"Hari ini teman Bunda sama keluarganya mau kerumah, Sa, kamu siap2 ya dandan yg cantik."
Aku mengernyitkan dahi, teman bunda yang kesini kenapa aku harus dandan cantik sih. "Kan temennya bunda,kenapa aku harus dandan sih? Males ah bun, aku di kamar aja nanti." Protesku.
"Udah nurut aja apa kata bunda, walaupun hari libur jangan males2an gitu ah, udah sana mandi terus siap-siap. Satu jam lagi teman bunda dateng." Tanpa mau mendengar protesku lagi bunda keluar dari kamarku.
Padahal hari ini aku pengennya males-malesan dikamar mumpung hari minggu. Ah bunda...
Akhirnya dengan perasaanya malas aku berjalan ke kamar mandi.
Masih jam sembilan pagi saat aku keluar dari kamar mandi. Tiga puluh menit aku selesai bersiap-siap untuk menyambut kedatangan teman bunda. Aku memutuskan untuk memakai dress berwarna dusty pink sebatas lutut. Dan memoles wajahku dengan make up yang natural. Aku tidak mau terlalu berlebihan toh cuma mau ketemu teman bunda ini. Kemudian aku mengikat separuh rambutku, dan kubiarkan sisanya menjuntai dipunggungku.
"Danisa, udah siap belum?" teriak Bunda dari luar kamarku. "Temen Bunda udah dateng, ayo cepet keluar"
"Iya, Bun." Dengan rasa malas aku keluar dari kamarku.
Ya namaku Danisa. Danisa Rahayu. Putri tunggal dari pasangan Wiratama dan Ajeng Astuti. Usiaku saat ini dua puluh tujuh tahun. Aku bekerja di butik milik Bunda. Setelah lulus kuliah bunda menyerahkan butiknya padaku untuk aku kelola. Ayahku bekerja sebagai seorang abdi negara.
"Nah, ini Danisa." Bunda memperkenalkanku pada teman bunda setelah aku di ruang tamu. "Ayo sini sayang sapa tante Anggun dan om Surya." Titah Bunda padaku. Tante Anggun ini sahabat Bunda waktu sekolah dulu. Sejak menikah kami jarang bertemu tapi tetap saling berhubungan lewat gawai." Terang bunda.
Aku mencium punggung tangan tante Anggun dan om Surya.
"Aduh,Jeng, Danisa ini cantik sekali lo." Puji tante Anggun padaku. "Bunda kamu sering sekali bercerita tentang kamu, ternyata memang cantik." Aku hanya tersenyum menanggapinya. Begitupun bunda dan ayah. Tante Anggun memelukku dengan hangat. Nyaman sekali seperti pelukan bunda.
"Oh iya sampai lupa, Danisa, kenalin ini anak tante. Bumi."
Deg!!
Bumi??
Seketika aku menoleh ke arah yang dimaksud tante Anggun. Astaga! Aku sangat terkejut, sangat tidak menyangka bisa bertemu lagi dengan Bumi di rumahku. Aku benar-benar tidak menyadari keberadaannya dirumahku.
"Danisa?" Ternyata Bumi masih mengenaliku. Ya Tuhan setelah sekian lama aku dipertemukan lagi dengan cinta pertamaku. Bumi. Entahlah apa ini suatu kebetulan ataukah memang takdir.
Mungkin benar kata orang kalau cinta pertama itu sangat istimewa dan akan tersimpan di hati yang terdalam. Entahlah apakah aku harus bahagia atau sedih bertemu dengan Bumi. Apa maksud dari pertemuan ini ya Tuhan? Jangan Engkau menumbuhkan harapan padaku sebab pertemuan ini karna aku tak mau kecewa lagi. Ya, aku tidak mau kecewa lagi seperti dulu, karna cintaku bertepuk sebelah tangan. Saat ini pun tak mau. Memang kisah cinta itu terjadi saat SMA tapi tetap terukir di hatiku. Delapan tahun tak bertemu dengannya kenapa hati ini masih berdebar saat di dekatnya.
Sebisa mungkin aku berusaha menekaan harapan itu dalam hatiku. Setelah bertahun-tahun rasa itu walau masih tersimpan di sudut hati yang terdalam tapi aku berusaha melupakannya. Melupakan cinta pertama yg bahkan kusampaikan pun belum sempat. Selama ini aku bukan tak ada yg mendekati. Aku sempat mengenal beberapa pria yg menurutku mereka baik, sholeh, tapi belum klik di hatiku. Entahlah aku tak tau yang seperti apa yang aku cari. Aku belum menemukan yang membuat hatiku berdebar. Ya, seperti saat ini, saat bertemu dengan Bumi hatiku berdebar. Dada terasa sesak namun ada bahagia di dalamnya.
Tidak! Tidak!
Jangan lagi kau berharap pada suatu yang tak pasti Danisa!
"Danisa??" Tepukan tangan Bumi membuyarkan lamunanku. "Hai, apa kabar? Kamu Danisa temen SMA ku kan?"
"I-iya." Aku tergagap. "Aku baik. Kamu? Apa kabar?" Tanyaku kemudian setelah mampu menguasai diri.
"Aku juga baik. Nggak nyangka kita ketemu disini." Bumi masih seperti yang dulu, ramah dan selalu tersenyum saat bicara. Hanya saja dia terlihat lbh tampan dan manly. Tubuh tinggi proposionalnya dibalut kemeja putih lengan panjang, bagian lengannya dilipat sampai siku dan celana berwarna abu terkesan rapi dan charming.
Ya Tuhan, mikir apa aku? Segera ku tepis segala hal yang akan menumbuhkan harapan yang selama ini berusaha aku kubur dalam-dalam.
"Ternyata kalian sudah saling kenal?" Tanya Bunda padaku dan pada Bumi.
"Iya, Bun, Bumi temen SMA Danisa dulu." Jawabku. Diikuti anggukan dari Bumi.
"Wah, Jeng kalau gini malah lebih bagus, ternyata mereka sudah saling kenal, jadi perjodohan ini pasti akan berjalan dengan lancar. Mungkin kalian memang berjodoh."
"APAA?!?!" ucapan tante Anggun membuatku dan Bumi sangat terkejut. Jadi inikah rencana mereka menjodohkanku dengan Bumi?
Apakah Bumi bersedia?
Lagi-lagi aku tak tahu harus bahagia atau tidak dengan apa yang baru saja aku dengar.
Aku menoleh kearah Bumi, dari ekspresinya dia juga sama terkejutnya sepertiku. Kami sama-sama tidak tahu rencana kedua orang tua kami. Seperti ada yang ingin dia sampaikan tapi tertahan. Apa yang ada dipikiranmu saat ini Bumi?
Ayah, bunda, tante Anggun, om Surya terlihat sangat bahagia sekali. Mereka menganggap rencana perjodohan ini akan berjalan lancar karna aku dan Bumi sudah lama saling kenal. Tapi ekspresi wajah Bumi tidak menunjukan hal itu walaupun sesekali dia memaksakan senyum dibibirnya saat mata kami saling bertemu. Entahlah apa yang ada dipikirannya. Akupun tak tau apakah aku harus bahagia dengan takdir yang seperti ini. Entahlah.
"Ajeng, kita harus segera menentukan tanggal pertunangan mereka." Tante Anggun terlihat berbinar-binar mengucapkan hal itu. "Aku sudah lama menantikan hal ini, janji kita semasa muda dulu." Imbuhnya.
"Janji masa muda? Apa maksud tante?" Aku sedikit terkejut dengan apa yg diutarakan tante Anggun.
"Jadi semasa muda dulu, bunda dan tante Anggun ingin persahabatan kita terjalin langgeng dan kami sepakat ingin menjodohkan anak-anak kita. Begitu ceritanya sayang." Bunda menjawab pertanyaanku dengan antusias, seakan sambil mengingat kenangan mereka dahulu.
"Kenapa bunda nggak bilang tentang perjodohan ini?" Tanyaku pada Bunda tapi tatapan mataku mengarah pada Bumi. Sebenarnya aku hanya ingin tahu bagaimana pendapat Bumi. Karna dia hanya diam saja walaupun ekspresi wajahnya seperti tidak menyukai tentang perjodohan ini.
"Bumi, emang kamu mau dijodohin sama aku?" Tanyaku pada Bumi sebelum bunda menjawab pertanyaanku.
Bumi tidak segera menjawab pertanyaanku entahlah apa yang apa di pikirannya. Kedua orang tua kami juga saling tatap satu sama lain. Senyum Bumi seketika menghilang dari wajahnya mendengar pertanyaanku. Dan inilah kenapa aku berusaha menekan rasa bahagia karna perjodohan ini. Karna percuma saja kalau dia sama sekali tidak memiliki perasaan padaku. Apakah bisa bahagia nantinya?
"Bagaimanapun keadaannya, perjodohan ini harus tetap berjalan." T
egas tante Anggun.
"Kenapa mama juga ga bilang tentang perjodohan ini, ma?" Akhirnya Bumi buka suara. "Seenggaknya mama ngomong dulu sama aku." Bumi terlihat berusaha bicara selembut mungkin pada mamanya. Seperti tidak ingin menyakiti hati tante Anggun.
"Mama cuma mau yang terbaik buat kamu, Bumi. Dan hanya ini keinginan terakhir mama."
Keinginan terakhir? Apa maksud tante Anggun?
"Bum, bisa nggak kita ngomong bentar?" Tanpa menunggu persetujuan dari Bumi aku berjalan ke arah taman belakang. Tak lama Bumi pun menyusulku.
"Kamu mau ngomong apa, Sa?" Tanya Bumi setelah kami duduk dikursi teras belakang.
"Aku langsung to the point aja, Bum. Emang kamu mau dijodohin sama aku?"
Bumi diam sejenak, kemudian menjawab pertanyaanku. "Jujur, Sa, aku sekarang udah punya pilihan sendiri." Bumi menatapku penuh keyakinan.
Deg!!
Lagi-lagi begini.
Huufft!!
Kenapa harus ada pertemuan ini kalau akhirnya hal seperti ini terulang lagi. Walaupun aku sudah berusaha menekan harapan di hatiku tapi tetap saja aku kecewa mendengar jawaban Bumi.
Tapi memang kalau dipikir lagi percuma ada ada perjodohan ini kalau tidak ada rasa cinta di dalamnya.
"Makasih, Bum, kamu udah jujur sama aku." ucapku akhirnya. "Kita batalkan saja perjodohan ini sebelum terlambat." Beginilah seharusnya, akupun tak boleh egois.
"Jangan, Sa." Cegah Bumi saat aku hendak masuk ke dalam rumah.
"Apa maksudmu jangan?" selidikku.
"Mamaku punya penyakit jantung dan dokter bilang kami nggak boleh memberi beban pikiran buat mama." Jadi itu sebabnya Bumi tidak bicara apapun setelah tahu perjodohan ini walaupun dia tidak menginginkannya.
"Ta-tapi gimana sama pacar kamu?"
"Mau gimana lagi, aku nggak punya pilihan lain." Suara Bumi terdengar parau. Pasti berat buat dia. Dan ini pun berat buatku. "Kamu nggak keberatan kan kalau kita melanjutkan perjodohan ini?" sambungnya.
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku benar-benar bingung. Perjodohan ini menguntungkanku tapi sekaligus merugikanku. Mungkin nanti aku bisa memiliki Bumi, tapi hanya fisiknya saja bukan hatinya. Apakah aku akan baik-baik saja akhirnya?
Bumi menatapku menunggu jawaban dariku. Aku masih bimbang. Tak yakin apakah aku harus melanjutkan perjodohan ini. Aku takut kecewa lagi dan aku juga takut menyakiti pacar Bumi. Mungkin aku belum mengenalnya tapi sebagai sesama wanita aku tahu hal ini akan sangat menyakitinya. Tapi bagaimana dengan tante Anggun kalau aku menolak perjodohan ini. Bagaimanapun tante Anggun adalah sahabat baik bunda. Akupun tidak ingin menyakiti bunda. Ah entahlah...
"Gimana, Sa?" Tanya Bumi lagi.
"Entahlah, Bum. Banyak hal yang harus aku pertimbangkan." Jawabku.
"Kamu punya pacar juga?" Tanya Bumi.
Aku hanya menggeleng. "Bukan itu masalahnya."
"Lalu?"
Aku menghela napas pelan. "Emang kamu bisa bahagia sama aku nantinya? Karna yang kamu cinta bukan aku. Ada wanita lain dihatimu." Huuft! Andai saja kamu tahu, Bumi, setelah bertemu lagi denganmu hatiku masih berdebar. Sepertinya rasa ini memang belum hilang walau sudah bertahun-tahun.
Bersamaan dengan jawaban yang aku sampaikan pada Bumi, bunda memanggil kami ke ruang makan. Sudah saatnya makan siang.
"Kalian ini cocok sekali jadi pasangan. Yang satu ganteng satunya lagi cantik. Seharusnya nggak ada keraguan kan?" Ucap tante Anggun memecah keheningan di meja makan. Apakah tante Anggun sebenarnya tak tahu tentang pacar Bumi sehingga tante Anggung ingin menjodohkan putranya denganku?
"Iya bener, Nggun, anak-anak kita ini serasi sekali ya." Bunda menimpali.
Sepertinya mereka memang benar-benar ingin menjodohkan aku dan Bumi. Aku hanya diam saja tak ingin menanggapi apapun.
Ayah dan om Surya hanya tersenyum menatap kami. Seperti biasa ayah jarang sekali buka suara kalau dirasa bunda masih bisa handle segala hal. Andai saja mereka tau, aku bahagia dengan perjodohan ini tp sekaligus juga kecewa. Di satu sisi aku bahagia karna cinta pertamaku yang akan menjadi jodohku. Tapi disisi lain aku kecewa karna lagi-lagi bukan aku sebenarnya yang di harapkan Bumi menjadi pendamping hidupnya. Dia hanya terpaksa demi kesehatan tante Anggun.
"Bunda, ayah, om, tante, boleh tidak untuk pertunangan ataupun pernikahan jangan terburu-buru dulu." Akhirnya aku buka suara.
"Kenapa sayang?" Tanya tante Anggun.
"Danisa dan Bumi hanya ingin lebih mengenal satu sama lain, ya walaupun dulu kami teman semasa SMA tapi seiring berjalannya waktu pasti sudah banyak yang berubah. Kita berdua juga sudah bertahun-tahun nggak ketemu." Jelasku. Sebenarnya aku hanya ingin tidak ada keterpaksaan antara aku dan Bumi menerima perjodohan ini. Aku hanya ingin mengulur waktu. Kalaupun kami memang berjodoh aku akan sangat bersyukur. Jikapun tidak aku harus siap karna sejak awal hati Bumi bukan untukku.
Kedua orang tua kami tersenyum mendengar penjelasanku. "Kalau ayah nggak keberatan sayang. Mas Surya sama mbak Anggun gimana?" Ayah meminta pendapat tante Anggun dan Om Surya.
"Kalau itu yang Anggun dan Bumi inginkan, mama nggak masalah, memang begitu seharusnya. Yg terpenting jangan ada niat untuk membatalkan perjodohan kalian." Tegas tante Anggun. "Gimana menurut papa?" Tante Anggun pun meminta pendapat om Surya. Diantara kedua orang tua kami hanya tante Anggun yang sangat keukeuh tentang perjodohan ini.
"Papa juga nggak keberatan." Jawab om Surya.
Bumi hanya menatapku, entahlah apa arti tatapannya itu aku tidak mengerti.
Setelah makan siang, Bumi, tante Anggun dan om Surya sudah pulang. Lelah rasanya tapi bukan lelah secara fisik. Aku lelah dengan pikiranku sendiri. Kalau harus menuruti egoku harusnya aku senang, harusnya aku bahagia. Tapi tidak, aku tidak merasakan itu. Aku malah merasa hampa. Tentang dia yang selalu bersemayam di hatiku, tentang perjodohan ini hanya membuatku gundah. Andai saja di hatinya tak ada wanita lain. Andai saja dengan perjodohan ini tidak ada yang akan tersakiti mungkin aku bisa bahagia. Mungkin aku hanya akan berusaha membuatnya mencintaiku.
Seperti memakan buah simalakama. Jika aku menolak bagaimana dengan kesehatan tante Anggun. Jika aku menerima apakah Bumi akan bahagia bersamaku?
Huuft, entahlah. Aku lelah dengan pikiranku sendiri.
"Lagi mikirin apa sih? Ayah liat kamu diam aja sejak ketemu keluarga tante Anggun." Ayah tiba-tiba duduk disampingku yang tengah duduk di teras belakang.
Aku sedikit tersentak. "Nggak apa-apa yah. Hanya lagi ada yg dipikirin aja." ucapku tak sepenuhnya berbohong.
"Karena perjodohan kamu dengan Bumi?" Ayah menatapku tapi aku tak sanggup menatapnya. Karna apa yang aku alami di masa lalu dengan Bumi tidak pernah aku ceritakan pada siapapun kecuali sahabatku, Rani. Teman SMA ku dulu.
"Sebenarnya, tadi Bumi bilang kalau dia punya pacar yah." Aku menarik napas. "Sasa tadi berniat membatalkan perjodohan ini, tapi Bumi melarang Sasa, demi tante Anggun." Aku melanjutkan. Sasa adalah panggilan kesayangan ayah dan bunda untukku.
"Terus kamu sendiri setuju atau enggak dengan perjodohan ini?" Ayah bertanya lagi.
"Entahlah, yah." Jawabku singkat.
"Saran bunda ikuti aja, Sa. Kasihan tante Anggun. Beberapa kali tante Anggun keluar-masuk rumah sakit karna penyakit jantungnya." Tiba-tiba Bunda sudah ada di samping ayah. Mungkin beliau mendengar pembicaraan kami.
"Bunda menyetujui perjodohan ini juga karna hal itu, Sa. Memang dulu awalnya saat kami muda kami merencanakan perjodohan pada anak-anak kami nantinya. Tapi semakin kesini bunda pikir kamu bisa cari jodoh sendiri. Dan setelah bunda mendengar keadaan tante Anggun dan tante Anggun ingin mewujudkan keinginan kami saat itu, akhirnya bunda menyetujuinya. Bunda nggak ingin kehilangan sahabat seperti tante Anggun, Sa."
"Tapi Bumi udah punya pacar, Bun." Kataku.
"Terus tadi Bumi ngomong apa sama kamu tentang pacarnya?" Tanya Bunda.
"Dia bilang nggak ada pilihan lain selain menuruti kemauan tante Anggun." Jawabku sesuai apa yg Bumi ucapkan padaku.
"Ya sudah berarti nggak ada yang harus kamu khawatirkan kan?" Jawab bunda dengan entengnya. "Mungkin jodoh Bumi adalah kamu sayang."
"Bunda, nggak tanya apa aku bahagia atau enggak dengan perjodohan ini?" Tanyaku pada Bunda. Karna jujur saja bukan bahagia yang aku rasakan tapi sebuah kebimbangan.
"Bunda tahu kamu pasti bahagia dengan lelaki sebaik Bumi. Bunda sudah beberapa kali bertemu dengannya, bunda nggak mungkin salah menilai. Bumi adalah laki-laki yang baik. " Setelah itu Bunda dan ayah berlalu meninggalkanku masuk ke dalam rumah.
Jodoh memang yang menentukan Tuhan. Sekeras apapun menolak kalau memang jodoh ya akan tetap jodoh. Sekuat apapun mempertahankan kalau memang bukan jodoh, tetap akan pergi.
Jadi apakah aku harus benar-benar memantapkan hati untuk menerima perjodohan ini. Apapun resikonya. Bukan aku menolak Bumi sebagai jodohku, justru aku sangat berharap dialah jodohku. Tapi ada beberapa hal yg membuatku bimbang.
*****
Hari ini di butik lumayan ramai. Aku dibantu dua karyawanku melayani pembeli yang rata-rata memang pelanggan lama. Karna kualitas butik kami tidak diragukan lagi dengan harga yang bisa dijangkau banyak kalangan. Rata-rata design pakaian yang kami jual adalah designku dan design bunda. Walaupun aku dan bunda tidak pernah sekolah khusus fashion tapi kami sangat mencintai bidang ini. Semua pakaian yang kami jual di jahit khusus oleh penjahit-penjahit terbaik sehingga kualitas produk kami pun selalu yang terbaik. Designnya selalu update dari waktu ke waktu. Yang sudah pernah belanja di butik kami pasti tidak akan ragu untuk kembali lagi.
Tepat pukul sebelas siang butik mulai lengang, mungkin karna sudah hampir jam makan siang. Aku meminta karyawanku yang menghandle jika masih ada pelanggan. Aku masuk ke ruanganku mengambil tas dan kunci mobil untuk pergi makan siang.
"Bumi?" Saat aku hendak keluar dari butik aku melihat Bumi ada di butikku.
"Hai, Sa." Dia tersenyum sambil melambaikan tangan padaku. "Kamu mau keluar?" Tanyanya.
"Iya, aku mau pergi makan siang mumpung butik lagi nggak banyak pelanggan." Terangku. "Ada yang bisa aku bantu?" Tanyaku. Karna aku sedikit heran dengan maksud kedatangan Bumi ke butikku. Ah, mungkin ingin membelikan pakaian untuk pacarnya. Iya benar, memang apa lagi maksud kedatangannya kalau bukan itu. Pikirku.
"Sebenarnya aku sudah bicara pada gadis pilihanku tentang perjodohan kita." Aku terkejut dengan apa yang disampaikan Bumi. Secepat itu dia menyampaikan perihal perjodohan kami. Jadi dia serius menerima perjodohan kami? Apa saat ini Bumi baik-baik saja? Tatapannya sendu, mungkin dia sangat bersedih. Ah, maafkan orang tua kita yg tiba-tiba menjodohkan kita dan memisahkanmu dengan wanita pilihanmu.
"Lalu bagaimana dengannya? Apa yang dia katakan?" Tanyaku yang juga penasaran. "Lebih baik kita keruanganku saja. Akan lebih leluasa bicara disana." Ajakku. Setelah itu Bumi mengikuti masuk keruanganku.
"Dian ingin bertemu denganmu." Ucap Bumi saat kami sudah ada di kantorku.
Jadi nama pacarnya Dian?
Untuk apa dia ingin bertemu denganku?
"Kenapa dia ingin bertemu denganku?" Tanyaku.
"Entahlah, tapi aku tak mengijinkannya." Jelas Bumi.
"Kenapa kamu tidak mengijinkan kami bertemu?" Tanyaku.
"Aku tak ingin ada konflik diantara kalian." Jelas Bumi. "Lagi pula aku dengannya mungkin tak berjodoh."
Aku hanya Diam. Terlihat jelas kesedihan itu diwajahnya. Dia menundukkan wajahnya.
"Kamu baik-baik aja, Bum? " Tanyaku. Sedih melihatnya seperti ini.
Bumi menganggukan kepalanya. "Aku baik-baik saja. Aku hanya harus menerima takdir." Bumi ternyata sangat bijak. Beruntungnya kamu Dian telah mendapatkan hatinya.
"Dia teman kuliahku di kedokteran, kami sama-sama seorang dokter dan bekerja dirumah sakit yang sama. Tahun lalu aku melamarnya, tapi saat itu dia bilang belum siap. Di tahun berikutnya dia akan siap aku lamar. Tapi ternyata kami tidak berjodoh."
Ya Tuhan, berdosakah aku yang akhirnya menjadi pemisah diantara mereka? Walaupun memang aku sangat ingin Bumi menjadi jodohku. Tapi aku pun tak ingin merusak kebahagiaannya. Melihat ekspresi wajahnya saat ini, akupun merasa sedih.
"Apakah akhirnya kita benar-benar akan menerima perjodohan ini?" Aku membuka suara setelah kami diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.
Bumi menatapku. "Iya, aku menerimanya dan aku akan belajar mencintaimu juga, Danisa. Begitupun kamu, belajarlah mencintaiku."
Aku sudah mencintaimu sejak dulu, Bumi Biru Pradipta. Batinku.
Setelah pembicaraan kami, Bumi pamit kembali kerumah sakit karna dia bilang ada pasien gawat darurat yang harus ditangani. Kebetulan rumah sakit Pelita Harapan tempatnya bekerja tidak terlalu jauh dari Butikku. Sekitar 30 menit perjalanan. Aku menawarinya makan siang bersamaku tapi dia bilang tak akan sempat. Dia akan makan siang di kantin rumah sakit setelah menangani pasiennnya. Akhirnya aku tidak jadi pergi untuk makan siang. Aku memesan makanan melalui aplikasi. Selang beberapa saat makan siangku pun tiba.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!