NovelToon NovelToon

Terjerat Cinta Sang Duda

TCSD 1 : Sebuah Ancaman

Awan mendung memayungi langit di salah satu pelosok desa sebuah kota yang terkenal dengan sebutan kota pelajar. Meskipun mashyur dengan sebutan kota pelajar, namun banyak penduduk yang tinggal di kota itu yang tidak memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan hingga ke jenjang yang tinggi. Masih banyak yang memiliki nasib kurang beruntung. Sehingga membuat mereka putus sekolah di tengah jalan atau bahkan mungkin tidak sempat menikmati bangku sekolah sama sekali.

Nismara Dewani Hayati, nama yang memiliki arti perempuan yang hidup dalam ketenangan dan mulia nampaknya berbalik seratus delapan puluh derajat dari kehidupan nyatanya. Kehidupan gadis yang belum genap berusia dua puluh tahun itu sangat jauh dari kata tenang. Bahkan di usianya saat ini, ia justru lebih sering mengalami hal-hal rumit yang membuat keceriaan gadis itu seolah tenggelam di wajahnya. Tidak ada raut wajah ceria. Yang tersisa hanya raut wajah sendu karena hanya air mata lah yang menjadi teman untuk menemani perjalanan hidupnya. Untuk menutupi itu semua, ia merubah dirinya untuk menjadi wanita kuat yang sanggup melawan apapun yang ia anggap menindas harga dirinya.

Semenjak kepergian sang bunda untuk selama-lamanya membuat dunianya seakan luluh lantak seketika. Keputusan sang ayah dengan menikahi seorang janda beranak satu, ternyata hanya membawanya ke dalam kerak neraka yang terasa semakin menyiksa batinnya. Dan kini, seorang laki-laki yang seharusnya bisa menjadi malaikat pelindung bagi anak gadisnya justru tidak dapat melakukan apapun. Setelah penyakit stroke datang menyerang, kehidupan lelaki itu semakin terbelenggu di atas kursi rodanya.

Ditambah lagi dengan kebiasaan berjudi yang dulu dilakukan oleh pria paruh baya itu justru semakin menambah beban di masa kini. Gadis yang baru akan menginjak dewasa itu sering mendapati sang ayah menjadi sasaran kekalapan dari para penagih hutang yang meninggalkan bekas luka di wajah tampan sang ayah. Bagi seorang gadis yang memiliki hati yang lemah dan lembut bisa saja hal itu menjadi salah satu pemicu seseorang mengalami guncangan psikis atau mungkin trauma. Namun, Mara selalu bersikap acuh dan hatinya seakan kebal dengan apa yang setiap hari ia lihat.

"Aku tidak perduli. Kamu harus menikah dengan juragan Karta. Itulah satu-satunya jalan agar hutang-hutang ayah kamu yang tidak berguna itu bisa lunas!"

Ucapan lantang wanita paruh baya di hadapannya ini terasa begitu menggerus hati Mara. Namun sebisa mungkin ia memasang wajah yang terlihat baik-baik saja seolah tidak terjadi apapun terhadap hatinya.

Mara tersenyum sinis. "Apa hak Anda mengatur jalan hidup saya? Anda bukanlah siapa-siapa yang harus saya penuhi semua kemauan Anda. Anda hanyalah ibu tiri. Ibu tiri yang tidak memiliki hati sama sekali!" Mara kembali berdecih. "Mengapa bukan anak kandung Anda sendiri saja yang Anda nikahkan dengan juragan Karta?"

Tanti, yang merupakan lawan bicara Mara seperti tersulut emosi tatkala mendengar bantahan dari anak tiri di depannya ini. Kepalanya seakan mendidih, dipenuhi oleh amarah yang meletup-letup. Harga dirinya serasa diinjak karena ada yang berani melawannya. "Dasar anak durhaka! Siapa yang mengajarimu untuk berkata lantang kepada orang tua, hah!"

"Anda yang memaksa saya untuk menjadi anak durhaka. Selama ini saya sudah teramat sabar menghadapi kelakuan Anda yang seperti ini. Namun tidak untuk kali ini. Kali ini, saya tidak akan pernah membiarkan Anda menginjak harga diri saya lagi."

"Benar-benar anak tidak tahu diuntung kamu, Ra. Sudah jelas kamu akan hidup layak jika kamu mau menikah dengan juragan Karta. Apalagi yang masih kamu ragukan, hah!"

Sudut bibir Mara sedikit naik, hingga menampilkan mimik wajah sinis di hadapan sang ibu tiri. "Pastinya akan layak untuk Anda juga, bukan? Bukankah setelah Anda berhasil membujuk saya untuk menikah dengan juragan Karta, Anda akan mendapatkan banyak imbalan? Saya dengar Anda akan mendapatkan bagian tiga hektar kebun jati yang berada di tanah perbatasan, jika sampai Anda berhasil membujuk saya untuk menikah dengan juragan Karta."

Kedua bola mata milik Tanti seketika terbelalak. Wanita itu teramat terkejut karena sang anak tiri mengetahui apa yang menjadi kesepakatan antara dirinya dengan juragan Karta. "Apa yang kamu bicarakan? Tidak ada kesepakatan apapun antara aku dengan juragan Karta. Jangan asal bicara kamu Ra!"

Tanti berupaya untuk mengelak. Semua cara harus ia lakukan, agar sang anak tiri mau menuruti keinginannya. Hamparan kebun jati seluas tiga hektar begitu membuat jiwa hedonis dalam dirinya seakan meronta-ronta ingin segera ia miliki. Kehidupan dengan gelimang harta yang melimpah seakan terus menggoda dan merayunya agar ia melakukan cara apapun untuk mencapai tujuannya. Termasuk dengan cara-cara kotor sekalipun.

Mara kembali tersenyum sinis. "Saya sudah mengetahui semua tentang kesepakatan Anda dengan juragan Karta. Bahwa ada timbal balik dengan pernikahan yang akan terjadi diantara saya dengan juragan Karta. Bukankah itu sama saja Anda menjual saya?"

Tanti berdecih. "Bukankah kamu akan sangat beruntung karena dibeli oleh seorang juragan kebun jati? Dengan kamu menjadi istri keempat juragan Karta, kamu bisa menikmati semua harta milik juragan Karta. Apalagi kamu adalah istri muda. Itu jelas akan membuat juragan Karta lebih memperhatikan semua kebutuhanmu daripada kebutuhan ketiga istrinya yang lain. Paham kamu Ra?"

Mara menggelengkan kepala seraya memainkan sedikit rambut bergelombang miliknya. "Saya tidak akan pernah merendahkan harga diri saya dengan menerima apa yang telah menjadi rencana Anda."

"Cih, wanita sepertimu tidak seharusnya berbicara tentang harga diri. Harga dirimu bahkan sudah tidak kamu miliki ketika ayahmu jatuh miskin seperti saat ini. Kamu seharusnya merasa sangat beruntung karena akan menjadi istri juragan Karta. Sebuah kesempatan yang tidak pernah didapatkan oleh para wanita yang berada di sini."

Mara membalikkan badannya, mencoba menghindar dari pembahasan yang ia rasa tidak bermanfaat ini. Namun, sebelum ia benar-benar meninggalkan ruangan ini, sejenak ia hentikan langkah kakinya. "Jika Anda atau anak Anda ingin mengambil kesempatan itu, saya persilakan. Akan saya berikan kesempatan itu secara cuma-cuma. Dan asal Anda tahu, saya hanya akan menikah dengan lelaki yang saya cintai. Bukan dengan lelaki yang memanfaatkan keadaan saya untuk mencapai apa yang ia inginkan."

Tanti terbahak mendengar ocehan yang keluar dari bibir sang anak tiri yang ia anggap sebagai sebuah lelucon belaka. "Jangan terlalu naif kamu Ra. Cinta tidak akan pernah membuatmu kenyang. Dan cinta tidak akan pernah bisa membeli barang-barang mewah. Camkan itu baik-baik Ra! Camkan!"

"Saya tidak perduli dengan apa yang Anda katakan. Saya rasa sudah tidak ada yang perlu kita bahas lagi. Saya menolak perjodohan dengan juragan Karta!"

Hampir saja Mara kembali melangkahkan kakinya. Namun di saat ia hendak mengayunkan kakinya...

"Jika sampai kamu menolak perjodohan dengan juragan Karta. Aku pastikan hidup ayahmu akan semakin menderita Ra! Ingat kata-kataku ini!"

Mara terkesiap. Gegas, ia membalikkan tubuhnya untuk kembali berhadapan dengan sang ibu tiri. "Apa maksud ucapan Anda? Jangan pernah sekalipun mengancam saya dan menyentuh ayah saya!"

Tanti menyilangkan lengan tangannya di dada sembari tersenyum menang. Ia merasa ancamannya kali ini akan membuat Mara mengikuti semua kemauannya. "Aku tidak mengancammu. Aku hanya sedikit bernegosiasi denganmu. Jika kamu menerima perjodohan dengan juragan Karta, aku pastikan hidup kamu akan sempurna. Namun jika kamu menolak, itu artinya kamu sendirilah yang mendorong ayahmu ke dasar jurang dan siap untuk hancur bersamaan dengan tubuhnya yang tiada lagi bernyawa."

Kedua netra Mara semakin membulat sempurna. "Benar-benar wanita kejam!"

"Aku tidak perduli! Aku beri waktu untukmu hingga esok hari!"

.

.

. bersambung....

TCSD 2 : Main Belakang

Deras air hujan membasahi tubuh seorang pria yang baru keluar dari mobilnya. Berkali-kali ia membunyikan klakson mobil namun nampaknya penjaga rumah tidak mendengarnya. Bisa jadi, ia sedang berada di kamar mandi atau mungkin ketiduran di ruang jaga. Sedangkan suara hujan yang terdengar gaduh yang jatuh dari langit, seolah semakin meredam suara klakson mobilnya, hingga tak satupun orang-orang di dalam rumah besar ini mendengarnya. Hingga pada akhirnya, ia memilih untuk turun dari mobil dan membuka pintu gerbang di hadapannya ini.

Sementara itu, di salah satu kamar yang terletak tidak jauh dari taman belakang. Terlihat dua orang manusia tengah larut dalam lautan hasrat yang bergelora. Posisi wanita itu tengah terkungkung di bawah tubuh lelaki kekar yang sedang memacu tubuhnya untuk memberikan kenikmatan yang begitu diinginkan oleh sang wanita. Wanita itu terlihat berkali-kali menggigit bibir bawahnya seperti menegaskan jika rasa nikmat itu tengah menguasai batinnya.

"Yeeaaahh... Baby ... Come on... Lebih cepat lagi Sayang, sebentar lagi aku akan sampai ... Sshhhhh ssshhhhh aaahh...."

"Oh Honey.... Milikmu benar-benar masih terasa sempit... Oohhh... Oohhh ini nikmat sekali Honey....!!!"

Kedua tubuh manusia itu menyatu. Tidak ada sehelai benang pun yang menghalangi pandangan keduanya untuk saling menatap penuh damba segala pesona yang ada di lekuk tubuh masing-masing. Tubuh keduanya berpacu. Saling meremas, saling menghentak, menggoyang hingga mengeluarkan bunyi khas ranjang yang bergoyang.

"Ooohhhh Baby .... Aku akan sampai... Ohhh... Ohhh...."

"Yeaaahhhh.. Honey.... Mari kita raih sama-sama...."

"Ooohhhh... Ohhhhh... Ohhhh..."

"Ssshhhh.... Sssshhh....Sssshhhh....."

"Aaaaarrrgghhhhh Baby..... Honeyyy...."

Lenguhan panjang dari kedua manusia itu menjadi akhir dari pergumulan mereka di malam yang diguyur hujan lebat ini. Tubuh mereka nampak lemas, namun sedikitpun tidak mengurangi rasa puas yang mereka rasakan. Puas, karena kebutuhan batin keduanya dapat tersalurkan.

"Sepertinya si 'impoten' itu sudah pulang, Beb. Aku kembali ke kamar dulu ya."

Wanita berusia tiga puluh lima tahun itu terlihat memunguti lingerie warna merah yang berserakan di lantai. Sedangkan sang lelaki dengan gerak cepat menarik tubuh si wanita untuk berada di dalam pelukannya.

"Aku masih ingin bermain lagi denganmu Hon!" Ucapnya setelah memagut bibir merah wanitanya ini.

Wanita itu tersenyum sumringah. Ia belai dada si lelaki yang menjadi teman pergumulannya ini dengan sentuhan sensual. "Besok kita lakukan lagi Beb. Sekarang aku akan menemui si 'impoten' itu dan kamu kembali lah ke pos jaga, agar tidak ada yang mencurigai apa yang telah kita lakukan."

Pada akhirnya, si lelaki melepaskan wanita itu dari pelukannya. Namun sebelum wanita itu pergi, ia lebih dulu memagut bibir sang wanita dengan intens. "Kita lakukan kembali besok, Hon!"

"Apapun untuk kamu, Beb!"

Tanpa mereka sadari, di depan pintu kamar ada sesosok wanita berusia lanjut melihat dengan jelas apa yang dilakukan oleh keduanya di dalam kamar ini. Dadanya terasa begitu bergemuruh membayangkan apa yang dilakukan oleh cucu menantunya di dalam kamar ini bersama seorang laki-laki yang tak lain adalah security di rumah ini.

"Dasar wanita ja*lang. Aku pastikan cucuku akan segera menceraikanmu. Dan kamu tidak akan sepeserpun menerima warisanku!"

Wanita berusia lanjut itu melangkahkan kaki meninggalkan kamar terkutuk ini. Ia melangkahkan kaki sembari memutar otak agar bisa segera mengeluarkan wanita itu dari rumahnya. Seorang wanita dengan gelar istri yang telah berhianat dari suami yang tengah menghadapi ujian dalam hidupnya.

"Oma! Oma dari mana? Sudah larut malam seperti ini mengapa Oma belum tidur?"

Rangga Danabrata Dewandaru, lelaki berusia tiga puluh tujuh tahun itu sedikit terkejut tatkala melihat sang nenek yang masih belum beristirahat di waktu yang sudah larut seperti ini.

"Aahhhh... Oma hanya dari dapur untuk mengambil minum Wa. Kamu baru pulang? Dan mengapa pakaian kamu terlihat basah kuyup seperti itu?"

"Kalau hanya untuk mengambil minum, mengapa Oma tidak meminta tolong bibi untuk mengambilkan minum?" Dewa mencoba membuka kancing kemeja yang ia kenakan, ia lepas kemejanya dan hanya menyisakan kaos tipis berwarna putih. "Berkali-kali Dewa membunyikan klakson mobil namun tidak ada satupun yang membukakan pintu. Dewa rasa pak Damar sudah terlelap di pos security Ma!"

Jelas saja Damar tidak mendengar klakson mobil yang kamu bunyikan Wa. Itu semua karena Damar sedang mencumbu istrimu di kamar belakang.

"Sayang.... Kamu baru pulang?!"

Agnia Andita Maharani yang tak lain adalah istri dari Dewa mendekat ke arah sang suami. Dengan nada penuh cinta, ia terlihat menyambut kepulangan Dewa.

Dewa tersenyum manis. Ia menarik tubuh Dita dan ia bawa ke dalam pelukannya. "Iya Sayang. Aku baru selesai teraphy untuk memulihkan keadaanku seperti semula."

"Benarkah? Itu artinya kamu akan segera pulih seperti sedia kala bukan?"

Dengan penuh sayang Dewa mengusap pucuk kepala Dita. "Doakan tidak lama lagi aku bisa pulih seperti semula Sayang. Agar aku bisa kembali memberikan kebahagiaan dan kepuasan batin untukmu."

Dita membelai pipi Dewa dengan lembut. "Itu pasti Sayang. Aku akan selalu berdoa untukmu, agar kamu bisa segera pulih."

"Oh iya Sayang, kamu dari mana? Mengapa kamu nampak dari taman belakang?"

Pikiran Dewa sedikit terusik dengan kehadiran Dita yang datang dari arah belakang. Ini sudah larut, namun istrinya masih nampak berkeliaran di taman belakang.

Dita terkesiap. Jantungnya tetiba berdegup tiada beraturan. "Emmmmm... I-tu... Aku hanya..."

"Istrimu sedang mencari angin di belakang Wa," timpal oma Widuri memangkas ucapan Dita. Ia kemudian menautkan pandangannya ke arah sang cucu menantu, menatap lekat matanya dengan tatapan yang sukar diartikan. "Benar seperti itu kan Ta? Angin di taman belakang pasti lebih menyegarkan bukan?"

Kedua bola mata Dita terbelalak. Ucapan dari wanita lanjut usia di depannya ini seakan memberikan sebuah isyarat jika ia mengetahui sesuatu. Namun, Dita berupaya berpikir positif. Sehingga perubahan emosi dalam dirinya yang membuatnya sedikit panik tidak begitu terlihat.

"Iya Oma. Aku memang sedang dari belakang untuk mencari angin. Entah mengapa di hujan lebat seperti ini, aku justru merasa kegerahan."

Oma Widuri tersenyum sinis.

Kamu kegerahan lalu membuka seluruh pakaianmu di hadapan Damar dan bertelanjang bulat di sana. Benar-benar istri tidak berakhlak.

Dewa mencubit hidung mungil milik sang istri. "Sayang... Lain kali jangan seperti ini. Aku khawatir jika kamu masuk angin karena terkena angin malam."

Dita mengangguk pelan sambil mengeratkan lingkaran lengan tangannya di pinggang Dewa. "Iya Sayang."

"Ya sudah, mari kita ke kamar! Aku ingin segera mengganti pakaianku." Dewa mendekat ke arah sang Oma. "Oma, Dewa ke atas terlebih dahulu. Setelah ini Oma segera beristirahat ya."

"Baiklah Nak!"

Dewa dan Dita bergandengan tangan melenggang pergi meninggalkan oma Widuri. Mereka beriringan menaiki tangga sembari bercanda, hingga pada akhirnya bayangan keduanya hilang dari pandangan mata oma Widuri.

Oma Widuri menatap punggung sang cucu dengan tatapan iba. Lelaki yang begitu baik dalam memperlakukan sang istri dan selalu memanjakannya namun justru dibalas dengan sebuah penghianatan.

Setelah mengalami kecelakaan tepat satu minggu dari acara pernikahan sang cucu setengah tahun yang lalu, membuat sang cucu kehilangan keperkasaannya. Ada syaraf yang cidera di sekitar area sensitif milik sang cucu sehingga membuat miliknya tidak dapat ber-ereksi. Tiga bulan terakhir, Dewa rutin melakukan therapy dan konsultasi dengan dokter. Namun sepertinya Dita sudah tidak dapat menahan segala hasratnya, hingga pada akhirnya, ia bermain belakang dengan security rumah ini.

Kasihan kamu Wa sudah dibohongi mentah-mentah oleh istrimu sendiri. Oma berjanji akan mencari bukti kelakuan bejat istrimu di belakangmu. Setelah itu Oma pastikan dia akan keluar dari rumah ini.

.

.

. bersambung...

TCSD 3 : Ibu

Tetes-tetes air yang turun dari langit mengiringi langkah kaki Mara menyusuri jalan setapak yang ada di hadapannya. Ia berlari menembus hujan dengan derai air mata yang sudah berjatuhan dari telaga beningnya. Nafasnya tersengal-sengal mencoba menahan segala rasa sesak yang begitu menghujam. Yang membuatnya ingin sekali menyerah namun ada satu hal yang harus ia perjuangkan yakni kebahagiaannya sendiri.

Suara burung malam yang mungkin menggigil kedinginan sama sekali tidak terdengar, teredam oleh deras air langit yang kian lama kian melebat. Dan suasana malam ini terlihat begitu muram. Orang-orang pun memilih untuk berdiam diri di rumah untuk mulai menarik selimut dan membenamkan tubuh mereka di bawah selimut itu. Mencoba meredam rasa dingin yang terasa semakin menusuk tulang.

Mara masih begitu bersemangat menyusuri jalan setapak ini. Tak selang lama, ia sampai di sebuah tempat yang ia harapkan dapat menjadi pelarian untuk kembali mendapatkan ketenangan tatkala hatinya terasa porak poranda.

"Ibu... Mara datang...."

Suara wanita itu terdengar lirih di bawah guyuran air hujan. Di depannya terlihat sebuah gundukkan tanah dengan batu nisan bertuliskan Paramitha Andadari.

"Ibu... Jika kehidupan Mara akan seperti ini, dulu di saat Ibu pergi, mengapa Ibu tidak mengajak Mara?"

Mara merebahkan tubuhnya di atas tanah makam milik sang ibu yang sudah sejak lima tahun yang lalu pergi meninggalkannya. Rumah sang ibu inilah yang selalu menjadi tempat pelarian Mara untuk menghindar dari segala sesuatu yang membuat batinnya terguncang. Menangis di atas gundukan tanah ini sembari mencurahkan apa yang menjadi beban di dalam hatinya.

"Ibu... Mara ingin ikut Ibu saja... Mara ingin merasakan kedamaian berada di sisi Ibu. Dunia ini terlalu kejam untuk Mara, Ibu. Bahkan Mara tidak dapat menentukan jalan hidup Mara sendiri. Itu semua karena istri baru ayah selalu memaksakan kehendaknya kepada Mara. Dan terus menerus memaksa Mara untuk menuruti semua kemauannya."

Angin yang sebelumnya berhembus pelan, tiba-tiba terasa sedikit lebih kencang. Mara yang tengah merebahkan tubuhnya di samping makam sang ibu dengan memeluk gundukkan tanah itu sedikit terkesiap, tatkala hembusan angin itu seakan hanya berpusat di dekat tubuhnya.

Kepalanya mendongak. Ia melihat sesosok bayangan sang ibu duduk di hadapannya. Mara mengucek-ucek mata mencoba melihat bayangan itu agar nampak lebih jelas. "I-Ibu....?"

Sesosok bayangan itu hanya mengulas senyumnya dan mengangguk.

"Ibu datang ingin menjemput Mara, bukan? Bawa Mara pergi dari tempat ini Ibu... Bawa Mara pergi dari tempat ini!"

Mara menangis tergugu menumpahkan seluruh beban dalam dadanya. Bayangan itu mengulurkan tangannya dan mulai membelai kepala Mara. Meskipun belaian tangan bayangan itu tidak terasa namun seketika membuat tubuh Mara yang sudah menggigil merasakan sedikit kehangatan.

"Ibu tidak akan pernah mengajakmu untuk pergi dari tempat ini Mara... Karena tempat Ibu berbeda dengan tempat Mara saat ini."

Mara menggelengkan kepalanya. "Mara mohon Bu, bawa Mara pergi dari tempat ini. Mara lelah Ibu... Mara lelah. Mara tidak lagi sanggup untuk berpura-pura tangguh, karena Mara benar-benar merasakan kerapuhan dalam diri Mara sendiri. Mara ingin ikut Ibu..."

"Mara... Bertahanlah sebentar lagi. Setelah ini akan ada kebahagiaan yang menghampirimu. Yang akan menghapus segala luka yang kamu rasakan."

Mara menggelengkan kepalanya. "Mara bahkan tidak lagi percaya bahwa ada kebahagiaan untuk Mara, Ibu... Kebahagiaan seakan tidak pernah berteman baik dengan Mara. Dia selalu menjauh dari kehidupan Mara."

"Percayalah kepada Ibu, Mara... Bertahanlah sebentar lagi. Kelak, kamu akan bertemu dengan kebahagiaanmu, yang akan membuat hari-harimu terasa jauh lebih berwarna daripada hari ini."

"T-Tapi ...."

"Pulanglah Sayang... Ingat ucapan Ibu, bertahanlah sebentar lagi. Sebentar lagi, kamu akan bertemu dengan kebahagiaanmu."

Angin kembali bertiup kencang. Seiring dengan menghilangnya bayangan sosok wanita yang bernama Paramitha Andadari yang tidak lain adalah ibu dari Mara. Mara hanya dapat terperangah dengan bibir yang sedikit menganga, tatkala bayangan sang ibu tidak lagi dapat ia lihat.

Mara menautkan pandangannya ke arah batu nisan milik sang ibu. Ia mendekatkan wajahnya ke arah batu nisan itu kemudian mengecupnya dengan lekat.

"Mara percaya pada Ibu... Mara akan bertahan sebentar lagi. Semoga memang benar bahwa kebahagiaan itu akan segera menghampiri Mara."

***

Semburat warna oranye sudah nampak di ufuk timur pertanda sang matahari akan bersegera naik ke singgasananya. Diiringi oleh kokok suara ayam jantan dan cicit burung pipit yang terdengar di balik dedaunan seperti menjadi nada alam yang terdengar begitu selaras dengan hembusan sang bayu yang mengalun lirih. Harum aroma tanah basah sisa hujan semalam masih begitu menyeruak di dalam indera penciuman yang justru membuat siapapun merasakan kesegaran dalam tubuh mereka.

Mara mendorong kursi roda milik sang ayah ke luar rumah, menuju halaman depan. Setelah memandikan sang ayah dan mengganti pakaiannya, seperti biasa ia akan membawa sang ayah untuk berjemur di bawah sinar matahari sembari menyuapinya.

"Ayah harus makan yang banyak, agar bisa segera pulih."

Dengan telaten, Mara mulai menyuapi sang ayah dengan semangkuk bubur. Hatinya berdenyut nyeri melihat tubuh lelaki yang dulu kekar kini hanya tinggal tulang yang berselimutkan kulit. Tiga bulan terakhir kualitas makan sang ayah memang menurun. Ia hanya mau makan sehari sekali. Itupun hanya di waktu pagi. Setelah itu ia tidak mau makan apapun.

"Mara minta maaf Yah, karena Mara belum bisa membawa Ayah untuk berobat. Gaji Mara di pabrik sebagian untuk membayar hutang-hutang Ayah dan sebagian lagi habis untuk biaya keseharian kita."

Lelaki yang tengah duduk di atas kursi roda itu hanya bisa menatap wajah putrinya dengan tatapan nanar. Batinnya terasa perih mendengar sang anak meminta maaf akan sebuah keadaan yang sama sekali bukan merupakan tanggung jawabnya. Matanya memanas dan dadanya terasa begitu sesak seakan dihimpit oleh dua batu besar.

Ayah yang seharusnya minta maaf kepadamu Ra. Ayah lah yang sudah membawa kehidupanmu di tepi jurang kehancuran seperti ini. Seandainya saja dulu Ayah tidak gila berjudi dan tidak menikah lagi dengan Tanti, hidup kita pasti tidak akan seperti ini. Dan mungkin saja ibumu masih tetap hidup sampai saat ini.

Mara bangkit dari posisi jongkoknya. Setelah satu mangkuk bubur untuk sang ayah telah tandas tanpa bekas, kini saatnya ia untuk berangkat ke pabrik pembuatan tempe yang letaknya di desa sebelah.

"Ayah kembali masuk ke kamar ya. Mara akan segera berangkat."

Lelaki itu hanya mengangguk pelan. Semenjak lumpuh karena stroke, lelaki itu tidak banyak berbicara. Lebih cenderung menggunakan kepalanya untuk memberikan sebuah isyarat. Mara kembali mendorong kursi roda milik sang ayah untuk masuk ke kamar. Perlahan, ia papah tubuh lelaki paruh baya itu untuk ia baringkan di atas ranjang.

"Mara berangkat ke pabrik dulu Yah. Ayah beristirahat saja di atas tempat tidur. Tengah hari, Mara akan kembali melihat kondisi Ayah."

Mara mulai mulai melangkahkan kaki untuk keluar dari kamar sang ayah. Lelaki itu hanya bisa menatap kepergian sang anak dengan tatapan yang sukar diartikan. Namun, setetes bulir bening yang lolos dari pelupuk matanya seakan menjadi sebuah isyarat jika di sisa akhir hidupnya saat ini, ia berada di dalam sebuah penyesalan yang begitu dalam.

Maafkan Ayah, Mara. Maafkan Ayah....

***

"Jadi apa jawaban yang akan kamu berikan kepadaku tentang negosiasi kita semalam?"

Suara wanita paruh baya yang tiba-tiba terdengar di balik punggung Mara, membuat gadis itu yang baru saja akan mengeluarkan sepeda dari dalam rumah menghentikan aktivitasnya. Ia berbalik badan. Terlihat sang ibu tiri sudah berdiri di sana.

"Sejak kapan sebuah ancaman bisa disebut dengan negosiasi? Semua yang Anda ucapkan semalam, bukanlah sebuah negosiasi namun sebuah ancaman. Dan hanya wanita jahat lah yang sanggup melakukan itu semua."

Dengan tatapan membidik, Mara masih mencoba untuk memperlihatkan power nya sebagai seorang wanita yang tidak bisa ditindas begitu saja. Gadis itu berusaha mati-matian untuk mempertahankan hak yang ia miliki untuk hidup sesuai dengan apa yang ia mau, dan tidak ingin orang lain mengatur kehidupannya, terlebih hanya seorang ibu tiri yang sejak dulu tidak pernah memberikan kasih sayang untuknya.

Tanti tersenyum sinis. "Aku tidak mau mendengar apapun dari mulutmu, Ra. Waktuku tidak banyak, aku hanya ingin mendengar apa keputusanmu? Apakah kamu siap untuk hidup sempurna bersama juragan Karta? Atau kamu siap untuk melihat ayahmu itu hanya tinggal seonggok raga tiada bernyawa, dan hanya tinggal sekedar nama?"

Mara, gadis yang belum genap berusia dua puluh tahun itu semakin tersudut. Ia dibenturkan pada keadaan yang sama sekali tidak menguntungkan untuknya. Namun, ia masih memikirkan keselamatan sang ayah. Dan ia tidak ingin jika ketenangan sang ayah sedikit pun terusik.

Mara kembali membalikkan badan dan mulai mengeluarkan sepeda dari dalam rumah. "Lakukan saja apa yang menjadi kemauan Anda. Aku akan menuruti semua kemauan Anda."

Tanti terbahak. "Hahahaha bagus, ini yang aku mau. Kamu menjadi anak penurut akan menyelamatkan semuanya. Kamu bersiaplah. Besok, juragan Karta akan bertandang kemari untuk membicarakan pernikahannya denganmu."

Mara mengabaikan ucapan sang ibu tiri. Gegas, ia keluar rumah dan mulai mengayuh sepedanya. Bersamaan dengan air mata yang mulai tumpah ruah dari pelupuk matanya.

Aku bahkan tidak punya kesempatan untuk memilih jalan hidupku. Aku hanya bisa berharap di detik-detik terakhir aku akan menikah dengan juragan Karta, akan ada sebuah keajaiban yang dapat mengeluarkan aku dari belenggu ini.

Sedangkan Tanti, ia terlihat tersenyum menang. Di dalam pikirannya sudah terbayang sebuah lahan jati seluas tiga hektar yang begitu membuatnya bahagia.

Tahan sebentar lagi Tanti! Sebentar lagi kamu akan menjadi orang kaya, yang kekayaanmu tidak akan pernah habis tujuh turunan. Haahhaa hahaahaa.

.

.

. bersambung....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!