Aku Jane, Kim Jane Soo. Aku berumur 20 tahun saat ini. Tinggal bersama bibi dan paman kedua ku di sebuah perkotaan. Aku tidak memiliki ayah dan ibu lagi saat berusia 16 tahun, jadi bibiku yang merawat aku. Aku mempunyai paman yang baik, namun ia meninggal 3 tahun lalu. kemudian bibiku menikah lagi dengan teman SMA-nya dulu. Paman kedua ku ini sangat baik, perhatian dan bertanggung jawab.
Sekarang aku baru tahu kalau itu semua palsu. Pamanku adalah laki-laki bejat yang sangat keji.
"Jane Soo, kemari. Bisa bantu Paman sebentar," teriak Paman memanggilku.
"Bisa Paman," kataku sambil berlari dari ruang televisi.
"Paman tidak tahu jalan ke tempat ini. kamu tahu tidak ini dimana?" Sambil menunjukkan alamat yang dikirim oleh temannya.
"Ohhh ini aku tahu Paman," jawabku sambil tertawa. Aku merasa lucu melihat Pamanku.
"Bisa temani Paman, 'kan? Paman kurang tahu jalannya."
"Iya iya, tapi aku izin dulu sama bibi. Soalnya aku dan bibi akan masak kue nanti malam."
Sebenarnya saat itu aku sudah merasa ada yang janggal, karena Pamanku tidak memberitahuku urusan mereka di sana. Tapi aku tidak menghiraukannya dan tetap pergi menemani Paman.
Aku dan Pamanku berangkat dengan mobil tua miliknya.
"Paman kita bisa dari jalan yang sini saja biar cepat," kataku sambil menunjuk
jalan saat di persimpangan.
"Hmm? Paman ada urusan sebentar, kita ke sana lebih dulu." Paman tersenyum kepadaku.
Aku juga menyahutnya dengan senyum pamanku. Yang membuat perasaanku mulai tidak enak adalah ketika kami berhenti di sebuah hotel kecil dan jauh dari kota.
"Jane, Paman keluar sebentar. kamu di sini dulu tunggu Paman."
"Oke Paman," jawabku sambil melihat sekeliling hotel itu.
Awalnya aku tidak terlalu memperhatikan Pamanku saat berbincang dengan temannya. Namun ketika temannya melihatku dengan mata tajam, aku merasa ada yang salah dengan mereka. Aku turun dari mobil dan sembunyi-sembunyi mendengar percakapan mereka.
Aku tersontak dan menangis saat mendengar perbincangan Paman dan temannya, aku tidak menyangka tentang Pamanku yang akan menjualku kepada temannya. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku berlari sekuat tenaga dan bersembunyi di hutan dekat hotel itu berada.
"Tuhan tolong aku, jangan biarkan aku jatuh di tangan mereka," kataku dengan lirih sambil berlari.
Aku tidak mungkin menelpon bibiku. Seandainya aku mengatakannya kepada bibi, dia tidak akan percaya. Aku melapor polisi pun tidak punya bukti.
Hari sudah mulai gelap, matahari sudah terbenam. Aku berharap Paman tidak menemukanku.
"Jane Soo keluar! Paman sudah melihatmu." Suara Pamanku terdengar keras. Aku spontan terkejut dan tidak sengaja menginjak ranting pohon kecil yang terjatuh di samping persembunyianku.
Kemana aku harus berlari?
Dia menemukan ku dan langsung memegang tanganku dengan kuat. Dia bahkan menarik rambutku sampai aku tidak bisa mengeluarkan suara lagi.
"Pa-Paman!! Apa kamu sudah gila? Aku ini keponakanmu. Aku tidak akan memaafkan mu jika kamu berani menjualku kepada temanmu!" Aku mengeluarkan suara dengan keras sambil menangis.
Dia menamparku dengan keras.
"Diam kamu!! kamu hanya keponakan bibimu bukan aku. Dan lagian ini hanya pengorbanan kecil saja, kapan kamu akan membayar uang hidupmu saat bersama kami. Apa kamu tahu gara-gara membayar biaya sekolahmu dulu, istriku yang bodoh itu berhutang ke sana kemari." Dia mengatakannya dengan membentakku keras.
"Bibi berhutang karena kamu sakit waktu itu, semua uang yang dipinjam itu untuk biaya rumah sakitmu. Jadi jangan pernah mengatakan hal bodoh yang tidak kamu ketahui sama sekali," kataku dan mundur secara perlahan menjauhinya.
"Hahahahah ... meskipun begitu, apa kamu tidak kasihan melihat bibimu yang malang terlilit hutang seperti itu. Aku menjualmu karena bibimu juga, bukannya selama ini dia sangat sayang kepadamu? Jadi kamu berkorbanlah sedikit untuknya," kata Paman dengan senyum licik.
"Kamu itu memang orang paling kejam. Kamu tidak memakai otakmu dengan benar. Kalau perlu uang kenapa tidak ginjalku saja yang dijual. Aku tidak rela!!!" Aku menangis dan berontak.
"Kamu binatang kecil, lebih baik diam atau aku akan membunuhmu di sini," ucap Paman sambil mencekik leherku.
Dia memaksaku berjalan, padahal dia tahu kalau aku tidak sanggup lagi berjalan. Ini sungguh tidak kusangka, Paman yang ku anggap pahlawan adalah seorang pria bejat. Lebih baik aku mati dari pada harus menyerahkan diriku untuk dijual oleh Pamanku.
Bersambung ...
**UNTUK READERS TERHORMAT,
AUTHOR SANGAT MEMBUTUHKAN DUKUNGAN KALIAN. LIKE, KOMEN, DAN TAMBAHKAN FAVORIT NOVEL INI, DAN TERUS IKUTI CERITANYA YAHHH!😚🌻
Terimakasih🍃😉**
Paman sialan ini tidak memiliki hati yang bersih, aku harus lari dan kabur dari sini. Untungnya saja ponsel Paman berdering.
"Tunggu sebentar, dia sudah di tanganku. Kamu tunggu saja, biar aku yang mengantarnya," kata Pamanku kepada temannya dari ponsel miliknya.
Saat dia sedang asyik berbicara, aku mengambil batang ranting pohon yang tergeletak di sini dan memukul leher bagian belakangnya dengan kuat, bahkan sampai dia terjatuh.
Aku berlari dengan pandangan yang buram, terasa seperti dunia berputar dengan kuat. Kepalaku pusing, kakiku sangat kaku dan sangat sulit untuk digerakkan.
Aku tidak tahu kemana aku akan berlari. Aku terus berlari sampai aku melihat lampu mobil di jalan yang sepi ini.
"Tolong!! Tolong aku!! Siapapun tolong aku!!" Aku berdiri di tengah jalan sambil berusaha mengeluarkan suara.
Mobil itu berhenti?
Syukurlah, dia mau berhenti. Aku melihat seorang Pria tinggi berdasi turun dari mobil itu.
"Tolongg! Bawa aku jauh dari sini. Dia ... dia ... dia akan menjualku. Aku tidak mau, kumohon." Dengan suara bergetar lemah yang terengah-engah aku memohon kepadanya.
Aku tidak tahan lagi, tapi aku tidak rela mati menyedihkan seperti ini. Aku berjanji akan membalas perbuatan Pamanku lebih dari ini.
***
Beberapa hari kemudian
"Awhhhh!! Apa ini?" Aku terbangun dan melihat sekeliling.
"Dimana ini?" Aku bertanya dengan diriku sendiri.
"Syukurlah, kamu sudah sadar," sapa suster yang baru saja masuk
"suster ini dimana, yah?"
"Ini adalah kota Agra," jawab suster itu sambil tersenyum dan mengukur suhu tubuhku.
"Kota A-Agra? kenapa bisa sejauh itu??" gumamku bingung.
"Oh ya Sus, maksudnya aku di kota Agra sekarang? Terus siapa yang membawa ku ke sini?"
"Kalau soal itu saya kurang tahu, tapi kalau ingin tahu lebih jelasnya tanya saja pihak administrasi di depan saja."
"Ohhh, seperti itu, biar aku saja yang langsung tanya Sus," sambungku sambil tersenyum melihat suster itu.
"Tapi biasanya setiap sore pacar kamu datang menjenguk. Dia sangat tampan, kamu beruntung sekali," puji suster kepadaku.
"Apa? Dia bukan pacarku suster, dia hanya orang yang menolongku. Tapi bagaimana orangnya Sus?"
"Hmmm, orangnya sangat rapi dan dia selalu mengenakan jas".
"Benarkah? Terus seperti apa lagi?" Aku menarik baju si Suster yang lagi mengisi data.
"Hmmm, dia sepertinya umur dua puluh lima tahun," kata suster dengan serius.
"Hmmmm, ya sudah Sus, terima kasih informasinya!" Aku tersenyum bahagia.
Bagaimana cara untuk bertemu dengan penyelamatku? Itu pertanyaan pertama yang muncul di dalam benakku.
"Hmmm ... aku tidak sabar bertemu dengan orang yang sudah menyelamatkanku waktu itu."
Aku menunggu orang itu datang dari jam tiga sampai jam lima sore, tapi dia tidak muncul-muncul juga. Sudah lama aku menunggu, tapi dia belum juga datang.
*Krekkk-krekkkk*!
Suara pintu ruangan ku berbunyi dan terbuka. Aku sangat bahagia saat mendengar gesekan pintu itu, aku tersenyum lebar. Aku melihat laki-laki masuk ke dalam ruanganku, dia sangat tampan sampai aku tidak bisa memalingkan mataku darinya.
"Maaf kalau boleh tahu, apa kamu yang membawaku ke sini? Apa kamu yang menyelamatkanku malam itu?".
"Aku?" Dia tersenyum
"Iya, kamu yang .... " Dia tiba-tiba memotong pembicaraanku.
"Aku salah masuk kamar." Dia langsung berbalik meninggalkan ruanganku.
Kemudian aku yang kesal melihatnya mulai menggerutui laki-laki itu.
"Sombong sekali, walaupun kamu tampan. Bukan berarti kamu bisa pergi begitu saja. Harusnya dia meminta maaf terlebih dulu karena masuk ke ruanganku."
Mungkin suaraku mengganggunya, akhirnya dia menghampiriku lagi.
"Apa yang kamu katakan tadi?"
"Ha? Ahmmm ... itu, apa kamu melihat orang di depan ruangan ini?"
Aku sangat takut kala itu, aku pikir dia mendengarnya. Mulutku memang tidak bisa di ajak kompromi.
"Tidak," jawabnya singkat. Dia kemudian keluar dari ruanganku dan tidak meninggalkan satu kata sama sekali.
Bersambung...
******UNTUK READERS TERHORMAT,
AUTHOR SANGAT MEMBUTUHKAN DUKUNGAN KALIAN. LIKE, KOMEN, VOTE DAN TAMBAHKAN FAVORIT NOVEL INI, DAN TERUS IKUTI YAHHH!😚🌻
Terimakasih🍃😉******
Karena sudah merasa mendingan setelah beristirahat selama beberapa hari.
Aku memutuskan untuk meninggalkan rumah sakit, meskipun aku tidak tahu harus pergi kemana. Untungnya biaya selama di rumah sakit ini sudah dibayar oleh orang itu.
Aku berniat membayar biaya pengobatanku saat di rumah sakit kepada orang yang menyelamatkanku. Kalau tidak sanggup membayarnya, aku setidaknya berterima kasih karena sudah menyelamatkanku.
"Maaf, apa aku bisa meminta nomor telepon orang yang membayar biaya ku selama di sini?" Aku datang menghampiri meja administrasi.
"Tunggu sebentar biar saya check . Maaf di sini tidak tertulis nomor telepon tuan yang membayar biaya Anda," sahut suster itu.
"Ohhh, jadi seperti itu, yah. Kalau begitu saya pamit dulu," helaku merasa sedikit kecewa.
"Maaf tunggu sebentar, ini ada titipan dari kekasih Anda. Katanya kalau sudah sembuh Anda datang ke alamat ini." Pihak administrasi memberikanku secarik kertas.
"Hmmm? Terima kasih, tapi dia bukan pacarku." Aku berpamitan dengan suster lalu pergi keluar dari rumah sakit.
Ternyata kertas itu berisi alamat yang sama sekali tidak ku ketahui.
"Astaga, ini aku harus bagaimana? Aku sama sekali tidak tahu ini dimana?" Sambil menghela napas, aku bingung sendiri akan melakukan apa.
"Tapi tidak mungkin juga aku pulang ke rumah bibi. Di situ ada paman tiri sialan yang mau menjualku waktu itu," kataku yang mulai mengutuk dan menggerutui paman sialan itu.
Tanpa pikir panjang, aku langsung memanggil taksi dan memberikan surat itu kepada supir.
"Pak tolong antarkan aku ke alamat ini." Aku memberikan kertas itu. Sungguh, aku sangat nekat, padahal aku tidak memiliki uang sepeser pun di tangan.
"Nyonya, ini kita sudah sampai." Dengan ramah supir menunjuk ke arah rumah yang begitu besar dan mewah.
"Pak begini, aku ke dalam dulu mengambil uang, jadi bisa tunggu sebentar tidak?"
Kemudian aku berlari menuju gerbang rumah yang megah ini. Saat berlari tiba-tiba ada mobil yang hendak masuk ke dalam rumah ini. Aku yakin dia pemilik rumah, atau paling tidak dia mengenal orang yang menyelamatkan ku.
Aku mengetuk jendela mobil itu.
"Permisi, bisa bantu aku tidak?" Aku mengetuk kaca mobil itu.
Kaca itu kemudian terbuka dan aku melihat orang yang waktu itu salah masuk ruangan ketika di rumah sakit.
"Kamu? Ehmmm? kamu bukannya orang yang salah masuk ruanganku waktu itu?" Dengan tangan menunjuk ke arahnya.
Dia turun dari mobil dan menanyakan ku.
"Ada apa?" tanyanya sambil memperbaiki jas yang dikenakannya.
"Ehhhmm ... begini, aku baru keluar dari rumah sakit, dan aku tidak punya uang untuk bayar tagihan taksiku. Jadi, bisakah kamu meminjamkan uang untukku?" Aku mencoba menjelaskan situasi menyedihkan ini.
Karena dia tidak menjawab, aku mencoba untuk meyakinkannya, aku rasa dia tidak mempercayaiku karena baru mengenalku.
"Tenang saja, aku pasti membayarnya," kataku dengan percaya diri.
Tanpa banyak tanya pria itu memberikan aku uang dan kemudian langsung ku berikan kepada supir taksi yang mengantarkanku.
Waktu berbalik ingin berterima kasih, aku memanggil laki-laki itu yang sedang membuka pintu mobilnya.
Pria itu hanya diam menatapku, tidak mengeluarkan ekspresi sedikit pun.
Dia berhenti di tempat dan menyuruh supirnya untuk masuk ke dalam terlebih dahulu.
"Siapa namamu? Aku belum tahu siapa namamu," kataku mencoba berbaur dengannya.
Dia tidak menjawab dan terus berjalan.
"Ya sudah tidak usah dijawab," sambungku sambil menyilangkan tangan ku kebelakang.
"Aku akan membayar uang yang ku pinjam tadi, pemilik rumah ini sangat baik. Dia sudah membayar biaya pengobatanku," kataku yang kala itu seperti bicara dengan diri sendiri.
"Apa kamu kenal pemilik rumah ini?" tanyanya kepadaku.
"Ummm, aku tidak mengenalnya sama sekali," sambungku.
"Jadi kenapa kamu datang kesini?"
"Aku harus berterima kasih kepadanya, kalau dia tidak menyelamatkanku, aku mungkin tidak punya harga diri lagi."
"Kalau kamu, ada urusan apa ke sini?" sambungku.
"Aku hanya ingin saja," jawabnya singkat.
"Pufftt, kamu kurang kerjaan, yah. Kamu lucu sekali, aku pikir kamu orang yang kaku. Ternyata kamu suka membuat lelucon, hahahahaah." Aku tertawa dan memukul pelan bahunya.
Tapi, wajahnya tetap datar, dia tidak ber -ekspresi sama sekali. Bahkan dia tidak meresponku ketika menertawainya.
"Heeeyy, apa kamu tersinggung? Maafkan aku, aku memang suka bercanda. Jadi aku harap kamu maklum ," sambungku dengan tenang.
"Aku harap begitu," sahutnya datar.
Bersambung...
.
****UNTUK READERS TERHORMAT,
AUTHOR SANGAT MEMBUTUHKAN DUKUNGAN KALIAN. LIKE, KOMEN, VOTE DAN TAMBAHKAN FAVORIT NOVEL INI, DAN TERUS IKUTI YAHHH!😚🌻
Terimakasih🍃😉****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!