“Wussh….” Pesawat tujuan Australia-Indonesia dari Melbourne Airport mulai take on menuju
Bandara Soekarno-Hatta. Di dalamnya tampak seorang gadis tengah asyik membaca
lembar demi lembar buku yang ada di tangannya. Sejenak ia berhenti membaca.
“Huh, sebenarnya apa sih, yang terjadi?” tanyanya pelan pada dirinya sendiri. “Kenapa
Mom tiba-tida menyuruhku pulang? Memang sih aku sudah selesai kuliah dan
berwisuda tepat dua hari lalu. Tapi, kenapa menyuruhku pulang buru-buru begini,
sih? Ini aneh, ini tidak pernah terjadi sebelumnya, kan? Aaaaah, apa yang
terjadi?!” pekiknya kemudian tanpa sadar di ujung kalimatnya. Sontak semua mata
tertuju padanya. Ia segera tersadar. Tangannya bergerak cepat mendekatkan buku
yang tadi ia baca dan segera menenggelamkan wajahnya karena malu.
*****
Akhirnya peristiwa memalukan itu berakhir. Ia kini telah tiba di Bandara Soekarno-Hatta.
Kakinya membawanya melangkah dengan koper besar di tangan kanannya dan tas
selempang di bahu kanan. Tangannya meraih handphone di tas selempangnya.
Dibukanya kembali pesan dari ibunya dalam menu obrolan.
“Akira, bagaimana kabarmu, Sayang? Kau baik-baik saja, bukan? Mom dengar kau besok akan
wisuda, tapi Mom minta maaf karena sepertinya kami tidak bisa datang, kami
sangat sibuk. Sayang, segera selesaikan urusanmu di sana dan bergegaslah
pulang! Ada hal penting yang perlu kita bicarakan.”
“Ada apa, Mom? Katakan saja sekarang!” balas Akira penasaran.
“Tidak, Sayang! Kau harus pulang!”
“Sebenarnya ada apa?! Jangan membuatku mati penasaran, Mom!”
“Mom tidak bisa mengatakannya sekarang. Pulanglah dan kau akan tahu.”
Gadis bernama Akira itu mendesah. “ Perlukah aku menelponnya? Mungkin…” Tanya dan jawabnya
sendiri lirih sambil memindahkan posisi koper ke tangan kirinya.
“Halo, Mom! Apa kabar?” sapanya pada seseorang di seberang telpon.
“Akira?! Halo, Sayang! Senang mendengar suaramu. Hhh, aku harap kau baik-baik saja. Tapi, aku benar-benar merindukanmu.”
“Benarkah?” Tanya Akira sambil terus melangkah.
“Tentu. Pulanglah! Semua orang merindukanmu.”
“Sebenarnya apa yang kau rahasiakan dari ku, Mom?! Aku benar-benar penasaran!”
“Kalau begitu cepatlah pulang! Aku mencintaimu!” “KLIK” sambungan diputus sepihak oleh Mom tanpa Akira sadari.
“BUK” badan Akira bertabrakan dengan seseorang yang membawa es krim di tangannya yang
kemudian menempel di bajunya.
“Aaaah, Oh My God!” jerit Akira kesal sambil mengipat-ngipatkan es krim yang menempel di
bajunya.
“M-maaf!” ungkap pemuda yang menabraknya meyesal.
“Heh, kalau jalan lihat-lihat donk! Punya mata gak, sih?!”
“Iya, sorry banget! Aku bener-bener gak sengaja.”
Akira menatap pemuda itu tajam. “Tunggu di situ! Gue lagi nelpon, jangan kemana-mana, awas
loe !”
“Mom, maaf, barusan ada accident kecil!” terang Akira menyambung percakapannya dalam telpon yang tak di sadarinya telah dimatikan oleh mom sebelumnya. Akira diam menunggu jawaban.
“Mom…” panggil Akira menunggu jawaban. Tak terdengar sahutan. Akira mulai curiga. “Mom, Mom… Mom….!” Akira mengecek handphone –mati.
“Tuh kan, mati! Gara-gara loe, sih! Mama gue jadi kelamaan nunggu, nih! Mana sampe dimatiin lagi! Loe tu nyebelin banget, ya!” cerocos Akira kesal.
“Ya, gue tahu, gue salah, tapi gue udah minta maaf, kan?”
“Loe pikir kata maaf loe bisa bersihin baju gue dan sambungin telpon gue ke mama gue lagi?!”
“Terus mau loe apa?” nada bicara pemuda itu naik.
“Ya seenggaknya tanggung jawab, kek! Bersihin baju gue atau gantiin baju gue gitu!”
“Ok!” pemuda itu tiba-tiba membuka kancing bajunya.
“Aaaa..” Akira menutup wajah dengan kedua tangannya.
Laki-laki itu melangkah mendekati Akira lalu memakaikan sesuatu di punggungnya. “Gak usah
udik! Lagian gak mungkin gue mau copot kaya gini kalau gue gak make baju!” ucapnya lalu berlalu .
Akira membuka matanya. Pemuda itu telah berlalu di depannya dan meninggalkan baju musim dinginnya di tubuh Akira. Mungkin dia juga baru pulang dari luar negri.
“Hei, kau! Bajumu!” seru Akira pada pemuda itu lantang. Ia menoleh.
“Pakai saja! Jangan dibuang! Awas jika sampai kau buang, aku akan membuat perhitungan denganmu!”
Akira terdiam dan terus memandang pemuda itu yang perlahan mulai menghilang dengan penuh
keheranan. “Aneh! Apa dia benar-benar memberikan baju ini padaku dengan cuma-cuma? Ini baju keluaran
musim dingin ini, kan? Apa dia begitu kaya sehingga memberikannya padaku begitu saja? Aaah, entahlah! Apa peduliku? Aku hanya harus memakainya untuk menutupi bajuku yang kotor, kan? Baiklah, lupakan!”
Kaki Akira membawanya melangkah menuju pintu keluar bandara. Jari lentiknya melambai
menghentikan taxi. “Kemana, Non?” Tanya sopir taxi sesaat setelah Akira masuk.
“Cempaka House.” Jawab Akira lembut. Tanpa menunggu ba-bi-bu mobil segera melaju. Mata lentik Akira menerawang kota dari balik kaca mobil. “Baru setahun setelah terakhir pulang aku melewati kota ini.”
Batinnya kemudian.
Siit -mobil telah sampai di depan gerbang Cempaka House. Akira segera turun dan membayar ongkos taxi.
“Terima kasih, Pak!”
“Ya, sama-sama, Non!” balas sopir taxi yang sejurus kemudian kembali memacu mobilnya.
Akira menekan bel istananya dan sesaat kemudian gerbang menyusul terbuka. Seorang satpam menyambutnya.
“Non Akira sudah pulang?”
“Iya, Pak.”
“Biar saya bantu bawa kopernya masuk, Non!”
“Gak usah! Saya sendiri aja. Ya, udah, saya langsung masuk, ya, Pak!”
“Iya, silakan, Non! Hati-hati dan selamat datang kembali, Non!” Akira hanya tersenyum sambil berlalu.
“Ting-tong… ting-tong…..” Akira memencet bel pintu rumahnya.
“Eh, Non Akira!” sapa Bi Mina kaget.
“Ssstt…” Perintah Akira untuk diam dengan isyarat telunjuk yang ia tempelkan di bibirnya.
Bi Mina mengangguk paham sambil menirukan Akira. Akira melangkahkan kakinya
masuk.
“Mom, I am coming!” jerit Akira kemudian. Mom yang berada di ruang tamu bergegas
menghampirinya.
“Akira?! Ini benar kau, Sayang?” Tanya Mom heran.
Akira membentangkan tangannya.” Ya, ini aku!” Mom mendekat lalu memeluknya.
“Oh, Sayang, kau benar-benar membuatku terkejut!”
“Mom bahkan hampir membuatku mati penasaran. Bukankah itu lebih parah?!”
“Benarkah kau penasaran?”
“Tentu. Tapi, sudahlah! Mana Dad, Mom?”
“Kau tahu, dia sibuk. Seperti biasa, dia masih di kantor. Sudahlah, ayo duduk dan
istirahat dulu!”
“Ya, aku tahu.” Mom dan Akira melangkah menuju kursi.
“Akira…!” seru seseorang dari depan pintu kamar tamu yang disusul langkah cepat pemiliknya menghampiri Akira.
“Tara!” seru Akira balik. Mereka berpelukan.
“Hei, apa kabar, Cantik?” Akira tersenyum.
“Baik. Bagaimana denganmu, Manis?”
“Seperti yang kau lihat, sangat baik dan bertambah manis!”
“Sejak kapan dia ada di sini, Mom?”
“Dua hari yang lalu. Oh, ya, berbincanglah dulu, aku akan mengurus sesuatu di belakang
sebentar.” Mom beranjak kebelakang sedang Akira dan Tara menuju kursi.
“Hei, baju musim dinginmu bagus juga!” puji Tara saat tersadar dengan apa yang dipakai sepupunya. Akira hanya memegang ujung bawah baju musim dingin itu dengan senyum di bibirnya. “Tunggu, bukannya ini model baju musim dingin terbaru yang diluncurkan di Jepang di pameran kemarin? Wah, harganya pasti sangat mahal!
Ngomong-ngomong, bagaimana kau bisa mendapatkannya?” celoteh Tara sambil memegang baju musim dingin yang menempel di tubuh Akira.
___________
Thanks my beloved readers. Please support Author by like, comment, vote, share, & favorite for notification update. See you next time on the next episode ^_^
Author don't own the picture.... Just hope you will be happier by it. it was taken from pinterest:)
“Hei, baju musim dinginmu bagus juga!” puji Tara saat tersadar dengan apa yang dipakai sepupunya. Akira hanya memegang ujung bawah baju musim dingin itu dengan senyum di bibirnya. “Tunggu, bukannya ini model baju musim dingin terbaru yang diluncurkan di Jepang di pameran kemarin? Wah, harganya pasti sangat mahal! Ngomong-ngomong, bagaimana kau bisa mendapatkannya?” celoteh Tara sambil memegang baju musim dingin yang menempel di tubuh Akira.
“Ah, apa yang kau katakan?! Ini bukan milikku, tapi mungkin jadi milikku tiga puluh menit yang lalu.”
“Apa, bukan milikmu? Maksudnya?”
“Entahlah, tadi aku ketemu laki-laki aneh di bandara. Dia numpahin es krimnya di bajuku. Nih...” Akira menunjukkan noda bekas es krim di bajunya. “Tadinya sih cuma mau ngeles buat minta tanggung jawab dari dia. Eh, malah dia buka baju ini dan langsung makein ke badan gue. Ah, tahulah!”
“What, dia langsung copot baju?”
“Ih, gak usah udik! Mana mungkin dia mau copot baju kaya gitu kalau dia gak pakai baju lain sama sekali! Sumpah, gue malu banget! Mana gue pake acara tutup muka segala lagi! Ih, nyebelin bangetlah pokonya buat diinget!” Tara tertawa mendengar paparan Akira.
“Ting…tong,,,ting,,,tong,,,” bel rumah berbunyi.
“Bi Mina, tolong bukain pintu!” jerit Akira refleks.
“Iya, Non!” Bi Mina bergegas menuju pintu dan membukanya.
“Wah, dia romantis juga, ya…” komentar Tara tiba-tiba.
“Romantis apanya? Cuma gitu doank juga!”
Bi Mina melangkah cepat menghampiri Tara dan Akira. “Siapa, Bi?” Tanya Tara penasaran.
“Tuan Daniel, Non. Katanya mau cari Nyonya.”
“Oh, Daniel. Udah disuruh masuk aja,Bi?”
“Sudah, Non. Oh, ya, saya permisi mau panggil Nyonya dulu, Non.” Pamit Bi Mina kemudian. Tara mengangguk. “Eh, Bi, tunggu! Gak usah panggil tante ke sini, biar aku aja nanti yang manggil.”
“Tapi, Non…”
“Udah, gak papa Bi… nanti saya yang tanggung jawab kalau sampai tante marah.” Bi Mina pun hanya mampu mengangguk dan berlalu.
“Loe kenapa sih, Ta? Aneh banget pakai acarangelarang Bi Mina panggil mom dulu!”
“Kali ini gue bakalan tunjukkin orang yang bener-bener romantisnya ke loe….”
Akira masih terdiam. “Daniel? Siapa?” batinnya bertanya-tanya.
“Tap... tap… tap…”suara langkah sepatu mengalihkan pandangan Akira. Visualnya terkunci pada pemilik suara langkah yang melangkah tegap sambil sesekali menoleh melihat ke kanan-kiri. Langkah itu kini mendekat ke arahnya. Sosok itu sedikit menundukkan kepala memberi hormat. Namun Akira tak bergeming. Ia terpesona. Tara memandang Akira dan sosok itu bergantian. Tara menyadari benar pandangan aneh Akira pada sosok itu. Tara menyenggol bahu Akira lalu tersenyum meledek. Akira tersadar dan segera menundukkan kepalanya.
“Selamat pagi!” sapa sosok itu kemudian. Tara kembali menyenggol bahu Akira dengan bahu kanannya. Akira mengangkat kepalanya.
“P-pagi!” balas Akira gugup.
“Oh, ya, silakan duduk, Dan! Cari tante, kan? Aku panggilin dulu, ya...” kata Tara sambil beranjak.
“Ta…” Akira mencoba meraih tangan Tara.
“Hust, udah, sini dulu aja! Gue tinggal sebentar.” Balas Tara sembari mengedipkan sebelah matanya. Tara pergi. Tinggallah Akira yang kikuk dan sosok lelaki bernama Daniel itu.
“Kalau boleh tahu, kau ini siapa?” Tanya sosok itu memancing Akira berbicara.
“A-akira.” Jawab Akira sedikit gugup
“Akira Horison?” sahut sosok itu cepat. Akira hanya manggut-manggut.
“Pantas jarang melihatmu. Kau pasti baru pulang, ya?”
“Begitulah.”
“Oh…” Kata Daniel terputus. Agaknya usahanya untuk memecah suasana belum berhasil.
“Sudah sering datang ke sini?” Tanya Akira tiba-tiba.
“Belum begitu sering. Aku rasa ini yang ketiga kalinya aku datang langsung kemari.”
“Daniel! Apa kabar?” sapa Mom yang tiba-tiba muncul.
Daniel tersenyum. ”Baik.”
“Ah, Akira Sayang! Kau masih disini?” Akira mengiyakan bingung. “Kau pasti lelah, cepat masuk kamar dan istirahatlah!”
“E- baik, Mom.” Akira segera beranjak menuju kamarnya. Pandangan sosok bernama Daniel itu mengantarnya hingga ujung ruangtamu.
“Daaarr!” teriak Tara mengagetkan Akira.
“Hei, apa yang kau lakukan?!”
“Kenapa malah masuk kamar?”
“Kenapa lagi? Mom menyuruhku istirahat.”
“Begitu, ya? Sayang sekali! Padahal dia jarang sekali bisa berkunjung seperti ini. Dia begitu sibuk mengurus kuliahnya.”
“Memang siapa dia?”
“Kau tidak tahu siapa dia?” Akira menggeleng. “Namanhya Daniel Erlangga. Anak tunggal keluarga Erlangga yang sekarang sedang menempuh S2 di Seoul University. Dia terkenal karena keluarganya yang sangat kaya dan baik, selain karena dia juga orang yang baik, pintar, cool, keren, dan…t ampan, kan?” ledek Tara kemudian.
“Apa yang kau katakan?! Jangan meledekku seperti itu!”
“Tapi dia memang tampan, kan?” Tara kian meledek memastikan.
“Sedikit.” Jawab Akira ketus.
“Baiklah, terserah! Tapi kau menyukainya, kan?” goda Tara lagi.
“Sudahlah! Aku mau istirahat!” Akira menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur lalu meraih guling dan terpejam.
“Ah, pasti susah menjadi anak semata wayang dari keluarga sepertimu! Kau bahkan tidak pernah sempat untuk berpikir bahwa kau menyukai seseorang.” Ucap Tara sesaat sebelum keluar dan menutup pintu kamar Akira.
Akira membuka matanya yang tadi pura-pura ia pejamkan. Pikirannya melayang memikirkan kata-kata Tara. “Benarkah aku menyukainya? Ini adalah pertemuan pertamaku dengannya, kan? Apa aku jatuh cinta pada pandangan pertama?” Tanya Akira pada dirinya sendiri beruntun.
“Aaaahhh, tidak mungkin!!” elak Akira kuat sambil menarik selimut hingga menutup kepalanya dan kembali memejamkan matanya.
******
Berbagai macam makanan terhidang di atas meja makan dalam rumah keluarga Marendra untuk penyambutan kepulangan putra tunggal mereka yang baru saja menyelesaikan study S1-nya di Tokyo University.
“Makan malam sudah siap!” seru Nyonya Marendra mengintruksi makan malam bersama. Tuan Marendra dan putra tunggalnya bergegas menuju ruang makan.
“Wah, sudah lama aku tidak makan makanan Indonesia seperti ini!” ungkap putra tunggal Marendra sembari menarik kursi.
“Ya, aku tahu. Semua ini khusus untukmu. Jadi, makanlah yang banyak!”
“Thank you, Ma! I love you!”
“Love you too, Honey!” Nyonya Marendra menyodorkan semangkuk rendang sapi ke hadapan putra tunggalnya. “Makanlah! Ini makanan kesukaanmu, kan?”
Putra tunggalnya tersenyum manis. “Tentu, Ma. Terima kasih!”
“Ah, sepertinya dunia ini hanya milik kalian berdua!” komentar Tuan Marendra kemudian.
“Ah, Papa! Papa ini ngomong apa, sih? Lagian dunia ini milik kita bertiga, kok! I love you, Pa!” ralat putranya yang disusul tawa mereka bersama.
“Oh, ya, Papa bilang ada hal penting yang harus dibicarakan. Emang, sebenarnya ada apa sih, Pa? Aku jadi tambah penasaran udah duduk di sini. Jadi nggak sabar dengernya.” Lanjut putranya lagi sambil menggerakkan tangannya maju menyuapkan sesendok nasi dan sayur ke mulutnya. Tuan Marendra menoleh ke arah istrinya
yang kemudian mengangguk mengiyakannya.
“Ini masalah yang sangat penting bagi keluarga kita.”
“Oh, ya? Apa itu?” tanggannya masih terus menyuapkan makanan.
“Kami… akan menjodohkanmu, Daylan.”
“Uhuk...uhuk…” Daylan tersedak. Tangannya segera meraih segelas air putih yang ada di hadapannya. Nyonya Marendra menatapnya khawatir. Kata-kata terakhir ayahnya benar-benar menyambar otak dan kesadarannya.
______________
Thanks my beloved readers. Please support Author by like, comment, vote, share, & favorite for notification update. See you next time on the next episode ^_^
Author don't own the picture.... Just hope you will be happier by it. it was taken from pinterest:)
“Kami…akan menjodohkanmu, Daylan.”
“Uhuk...uhuk…” Daylan tersedak. Tangannya segera meraih segelas air putih yang ada di hadapannya.
Nyonya Marendra menatapnya khawatir. Kata-kata terakhir ayahnya benar-benar menyambar otak dan kesadarannya.
“Kau baik-baik saja?” Tanya Nyonya Marendra cemas. Daylan mengangguk sambil mengumpulkan kembali keadaannya yang semula.
“A-apa Papa bilang?” Daylan memastikan apa yang ia dengar namun masih berharap ia salah dengar.
“Ya, kami telah menjodohkanmu. Sebentar lagi kami akan memberitahu tanggal pertunanganmu dengannya. Tapi, tenang saja! Kau tidak perlu khawatir! Dia adalah seorang gadis yang sangat sesuai untukmu. Dia cantik, pintar, baik, dan terpelajar. Kami mengenal keluarganya dengan sangat baik. Jadi, hanya menjalankannya, mengerti?!”
Daylan terperangah mendengar paparan papanya. “Jadi,,, Papa menyuruhku pulang hanya untuk mengatakan ini? Untuk menjodohkanku? Hhh, maaf, Pa. Aku gak bisa.”
“Daylan, ini sudah mandat dari kakek. Jadi, mengertilah!”
“Apa? Kakek? Kenapa harus aku? Masih ada Erlangga, kan?! Lagi pula setidaknya dia lebih tua satu tahun dariku, aku jauh lebih muda darinya, kan? Apa karena aku terlalu penurut?! Oh, atau karena aku terlalu pembangkang?! Hhh, ini tidak adil!!!” protes Daylan panjang lebar dengan matanya yang berkaca-kaca.
“Bukan begitu, Sayang!” Nyonya Marendra menatapnya teduh.
“Tapi, Ma…” kata Daylan terputus. Nafsu makannya mendadak hilang. “Baiklah, terserah!” ungkapnya kesal sembari mendorong mundur kursi yang didudukinya lalu beranjak pergi meninggalkan ruang makan.
“Daylan!” Nyonya Marendra berusaha memangilnya sambil berdiri.
“Biarkan! Dia membutuhkan waktu untuk sendiri. Dia akan mengerti sendiri nantinya.” Ungkap Tuan Marendra datar dalam kebijakkannya.
“Aku lelah. Aku mau istirahat!” balas Daylan tanpa menoleh. “DAR.” Daylan membanting pintu kamarnya. Ia segera mendarat duduk di atas kasurnya.
“Aish, Tahu begini aku gak mau pulang! Sial!” gerutunya sebal.
*****
Suasana harmonis menyelimuti keluarga Horison yang tengah berkumpul di ruang tamu usai makan malam. Mereka bercengkrama renyah melepas kerinduan setahun tak bersua.
“Oh ya, Mom bilang ada hal penting yang harus dibicarakan, Apa itu Mom? Aku mau mendengarnya sekarang.” Tagih Akira di tengah obrolan mereka dengan wajah penasaran. Mom menoleh ke arah Dad. Dad mengangguk dan tersenyum.
“Akira Sayang! Jadi, permasalahannya adalah…” Mom memutus kata-katanya. Akira mendorong maju badannya karena makin penasaran. “Kami akan menjodohkanmu.” Lanjut Mom menjelaskan.
Wajah Akira berubah pasi. Senyumya yang sejak tadi terkembang memudar. Ia menarik badannya ke posisi semula. Mencoba memahami kata-kata yang baru saja terlontar dari bibir wanita yang amat disayanginya. “Apa?! Dijodohin?!” tanyanya memekik.
“Iya, Sayang!” Mom tersenyum indah penuh makna. “Tenang, kamu nggak perlu khawatir! He is a perfect man, Honey!”
“*But,*Mom… ini bukan zaman siti Nurbaya yang masih nganut asas perjodohan! Ini zaman modern, Mom! Kita udah ganti asas suka sama suka. Asas perjodohan itu kuno!”
“Sayang…” ucapan Mom ia putus.
“Jadi Mom nyuruh aku pulang cuma buat ngomongin ini?! Aku bahkan serasa hampir mati penasaran karena cemas, takut, khawatir, cepet-cepet pulang utuk mastiin apa yang terjadi sebenarnya. Tapi, ternyata Mom malah jodohin aku kaya gini, TEGA!” Akira mendecak kesal lau beranjak dari tempat duduknya dan beranjak ke kamar.
“Akira!” panggil Mom kemudian. Ia tak menoleh dan terus melangkah.
“Sudahlah! Biar aku yang bicara padanya!” ucap Dad sembari menarik lengan Mom yang henadak beranjak menyusul Akira.
“BRAK.” Akira membanting pintu kamarnya kuat-kuat. “Annoying!!! Pokoknya aku gak mau!” jerit Akira sambil melempar gulingnya ke lantai setelah menghempaskan badannya ke atas kasur. Ia segera menarik selimutnya hingga menutupi wajahnya. “I hate this!” jerit hatinya sambil menangis.
Tuan Horison melangkah masuk ke dalam kamar putri semata wayangnya. Beliau lalu duduk di tepi ranjang dan membuka selimut yang menutupi wajah Akira. Akira berpura-pura memejamkan kedua matanya. Tuan Horison membelai lembut rambutnya.
“Aku tahu kau belum tidur, Sweety… tak apa, aku hanya ingin menjelaskannya padamu. Aku mohon dengarlah….!” Akira membuka matanya yang telah memerah. Ia menatap Tuan Horison dalam. “Aku tidak akan sembarangan memilih seorang pria untuk menggantikanku mendampingi putri tunggalku. Dad mengenal keluarganya dengan begitu baik. Dan terlebih lagi, ini wasiat kakekmu untuk mempererat hubungan kekeluargaan kita dan keluarga
Marendra. Dan seperti yang kau tahu, kau adalah satu-satunya cucu perempuan dari dalam keluarga Dad. Jadi, Dad harap kau bisa dan mau mengerti, Sweety.” Terang Tuan Horison bijak.
“Benarkah harus begitu?” Tanya Akira parau sambil menitikkan air mata.
“Ya, Sweety. Jalanilah semua dengan bahagia, maka kau akan benar-benar bahagia. Kehidupan ini terlalu sayang untuk disia-siakan begitu saja, jadi, jika bahkan kau tidak bahagia, berpura-puralah bahagia hingga kau benar-benar merasakan kebahagian itu. Dan, Dad minta maaf untuk semua yang mungkin diluar keinginanmu tapi harus kau lakukan…” Akira beranjak duduk lalu memeluk Tuan Horison dengan air matanya yang berderaian. Tuan Horison lalu mengelus-elus punggung Akira untuk menenangkannya.
*****
Matahari meninggi dan meratakan semburatnya dengan indahnya. Teriknya mengajak manusia tuk merasakan indahnya hari ini, kecuali untuk Daylan. Ia masih benar-benar kesal dengan perjodohan yang dilakukan orang tuanya.
Langkah kakinya membawa tubuhnya yang telah berbalut kostum rapi keluar darikamarnya. “Mau kemana,
Day?” Tanya Nyonya Marendra yang memergokinya hendak keluar rumah.
“Ke rumah Revan.” Jawab Daylan sigkat.
“Jangan pulang malam! Mama mau kau menemani mama pergi nanti.”
“Ya.” sahut Daylan malas dan segera berlalu naik ke dalam mobilnya.
“Wuusshh….” Mobil Daylan melaju cepat ditemani alunan musik kesukaannya.
15 menit berlalu. Daylan telah menapakkan kakinya di rumah Revan.
“Langsung ke atas aja, Day!” jerit Revan dari atas balkon rumahnya. Daylan mendongak lalu mengangguk malas dan bergegas menuju balkon.
“Hei, kenapa muka loe murung gitu, Day? Harusnya loe kan seneng balik ke Indonesia trus bisa kumpul ma keluarga dan pastinya yang paling loe suka, ketemu sama gue. He…he…he..” Revan mengakhiri tanya dan anjurannya dengan tawa meledeknya setelah menganjurkan Daylan duduk di kursi balkon.
“Tahulah, gue stress!” jawab Daylan ketus.
“Wah, ternyata pangeran kaya loe bisa stres juga ya, Day?!” ledek Revan lagi masih dengan tawa kecilnya. Daylan makin pasang muka jengkel. “Kenapa? Sini cerita ke gue! Kita kan sahabat.” Lanjut Revan sesaat usai menengok ke arah Daylan dan menyadari perubahan wajahnya. Daylan masih diam malas menjawab. Hening. Revan tak memaksa melihat Daylan yang sepertinya memang belum ingin bicara.
“Dreeet… dreeett…” handphone Daylan bergetar tanda pesan masuk. Jemarinya gegas membukanya.
From: Lovely Mom
“ Day, pulang jam lima, ya! Inget, kan nanti malem mama minta temenin kamu? Jadi, jangan telat, ya! Kamu juga harus siap-siap sebelum berangkat, Sayang! Mama tunggu di rumah.”
__________________
Thanks my beloved readers. Please support Author by like, comment, vote, share, & favorite for notification update. See you next time on the next episode ^_^
Author don't own the picture.... Just hope you will be happier by it. it was taken from pinterest:)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!