Rapatnya baru selesai?"

"Iya, nih."

"Kenapa tadi gak bilang, biar aku jemput."

"Hahaaa gak usah. Masa baru kenal udah ngerepotin."

"Kalau kamu bukan repotin, tapi anugerah."

"Bisa aja, sih." Mereka tertawa di telepon. "Bilangin tuh, si Prilla pergi ibadah kolom."

"Dia lagi siap-siap tuh. Kamu juga datang?"

"Datang dong, kan aku juga bertugas."

"Kalau gitu, aku juga mau datang."

"Ya bagus, biar makin ramai."

"Ya udah, aku mau siap-siap dulu. Sampai nanti, Cassie."

"Iya."

...###...

Setelah bersiap, Cassie segera menuju tempat ibadah kolom bersama Thea, adiknya.

"Selamat malam!" Sapa Cassie dan Thea saat masuk. Tidak lupa dia berkeliling ruangan, menyalami semua orang satu per satu. Itu adalah kebiasaannya sejak dulu.

"Hai, Cassie!" Sapa Helen, sambil bersandar di bahu Ariel. Mungkin ingin memanas-manasi Cassie, mantan kekasih pria itu.

Yang dipanas-panasin malah tersenyum ramah, tidak merasa terganggu sama sekali. Malah Helen yang merasa terbakar dibuatnya.

Cassie terus menyalami semua orang, di ikuti Thea di belakangnya

"Kak, lihat tuh temen kamu sama..." Thea menatap sinis ke arah Helen dan Ariel.

"Apa sih, dek. Gak usah urusin yang bukan urusan kamu." Cassie tetap tersenyum dengan ramahnya, lalu bergegas membagikan liturgi.

"Itu Ariel, mantannya Cassie." Bisik Prilla, ke abangnya.

"Terus?"

"Abang lihat sendiri kan, gimana dia sama pacar barunya mau bikin jealos Cassie, tapi malah dicuekin." Prilla terkekeh.

"Kata Cassie, gak usah diurusin." Clee menirukan kalimat Cassie barusan, karena memang duduknya tidak jauh dari Cassie.

"Padahal udah hampir dua tahun bubaran, tapi masih suka godain Cassie gitu. Cassie juga sih, jomblo melulu. Jadi disangka belum move on." Jelas Prilla, panjang lebar. Bagaimana pun dia adalah perempuan yang hobinya gibah.

Clee mengangguk paham sambil sesekali mencuri pandang ke Cassie. Sepertinya dia mulai naksir.

...###...

"Kamu tahu banyak yah, soal Cassie. Memangnya kalian cukup dekat?" Selidik Clee saat mereka sudah di rumah.

"Iya dong, bang."

"Aku juga dulunya dukung banget waktu Cassie jalan sama Ariel. Mereka lumayan lama pacaran, gak pernah digosipin, gak pernah ribut, adem ayem aja pokoknya."

"Tiba-tiba gak ada angin, gak ada hujan mereka udah bubaran aja." Kata Prilla, lalu menengguk segelas air.

"Jadi kamu gak tahu, kenapa mereka putus?"

"Katanya Cassie selingkuh."

"Selingkuh?"

"Menurutku itu bisa-bisanya Ariel aja, ngarang cerita. Dia cuma memutarbalikkan fakta."

"Kok Cassie diem aja?" Clee mulai penasaran.

"Nah, itu dia si Cassie. Dia lebih milih diem daripada capek-capek menjelaskan. Katanya dia, biar waktu yang menjawab."

"Sekarang terbukti, siapa yang selingkuhin siapa. Liat sendiri kan tadi, gimana dia sama Helen. Helen itu sahabatnya, tapi malah nikung."

Karena terlalu semangat menjelaskan, Prilla jadi terbakar emosi.

Clee mendengarkan dengan seksama dan semakin yakin pada sosok Cassie. Gadis itu benar-benar membuatnya merasa tertarik.

..

Interview

Pagi ini, Cassie sedang bersiap di depan cermin. Dia merasa sedikit gugup karena akan melakukan interview di salah satu Bank swasta terkenal.

Tanpa membuang waktu, Cassie segera bergegas menuju mobil. Dia harus berangkat lebih awal jika tidak ingin terjebak macet.

Gadis itu sibuk mengatur nafasnya di atas mobil. Sesekali dia memeriksa map coklat yang ada dalam genggamannya, memastikan semuanya sudah pas dan sempurna.

Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 10.00 am, saat tiba di perusahaan tersebut.

"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" Sapa staf resepsionis dengan ramah.

"Selamat siang, mbak." Balas Cassie. "Saya mau bertemu HRD, untuk interview kerja."

"Baik, mbak. Mohon tinggalkan KTP anda untuk ditukarkan dengan kartu akses gedung ini. Sebentar saat pulang, silahkan ditukarkan kembali."

"Ruangan HRD ada di lantai 3. Lift-nya ada di sebelah kanan." Ucapnya ramah, sambil menunjukkan arah.

"Untuk menggunakan lift, anda harus menggunakan kartu akses tersebut."

Cassie pun menyerahkan KTP-nya untuk dibarter dengan kartu akses, lalu bergegas menuju lantai 3.

"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" Sapa security yang berjaga di depan pintu.

"Saya mau ke ruangan HRD untuk interview kerja, pak."

"Oh, mari saya antarkan."

"Katanya, mbak ini mau interview kerja." Kata security itu pada seorang staf. Mungkin sekretaris bapak HRD.

"Mohon tunggu sebentar, saya tanyakan dulu pada Beliau." Kata wanita itu sambil berlalu ke dalam ruangan HRD.

Tidak lama kemudian, wanita itu keluar lagi dan berkata dengan ramah "Silahkan masuk, mbak! Pak Adi, sudah menunggu."

Walaupun pintu sudah terbuka, Cassie tetap mengetuk pintu sebelum masuk.

"Silahkan masuk!" Kata Pak Adi, sambil memutar kursinya.

"Selamat siang, Pak. Maaf, mengganggu waktu anda."

"Selamat siang!" Balasnya dengan ramah. Ternyata Pak Adi masih sangat muda, tadinya Cassie pikir sudah paruh baya.

"Silahkan duduk." Beliau menjabat tangan Cassie dengan bersemangat.

"Biar saya lihat profil, anda."

Dengan cepat, map coklat itu sudah berpindah tangan pada HRD. Beliau mengamati secepat kilat.

"Ternyata kamu sudah punya beberapa pengalaman kerja, yah." Beliau bergumam. "Tapi maaf, posisi Admin untuk saat ini sudah penuh."

Deg!

"Untuk saat ini, yang tersedia hanya posisi marketing." Kata Beliau, sambil menyimpan berkas Cassie di meja kerjanya.

"Anda tertarik?"

"Saya pikir saat ini yang dibutuhkan Admin dan Teller, seperti yang tertera di lowongan kerja."

"Anda tidak suka kerja dilapangan?"

Cassie menatap ragu sang HRD, dia tidak memberi jawaban. Mungkin dia memikirkan kalimat yang tepat untuk menolak.

"Marketing itu sebenarnya bagus. Anda bisa fleksibel mengatur waktu, dan pendapatannya lebih besar daripada Admin maupun Teller."

Pak Adi, lalu menjelaskan pada Cassie bagaimana sistem kerja marketing dan berapa banyak pundi-pundi rupiah yang akan diperoleh jika berhasil mendapatkan nasabah.

Cassie hanya mendengarkan tanpa minat.

"Berapa gaji yang anda minta?"

Cassie tercengang mendengar pertanyaan tak terduga sang HRD. Baru kali ini dia mendapat pertanyaan seperti itu.

"Sesuai standar perusahaan saja, Pak."

Belakangan, Cassie baru mengetahui dari buku yang mengulas tentang Interview kerja, sejatinya jika mendapat pertanyaan seperti itu, pihak yang diwawancara harus berani menyebutkan nominal meskipun terdengar tidak masuk akal.

Tujuan si pewawancara bertanya seperti itu, karena ingin melihat seberapa besar kita menghargai kemampuan diri kita sendiri. Jadi jangan ragu memberi jawaban.

"Gaji pokok marketing saat ini 2.500.000 dan itu hanya gaji pokok. Belum termasuk transpor dan tunjangan yang lain."

"Jumlah itu bukan patokan gaji kalian. Itu tergantung jumlah nasabah yang diperoleh."

"Kalau dapat 1 nasabah, maka akan dikalikan dua dari gaji pokok. Jadi pendapatan kalian berbeda-beda tergantung jumlah nasabah dalam kurun waktu tersebut."

Cassie tercengang mendengar nominal itu. Dia hampir saja tergiur, tapi tersadar lagi.

"Maaf, Pak! Saya tidak tertarik dengan posisi marketing. Jika tahu yang dibutuhkan adalah marketing, saya tidak akan datang kemari." Cassie terdengar mantap.

"Lantas apa yang menjadi alasan Anda ingin bergabung dengan perusahaan kami?"

"Saya ingin menerapkan ilmu yang saya dapatkan di bangku kuliah, dan mendapatkan ilmu baru tentunya."

"Kalau begitu bergabunglah dengan tim marketing kami."

"Maaf, Pak, saya tidak berminat dengan posisi marketing."

"Baiklah kalau begitu. Tapi jika anda berubah pikiran, silahkan kembali kapan saja."

Setelah berjabat tangan, Cassie pamit untuk pulang. Ternyata hari sudah sore. Cassie pikir tadi hanya sebentar, ternyata lama juga.

...###...

Cassie menghela nafas panjang begitu duduk di mobil. Saat ini, perasaannya tidak karuan. Dia merasa di tipu mentah-mentah karena tidak mendapatkan posisi incarannya.

Gadis itu merasa waktu dan energi yang terpakai tadi, terbuang percuma.

"Selamat sore!" Sapa Clee, di ujung telepon.

"Sore!" Cassie, memelas.

"Aku ganggu, yah?"

"Gak, kok."

"Kamu kenapa?"

"Gak kenapa-napa." Suaranya terdengar parau.

"Sekarang dimana?"

"Di jalan, mau pulang."

"Posisi?"

"Jalan kemayoran."

"Pas banget, aku juga lagi dekat sini. Ketemuan, yuk?"

Cassie hanya menganggukkan kepala, seolah Clee bisa melihatnya.

Sebenarnya Cassie ingin menolak, dia merasa penampilannya sedang kacau. Tapi dia juga malas pulang ke rumah.

"Dimana?" Cassie menyeka air matanya.

"Di pantai."

"Oke!"

"Aku tunggu, yah."

Setelah sambungan telepon terputus, Cassie mengambil cermin kecil yang menempel pada sisir lipat miliknya. Dia memperbaiki sedikit riasan wajahnya.

"Pak, mampir bentar ke Pantai. Mau ketemu temen."

"Siap, neng."

Mobil yang ditumpanginya menepi di anjungan pantai. Cassie segera turun mencari sosok Clee.

"Cassie!" Clee melambaikan tangan pada Cassie. Dia sedang duduk di depan Cafe yang menghadap ke laut.

Gadis itu memaksakan senyumannya, berusaha kuat di depan Clee. Padahal matanya sedang berkaca-kaca. Clee yang menyadari itu, pura-pura masuk ke dalam memesan sesuatu.

"Maaf, yah." Cassie, membuka obrolan.

"Kenapa minta maaf?" Tanya Clee, heran.

"Aku baru habis interview, tapi gak berjalan lancar. HRD-nya cuma nge-prank." Cassie tersenyum kecut.

"Nge-prank gimana?"

"Bilangnya cari admin sama teller, taunya marketing. Kan jadi buang-buang waktu."

"Karena itu, kamu jadi nangis?"

"Karena itu, aku minta maaf. Aku pasti kelihatan cengeng banget, yah?" Cassie menarik nafas dalam-dalam. "Aku kalau kesel yah gitu, air mataku langsung jatuh gitu aja."

Cassie menyeka air matanya sambil tertawa kecil.

"Minum dulu." Kata Clee, sambil menyerahkan sebotol air mineral.

"Gak usah dipikirin. Prilla udah jelasin semuanya. Katanya, kalau marah kamu bakal diem atau nangis."

Cassie melongo tak percaya.

"Terus, dia ngomong apa lagi?"

"Banyak." Clee terkekeh. "Sebenarnya aku pengen tahu semuanya langsung dari kamu, tapi dia gak bisa rem mulutnya kalau udah bahas kamu."

Mereka mengobrol sambil tertawa cekikikan. Terlihat sangat akrab, seolah sudah berteman sejak lama.

"Gimana perasaan kamu? Udah enakan."

Cassie mengangguk sambil tertawa. Baru mengobrol sebentar, rasa kesalnya sudah menguap entah kemana.

"Yaudah, pulang gih."

"Aku bukannya ngusir, tapi nanti kamu pulangnya kemalaman. Tadi aku ngajak ketemuan buat tenangin perasaan kamu. Takut orang rumah kamu kuatir, kenapa pulang-pulang nangis."

"Makasih yah, Clee."

"Sebenarnya aku mau anterin pulang, tapi kamu bawa sopir." Clee terkekeh. Dia mengantarkan Cassie ke mobil, lalu kembali ke Cafe.

Lima menit setelah Cassie pergi, Clee menelepon..

"Iya, Clee." Jawab Cassie, diujung telepon.

"Kamu yakin gak ada yang ketinggalan?"

Cassie memeriksa tasnya berulang lalu menjawab "Kayaknya gak ada, deh." Seingatnya, dia tidak sempat membuka tasnya karena terlalu sibuk curhat.

"Bayangan kamu ketinggalan, nih."

"Apaan sih, Clee." Cassie tertawa mendengar penuturan Clee. Dia sadar sedang di gombal, tapi malah menikmati.

"Kamu lagi kebanyakan pulsa?"

"Aku kebanyakan mikirin kamu."

Cassie tertawa sepanjang perjalanan karena guyonan receh Clee. Pria itu terus melantur sana sini, ngoceh-ngoceh sendiri di telepon.

Bahkan Aldo, teman Clee yang juga pemilik Cafe cuma geleng-geleng melihat kelakuannya.

Setelah Cassie sampai di rumahnya, Clee baru memutus sambungan telepon. Clee benar-benar sudah seperti pacarnya saja.

..

Bertengkar

Tidak terasa, sudah hampir setahun Cassie berteman dengan Cliverly. Status hubungan mereka masih mentok di lingkar pertemanan. Mungkin terjebak Friend Zone.

Cassie tahu persis bagaimana perasaan pria itu kepadanya. Tapi Cliverly tidak pernah menyatakan cintanya, hanya rayuan gombal semata. Mungkin dia ingin membuat Cassie nyaman dulu bersamanya, menerima kehadirannya.

Cliverly masih sering menghubungi Cassie, saat kapalnya berlabuh di tempat yang ada signal. Ya, Cliverly adalah seorang perwira pelaut. Sudah beberapa bulan ini, dia terikat kontrak dengan perusahaan asing yang mengharuskannya berlayar ke luar negeri.

Cassie menatap nanar pada layar ponselnya, harap-harap cemas menunggu telepon dari Clee. Dia merindukan celotehannya.

Mereka sudah lost contact selama beberapa bulan. Mungkin saat ini, kapalnya sedang berlayar di tengah laut.

"Selamat malam." Cassie, menerima panggilan dari nomor baru.

"Ini dengan, Cassie?"

"Iya, ini siapa yah?"

"Aku dong yang nanya, di ponselku ada kontak atas nama Cassie tapi aku gak tau orangnya yang mana."

"Cliverly?" Cassie tersenyum bahagia, akhirnya si doi nelpon juga.

"Kamu kenal aku?"

"Ini aku, Cassie."

"Yang mana, sih? Bikin bingung, aja."

"Kalau kebanyakan pulsa, mending kamu transferin daripada habis percuma buat basa basi busuk."

"Kalau kebanyakan mikirin kamu, gimana? Harus di transfer kemana?"

Cliverly tertawa, tapi tidak dengan Cassie. Dia sedang menyeka butiran bening yang jatuh disudut matanya.

"Cassie, denger yah, sekarang kita udah jauh banget. Kapal ini udah bawa aku terlalu jauh dari kamu. Tapi aku pasti akan kembali berlabuh padamu."

"Aku gak akan minta kamu nunggu. Itu egois. Aku gak tahu kapan kita bisa ketemu lagi, mungkin lima tahun atau mungkin juga sepuluh tahun kemudian. Aku gak tahu."

Cliverly terdiam. Matanya memanas. Dia sangat mencintai gadis itu, begitu pun dengan gadis itu. Tapi dia tidak akan meminta gadis itu menunggunya, karena tidak ingin menghalangi takdir lain yang mungkin kelak akan membuatnya bahagia.

Yang dia tahu, dia ingin menyatakan cintanya di depan sang gadis, sambil berlutut untuk meminangnya. Tapi apa daya, profesi yang menjadi passion-nya membawanya pergi jauh dari gadis itu.

"Kamu harus selalu sehat dan bahagia. Oke?"

Cassie tak bisa lagi membendung air matanya. Cliverly seperti sedang mengucapkan salam perpisahan.

"Gimana aku bisa bahagia kalau gak ada kamu?" Akhirnya kalimat itu lolos dari lisannya.

"Kamu pasti bahagia karena selalu di kelilingi orang-orang yang sayang dan peduli sama kamu."

"Gimana kalau aku di ambil orang?"

"Berarti kita bukan jodoh."

"Udah, pulang aja kesini."

"Masa kontrak masih lama. Begitu kontraknya selesai, belum tentu juga aku sudah di Indonesia. Bisa jadi masih di luar."

"Kalau gitu, sebagai gantinya aku bakal aniaya adik kamu."

Cliverly hanya tertawa mendengar ocehan Cassie. Hari itu, mereka mengobrol lama di telepon karena melepas rindu.

...###...

"Kamu sudah lulus kuliah, kan? Sekarang kerja dimana?" Tanya Sheril, sepupunya di seberang telepon.

"Masih nganggur nih, kak."

"Kirim aja lamaran kamu kesini, nanti begitu ada lowongan kamu tinggal datang interview."

"Boleh deh, kak."

Sebulan kemudian, Sheril kembali menghubunginya.

"Aku lagi di mutasi sementara ke kantor cabang di Lombok. Mau gak, kerja bareng disini terus nanti sama-sama balik ke Jakarta."

"Mau aja sih, tapi aku lagi ikut kursus, kak. Boleh aku selesaiin dulu, gak? Sampai bulan depan aja, kok."

"Kalau gitu, sekalian aja tunggu aku balik ke Jakarta. Aku juga gak lama di sini."

"Yaudah."

...###...

Cassie sedang membaca novel yang baru dibelinya kemarin. Sesekali, dia melirik ponselnya. Tentu saja menunggu panggilan, Cliverly. Pria itu terakhir kali menghubunginya, tiga bulan yang lalu.

Dasar bang toyib, Cassie membatin.

Sudah hampir setahun mereka tidak bertemu. Sejak saat itu juga, Cassie selalu merasa kosong.

Dia hanya bisa mencuitkan kegundahannya di akun medsos miliknya. Dasar ratu galau.

Ku butuh kata-kata. Bunuh ku dengan kata rayumu.

Tidak menunggu lama, cuitan itu sudah ramai dikomentari nitizen.

SakinahKina galau melulu, udah tahun 2021 nih

AyuMayunda bagi pin BM dong

CassieJessica 08DS92

IgnasWijaya aku invete juga, ah.

CassieJessica invete aja :)

Cassie terkekeh setelah membalas komentar tersebut, berharap Clee membacanya dan segera menelepon.

...###...

Ting!

Hai, Cassie. Ini, aku Ignas. Save yah.

Pesan dari Ignas masuk ke akun BM-nya. Cassie hanya merespon sekenanya, sambil memikirkan Clee.

Entah sejak kapan, Cassie jadi intens berkirim pesan dengan Ignas. Bahkan sudah mulai telpon-telponan. Sepertinya posisi Clee sudah tergeser oleh Ignas.

"Kamu mau jadi pacarku, gak?" Kata pria itu dengan mantap.

"Hahaa jangan bercanda."

"Aku serius."

"Masa pacaran sama orang yang gak dikenal? Belum pernah ketemuan lagi, pacaran macam apa tuh?"

"Jadi aku harus datang ke tempat kamu?"

"Yang gantle dong. Ngomong pas ketemu langsung, bukan di telepon."

"Kalau gitu, nanti aku bawa orangtuaku biar sekalian lamar kamu."

"Hahaa!"

"Jangan kaget yah, kalau aku beneran datang."

"Siapa takut?"

Tanpa sadar, Cassie telah menantang pria itu. Dia pikir Ignas hanya bercanda, jadi dia menjawabnya asal-asalan.

...###...

Ignas Wijaya adalah pria dewasa yang sudah memiliki kehidupan yang mapan. Dia bekerja di perusahaan swasta terkenal dengan posisi yang mumpuni.

Dari sekian banyak wanita yang ada disekitarnya, entah kenapa dia malah memilih Cassie, yang belum pernah dia temui sebelumnya untuk dipinang.

Orang asing yang baru dikenal memang memiliki daya tarik tersendiri. Pesonanya mampu mengikat siapa saja, seperti ada magnet di dalamnya.

"Kamu beneran masih jomblo, kan?"

"Kenapa sih, nanya itu melulu."

"Habisnya kamu selalu terlihat galau di sosmed. Kayak orang yang baru putus cinta."

"Perasaan, aku udah lama gak main sosmed. Stalking, yah?"

"Yaudah, hapus aja kalau gitu."

"Aku gak ada waktu main sosmed." Bantah Cassie. "Aku sibuk urusin laporan-laporan buat rapat evaluasi bulan depan."

"Masih bulan depan juga, kan?"

"Ya laporannya di cicil dari sekarang dong, kan gak mungkin tiba masa tiba akal. Bisa kelabakan akunya. Apalagi ini untuk tiga organisasi sekaligus."

"Mungkin dia stres karena pekerjaan di kantor." Cassie bermonolog sendiri, setelah Ignas memutus sambungan telepon secara sepihak.

Cassie tak habis pikir, Ignas itu jauh lebih dewasa dari dirinya tapi selalu minta dimengerti tanpa mau mengerti. Kenapa pria itu tidak bisa menurunkan egonya, sedikit saja.

Tiba-tiba dia teringat pada dua sosok pria yang begitu dia rindukan. Clee, pria yang selalu membuatnya tertawa. Dan mendiang Ayahnya, satu-satunya pria yang tidak pernah membuatnya menangis.

Cassie menghela nafas panjang, tiba-tiba saja dadanya terasa sesak dan matanya memanas. Pria yang kini bersamanya, sangat bertolak belakang dengan kedua sosok pria itu.

Sambil berpeluh air mata, Cassie menggumulkan hal itu dalam doa. Memohon petunjuk dari sang Pencipta, benarkah Ignas adalah orang yang ditakdirkan Tuhan untuk menjadi teman hidupnya.

..

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!