Pada suatu malam, hujan turun dengan begitu derasnya, membuat hawa dingin meresap ke tulang belulang. Orang-orang menutup pintu dan menarik selimut mereka lalu tidur dengan pulasnya.
Tapi tidak dengan empat orang yang sedang berlarian di dalam hutan belantara. Diantara empat orang itu, terdapat dua orang laki-laki dan satu orang perempuan sementara yang satunya adalah bayi laki-laki yang berusia sekitar satu tahunan.
Salah satu laki-laki itu terlihat berusia sekitar tiga puluh tahunan dengan rambut panjang dan dikuncir seperti kebanyakan pendekar-pendekar yang ada di sebuah novel ataupun film fantasy.
Sementara yang satunya berusia lanjut, sekitar enam puluh tahunan dengan rambut pendek dan uban yang menjadi ciri khasnya sendiri. Selain itu, ia juga memiliki janggut dan kumis yang cukup panjang.
"Ayo cepat yang mulia ratu!" Ucap salah satu laki-laki itu.
Perempuan yang dipanggil ratu itu berhenti, ia sudah tidak sanggup lagi untuk berlari. Ia menatap bayi laki-laki yang sedang digendongnya sambil mata berkaca-kaca.
"Maafkan ibunda anakku!" Perempuan itu mencium bayi laki-lakinya lalu mendekapnya dengan erat.
Seiring dengan langkah kaki mereka, hujan juga semakin deras, gemercik air yang jatuh ke tanah membuat kebisingan tersendiri. Di tambah lagi suara kicauan burung yang saling sahut menyahut entah karena terbangun karena hujan atau karena suara langkah kaki keempat orang itu.
Walaupun nafasnya sudah terputus-putus, perempuan itu tetap mencoba berlari dengan ditemani dua orang laki-laki di belakangnya.
Belakangan diketahui, kedua orang itu adalah seorang penasehat dan jendral dari sebuah kerajaan.
Mereka terus berlari dan sesekali menengoknya ke belakang memastikan tidak ada orang yang mengikuti mereka.
Mereka berhenti setelah mendapati ternyata pengejar mereka sudah sampai dan kini telah mengepung jalan mereka.
Setidaknya ada tiga puluh orang dengan pakaian serba hitam lengkap dengan topeng bercorak burung elang serta masing-masing dari mereka menggunakan sebuah pedang sebagai alat bertarung.
Di belakang mereka terdapat satu orang yang berpakaian berbeda, orang itu menggunakan pakaian berwarna serba putih serta topengnya pun berwarna putih dan juga bercorak burung elang.
"Kenapa kelompok Elang Sakti memburu kami?" Tanya penasehat itu dengan wajah yang buruk.
"Kalian berasal dari kerajaan, apa perlu bertanya alasan kami mengejar kalian? Bukankah harta adalah alasan yang cukup jelas untuk kami melakukannya?" Balas pemimpin kelompok itu.
Penaset kerajaan diam sejenak, ia berpikir benar juga apa yang dikatakan oleh pemimpin kelompok itu.
"Mungkin alasan kalian benar, tapi aku merasa ada alasan lain dibalik ini!" Penasehat kerajaan menyeledik.
"Kau benar-benar pandai, memang benar ada alasan lain kami melakukannya ini. Ada yang menyewa jasa kami untuk membunuh ratu dan anaknya, kepala mereka bernilai begitu tinggi sampai kami tidak bisa menolaknya." Pemimpin kelompok itu tertawa kecil.
"Siapa yang menyuruh kalian melakukannya?" Tanya lagi penasehat kerajaan.
"Kalian tidak perlu mengetahuinya, yang pasti kami akan menyelesaikan tugas itu malam ini!" Pemimpin kelompok itu memberi tanda mengisyaratkan anggotanya untuk menyerang rombongan ratu.
Melihat tidak ada lagi ruang untuk bicara dan negosiasi, penasehat kerajaan dan jendral yang mendampingi ratu mengangkat pedang mereka bersiap untuk menyambut serangan lawan.
"Penasehat Mo, lindungi ratu dan pangeran dari anggota kelompok Elang Sakti, sementara aku yang akan menghadapi pemimpinnya." Tanpa menunggu jawaban penasehat mo, jendral yang belakangan diketahui namanya sebagai Lu Chuan itu bergerak maju memisahkan diri dengan pemimpin kelompok itu.
Melihat jendral Lu sudah mengurus pemimpin kelompok Elang Sakti, penasehat mo bersiap menghadapi anggota kelompok itu.
"Yang Mulia Ratu, mohon menjauh dari tempat ini."
Mendengar perintah penasehat Mo, sang ratu menurut, ia mengambil tempat yang cukup jauh untuk melihat pertarungannya.
Walaupun usianya terbilang sudah tua, penasehat mo masih bisa bergerak dengan lincah dan gesit. Itu bukanlah hal yang sulit bagi seorang pendekar seperti mereka. Bukan hanya bisa bergerak dengan cepat, di lain kesempatan seorang pendekar bisa membuat wajah mereka terlihat lebih muda dengan bantuan tenaga dalam milik mereka. Sebab itulah penasehat Mo masih terlihat seperti berusia empat puluh tahunan padahal usia aslinya sudah lebih dari enam puluh tahun.
Satu demi persatu anggota kelompok Elang Sakti maju menyerang penasehat Mo, tapi tidak lebih dari beberapa jurus mereka sudah terbaring tak bernyawa. Nyatanya penasehat Mo adalah pendekar tingkat tinggi.
Melihat hal itu, anggota kelompok Elang Sakti mengubah pola serangan mereka menjadi bersamaan membuat penasehat Mo kali ini tidak bisa leluasa membunuh mereka. Bisa dilihat, anggota kelompok Elang Sakti ini begitu terampil saat mereka bertarung bersama.
Di sela-sela pertarungannya dengan anggota kelompok Elang Sakti, penasehat Mo juga sesekali melirik pertarungan antara jendral Lu dengan pemimpin kelompok Elang Sakti. Semakin lama ia mengamati, semakin kebingungan dia. Pasalnya, penasehat Mo merasakan ada kejanggalan dalam pertarungan mereka.
Walaupun keduanya terlihat serius bertarung, tapi tidak ada yang berusaha saling melukai ataupun membunuh. Hal itu membuat penasehat Mo menghentikan gerakannya sebentar.
"Jendral Lu, apa yang kau lakukan. Jangan bermain-main dan serangan ia dengan kemampuan terbaikmu!" Teriak penasehat Mo.
Setelah berkata demikian, penasehat Mo menjadi terkejut setelah mendengar perkataan dari jendral Lu.
"Ah saudara Ji, tak perlu lagi berpura-pura. Aku sudah bosan seperti ini, sebaiknya kita menjalankan tugas yang diberikan 'Orang Itu' dengan cepat." Jendral Lu menghentikan gerakannya diikuti oleh pendekar bertopeng elang yang menjadi pemimpin kelompok Elang Sakti.
"Kau benar saudara Lu, sebaiknya kita selesaikan dengan cepat." Setelah itu, jendral Lu dan pemimpin kelompok Elang Sakti berdampingan dan menghadap ke arah penasehat Mo.
"Apa maksud dari semua ini, jendral Lu. Kau…" Penasehat Mo tidak bisa melanjutkan kata-katanya sebab langsung dipotong oleh jendral Lu.
"Apa yang kau pikirkan benar adanya, penasehat Mo. Aku mengkhianati kalian!" Jendral Lu tersenyum puas.
"Kau tahu kenapa mereka bisa menemukan keberadaan kita? Itu karena aku yang memberi mereka tanda di sepanjang jalan." Lanjut jendral Lu. Kemudian ia menjelaskan, bahwa selama pelarian, ia terus menerus menjatuhkan batu dari waktu ke waktu dalam beberapa meter sekali. Itu menjadi petunjuk jalan keberadaan mereka.
"Kau… Kurang ajar, akan ku bunuh kalian semua!" Penasehat Mo begitu murka mendengarnya.
"Yang Mulia Ratu, cepat lari dari sini. Jangan hiraukan aku dan jangan lihat ke belakang." Penasehat Mo melihat ke arah ratu yang sedang terdiam sambil menatap ke arah jendral Lu dengan penuh kebencian.
"Yang Mulia Ratu!"
Mendengar teriakan penasehat Mo yang kedua kalinya, barulah sang ratu tersadar.
"Tapi… Tapi penasehat Mo. Aku… Aku…" Sang ratu terbata-bata, masih bingung dengan keputusan yang akan diambilnya.
Nyatanya jendral Lu dan pemimpin kelompok Elang Sakti tidak menunggu sang ratu untuk lari, mereka bergerak bersamaan untuk menangkap sang target.
"Tidak semudah itu untuk menangkap mereka. Langkahi mayatku dahulu baru kau bisa melakukan apapun yang kalian mau!" Penasehat Mo melompat berdiri di depan sang ratu dengan menodongkan pedang ke arah lawan.
"Minggir!" Ucap jendral Lu dan pemimpin kelompok Elang Sakti secara bersamaan.
Penasehat Mo tidak mendengar perkataan mereka, ia masih membujuk sang ratu untuk kabur.
"Yang Mulia Ratu, cepat tinggalkan tempat ini. Aku tidak bisa menahan mereka lama-lama." Ucapnya dengan pelan yang hanya bisa didengar oleh sang ratu.
"Aku…" Sang ratu menggigit bibirnya. Dalam tarikan nafas berikutnya, ia berlari sekencang-kencangnya tanpa menoleh ke arah belakang. Ia hanya bisa mendengar sebentar suara dentingan senjata yang saling bersentuhan.
"Kalian tunggu apalagi, cepat kejar ratu sialan itu. Kami yang akan mengurus pak tua ini." Jendral Lu memberi perintah kepada anggota kelompok Elang Sakti.
Sebenarnya penasehat Mo berniat menghentikan anggota kelompok itu, tetapi ia tidak bisa. Dalam waktu singkat, ia telah disibukkan oleh jendral Lu dan pemimpin kelompok Elang Sakti.
"Lawanmu adalah kami!"
Walaupun penasehat Mo adalah pendekar tingkat tinggi, tapi jendral Lu dan pemimpin kelompok Elang Sakti juga tidak kalah jauh. Kombinasi serangan mereka pun juga mematikan membuat serangan demi serangan mereka berniat membunuh.
Tidak hanya itu, mereka juga menekan penasehat Mo dengan sebuah aura yang dikenal dengan aura pembunuh.
Sebenarnya penasehat Mo juga memiliki aura pembunuh, tapi masih kalah dari gabungan kedua aura lawannya itu.
Aura pembunuh sendiri merupakan sebuah aura berwarna hitam yang bisa didapatkan oleh seseorang dengan membunuh baik itu membunuh manusia ataupun hewan.
Semakin banyak mereka membunuh, semakin banyak pula aura pembunuh yang akan mereka dapatkan. Semakin tebal aura pembunuh, maka semakin kuat tekanan yang dihasilkannya.
Jurus demi jurus mereka keluarkan, baik dari pihak penasehat Mo maupun lawannya.
"Pedang Perusak Raga!" Jendral Lu mengeluarkan jurusnya.
"Pedang Aura Kegelapan!" Pemimpin kelompok Elang Sakti mengeluarkan jurusnya secara bersamaan dengan jendral Lu.
Di sisi lain, penasehat Mo tidak mau kalah. Ia juga mengeluarkan jurusnya.
"Pedang Suci Menembus Semesta!"
Pedang penasehat Mo bergesekan dengan pedang jendral Lu dan pemimpin kelompok Elang Sakti membuat suara dentingan yang cukup besar.
Gerakan mereka bertiga begitu lincah dan gesit. Tapi sampai saat ini masih belum ada dari mereka yang terkena serangan.
Saat jendral Lu menyerang ke titik buta penasehat Mo, pak tua itu dengan cepat menangkisnya begitupun dengan serangan dari pemimpin kelompok Elang Sakti.
"Kau memang tangguh penasehat Mo." Ucap jendral Lu.
"Aku tidak mau mendapat pujian dari seorang pengkhianat!" Balasnya pak tua itu dengan ketus.
Mendengar itu, jendral Lu menggertakkan giginya. Dia begitu tersinggung akan ucapan pak tua itu.
"Baiklah, sekarang serangan akhir."
"Pedang Perusak Jiwa!"
"Pedang Aura Kematian!"
Di sisi lain, penasehat Mo juga tidak mau kalah.
"Pedang Suci Menembus Batas!"
Ketiga jurus pedang itu adalah jurus tertinggi dari masing-masing mereka.
Boommmmmm
Ledakan tercipta akibat benturan itu membuat kepulan debu berterbangan.
Setelah kepulan debu itu menghilang, bisa dilihat penasehat Mo terbaring lemah di tanah. Walaupun ia masih bisa mempertahankan nyawanya, tetapi tubuhnya sama sekali tidak bisa digerakkan. Tampaknya ada sesuatu yang terjadi padanya saat kepulan debu berterbangan.
Sementara itu, jendral Lu dan pemimpin kelompok Elang Sakti mendapat luka yang cukup serius di bagian dada mereka. Tapi keduanya masih bisa bertahan dan duduk bersila untuk memulihkan kondisi sembari menunggu anggota kelompok Elang Sakti membawa sang buruan.
*****
"Hentikan, jangan kejar aku!" Ucap sang ratu sambil terus berlari dengan mendekap sang putra. Ia sesekali menengok ke belakang hanya untuk mendapati pengejarnya semakin dekat.
Sang ratu itu baru berhenti lagi saat ia menemui jalan buntu dan ternyata tempat itu adalah tepi jurang yang sangat dalam.
Orang-orang mengenali jurang itu dengan nama jurang kematian. Dikabarkan, tidak ada yang berhasil selamat saat jatuh ke dalam jurang tersebut, setidaknya tak ada kabar tentang keselamatan mereka.
Sang ratu ingin membalikkan badannya dan mencari jalan lain, tapi sebelum ia bisa melangkah lagi, rombongan yang mengejarnya dan sudah sampai di tempat itu.
"Kumohon jangan bunuh kami!" Pinta sang ratu dengan tangisan tak bisa lagi dibendungnya. Sebenarnya ia tidak takut mati, ia hanya takut anaknya akan ikut mati bersamanya.
Orang tua mana yang rela membunuh anaknya sendiri? Orang tua mana yang rela membawa anaknya dalam kesulitan? Tentu tak akan ada orang tua seperti itu!
"Kumohon tuan-tuan! Kalau kalian mengampuni nyawa kami, aku akan memberikan kalian uang dua bahkan tiga kali lipat daripada yang kalian terima dari 'orang Itu'." Sang ratu mendengar bahwa ada dalang dibalik pengejaran mereka ini.
"Kami tidak ingin mengambil resiko. Kami tidak bisa percaya padamu. Jika kami melepaskanmu dan anakmu, bisa saja kalian menceritakan pada raja kami berniat membunuh kalian disini. Tentu saja itu berdampak buruk pada kami. Lagipula, kami tidak memiliki kuasa untuk bernegosiasi. Kami menjalankan apa yang ketua kami perintahkan." Ucap salah satu anggota kelompok Elang Sakti.
"Kumohon tuan, aku bersumpah tidak akan mengatakannya kepada siapapun jika kalian membebaskan kami!" Sang ratu tetap bersikukuh. Ia berharap bisa membuat pengejarnya itu merasakan kasihan.
"Tidak bisa, kami akan celaka jika kami melakukannya." Orang itu memberi tanda kepada temannya yang lain. Seketika itu juga dua orang maju untuk menangkap sang ratu dan putranya.
Sang ratu perlahan-lahan mundur dari tempat sebelumnya, sampai akhirnya ia benar-benar berada di tepi jurang kematian.
Ia membalikkan badannya dan mencoba melihat ke dalam jurang itu, tapi tidak ada yang ia lihat, hanyalah sebuah warna hitam yang menandakan bahwa jurang itu begitu dalam sampai dasarnya pun tidak tampak.
Ia membalikkan badannya lagi ke arah rombongan yang mengejarnya. Ia masih mencoba memohon kepada mereka. Tapi, permintaannya itu tidak digubris. Dua orang yang diperintahkan untuk menangkapnya kini semakin dekat.
Sang ratu ketakutan, ia melangkah mundur lagi.
Hujan masih turun dengan derasnya, membuat tanah sekitar menjadi licin.
Karena takut ditangkap, sang ratu terus memundurkan langkahnya sampai akhirnya sesuatu terjadi padanya. Ia terpeleset, ternyata kakinya sudah berada satu sentimeter lagi dari jurang.
Tidak bisa menjaga keseimbangannya, akhirnya sang ratu jatuh ke jurang dengan mendekap anaknya erat-erat.
Bayangan muncul di benak sang ratu. Bayangan sang raja kerajaan wilayah itu yang tidak lain adalah suaminya. Ia mengingat bagaimana kebahagiaan mereka berdua saat bersama. Sang ratu juga berpikir bagaimana reaksi suaminya saat mengetahui kabar mereka. Pastinya sedih dan hancur bukan?! Lirihnya pelan.
Ia juga mengingat sang penasehat kerajaan, penasehat Mo yang selalu baik kepada keluarga. Selalu melindungi mereka dari bahaya. Ia tidak tahu nasib pak tua itu sekarang. Sang ratu hanya berharap pak tua itu tidak dibunuh.
Sang ratu juga mengingat wajah jendral Lu, ia begitu benci dengan wajah orang itu. Mungkin inilah yang dinamakan benci sampai mati!
"Maafkan aku suamiku. Aku tidak bisa menjaga anak kita dengan baik." Sang ratu memejamkan matanya menunggu kapan saja tubuhnya akan terbentur ke dasar jurang.
Air mata keluar, "Seandainya aku diberikan pilihan. Maka aku akan memilih untuk mati sendirian disini." Sang ratu terus mendekap putranya dengan erat sambil air mata terus mengalir dari kedua pipinya.
"Andaikan aku diberikan kehidupan selanjutnya, aku akan meminta untuk menjadi pasanganmu lagi dan aku berjanji akan menebus kesalahan ini." Pasrah, mungkin itulah yang saat ini sudah sang ratu rasakan.
Menolak? Tidak ada gunanya. Dia tidak akan bisa mengubah apapun. Benci? Ia tidak bisa membenci sang pencipta, karena itu adalah takdirnya yang sudah ditetapkan. Sedih? Tentu rasa sedih akan ada. Sedih meninggalkan sang suami, dan juga sedih membawa sang putra dalam bahaya.
Tapi itulah namanya takdir. Entah karena permintaannya pada sang pencipta dikabulkan, atau memang takdir masih memberinya kesempatan. Sebuah keajaiban terjadi!
Di tengah halaman yang tidak begitu luas, di depan sebuah gubuk kecil yang dindingnya terbuat dari papan dan atapnya terbuat dari daun rumbia berdiri seorang anak kecil sedang terlihat menggaruk kepalanya dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegang sebuah pedang yang terbuat dari kayu. Terlihat, ia sedang tersenyum kepada boneka orang yang terbuat dari kayu dan memiliki rambut dari jerami di hadapannya itu. Bisa dilihat, senyuman begitu tulus menandakan ia adalah anak yang periang dan polos.
Gubuk itu berada di tengah hutan, tak ada rumah ataupun gubuk lain yang terlihat disana.
"Kau masih tetap bisa berdiri dengan tegak walaupun aku sudah menebasmu berkali-kali." Gumamnya pada boneka kayu itu.
"Kau selalu tersenyum padaku, tapi tak sekalipun kau mau bicara. HM!" Sambungnya, walaupun dari kata-katanya ia kecewa, tapi senyuman tetap mereka di bibirnya.
Tak lama kemudian, ia memeluk boneka kayu itu dengan perasaan senang.
Tak jauh dari tempat itu, seorang laki-laki tua sedang mengamati bocah kecil itu dengan diam. Matanya berkaca-kaca menunjukkan keprihatinannya kepada sang bocah.
Tanpa ia sadari, setetes air mata jatuh ke pipinya.
"Ah, hatiku begitu lemah. Melihat hal seperti itu saja sudah membuatku menangis." Gumamnya dengan pelan sambil terus menyaksikan tingkah sang bocah. Hingga hampir satu jam lamanya ia mengamati sang bocah kecil itu.
"YingXiong, kemari. Mari kita makan terlebih dahulu!" Panggil pria tua itu dengan melambaikan tangannya mengisyaratkan memanggil sang bocah.
"Tunggu sebentar kek!" Sahut sang bocah. Tak lama kemudian ia berlari menuju lokasi pria tua yang dipanggilnya kakek itu.
"Ayo makan, setelah itu kau bisa melanjutkan latihanmu." Sang kakek mengelus lembut kepala bocah yang bernama YingXiong itu.
Ya, namanya YingXiong tak ada marga ataupun nama depan ataupun belakang layaknya seperti orang-orang kebanyakan. Setidaknya, tidak sampai saat ini!
Umur YingXiong sendiri adalah lima tahun, tapi dari fisiknya ia terlihat seperti anak berusia tujuh atau delapan tahun.
Rambutnya berwarna hitam tapi tidak seluruhnya, karena ada sebagian kecil berwarna putih keperakan. Matanya tajam, seperti mata elang dengan alis mata kanan dan kiri menyambung. Tak hanya itu, parasnya juga tampan dengan kulit putih bersih seperti giok, ditambah lesung pipi di keduanya membuat ia semakin kelihatan sempurna.
"Kemampuan pedangmu meningkat lagi, walaupun kau berlatih sendiri, tapi kau tetap bisa menambah kemampuanmu." Ucap sang kakek sambil menyajikan nasi dan lauknya ke dalam piring YingXiong.
"Kakek benar, itu berkat bantuan ShanShan dan tentu saja kakek juga berperan besar." Balas YingXiong sambil menyantap satu persatu makanan yang dihidangkan.
ShanShan sendiri adalah boneka kayu yang ia ajak bicara sebelumnya.
Walaupun YingXiong sejak lahir berada di dalam hutan, tapi ia sudah bisa membaca, menulis dan berhitung berkat kerja keras sang kakek yang mengajarinya. Ia juga sudah banyak mengerti tentang dunia walaupun belum pernah melihatnya, setidaknya ia belum pernah melihat keramaian.
Ia juga bisa membedakan antara laki-laki dan perempuan, sang kakek yang mengajarinya. Sang kakek pun memang sengaja membuat boneka kayu seperti seorang wanita agar YingXiong bisa mengerti dengan cepat.
Walaupun ia tahu, ShanShan hanyalah sebuah boneka kayu, tapi ia menganggapnya seperti temannya sendiri bahkan keluarganya.
Sungguh malang bukan? Seorang anak kecil, hanya bisa hidup di hutan dengan keadaan seadanya. Disaat anak seusianya bermain dengan anak-anak yang lain, ataupun bermain dengan orang tua mereka, YingXiong kecil hanya bisa bermain dengan boneka kayu buatan kakeknya.
Pernah sesekali YingXiong kecil menanyakan keberadaan ayah dan ibunya, tapi sang kakek hanya menjawab "Belum saatnya kau mengetahui semuanya. Berlatihlah dengan giat, saat tiba waktunya, aku akan menjelaskan identasmu!" Begitulah ucapan sang kakek setiap kali ia bertanya tentang ayah dan ibunya.
YingXiong kecil juga mengetahui bahwa pria tua yang ada dihadapannya itu bukanlah kakek kandungnya, walaupun begitu, YingXiong sudah menganggap pria tua itu sebagai kakeknya sendiri. Bagaimanapun, pria tua itulah yang merawatnya dari kecil, setidaknya itu yang ia ketahui.
Hari demi hari telah berlalu, seperti biasa YingXiong berlatih pedang setiap harinya. Selain itu, ia juga berlatih pernafasan untuk meningkatkan energinya yang disebut tenaga dalam.
Tenaga dalam sendiri adalah syarat dasar seseorang untuk dikategorikan termasuk dalam dunia kependekaran.
Pendekar adalah sebutan untuk orang yang berlatih beladiri dan ilmu pernafasan untuk meningkatkan tenaga dalamnya. Sederhananya, pendekar adalah manusia yang lebih kuat daripada manusia biasa.
Misalnya pria dewasa yang memiliki otot kekar dan tubuh yang besar, ia bisa dikalahkan oleh seorang anak kecil seperti YingXiong karena ia mempelajari ilmu tenaga dalam sementara pria dewasa itu tidak. Sederhananya, pendekar bisa mengalahkan puluhan bahkan ratusan manusia biasa seorang diri saat ia sudah memiliki kemampuan yang tinggi.
YingXiong sendiri mengetahui bahwa di dunia persilatan, pendekar juga memiliki tingkatannya.
Tingkatan itu dibedakan oleh seberapa banyak orang itu memiliki tenaga dalam.
Misalnya saja YingXiong, saat ini ia berada di tingkat pendekar yang paling bawah, yaitu pendekar kelas perunggu.
Pendekar perunggu sendiri terbagi menjadi tiga kelas, pertama yang paling bawah adalah pendekar perunggu kelas satu, seorang bisa dikatakan pendekar tingkat itu ketika ia memiliki tenaga dalam sebanyak satu sampai sepuluh lingkaran.
Sementara pendekar perunggu kelas dua, yaitu mereka yang memiliki tenaga dalam sebelas sampai empat puluh lingkaran. Selanjutnya pendekar perunggu kelas tiga, yaitu mereka yang memiliki tenaga dalam sebanyak empat puluh satu sampai seratus lingkaran.
Selanjutnya pendekar perak, mereka juga dibagi menjadi tiga kelas. Tenaga dalam yang harus mereka miliki untuk kelas satu saja lebih dari seratus lingkaran dan yang kelas tiga sedikitnya tiga ratus lingkaran.
Lalu ada pendekar emas, juga dibagi menjadi tiga kelas. Mereka yang dianggap sebagai pendekar emas setidaknya harus memiliki tenaga dalam sebanyak lima ratus lingkaran.
Diatasnya ada pendekar kaisar, pendekar agung dan yang paling tinggi adalah pendekar langit. Setidaknya itu yang para pendekar ketahui selama ini.
Kakek YingXiong sendiri hanya menjelaskan pada bagian pendekar emas, sementara untuk pendekar kaisar ke atas, pria tua itu mengatakan YingXiong pasti mengerti dengan sendirinya seiring berjalannya waktu.
*****
Sehari setelah YingXiong mencapai puncak pendekar perunggu kelas satu, sang kakek mengajaknya untuk berburu hewan di hutan. Sebelumnya sang kakek tidak pernah mengajak YingXiong, tapi kali ini tampaknya pria tua itu memiliki pemikirannya sendiri.
Satu jam telah berlalu, YingXiong dan kakek masih berjalan dengan santai di dalam hutan, menunggu melihat buruannya.
"YingXiong, kau tunggu disini sebentar, kakek akan mengejar ayam hutan itu." Ucap tiba-tiba sang kakek sambil menunjuk ke arah semak-semak. Memang, YingXiong merasakan keberadaan mangsa mereka itu.
"Kakek bukankah kau mengajakku kesini untuk belajar berburu? Bagaimana jika aku saja yang menangkapnya, sementara kakek menunggu disini dengan duduk manis!" Usul bocah itu dengan penuh harap.
"Tidak… Kau akan mendapatkan giliranmu sendiri nantinya." Balas sang kakek.
Sebenarnya YingXiong ingin berkata lebih jauh, tapi ucapannya itu tersangkut di tenggorokan setelah melihat sang kakek tidak ada lagi di tempat sebelumnya.
"Cepat sekali!" Gumam pelan YingXiong sambil menggelengkan kepalanya pelan.
Sepuluh menit, tiga puluh menit, satu jam YingXiong menunggu, tapi tak ada terlihat batang hidung sang kakek.
"Apa yang terjadi pada kakek? Bukankah ini terlalu lama hanya untuk menangkap seekor ayam hutan." Cerca bocah kecil itu.
Lelah berdiri, YingXiong mencari pohon yang tumbang untuk didudukinya. Menurutnya lebih baik menunggu sambil duduk, bahkan kalau bisa tertidur. Lagipula, tempat itu tidak terlalu berbahaya, setidaknya tidak akan ada harimau ataupun sejenis hewan yang buas.
YingXiong merebahkan tubuhnya, sesekali bersiul. Siulannya terhenti ketika ia mendengar suara dari balik semak-semak yang tidak berada jauh darinya.
"Ngok-ngok!" Begitulah suara yang YingXiong dengar.
Ia meningkatkan kewaspadaannya, sebenarnya ia sudah bisa menebak identitas si sosok yang bersuara, tetapi ia ingin memastikannya terlebih dahulu.
Semenit kemudian, sosok itu menampakkan dirinya, seekor babi dewasa. YingXiong mengukur tubuh babi dewasa itu, ia membandingkannya dengan anak sapi. Ya, setidaknya babi hutan itu seukuran anak sapi.
"Kakek, kau mau membunuhku!" Dengus kesal YingXiong sambil mengutuk keras sang kakek.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!