NovelToon NovelToon

Pesona Cinta Amartha

Gara - Gara Motor Butut

Amartha Dina seorang gadis SMA berparas ayu tinggal di kota B yang merupakan kota kecil di Pulau Jawa. Wajahnya perpaduan apik antara Jawa dan Sunda dengan kulit berwarna kuning langsat khas Indonesia, tergesa-gesa turun dari motor butut dan meraih tangan sang mama lalu menciumnya. Kemudian ia segera berlari mencapai gerbang sekolah yang hampir ditutup pak satpam.

"Jangan ditutup, Pak!" teriak Amartha kepada pak Kasim satpam yang bertugas saat itu.

"Ayo cepetan!" kata pak Kasim.

Amartha segera masuk dan tak lupa mengucapkan terima kasih. Namun, sayang sayang seribu sayang malang tak dapat ditolak. Ada sesosok bertubuh tegap menangkap basah dirinya.

"Amartha! mau kemana? ayo sini, gabung sama yang lain," kata pak Hardi wakil kepala sekolah mengarahkan Amartha agar bergabung dengan segerombol siswa dan siswi yang tengah tegap berdiri ditengah lapangan.

"Perasaan belum jam 7 lewat deh," gumam Amartha sembari berjalan lemas mengekori pak Hardi yang terkenal killer.

"Sekarang jam 7 lewat 10 menit, bapak denger Amartha kamu ngomong dibelakang bapak! jangan lelet, ayo cepet gabung sama temen kamu," titahnya

"Siap, Pak!" jawab Amarta singkat

"Anak- anak ayo baris yang rapi! " titah pak Bagas guru BK yang wajahnya mirip Teuku Wisnu versi KW Super yang masih betah melajang.

Siswa dan siswi yang terlambat pun segera berbaris menghadap sang Merah Putih, menunggu detik- detik hukuman diberikan. Dihadapan mereka kini berdiri pak Hardi yang sangarnya level maksimal dan pak Bagas yang gantengnya naudzubillah.

"Ehem ... kalian tahu kenapa kalian dikumpulkan disini? kalian di kumpulkan disini karena kalian semua datang terlambat ke sekolah. kalian sudah melanggar tata tertib sekolah ini dan kalian pasti mengerti apa konsekuensinya jika kalian melanggar, kan?" pak Hardi mulai tidak bersahabat.

"Mengerti, Pak!" jawab siswa dan siswi kompak.

"Kalian pasti sudah mengerti apa hukuman itu terutama kamu, Amartha! bapak heran tiap hari kamu selalu telat, sekarang beri tahu Bapak, kenapa hari ini kamu telat?" pak Hardi menatap tajam Amartha

"Eh ... anu, Pak ... itu..."

"Anu-anu apa! ngomong yang jelas jangan seperti orang kumur-kumur!" bentak pak Hardi.

"Motor butut saya mogok di jalan, Pak! maklum motor tua, kadang suka ngambek pas dinaikin berdua," ungkap Amartha mencoba menjelaskan, sedangkan siswa siswi yang lain menahan tawa.

"Kamu coba naik ojek atau angkot supaya besok tidak terlambat." pak Bagas memberi solusi.

"Iya ... Pak Bagas," jawab Amartha pasrah.

Kegiatan hormat kepada bendera merah putih pun dimulai. Pak Hardi sudah meninggalkan lapangan dan masuk ke dalam ruangannya. Sedangkan, pak Bagas dengan setia mengawasi siswa siswinya yang sedang menjalankan hukuman. Setelah 30 menit hukuman pun selesai dan mereka kembali ke kelasnya masing masing. Mengikuti kegiatan belajar mengajar kembali.

Pukul 13.00 WIB.

Bel pulang sekolah berbunyi.

"Sin, kamu mau langsung pulang atau mau main dulu?" tanya Amartha pada Sinta, sambil memasukkan buku dalam tas. Sinta terdiam sesaat.

"Hmmm ... aku langsung pulang, Ta ... pacarku bang Fendy nggak ngebolehin aku keluyuran habis pulang sekolah, jam 3 sore aku juga ada les privat, emangnya kamu mau main kemana? emangnya mama kamu nggak jemput?" Sinta malah balik bertanya.

"Ya ... aku bilang mau kerja kelompok gitu," sahut Amartha sekenanya.

"Bohong dosa tau, kena adzab baru tau rasa! hahaha," Sinta malah cekikikan kaya kuntilanak

"Itu mulut rese banget ya, ngomong nggak ada rem nya samsek, deh..." Amartha memanyunkan bibirnya.

"Samsek apaan tuh?" tanya Sinta.

"Sama sekali dudul! gitu aja nggak ngerti, udah ah, aku mau ke warnet dulu, aku tinggal ya? dadah..." kata Amartha seraya melambaikan tangannya pada Sinta.

Amartha pun lekas bangkit dan menuju warnet yang ada di depan sekolah. Ya Allah ya Gustiii ini jaman kapan masih ada warnet? Husst diem, ini jaman sebelum pada punya leptop. Iya dijaman ini memang sudah ada leptop namun masih merupakan barang yang mewah dan hanya horang kayah yang punya. Anak dari keluarga sederhana macam Amartha mana punya barang begituan hape aja masih merk N**ia . Dia tidak punya banyak teman. Hanya sinta teman berbagi cerita dan berbagi contekan. Selain uang yang pas pasan otaknya juga pas pas an. Lengkap sudah.

Kini langkah kaki gadis berkucir kuda itu berhenti di warnet depan sekolah.

"Mbak yang kosong bilik berapa?" tanya Amartha pada mbak penjaga warnet.

"Bentar aku cek dulu dek, hmm, bilik 10 ya, berapa jam?"

"Oke, 2 jam aja mbak," Amartha mengangkat jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya membentuk huruf V.

Amartha lalu segera menuju bilik 10 seperti yang mbak penjaga warnet tadi bilang. Amartha sering kesini tapi tidak pernah bertanya nama si mbak penjaga tadi. Dia ngomong kalau ada butuhnya saja. Berbanding terbalik dengan sinta yang cerewet, cenderung mudah bergaul dan banyak yang naksir.

Gadis itu masuk ke dalam bilik dan duduk menghadap PC yang ada disana. Log in dulu jangan lupa dan waktu pun mulai berjalan.

"Oh ya, aku lupa tadi belum sms mamaku buat nggak jemput aku ke sekolah, biar aku ngojek ajah," gumam Amartha.

Amartha adalah anak perempuan satu satunya jadi setiap hari dia antar jemput mamahnya pakai motor butut yang asapnya bikin sesek kendaraan yang dibelakangnya. Suaranya juga bikin heboh dan naasnya walaupun diantar ke sekolah naik motor tapi dia sering di setrap karena motor butut sering mogok dan otomatis dia datang ke sekolah saat gerbang sudah ditutup, dan hukuman pun tak terelakan lagi.

💌Mah, aku lagi ngerjain tugas di warnet pulangnya sore, nggak usah jemput, aku pulang naik ojek aja...

Tidak lama ada bunyi 'ting' menandakan ada sebuah pesan masuk.

💌 Sama siapa? ya udah hati-hati pulangnya, kelar tugas langsung pulang jangan mampir-mampir, udah kelas 3 SMA jangan kebanyakan main...

💌 Sendirian, iya siap bos!

Amartha memasukkan hape ke dalam tas ungu miliknya. Lalu ia mulai berselancar di dunia maya. Sembari mencari referensi materi untuk tugas sejarah, sesekali ia melihat akun medsos.Ternyata baru saja ada permintaan teman dan ia mengklik informasi pribadi orang itu.

Kenan?sepertinya aku pernah liat nih orang tapi dimana? ya udah lah terima aja

Kling bunyi chatting dari akun mendsosnya.

💬Kenan : Hai

💬Amartha : Hai juga.

💬Kenan : Makasih ya udah di Accept.

💬Amartha: iya.

💬Kenan: Aku Kenan salam kenal ya.

💬Amartha: Aku Amartha, salam kenal juga.

💬Kenan : Kayaknya kita satu SMA deh. Kamu sekolah di SMA Pelita Bangsa, kan?

💬Amartha: Kok tau?

💬Kenan: liat di profil kamu.

💬Amartha: oh.

💬Kenan : Irit amat jawabnya.

Kenan mengulas senyumnya dan terbersit rasa penasaran dengan sosok gadis cuek itu. Tanpa ragu Kenan membuka profil gadis itu dan melihat foto- foto yang diunggah disana. Cantik!

Merasa tidak ada yang menarik, Amartha lalu menutup kolom chat itu dan melanjutkan searching untuk tugas dari pak Jono sang guru sejarah.

setelah tugas selesai ia langsung membayar kepada penjaga warnet. Kemudian, ia keluar dari bangunan itu dan menaiki ojek untuk segera sampai di rumah.

Minta Motor Baru

"Ya Allah Gustiiii, Amartha!" teriak sang Ibu Negara.

"Ya Allah Mama! bikin kaget aja," ucap Amartha sambil mengusap dadanya.

"Ini kamar apa kapal pecah? ya ampun, berantakan banget!"

"Emang aku lagi beres-beres, buang barang-barang yang udah nggak penting lagi, Mah,"

"Ya udah tinggal dulu, nanti bisa dilanjutin lagi, papa udah nunggu di ruang makan," Rosa menutup pintu kamar anaknya.

Amartha segera menuruti titah Ibu negara demi keamanan bersama. Setelah mencuci tangannya, ia pun duduk di samping mamanya Mereka menikmati makan malam dengan keheningan. Hanya ada suara sendok dan garpu yang sesekali beradu. Rudy, papa Amartha memang tidak suka ada yang berbicara saat makan. Menurutnya, itu tidaklah sopan. Ketika Rosa akan membereskan piring bekas makan, tangan Amartha mencegahnya dan memintanya untuk duduk sejenak.

"Mah, Pah, ada yang mau aku bicarain,"

"Ada apa, Sayang?" Rosa menatap lembut anak semata wayangnya.

"Gini, hem ... ehem..."

"Ngomong ajah, nggak usah takut," timpal Rudy saat melihat putrinya ragu untuk berbicara.

"Kalau mulai hari ini Amartha naik angkot atau ojek ajah gimana? aku capek banget tiap hari dihukum, karena telat mulu dateng ke sekolah, pak Hardi aja sampe hafal mukaku ini, masa iya tiap jam pelajaran pertama aku selalu nggak ikut, Pah"

"Nggak boleh! kalau ada apa-apa dijalan gimana? nggak! kamu tetep dianter Mama, seperti biasa," ucap Rudy.

"Tapi, Pah..." Amartha berusaha bernegosiasi dengan Rudy.

"Jangan membantah!" bentak Rudy.

"Amartha, ada istilah jawa, alon alon asal kelakson, eh ... kelakon, biar lambat asal selamat, Sayang," timpal Rosa sambil mengusap lembut punggung anaknya.

"Kalau kita ganti motor butut itu aja gimana, Pah?"

"Kalau itu nanti kita pikirkan lagi,"

Setelah pembicaraan itu, Amartha masuk ke dalam kamar merebahkan tubuhnya yang sangat lelah. Hampir saja matanya terpejam, tiba tiba ada bunyi kling yang berasal dari ponsel miliknya tanda ada sebuah pesan masuk. Amartha segera meraih ponsel itu dan membuka sebuah pesan.

💌 Selamat malam Amartha.

Keningnya berkerut membaca pesan itu. Nomor tak dikenal. Kemudian, ia kembali meletakkan ponsel itu diatas nakas.

Amartha kembali membereskan kamarnya yang masih berantakan itu.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Rosa dan Rudy tengah duduk santai di kursi kayu yang ada di teras depan rumah, berdiskusi mengenai permintaan putri semata wayangnya.

"Gimana, Pah?"

"Gimana apanya?" tanya Rudy dengan kening berkerut.

"Tentang motor itu," Rosa meminta jawaban suaminya.

"Entahlah, rasanya untuk menjual motor itu berat, lagian siapa juga yang mau beli? udah rusak begitu, Mama tau sendiri motor itu papa beli dengan honor yang papa tabung selama bertahun- tahun,"

"Iya, Pah ... mama tau betul itu,"

"Mama tau kan, papa hanya seorang PNS dengan gaji yang nggak seberapa, karena papa tidak meningkatkan pendidikan, papa mau hidup semampu yang kita bisa, papa ada tabungan tapi itu untuk biaya kuliah Amartha,"

"Iya, Pah ... mama ngerti, nanti mama coba untuk ngomong pelan-pelan sama Amartha ya, Pah? jangan terlalu dipikirkan," kata Rosa sambil mengusap pelan punggung tangan suaminya.

"Kalau mama cari kerja ajah gimana, Pah?" lanjut Rosa.

"Jangan mulai deh, Mah! kita sudah sering membahas ini, aku sedang tidak ingin berdebat, " jawab Rudy.

Rosa menghela nafas panjang. Rudy sangat keras kepala. Kini, Rosa nampak berpikir keras. Ia tak mungkin membantah suaminya dan tak ingin juga mengecewakan putrinya. Apa yang harus ia lakukan?

"Pah, masuk yuk?" Rosa mengulas senyum menatap wajah sang suami dan mengajaknya masuk ke dalam rumah karena hari sudah semakin larut.

Menjadi Ibu itu bukan perkara mudah. Apalagi ketika negara api sudah menyerang seperti sekarang ini. Dia tidak boleh berpihak kepada kubu mana pun. Dia harus tetap netral.

Ditatap wajah lelah suaminya. Begitu banyak beban yang ia tanggung sendirian. Kekhawatiran terhadap putri semata wayangnya itu yang menjadikan Rudy seorang ayah yang over protective.

Rosa ingat betul ketika Amartha kecil jatuh dari ayunan yang ada di Taman Kanak- kanak, Rudy langsung pulang dari kantor untuk melihat anaknya.

"Amartha! mana yang sakit, Sayang?" Rudy berlari dan meraih tubuh Amartha. Didekapnya dan diusapnya air mata yang mengalir deras di pipi gadis kecil itu.

Kening yang benjol dan bibir yang jontor, membuat Rudy tidak tega melihat Amartha kecil menangis kesakitan.

"Mah, mulai besok biar aku yang kerja, kamu jagain Amartha di rumah,"

"Tapi, Pah..."

"Aku nggak mau terjadi hal seperti ini lagi, Mah!" suara Rudy mulai meninggi.

"Lalu bagaimana dengan Minah?" tanya Rosa.

"Ya mau bagaimana lagi? setelah kamu selesai mengurus surat pengunduran diri, Minah pun berhenti bekerja disini, kamu yang mengambil alih tugas menjaga Amartha." ucap Rudy.

"Baiklah..." Rosa menuruti kemauan Rudy.

Sejak saat itu, Rosa mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai guru disalah satu Sekolah Dasar dekat tempat tinggal mereka.

Rudy memberi titah kepada istri tercinta untuk menjadi ibu rumah tangga, menjaga putri kecil mereka. Rudy tidak suka dibantah.

Sekarang Rosa mengubah posisi tidurnya yang semula miring ke kanan menjadi telentang dan menatap langit-langit kamar mereka. Pikirannya mulai berkelana mencari solusi.

Andaikan Rudy memperbolehkan dirinya untuk bekerja. Mungkin keadaan perekonomian mereka akan lebih baik. Rudy terlalu over thingking. Selalu mencemaskan sesuatu yang belum tentu terjadi. Seperti kejadian sore tadi, ketika ia tahu Amartha pulang naik ojek. Wajahnya merah padam menyambut kepulangan putrinya di depan teras rumah.

Amartha masuk ke rumah dengan wajah yang tertunduk tidak berani menatap wajah itu.

Rosa mengelus punggung suaminya untuk tidak memarahi Amartha. Rosa takut Amartha akan menjadi anak yang pembangkang jika terus dikasari.

Apakah kejadian saat itu membuat dirinya begitu trauma? Kejadian saat dirinya dalam perjalanan pulang dari kantor. Dia melihat ada anak yang terjatuh dari motor di jalan raya dekat pusat perbelanjaan.

Rudy yang tengah melintas menghentikkan laju motornya dan membantu korban menuju Rumah Sakit. Melihat darah yang begitu banyak membuat Rudy sedikit ketakutan. Untung saja nyawa anak itu bisa diselamatkan. Anak berusia 4 tahun itu terbaring lemah di IGD.

Semenjak saat itu Rudy, tidak mempercayakan Amartha di bonceng motor oleh siapapun jika bukan dengan dirinya atau Rosa. Dan berlaku sampai saat ini.

Walaupun Amartha sudah menginjak usia 17 tahun. Bagi Rudy, ia tetap putri kecilnya yang harus dilindungi. Jika tidak pandai- pandai menjaga emosi. Mungkin Rosa sudah menjambak- jambak rambutnya karena jengkel menghadapi sikap Rudy yang over protective itu.

...----------------...

Jangan lupa dukung karya author dengan cara klik like, komen dan kirim bunga sekebon atau hati juga boleh.

BTW Jangan hujat author yang lemah lembut ini ya.......sungguh author nggak siap dihujat wahai netijen yang budiman....

Kira- kira tuh motor butut ny Amartha pensiun nggak ya?????? Kita cari tau jawabannya di episode selanjutnya...👌🏻

Ternyata Dia?

Hari ini sungguh keajaiban luar biasa.

Karena Si Moti (sebutan untuk motor butut milik Amartha) lancar Jaya membelah jalanan. Cihuy, ingin Amartha mengepalkan tangan seraya berteriak, Yess!

Dengan bangga Amartha masuk ke dalam lingkungan Sekolah seraya menyapa pak Kasim dengan senyum yang indah merekah. Seakan hari ini adalah hari kemenangan baginya terlepas dari hukuman hormat Bendera.

"Pagi, Pak Kasim," Amartha menjereng giginya yang rapi.

"Pagi juga Neng, widih tumben ini berangkat pagi? nggak mogok lagi tuh motor?" tanya pak Kasim.

"Alhamdulillah lagi nurut, saya masuk kelas dulu ya, Pak?" Amartha pamit menuju kelasnya.

Amartha yang ngomongnya irit bak duit akhir bulan, hari ini pun riang gembira berjalan menuju kelasnya, dududuududuudu.

Setelah beberapa saat, sampailah ia di depan kelasnya. Amartha dengan rambut sepunggung yang dikucir kuda itu masuk ke dalam kelas. Mendudukkan dirinya di kursi dan menyimpan tasnya di laci meja. Amartha memilih bangku paling depan yang posisinya di tengah- tengah ruangan. Menurutnya ini adalah posisi yang strategis untuk melihat papan tulis.

"Ciiyeeee, Amartha nggak pake acara hormat bendera?" goda Sinta yang sedang duduk di samping Amartha seraya memainkan alis kirinya.

"Biasa aja kali, hahaha," sahut Amartha.

"Wah, berarti nggak ngapelin pak Bagas, dong? kan lumayan tuh pagi- pagi dapet vitamin buat kesehatan mata, hahahaha," timpal sinta sambil tertawa.

"Bukannya yang naksir pak Bagas itu kamu ya, Sin?" Amartha tak mau kalah.

"Lumayan lah buat cuci mata kan, Ta?"

"Tumben ah, bisa dateng pagi? nggak ngadat lagi tuh, si Moti?" lanjut Sinta

"Mungkin dia kasian sama majikannya ini yang selalu dihukum perkara dateng telat ke sekolah," Amartha tertawa renyah.

Bel sekolah pun berbunyi. Tanda kegiatan belajar mengajar akan segera dimulai.

Amartha mencoba fokus dengan pelajaran Sosiologi yang diajarkan oleh Pak Dirman. Amartha memilih jurusan IPS karena dia sadar diri dengan otaknya yang lemot kalau harus menghafal rumus- rumus fisika dan kimia yang bisa membuat kepala nyut- nyutan.

Prinsipnya hidup tidak perlu dibikin ribet.

Bisa jadi tua sebelum waktunya.

Masalah Si Moti, Amartha tidak punya nyali untuk bertanya kepada sang papa.

Bel Jam istirahat pertama pun menggema ke seantero lingkungan sekolah. Amartha memilih duduk di salah satu tempat duduk yang ada di depan kelas.

"Kamu nggak ke kantin?" tanya Sinta.

"Nggak, kamu ajah, aku lagi males desek- desekan,"

"Ya udah aku temenin kamu disini," Sinta mendudukkan dirinya disamping Amartha.

"Ada yang lagi kamu pikirin, Ta?" lanjut Sinta.

"Perkara si Moti, aku bilang sama papa, aku naik angkot ajah atau ngojek gitu biar nggak terus - terusan telat, tiap hari diomelin Pak Hardi, kalau pun nggak boleh ngojek, minimal beli motor baru gitu loh, Sin," jelas Amartha yang kemudian membuang nafasnya kasar.

"Terus? Papa kamu mau beliin?"

"Kalo ngojeknya sih nggak boleh, tapi kalau beli motor katanya nanti dipikir lagi," Amartha menghela nafas panjang

"Yang sabar ya, papa kamu pasti berusaha yang terbaik buat kamu," ucap Sinta menenangkan.

Amartha sebenarnya tidak ingin membebani orangtuanya dengan meminta sesuatu barang yang mahal harganya. Tapi, berat baginya untuk mengejar ketertinggalan pelajaran dengan otak pas- pasannya ini.

Tak sengaja mata Amartha menangkap beberapa orang lelaki yang sedang bercengkrama dengan Pak Arif guru matematika. Terlihat dari gaya pakaiannya yang Bebas Rapi itu kemungkinan mereka anak kuliahan. Matanya menatap dengan intens satu sosok lelaki berkemeja biru dongker.

Rasanya seperti familiar.

" Woy? bengong aja!" sentak Sinta sembari melambaikan tangan di depan wajah Amartha.

" Eh, eh, enggak kok!" Amartha gugup.

"Masuk yuk, udah bunyi tuh bel sekolah," Sinta menarik lengan Amartha seraya bangkit dari duduknya.

Ketika akan melangkah, tiba- tiba mata Amartha dan sosok lelaki itu bertemu satu garis lurus. Lelaki itu mengulas senyumnya. Membuat Amartha kehilangan fokusnya.

Jedug!

Amartha menabrak pintu kelas.

"Awww!" pekik Amartha sambil mengusap- usap keningnya dengan ujung rambut panjangnya.

"Kenapa itu pintu segala ditabrak?" tanya sinta heran.

"Nggak tau, itu kenapa pintu nongol disitu?" jawab Amartha yang sedari tadi masih mengusap keningnya.

"Ya emang pintu ngejogrognya disituuuu dodol! gemes deh lama- lama!" ucap Sinta sewot.

"Benjol nggak tuh?" lanjut Sinta.

"Nggak kayaknya, Sin,"

"Ya udah yuk masuk," Sinta menggandeng tangan Amartha.

Amartha menuju tempat duduknya bersamaan dengan getaran benda di dalam saku. Ponsel Amartha bergetar. Selama proses belajar mengajar memang semua murid harus menggunakan mode senyap atau getar pada ponsel mereka.

Diraihnya ponsel dari dalam saku rok abu-abunya.

💌 Hai, itu kening nggak kenapa- napa?

Berkerut lagi kening Amartha kali ini bukan karena kening yang kejedot pintu.

Namun, karena sebuah pesan dari nomor yang tak dikenalnya. Karena penasaran dengan si empunya nomor itu Amartha pun membalas.

💌Ini siapa? kok kamu tanya kening aku?

Amartha mengetuk- ngetukkan jari tangannya di meja. Menunggu balasan dari orang yang diseberang sana.

Ponsel Amartha kembali bergetar. Dia langsung membuka pesan itu.

💌 😁

Melihat balasan yang hanya emot gigi dijereng itu Amartha lantas mendengus kesal.

Gadis itu menepuk tangan sinta. Sinta yang sedang memainkan ponselnya otomatis menengok ke arah sahabatnya itu.

"Kenapa?" tanya Sinta.

"Aku ke toilet bentar ya," jawab Amartha. Kemudian ia bangkit dari duduknya, berjalan menuju toilet.

Tak perlu waktu lama Amartha sampai di toilet sekolah. Kemudian menyelesaikan ritualnya disana. Ketika akan keluar dari tempat sakral itu, dia menabrak seseorang.

"Awwwh!" pekik Amartha.

"Kamu nggak apa- apa?" tanya orang itu.

Jika didengar dari suaranya sih seperti seorang lelaki. Amartha lalu mendongakkan wajahnya. Melihat siapa yang ditabraknya tadi.

Hmmm wangi.

"Kamu ... Amartha?" tanya orang itu lagi.

"Iya, kamu Kenan, kan?" Amartha balik bertanya.

"Wah kamu masih inget namaku, kenapa SMSku nggak dibalas?" tanya Kenan dan menyunggingkan senyum manisnya.

"Hah, SMS?" Amartha balik bertanya.

"Iya ... SMS, nomorku yang belakangnya 79," Jawab Kenan santai.

"Oh, itu ternyata kamu? buat apa dibalas? cuma emot kayak gitu kok," Jawab Amartha dengan ketus.

Kenan mengerutkan keningnya heran mendengar jawaban gadis yang dihadapannya ini.

"Kita belum kenalan secara langsung, aku Kenan Pradipta, dulu aku juga sekolah disini," Kenan mengulurkan tangannya.

"Aku Amartha Dina, aku mau masuk ke kelas,"

Amartha menjabat tangan Kenan sekilas.

Ternyata dia pengirim SMS tadi dan SMS yang semalam juga? Tapi, dari mana dia bisa dapat nomor ponselku?

Amartha berjalan menuju kelasnya, meninggalkan lelaki berkemeja biru dongker yang mengalihkan dunianya sejenak.

Kenan menatap punggung Amartha yang kian menjauh dari pandangannya.

Makin bikin penasaran.

Kenan lalu berjalan menuju parkiran motor dimana teman- temannya sedang berkumpul.

"Dari mana aja, Ken?" tanya Kevin.

"Dari toilet," jawab Kenan sedangkan Refan dan Dani hanya mengangguk mengerti.

"Mau langsung ke rumah kamu, Dan?"

"Cus markicuss," jawab Dani ala ngondek. Membuat sejurus pukulan dari sahabat-sahabatnya mendarat enak di bahunya dan gelak tawa tak terelakkan dari mereka.

...------------...

Jangan lupa tinggalkan jejak like dan komen beserta hati dan bunga buat author yang lemah lembut ini ya.......

mekso...wkwkkwwk.

lope lope dari sindang ayey ?!!!

❤❤❤❤❤

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!