Ayana tahu pria itu -- Rendra Pratama -- adalah kakak kelasnya semasa SMA dulu.
Rendra kenal dia -- Ayana Nanggari-- hanya sebatas tetangga jauh.
Kejadian itu sekitar tiga belas tahun yang lalu. Sampai saat ini, mereka sudah saling tidak bertemu satu sama lain. Siapa yang tahu jika takdir justru mempersatukan mereka dalam sebuah ikatan pernikahan?
Namun, berbeda dengan perjodohan-perjodohan biasa. Mereka dijodohkan dalam keadaan dimana mereka sudah pernah mengalami gagal dalam pernikahan masing-masing, sebelumnya. Apa yang mendasari mereka menyetujui pernikahan dari perjodohan itu? Apakah pernikahan mereka akan menjadi pernikahan kedua untuk selamanya?
...***...
"Sah?"
"Sah!" Jawaban serentak para saksi.
Doa melantun begitu merdunya terdengar oleh setiap telinga yang mencermati. Terkadang hingga menembus hati yang membuat linangan air mata mengalir dengan mudahnya.
Janji suci telah diikrarkan. Menyatukan dua raga menjadi satu jiwa. Apakah itu berhasil? Untuk kebanyakan orang, ya. Berhasil. Namun, masih belum bekerja untuk Ayana dan Rendra. Pernikahan memang sesuatu yang amat sakral. Karena alasan dasar sebuah pernikahan adalah menautkan dua hati. Namun, apa jadinya jika sebuah kesakralan itu dilakukan untuk sebuah alasan lain?
Ayana : "Anak Perempuanku yang masih berusia tiga tahun butuh sosok ayah. Setiap harinya dia selalu menanyakan dimana ayahnya. Biarlah aku memutuskan menjadi seorang ibu dan istri untuknya. Aku yakin, Mas Rendra akan menjadi seorang ayah yang baik. Begitu yang sering ku dengar dari orang-orang terdekatku."
Rendra : "Aku sudah pernah mengecewakan orang tuaku. Kegagalan dalam pernikahanku yang pertama adalah suatu kesalahan terbesar dalam hidupku, yang membuat mereka amat kecewa. Aku menuruti kemauan mereka untuk menikah lagi. Setahuku semasa sekolah, Ayana adalah perempuan yang pintar dan polos. Aku yakin, bisa membahagiakan ayah dan ibuku dengan menuruti kemauan mereka. Untuk membangun sebuah rumah tangga yang utuh."
Ayana dan Rendra : "Walaupun... Pernikahan kami, tidak didasarkan atas rasa cinta."
Bak kaca yang terurai menjadi kepingan kecil ketika mendapat hantaman kuat, begitu pula jika diibaratkan dengan hati yang retak karena rasa sesal mendalam. Meskipun kecewa itu berasal dari pilihan hati individu masing-masing insan. Keyakinan yang mereka jalani akan menjadi suratan nasib hasil ketetapan mereka masing-masing, selanjutnya. Biarlah mereka menjalani keputusan sakral tanpa perasaan kuat yang melandasinya, karena keduanya tahu pilihan yang terbaik. Namun, garis hidup justru berkata lain. Benih-benih rasa kasih itu tumbuh dengan sendirinya tanpa arahan.
...***...
"Aila... Bulan... Hati-hati! Jangan lari-lari nak!" Ayana setengah berteriak, namun dengan nada lembut mengawasi kedua anaknya. Sekarang. Sebelumnya, Aila adalah anak satu-satunya ketika dirinya masih menjanda.
Satu Minggu setelah pernikahannya bersama Rendra--seorang duda--dengan Bulan sebagai putrinya, menjadikan Aila memiliki saudara tiri sebayanya. Usia mereka hanya terpaut satu tahun. Bulan lebih tua dari Aila.
Selama satu Minggu mereka tinggal serumah, Aila dan Bulan nampak akrab, walaupun terkadang sering berebut mainan atau bertengkar karena hal kecil, itu sesuatu yang sangat wajar bagi anak kecil seumuran mereka.
Ayana sudah biasa menanganinya, karena sejak Aila bayi, dirinya terus bersama Aila. Sehingga ia belajar lebih banyak tentang psikologi anak di internet. Namun tetap saja mereka dapat bermain berdampingan dan seringnya saling melengkapi, karena mereka memang tumbuh sebaya.
Sesekali Ayana memperhatikan mereka berlarian kesana kemari, dengan berteriak-teriak senang. Ayana mengawasi mereka sambil bekerja. Ayana adalah seorang penulis, sehingga pekerjaannya bisa dilakukan di rumah. Sehari-harinya duduk di depan laptop untuk membuat tulisan. Walau barang-barang dirumah tidak nampak rapi karena ulah anak-anak, namun Ayana tetap merasa senang melihat mereka. Saat ini, kebahagiaannya hanya melihat putrinya bahagia.
Tok...tok...tok...! Tiba-tiba terdengar pintu rumah diketuk. Ayana berdiri dan membukakan pintu. Di ambang pintu yang terbuka, berdiri laki-laki berbadan tinggi sekitar 180 sentimeter, dengan model rambut Ivy league style pendek, berbadan tegap, berkulit putih dan wajah bersih. Ayana tersenyum canggung melihatnya. Ia sudah memperkirakan laki-laki inilah yang mengetuk pintu. Dialah Rendra, suami barunya. Hal sama yang dilakukan Ayana, Rendra-pun tersenyum melihat Ayana membukakan pintu.
"Ayah...!!!" Teriak Bulan saat tahu laki-laki yang baru memasuki ruang tamu itu. Rendra masuk dan memeluk Bulan yang berhambur padanya. Aila yang tadi ikut berlarian, segera berhenti dan diam melihatnya dengan tatapan aneh. Rendra menyadarinya.
"Sini... Aila sayang. Kamu juga mau dipeluk ayah?" Ucap Rendra lembut.
Aila menoleh ke arah ibunya.
"Ma..." Nada Aila nampak sedikit manja dan menginginkan hal itu. Ayana tersenyum dan menggandeng Aila, lalu menuntunnya untuk mendekat pada Rendra. Aila yang sedikit malu, akhirnya mau juga digendong Rendra. Ayana senang melihatnya. Paling tidak, Aila sudah dapat merasakan kenyamanan dari orang tua laki-laki barunya.
"Mas, mau makan?" Tanya Ayana lembut.
"Nanti saja. Aku mau mandi dulu." Ucap Rendra seraya menurunkan gendongan Aila. Ayana mengangguk beberapa kali dengan senyum manisnya mendengar ungkapan Rendra.
Aila dan Bulan kembali bermain-main dengan riangnya. Sementara Rendra berjalan ke arah kamar mandi untuk membersihkan dirinya, Ayana kembali ke kursi kerjanya di dekat ruang tamu.
Ayana memang meminta Rendra untuk menempatkan sebuah meja dan kursi untuk tempatnya bekerja, yaitu menulis. Rumah yang mereka tempati adalah rumah hasil kerja keras yang dibeli Rendra ketika tiga tahun ia menduda. Baru saja ditempatinya ketika ia menikah dengan Ayana.
Sebelumnya rumah itu hanya sebuah tabungan jangka panjang, karena selama ini Rendra tinggal bersama orang tuanya. Selain menemani orang tuanya ada yang menjaga dan menemani Bulan, putrinya.
Ayana, yang awalnya juga tinggal bersama orang tuanya, dengan senang hati menerima tawaran Rendra untuk tinggal bersama. Selain ia harus menuruti perintah suami, ia juga tidak lagi membuat cemas orang tuanya karena status single mom yang selama sembilan bulan terakhir melekat padanya. Mereka dipertemukan kembali dalam sebuah perjodohan yang direncanakan orang tua mereka.
Orang tua mereka saling tertarik dengan calon menantu masing-masing saat itu. Awalnya, orang tua Ayana dan Rendra memang sudah saling mengenal satu sama lain. Mereka-pun sama-sama menghadiri acara pernikahan pertama anak-anak mereka dulu.
Saat mengetahui kabar jika anak-anak mereka saling berpisah dengan pasangannya masing-masing, mereka berinisiatif menjodohkan Ayana dan Rendra. Walau perpisahan Rendra dengan mantan istrinya jauh lebih dulu dibandingkan perpisahan Ayana dengan mantan suaminya. Rencana orang tua Ayana dan Rendra berjalan lancar setelah mengetahui respon positif dari anak mereka. Tak memerlukan waktu lama untuk menjadikan perjodohan mereka sah dalam ikatan pernikahan.
Rendra keluar dari kamar mandi. Ia mengalungkan handuk kecil di leher bagian belakangnya, setelah mengeringkan rambutnya. Ia kemudian memasuki ruang tamu yang sudah kosong. Ia mencari dimana anak-anak yang ribut tadi. Rendra mengeceknya di kamar anak-anaknya. Dengan perlahan membuka pintu kamar anak-anak dan mengintipnya. Benar saja, ternyata mereka ada disana bersama Ayana.
Sekarang, Aila dan Bulan sudah mau tidur sendiri di kamar mereka. Awalnya, Aila tidur dengan ibunya dan Bulan dengan ayahnya di kamar yang terpisah. Mulai hari kemarin suasana sudah lebih beradaptasi dengan baik. Ayana berhasil membuat mereka tidur di kamarnya yang memang sudah disediakan untuk Aila dan Bulan. Aila dan Bulan tidur di kamar yang sama dengan ranjang kecil terpisah.
Ayana ada di tengah keduanya. Dengan sabar, Ayana menemani mereka sebelum tidur. Ayana bercerita dongeng sebelum tidur, mengambil intisari dari ceritanya dan menasihati mereka tentang nilai-nilai kebaikan. Begitu yang selalu Ayana kerjakan setiap malamnya pada Aila. Sekarang, Ayana hanya perlu melakukannya pada Bulan juga. Rendra tersenyum melihat mereka, lalu menutup kembali pintu kamar anak-anak dengan perlahan, agar tidak mengganggu mereka.
Rendra merasa sangat lapar dan berinisiatif untuk mengambil sendiri makan malamnya. Masakan istri barunya. Rendra sudah terbiasa makan diluar saat ia menduda, namun sekarang ia bisa pulang lebih awal karena ia tidak perlu mampir untuk makan diluar lagi.
Ayana selalu menyediakan masakan untuk makan malamnya. Sejujurnya, ia merasa masakan Ayana sangat enak. Lebih enak dari masakan ibunya. Mungkin Rendra akan betah jika harus makan malam dirumah terus.
Setelah selesai makan, ia mencuci sendiri piringnya. Bersamaan saat ia mau memulai mencuci piring, ia melihat Ayana keluar kamar anak-anak dengan perlahan. Mereka saling berpandangan melihat keadaan masing-masing dengan tatapan kikuk. Rendra segera kembali menyelesaikan mencuci piringnya dan menatanya di tatakan piring. Ayana mendekatinya.
"Sudah makan mas?" Tanya Ayana. Ia mencoba membangun suatu komunikasi yang selama dua Minggu ini nampaknya amat jarang terjadi diantara mereka.
"Sudah." Jawab Rendra singkat. Keheningan kembali menyapa mereka. Mereka hanya mematung berdiri dengan canggungnya. Nampaknya tidak ada lagi obrolan yang akan menyambungnya.
"Kalau begitu... Aku mau tidur dulu mas." Ucap Ayana.
"Ya. Aku akan mengerjakan tugas kantorku dulu." Rendra menunjuk arah belakang dengan jempol tangannya di samping telinganya. Mereka lalu sama-sama meninggalkan jejak kaki yang mereka injak baru saja. Ayana berjalan ke arah kamar, dan Rendra di sofa ruang tamu dengan segera membuka laptopnya.
"Seharusnya, aku tadi bilang... 'Biar aku saja yang mencuci piringnya mas.' Kenapa aku tidak melakukannya?" Ucap Ayana dalam hati setelah berbalut selimut di ranjangnya.
"Aku ingin berkata... 'Masakanmu enak Ay.' Tapi kenapa lidahku mendadak kaku?" Rendra mengolok dirinya dalam hati, ketika laptopnya sudah menyala di depannya.
...***...
Halo Readers... ini merupakan karya pertama saya di noveltoon. Mohon dukungannya ya. Silahkan baca, like, vote dan kasih komentar untuk masukan karya saya. Happy Reading...
Suara alarm di rutin subuh membuat respon di gendang pendengaran Ayana. Menyalurkannya ke otak untuk membuka matanya perlahan. Lamat-lamat, ia meraba tangannya ke meja kecil di samping ranjangnya dan mematikan ponselnya yang masih berbunyi tersebut. Walaupun ia sudah tahu ponselnya akan berbunyi pukul berapa petang ini, namun sudah kebiasaan ia selalu melihat waktu yang tertera pada ponselnya. Pukul setengah lima subuh. Ia meluruskan kakinya meregangkan segala persendian yang terdiam selama tujuh jam terakhir, lalu memejamkan matanya.
Saat ia berbalik, ia melihat di ranjangnya hanya ada dirinya. Tentu saja Rendra tidak masuk ke kamar mereka tadi malam. Ia duduk sejenak untuk mengumpulkan semua kesadaran yang berpindah sejenak ketika ia terlelap. Ia menggosok matanya perlahan, lalu menyingkap selimutnya dan kakinya turun dari ranjang. Ayana berdiri dan berjalan ingin keluar menuju kamar mandi.
Ia membuka pintu kamarnya, dan mendapati Rendra tertidur di sofa tanpa bantal dan selimut. Tidak. Ayana yakin tadi malam Rendra tidak tertidur. Rendra pasti sengaja tidur di sofa dan tidak memasuki kamar mereka. Sama seperti semalam sebelumnya. Saat anak-anak sudah mulai mau tidur sendiri, Rendra juga tidur di sofa. Apakah... Karena Ayana menutup pintu kamarnya? Atau memang...? Akh! Ayana tak mau memikirkan hal sepele di petang ia baru bangun seperti ini. Karena sejujurnya... ia sama sekali tidak keberatan. Ia akan segera membereskan dirinya dan menyiapkan segala keperluan untuk suami dan anak-anaknya di pagi hari. Segera Ayana pergi ke dalam kamar mandi.
Ayana berjalan hingga menghilang ke dalam kamar mandi dengan pintu tertutup. Mendengar pintu kamar mandi tertutup, Rendra membuka matanya. Sebenarnya... Ia sudah bangun dari tadi. Ketika ia mendengar Ayana membuka pintu kamar, ia yang tadinya rebahan di sofa segera pura-pura menutup matanya. Ia juga merasakan bahwa saat Ayana membuka pintu kamar, Ayana terhenti sesaat. Ia tidak yakin, tapi ia hanya merasa bahwa Ayana sedang melihatnya tidur di sofa. Apa yang sedang Ayana pikirkan tentangnya? Apa yang dilakukannya? Ayana pasti bertanya-tanya kenapa dia tidak tidur ke kamar tadi malam? Sedangkan dirinya, masih merasa sangat canggung jika hanya berdua tanpa anak-anak mereka. Ia tidak tahu bagaimana harus memulai komunikasi. Ia lalu perlahan duduk. Rendra memijit-mijit leher bagian belakangnya dengan memutar-mutar kepalanya merasakan ketegangan pada lehernya. Sejujurnya, ia kesulitan tidur di sofa.
Walaupun sekarang Ayana merupakan istri sahnya, Ia tetap bingung, ingin masuk ke dalam kamar atau tidak. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tentu saja tidak gatal. Pikirannya sedikit rumit saat ia harus memikirkan hal seperti ini.
...****************...
Aila dan Bulan masih menyelesaikan sarapan mereka di meja makan. Mereka saling bercerita riang dengan bahasa anak-anak yang mereka pahami. Ayana dan Rendra menanggapinya turut senang. Setelah Rendra menyelesaikan sarapannya, ia berdiri dari meja makan dan berjalan ke sofa memasukkan laptopnya ke dalam tasnya. Ayana yang melihat itu, ia segera berdiri dari meja makan. Rendra bersiap akan berangkat kerja.
“Ayah berangkat dulu ya.” Ucap Rendra pada anak-anak, setelah semua perlengkapan kantornya sudah masuk ke dalam tasnya.
“Salim!” Kata Bulan dan Aila berbarengan. Kemudian mereka berhambur ke arah Rendra dan mengambil tangan Rendra yang diberikan pada mereka. Anak-anak mencium tangan Rendra. Setelah itu, barulah istrinya mencium punggung tangannya.
“Aku lembur hari ini. Jadi, aku akan pulang malam.” Kata Rendra pada Ayana.
“Iya mas. Jangan khawatir soal anak-anak.” Balas Ayana lembut.
Rendra lalu tersenyum dan berjalan ke arah pintu keluar.
“Dada Ayah!!!” Teriakan mungil dari anak-anak mereka saat Rendra menuju mobilnya. Rendra terhenti, berbalik sejenak dan membalas sapaan sampai jumpa mereka. Ia lalu meneruskan langkahnya menuju mobilnya.
Rendra menutup pintu mobilnya dan menyalakan mesinnya. Sekali lagi ia tersenyum sembari melambaikan tangan pada istri dan anak-anaknya, dan mereka membalasnya untuk mengantarkan keberangkatannya bekerja. Saat mobilnya sudah siap, Rendra mengemudikannya menjauhi rumah.
Rendra berprofesi sebagai seorang administrasi management di salah satu perusahaan tekstil yang tidak jauh dari rumahnya. Hanya memerlukan waktu lima belas menit untuk ia sampai ke tempat kerja. Pekerjaannya mengharuskannya sampai di tempat kerja pagi pukul delapan sampai sore, kadang juga malam jika lembur, seperti hari ini nanti. Maka dari itu, saat ia masih sendiri dulu, Bulan hanya bertemu dengannya saat malam hari.
Rendra sampai di tempat kerjanya. Setelah mengunci mobilnya, ia berjalan memasuki ruangan kantornya. Ia sudah setengah jalan menuju kantornya saat ini.
"Ren! Jalanmu beda hari ini!” Celetuk salah seorang teman kerjanya disana.
“Pengantin baru datang!” Yang lain ikut menjahili.
“Aduh! Tidak ada lagi yang mentraktir kita!” Semakin banyak.
Ada yang bersiul-siul pula. Rendra hanya tersenyum salah tingkah karena malu, mendengarkan mereka. Dua Minggu sudah berlalu semenjak pernikahannya dengan Ayana dilangsungkan, namun tetap saja suasana kantor masih terlihat seolah ramai dengan candaan bahwa Rendra sebagai mempelai baru. Teman-teman Rendra terus mengusilinya dengan nada-nada menggoda. Mereka semua adalah teman akrab. Selama Rendra menduda, seringnya ia keluar malam mengajak teman-temannya. Rendra terus berjalan menuju kantornya. Ia terlihat hanya melambai sambil tersenyum kikuk pada beberapa orang tanpa menanggapi apapun.
"Fiuh...” Rendra mengelap keningnya saat ia sudah memasuki kantor pribadinya. Ia menutup pintunya. Rendra melihat ke arah pintu kantornya, seolah bisa menerawang kondisi di luar kantor dimana teman-temannya sedang membicarakannya dan terus membuat candaan tentangnya. Ia lalu menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali dengan menyipitkan matanya. Apa-apaan ini? Ada apa dengan mereka semua? Pikir Rendra. Apakah pengantin baru harus mengalami ini? Bahkan ketika mereka semua tahu bahwa ia sudah pernah menikah sebelumnya? Rendra lalu meletakkan tas berisi laptop-nya di meja kerjanya. Ia lalu mengeluarkan laptopnya dan berniat memulai pekerjaannya.
Ceklek! Suara pintu kantornya tiba-tiba terbuka. Rendra yang masih menunggu laptopnya menyala itu, menengok ke arah pintu kantornya. Ada salah satu teman yang menggodanya saat diluar tadi, masuk ke ruangannya. Ia membawa secarik kertas dan berjalan mendekat ke arah Rendra.
“Ini datanya.” Katanya memberikan secarik kertas yang dipegangnya pada Rendra.
“Terima kasih.” Balas Rendra sembari menerima kertas tersebut.
Sebelum pergi, teman Rendra menyeringai dengan melirik tajam ke arah Rendra.
“Ren! Bagaimana tadi malam? Panas tidak?” Katanya dengan menaikkan salah satu alisnya.
Rendra hanya berdehem beberapa kali. “Kau ini...” Kata Rendra pasrah dengan godaan temannya. Ia bahkan tidak dapat membalas apa-apa.
“Ayo! Ceritakan!” Gusar temannya lagi.
“Ya... Begitulah.” Jawab Rendra bingung dan nampak tak dapat membalas candaan temannya.
“Sudahlah. Ayo! Aku ditunggu pak direktur mengerjakan ini!” Ucap Rendra sedikit bingung menanggapi temannya. Temannya hanya terbahak mendengar Rendra yang semakin kikuk dan nampak berkeringat. Ia keluar dan menutup pintu kantor Rendra dari luar. Mereka semua tahu sebenarnya Rendra suka sekali bercanda. Namun mereka sedikit bingung saat ini, Rendra tidak terlalu menanggapi candaan mereka. Rendra hanya ber-ekspresi diam dan memberikan sikap salah tingkah. Membuat semua temannya semakin puas menggodanya.
Kembali, Rendra menghela nafasnya. Ia berusaha fokus pada kertasnya. Terlintas pada pikirannya tentang candaan temannya. Apa yang tengah dilakukannya? Semalam? Pikirannya kembali merancu. Ia bahkan tidur di sofa semalam. Jika mereka tahu... Selama dua minggu ia menikahi Ayana, dirinya dan Ayana sama sekali belum pernah berhubungan intim.
...***...
Satu Minggu setelah perjodohan
"Bu, aku menyetujui perjodohan ini."
"Beneran Ren?!"
"Ya. Maafkan aku, pernah mengecewakan ibu dan bapak. Dila memang bukan yang terbaik, tapi dulu aku tetap memaksa menikahinya. Aku tidak ingin Bulan menjadi korbannya."
"Ren, Ibu dan bapakmu sudah memaafkan masalah Dila. Ibu juga kasihan melihat Bulan."
"Bulan memang butuh sosok ibu. Kelihatannya, Ayana adalah seorang yang penyabar untuk anak."
"Bagus itu! Percayalah Ren... Hidup Bulan akan lebih lengkap."
...***...
Weekend adalah sesuatu yang ditunggu-tunggu. Hari Sabtu dan Minggu menjadi hari bahagia para pekerja. Tentu saja bagi para keluarga, karena waktu untuk bersama lebih banyak. Sayangnya, hari ini, Rendra amat sibuk. Walaupun ia tidak lembur, tapi ia membawa pekerjaannya di rumah. Sama seperti yang selalu dilakukannya dulu ketika belum menikahi Ayana. Karena baginya, Bulan butuh quality time dengan dirinya.
Ayana sibuk di dapur untuk menyiapkan makan siang. Ia memasak sendirian, sedangkan Rendra duduk di sofa ruang tamu sedang menyalakan laptopnya sambil mengawasi anak-anak. Pekerjaannya menumpuk. Seperti biasa, Aila dan Bulan bermain berlarian kesana kemari. Saat itu, mereka sedang bercanda. Rendra bisa melihat perbedaan Bulan saat ini. Bulan nampak lebih ceria. Selalu ada teman.
Rendra kembali fokus mengerjakan pekerjaan yang dibawanya ke rumah.
"Hati-hati sayang... Jangan lari-larian terlalu kencang!" Sesekali ia mengingatkan anak-anaknya agar tidak cidera saat bermain. Aila dan Bulan nampak tak mengindahkan kalimat ayah mereka. Mereka tetap saja keluar masuk kamar mereka dengan bermain saling tembak dan berlari kesana kemari. Rendra meminum teh yang disediakan Ayana, lalu kembali konsentrasi pada laptopnya. Ia kemudian beranjak dari duduknya dan meregangkan tulang belakangnya yang sedikit kaku, lalu ingin ke kamar mandi. Ia sekali lagi mengingatkan anak-anaknya untuk berhati-hati.
Rendra berjalan ke arah kamar mandi. Baru setengah perjalanan menuju kamar mandi... Prang! Suara gelas pecah terdengar begitu kerasnya. Rendra dan Ayana menengok ke asal suara itu. Ada Bulan yang tak sengaja menyenggol gelas teh minum Rendra yang ada di samping laptop. Rendra dan Ayana segera mendekatinya. Gelas yang masih berisi air teh itu, menumpahi laptop Rendra. Pikiran Rendra seketika menjadi tak jernih.
"Ya ampun! Bulan! Ayah kan sudah bilang kalau hati-hati!" Nada Rendra nampak meninggi. Rendra lalu menarik Bulan dengan sedikit kasar menjauhi laptopnya dan segera berusaha menyalakan laptopnya yang mendadak mati. Beberapa detik, ia tidak bisa melakukannya. "Laptop ayah sudah rusak kan?!" Kembali Rendra memandang putrinya yang masih terdiam kaku. Ia kelihatan marah sekali. Bulan dan Aila diam melihat Rendra berwajah merah. Mereka menghentikan permainan mereka. Bulan ingin menangis, tapi ia menahan air matanya. Ia memberikan ekspresi wajah ketakutan sekali.
"Sudah...sudah... Ayo Bulan sama Aila, bantu mama di dapur." Ucap Ayana yang menggiring anak-anak menjauhi Rendra. Sedangkan Rendra nampak stres karena laptopnya masih tidak bisa menyala.
"Pakai laptopku saja mas. " Tawar Ayana.
"Datanya bagaimana?" Tanya Rendra masih panik dan kebingungan.
"Hardisk-nya dilepas saja dulu. Nanti ditaruh di laptopku." Ucap Ayana memberi solusi.
"Aku keluar dulu. Aku akan mencopot hardisk-nya di tempat service laptop." Kata Rendra seraya membawa laptopnya dan keluar rumah dengan buru-buru. Berharap agar laptopnya bisa diselamatkan.
Ayana bisa mengerti Rendra marah seperti itu. Ia lalu membiarkan Rendra pergi dengan tanpa menawarinya makan siang terlebih dulu.
...****************...
Rendra memasuki rumah setelah dua jam pergi tadi. Ia nampak lemas saat membuka pintu rumahnya. Ayana yang menyadari bahwa Rendra sudah berada di dalam rumah segera mendekatinya.
"Bagaimana mas?" Tanya Ayana. "Hardisk-nya tidak bermasalah kan?"
Rendra mengangguk pelan. "Sepertinya, aku akan menggunakan laptopmu." Ujar Rendra dengan wajah lemas.
Ayana tersenyum sabar. "Iya mas. Aku masih belum ada deadline. Mas pakai saja."
Rendra tersenyum kecil sambil mengangguk.
"Terima kasih." Katanya pelan dengan nada lesu.
"Ayo makan dulu mas. Mas kan belum makan siang tadi?" Tawar Ayana yang masih merasa aneh melihat wajah Rendra yang masih nampak murung.
Rendra celingukan melihat keadaan sekitar.
"Dimana anak-anak?" Tanya Rendra.
"Anak-anak baru saja tidur. Waktunya tidur siang untuk mereka." Jawab Ayana lembut.
Rendra terdiam dan terlihat berpikir. Ayana masih memperhatikannya. "Aku akan menyiapkan makan dulu ya mas." Ucap Ayana yang kemudian pergi ke dapur.
Saat Ayana sudah menuju dapur, Rendra berjalan ke arah sofa dan meletakkan hardisk laptopnya di meja yang sudah bersih dari tumpahan teh tadi. Lalu, ia berjalan ke kamar anak-anaknya dan perlahan membuka pintu kamar mereka. Ayana dapat melihatnya saat menyiapkan makan siang. Rendra masuk dan mendekati Bulan. Ia berjongkok di dekat ranjang Bulan dan memandangi wajah putrinya yang terlelap dengan polosnya. Ada sesuatu yang berkecamuk dalam dadanya. Ia mengusap lembut rambut putrinya itu. Ayana yang juga ikut melongoknya tadi, berjalan pelan mendekati Rendra dan berdiri di belakang Rendra.
"Makanan-ya sudah siap mas." Ucap Ayana pelan agar tidak membangunkan anak-anak.
Rendra terdiam dan tidak menjawab apapun. Ia hanya melihat rupa Bulan yang terlelap. Sepertinya Ayana tahu apa yang Rangga rasakan. Ia pun ikut duduk berjongkok di sebelah Rendra.
"Mas?" Ayana memanggil sekali lagi Rendra dengan lembut. Rendra masih memperhatikan wajah Bulan.
"Apa yang aku lakukan?" Rendra seolah bertanya pada diri sendiri. "Kenapa aku harus semarah itu tadi?" Lanjutnya lirih. "Baru kali ini, aku melihat Bulan setakut itu melihatku." Ayana diam sejenak dengan terus melihat Rendra. Kemudian ia mengalihkan pandangannya ikut melihat Bulan.
"Dulu, Aila juga pernah mengalaminya. Bahkan untuk berbicara, menangis saja ia tidak berani." Ayana berbicara dengan pelan, berusaha menenangkan Rendra. "Percayalah mas, aku juga sering seperti itu pada Aila dulu." Kata Ayana lembut, lalu menoleh ke arah Rendra. "Aku bisa mengerti bagaimana rasanya. Mas Rendra tahu, solusinya sangat mudah." Rendra berpaling dari Bulan dan melihat ke arah Ayana dengan mengernyitkan keningnya. "Nanti, saat Bulan bangun, peluk Bulan dengan sepenuh hati. Katakan 'ayah minta maaf' dengan ungkapan yang amat tulus. Aku yakin, Bulan akan segera melupakannya." Kata Ayana dengan senyum manisnya meyakinkan Rendra. Rendra nampak masih berpikir. "Aku sudah menyiapkan makanannya di meja makan ya mas." Kata Ayana lagi, lalu ia beranjak pergi meninggalkan Rendra. Rendra masih bergeming. Ia kembali memperhatikan wajah putrinya, dan tersenyum. Lalu ia mengecup kening Bulan. Rendra berdiri dan meninggalkan Bulan. Ia keluar kamar anak-anak dengan perlahan. Saat ia keluar kamar, ia melihat Ayana kembali sibuk di dapur. Ayana sedang mencuci piring dan peralatan makan yang baru dipakainya dan anak-anak. Tanpa sadar, Rendra terus memandangi Ayana dan memperhatikannya. Kemudian ia tersenyum melihat istrinya.
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!