NovelToon NovelToon

Arshaka Aruna

Arshaka Virendra Aldebaran

Suara deru motor baru saja memasuki SMA Trisatya. Mampu membuat siapa saja menatap mereka berbinar-binar, beralih ke arah parkiran. Yang sudah menjadi tempat khusus keenamnya.

Mata tajam dibalik helm full face nya membuat siapa saja menganga menatap mereka. Memiliki tubuh yang atletis serta tinggi. Membuat siapa saja mengagumi ciptaan Tuhan yang satu ini.

Keenamnya, sama-sama melepas helm seraya menyisir rambut ke belakang. Menampilkan wajah tampan nan mempesona, berjalan beriringan menuju kelas.

Dengan pakaian yang jauh, bahkan sangat jauh dari kata rapi. Bisa dibilang melanggar peraturan, namun apa boleh buat, udah dari sana nya.

Dengan kaos seragam yang dikeluarkan, dasi yang dipasang begitu saja, serta jaket jeans yang bergambarkan lambang geng mereka.

Menjadi ciri khas dari mereka berenam, yang memang pantas di sebut bad boy Trisatya.

Pujian demi pujian terdengar di telinga ke-enam cowok itu, beberapa diantaranya tak peduli, namun tidak dengan bocah yang satu ini.

Dia Arthur, lebih tepatnya Arthur Margantra cowok play boy cap badak yang tak akan pernah tobat. Setiap hari kerjanya hanya tebar pesona.

Arthur menyisir rambut nya kebelakang sambil mengedipkan sebelah matanya ke arah kaum hawa, yang membuat pekikan semakin menjadi-jadi.

"Selamat pagi cantik, apa kabar?" Arthur, bocah itu menyapa salah satu adik kelasnya yang baru saja lewat namun tak di hiraukan olehnya.

Yang membuat semua anak menertawai nya, bisa-bisanya cowok setampan Arthur di hiraukan begitu saja.

"Bwahahahaha! Baru kali ini Tur, gue lihat lo di cuekin." ejekan itu berasal dari Rayn. Cowok yang memiliki senyuman manis.

"Mampus lo! Makanya gak usah sok tebar pesona, di tolak baru tau rasa." suara itu berasal dari Tara, cowok itu tak henti-hentinya menertawakan Arthur apalagi Bram.

"Haha! Makan tuh tebar pesona. Pacar aja kagak punya," ejekan itu berasal dari bibir Bram, Bram tak henti-hentinya menertawakan Arthur, begitu juga dengan Tara.

Bram tuh paling suka buat menertawakan temannya yang terkena masalah, namanya juga Bram, minus akhlak.

Tara, Bram dan yang lainnya tuh bingung. Kerjaan nya tebar pesona tiap hari, tapi satu cewek sama sekali gak mau.

Bukannya gak mau, tapi tak bertahan lama. Entah memakai sesajen apa membuat wanita terpikat oleh ketampanan Arthur Margantra.

Arthur mendengus. "Terusin ketawa lo semua, puas-puasin! Sumpah gue ikhlas,"

"Udahlah Tur, terima nasib kalau emang gak ada yang mau sama lo!" dengan santainya Rasya berucap yang membuat semua nya semakin tertawa.

Lumayan ada hiburan.

"Tuh bener kata Rasya, lo burik sih. Makanya gak ada yang mau. Kalau lo ganteng kan bakalan banyak yang suka sama lo, mending minta mak lo dah buat operasi," Bram bersuara, cowok menepuk pundak kanan Arthur.

"Oke fine! Besok gue operasi, biar lo, lo, lo pada tau. Seberapa gantengnya seorang Arthur Margantra!" tunjuk Arthur pada semuanya yang semakin membuat semuanya tertawa.

"Mending lo permak dah muka lo ke bang Acep, lumayan per meter lima belas rebu." cetus Tara.

"Matamu! Lo pikir gue kain apa, pakai permak-permak segala?" kesal Arthur.

"Lumayan Tur, biar lo gak usah ke dokter bedah. Kalau ke bang Acep kan lumayan, murah, gak banyak biaya, terus bonus plastik lagi." sahut Rayn.

"Udahlah! Capek gue punya temen kayak lo pada!" Arthur, cowok itu capek. Kenapa harus dia yang kena bullyan anak-anak.

Mereka berenam adalah inti Alastair dari SMA Trisatya. Geng turun temurun dari para seniornya. Alastair bukan hanya sebagai geng saja melainkan sebagai pelindung Trisatya.

Jumlah anggota Alastair terdiri dari 130 anggota, mulai dari adik kelas, satu angkatan serta kakak kelas.

Semuanya belum terhitung dengan anggota Alastair di luaran sana. Yang jumlahnya juga lumayan banyak.

Dibawah naungan Arshaka Virendra Aldebaran.

Dan satu hal yang harus kalian ketahui, Arshaka adalah anak dari pemimpin Alastair angkatan pertama. Alvaro Aldebaran, pendiri sekaligus Ketua dari Alastair.

Ingin kenalan dengan inti Alastair?

Oke, yang pertama ada Arshaka Virendra Aldebaran. Ketua geng Alastair dan juga anak penyumbang terbesar di Trisatya. Dia adalah cowok yang disegani oleh semua orang.

Jago bela diri, cukup pintar dalam pelajaran. Membuat nilai plus pada diri Shaka.

Wajah datar dan dingin, terkesan judes. Sosok yang menggambarkan diri Shaka sekarang. Memiliki masa lalu yang membuatnya anti dengan yang namanya wanita.

Memiliki wajah yang begitu sempurna, dengan alis tebal, hidung yang mancung serta bibir pink. Membuat Shaka di gemari banyak kaum hawa.

Hobi tawuran serta balapan adalah makanan sehari-hari bagi Shaka. Serta yang lain.

Kedua ada Rayn Abimanyu, memiliki paras yang rupawan serta senyum yang manis. Jabatan Rayn adalah wakil Alastair. Peran Rayn di sini tak hanya sebagai wakil namun juga sebagai penengah, jika terjadi keributan.

Ketiga ada Rasya Adipati, cowok blasteran Indonesia-Thailand. Posisi cowok itu sebagai bendahara, pemegang uang kas Alastair.

Tentunya hidup cowok itu tak akan jauh-jauh dari uang. Mempunyai mimpi sebagai pengusaha muda, membuatnya harus mengikuti dunia bisnis sejak umurnya 15 tahun.

Keempat ada Afgan Tara, cowok yang gak bisa diem sama seperti Bram, kalau dibandingkan sama Bram masih mending Tara sih. Dia juga absurd kadang, entah pertanyaan atau ucapannya yang membuat orang-orang menatap nya dengan berbagai ekspresi.

Kelima ada Bramanyu Pradipta. Bram itu ganteng, keren gitu pokoknya, tapi ada yang disayangkan dari cowok itu. Gak bisa diam, pecicilan dan banyak tingkah.

Sifatnya hampir sama dengan Arthur, play boy, meskipun gak separah Arthur sih. Masih dibatas normal.

Tapi jangan salah dulu, meskipun Bram pecicilan, gak bisa diam, playboy. Namun dia pencinta binatang. Banyak sekali binatang di rumahnya.

Ada burung, kucing, ikan, kura-kura, banyaklah. Yang paling penting monyet, ya Bram sangat suka dengan monyet. Apalagi yang kecil-kecil.

Sampai anak-anak bingung, mereka itu main ke rumah Bram. atau ke kebun binatang sih?

Dan terakhir, ada Arthur Margantra. Cowok dengan sejuta play boy nya, wajahnya tak tampan, tak jelek juga. Standar lah ya. Tapi kalau sama Shaka masih tampan Shaka.

Namun nyatanya, dengan wajahnya yang pas-pasan ini, dia bisa bisa memikat banyak wanita, entah berapa banyak.

Hingga tak sadar keenam cowok itu telah sampai di depan kelas. Shaka melempar tasnya di kursi pojok. Setelah itu cowok itu berjalan keluar, tanpa masuk kedalam.

Begitu pun dengan yang lainnya. Mereka pun sama, keenam cowok itu berjalan menuju ke kantin. Menjadi prioritas mereka untuk ke kantin. Biasa nongkrong plus bolos pelajaran.

Malas berkutat dengan pelajaran, yang membuat bosan serta kantuk datang.

Walaupun sering bolos pelajaran, otak Shaka cukup pintar. Bolos aja membuatnya pintar gimana yang gak bolos. Apalagi kedua orang tuanya sama-sama pintar dalam beberapa bidang

Yang membuat Shaka terkena getahnya.

"Pak, kacangnya tiga ya!" Tara mengambil tiga bungkus kacang kering.

"Oke, tinggal bapak tambah ke utang ya! yang kemarin belum kamu bayar." ucap pak Husen -lapak tongkrongan Alastair kalau di kantin.

"Parah lo Tar, ganteng-ganteng banyak utang lagi." cetus Bram.

"Bukan-"

"Pak, cola nya satu. Sekalian bayar punya Tara sama yang lain." Shaka memberikan uang tiga lembar berwarna merah.

Semuanya bersorak, lumayan gratis.

"Pak mie rebus pakai telur sama cabai yang pedes ya!" ucap Arthur, tak tau malu ya gini.

Dan dibalas acungan jempol sama pak Husen.

"Gak tau malu lo Tur!" celetuk Rayn, cowok itu mengambil mie kremes yang ada di depannya.

"Rejeki itu gak boleh ditolak, gak baik." ucap Arthur.

"Eh katanya ada anak baru ya?" ucap Bram, biasa Bram kan cowok-cowok tukang gosip, jadi kalau ada berita yang hot percayalah Bram yang tau duluan.

Rasya yang dari tadi memainkan handphone terhenti. "Lo tau dari mana?"

"Kayak kagak kenal Bram aja, dia kan kang gosip di sekul. Apalagi kalau berita nya hot. Kenapa lo gak jadi host nya rumpi aja sih?" sahut Arthur, cowok itu memakan kacang yang tadi dibeli oleh Tara dan membuangnya sembarangan.

Udah minta, seenak jidat lagi.

"Buang yang bener Tur!" Shaka berucap tanpa melupakan tampang datarnya.

Yang di tegur malah cengengesan, Arthur memungut kembali kacang yang berjatuhan dan membuangnya ke tempat sampah.

"Demi apa sih?" Rayn menatap Bram percaya tak percaya sih.

"Lo tau dari sapa dah?" tanya Tara.

"Dari Cakra," ucap Bram.

"Cakra lo percaya sesat!" sahut Arthur.

"Sesat mana sama lo?" tanya Rasya.

...…...

Alhamdullilah cerita Arshaka udah dibuat, hem semoga sampai tamat ceritanya nyambung ya..

Vote and komen nya jangan lupa

SEMOGA TERHIBUR

Aruna Priyanka Zoey

Rambut panjang yang dia ikat kuda tak lupa dengan jepit emas dengan hiasan mutiara putih yang sudah dia sematkan di poni kanannya, serta make up natural yang semakin mempercantik dirinya.

Dengan tas ransel berwarna hitam, yang sudah ada di pundak kanannya. Menatap ke arah kaca.

Sempurna

Senyum manis terbit di wajah gadis itu, Aruna namanya. Lebih tepatnya Aruna Priyanka Zoey. Gadis yang tahun ini menginjak usia 16 tahun, anak kedua dari Bima Zoey dan Ayuna Pramita.

Mempunyai kakak laki-laki bernama Arfan Pratama Zoey. Umur keduanya bertaut 3 tahun. Arfan mengambil salah satu jurusan di Universitas Jakarta Selatan.

Runa, nama panggilan gadis itu. Dirinya cukup beruntung dengan keluarganya ini. Mempunyai Ayah yang tegas serta Bunda selembut dan sebaik hati ini.

Yang membuat Runa merasa aman, apalagi dengan bang Arfan. Yang selalu menjadikannya seorang princess.

Walaupun Runa benci dengan kata itu, baginya princess adalah gadis kecil yang cantik dan lucu. Sedangkan dirinya, gadis yang mengalami masa pertumbuhan.

Mengambil handphone serta charger, Runa turun ke bawah untuk membantu Bunda dan sarapan bersama-sama.

Bertepatan dengan Arfan yang keluar dari kamarnya, dengan pakaian santai sambil menenteng tas. Kamar Arfan tepat berada di samping kanan kamar Runa.

Dengan senyum manis yang terbit pada bibirnya, Runa menyapa abangnya ini. "Selamat pagi abang," sapa nya.

"Morning too, princess," merangkul pundak Runa dan mengajaknya turun ke bawah.

Runa mendengus kesal, menepis pelan lengan Arfan. "Aku tuh udah gede ya bang, bukan anak kecil lagi!" kesalnya, ketika Arfan memanggilnya princess.

"Kan emang lo anak kecil," dengan santainya Arfan berkata.

Runa mendelik tak terima. "Runa udah umur 16 tahun, bukan anak kecil lagi." ucapnya.

"Yakin lo 16 tahun? Kok rasanya mustahil, bukanya kemarin lo baru 3 tahun kok sekarang 16 tahun." ucapan Arfan seakan ejekan bagi Runa.

Runa memutar bola matanya malas. Meninggalkan Arfan, pagi-pagi dirinya harus ribut dengan abangnya ini. Mending bantu Bunda buat bikin sarapan.

Arfan menatap Runa dari atas hingga bawah, keningnya berkerut. "Bentar," cegat Arfan. "Tumben banget udah rapi lo, biasanya juga masih kucel. Wah kayaknya gue harus kasih lo penghargaan deh."

"Tulisannya apaan ya?" Arfan mengelus dagunya seakan berfikir, setelah itu menjentikkan jarinya. "Aruna menjadi gadis rajin, gimana cocok gak?" tanya Arfan.

Runa mendengus kesal. Memukul pelan lengan Arfan. "Ih ngeselin!"

Arfan meringis. "Kan bener dek? Lagian lo belum pernah kan dapat penghargaan? Karena gue baik hati dan tidak sombong, makanya gue buatin buat lo," ucap Arfan.

"Gue buatin yang besar banget gimana?" lanjut Arfan.

Menatap malas Arfan. "Bodo amat!" setelah itu Runa pergi meninggalkan Arfan.

Arfan berjalan mengikuti Runa dari belakang. Hampir saja dirinya menabrak punggung Runa, akibat adiknya menghentikan langkahnya mendadak.

Runa menoleh ke belakang. "Abang ngapain ikutin Runa?" tanyanya.

"Sarapan," balasnya singkat.

"Terus? Ngapain disini, katanya mau sarapan?"

Arfan menatap adiknya gemas. "Meja nya ada di belakang lo bambang!"

"Kan jalanan lebar?" melebarkan kedua tangannya untuk mengukur jalan.

"Udah gak usah dijawab, mending aku bantu Bunda masak daripada ribut sama abang." setelah itu Runa pergi meninggalkan Arfan.

"Pagi Bunda!" Tak lupa mengecup singkat pipi Yuna. "Bunda mau masak apa hari ini? Aku bantu ya?" tawarnya.

"Pagi sayang, wah putri Bunda udah rapi aja, ini Bunda lagi masak bubur ayam, kamu bawa nih ayam sama toping yang lain ke atas meja ya," suruh Bunda yang lagi sibuk mengaduk bubur.

Runa mengacungkan jempolnya. Mengangkat piring berisi toping ke atas meja. "Pagi Ayah," sapa Runa pada Ayah yang baru saja keluar kamar.

Ayah mengecup singkat kening Runa seraya menarik kursi. "Pagi sayang, tumben banget udah rapi gini?"

"Biasa pencitraan," cetus Arfan.

Runa mendelik tak terima, gadis itu melemparkan beberapa kacang dan kembali ke dapur sebelum amukan massal meneriaki telinganya.

"RUNA!" Tuh kan bener.

"Ada apa pagi-pagi berantem, udah ayo sarapan." Ajak Bunda menuangkan bubur ke dalam mangkok.

"Bunda, Runa, Arfan. Ayah pamit kerja ya, ada rapat pagi yang harus Ayah datangi, dek berangkat sama abang ya. Gak papa kan sayang?" tanya Ayah Bima dengan lembut.

Runa tersenyum masam, di awal sekolah lagi-lagi tak bisa diantarkan Ayah padahal gadis itu ingin sekali diantar, baru dua hari kumpul sekarang harus pisah kembali.

Namun Runa tak boleh egois, ini semua juga demi dirinya, untuk memenuhi kebutuhannya.

Ayah Bima bekerja di sebuah pabrik, kadang di dalam kota kadang diluar kota. Bahkan sang ayah tak pulang selama beberapa hari ke depan.

Setiap ayah pergi Arfan lah yang menjadi pengganti. Untuk melindungi Runa dan Bunda.

Bunda Yuna bekerja sebagai tukang kue, memiliki ruko yang lumayan jauh dari rumah. Mungkin sekitar 20 menit untuk jalan kaki.

Rukonya tak luas, tapi setelah di renovasi kemarin cukup lah buat jualan.

Ayah bangkit dari kursi dan berjalan keluar, di ikuti oleh bunda dan yang lain. Ketiganya pamit untuk melaksanakan aktivitas masing-masing.

"Bunda, Ayah. Arfan sama Runa pamit ya." tak lupa Arfan menyalami tangan kedua orang yanga dan mengecup pipi.

"Yah, Bun. Runa pamit ya. Assalamu'alaikum." pamit Runa, tak lupa menyalami tangan keduanya.

"Waalaikumsalam, ati-ati ya! jangan ngebut-ngebut." Ingat ayah Bima.

"Siap yah!" teriak Arfan yang sudah berada di atas motor.

Perlahan motor itu meninggalkan pekarangan rumah. Menembus padatnya kota Jakarta.

"Bang Arfan." panggil Runa sedikit teriak, akibat ramainya jalan.

"Kenapa dek?"

"Runa kasihan sama ayah." Runa menyandarkan dagunya di atas pundak Arfan.

Arfan mengangguk setuju. "Gue juga, mau bantu juga lo tau sendiri ayah gimana." Runa juga setuju. Ayah bakal marah jika abang bekerja. Karena baginya Ayah Bima lah yang bertanggung jawab atas keluarga kecil nya ini.

Bima ingin kedua anaknya untuk belajar saja, bukan bekerja. Dengan mendapatkan nilai yang bagus serta mendapatkan beasiswa membuat Bima menjadi senang.

Bang Arfan, mengambil jurusan tentang perusahaan. Katanya bang Arfan ingin membangun perusahaan. Runa bangga dengan abangnya yang satu ini. Udah gitu abang bisa dapat beasiswa dari kampus, tanpa harus bayar.

"Bang," panggil runa sekali lagi.

"Apa?"

"Gimana kalau kita bikin jualan. Sekalian bantuin jualin rotinya bunda." saran Runa.

"Apa yang bakal lo jual?" tanya Arfan, sesekali melirik Runa dari kaca spion.

"Ada banyak, aku kan bisa buat kerajinan. Pasti ada yang beli." Kata Runa.

"Lo lupa, kejadian dua tahun lalu?" tanya Arfan, yang fokus menatap jalanan.

Kejadian di mana keuangan keluarga Runa sedang ada masalah. Arfan dan Runa yang harus berjualan diam-diam, untuk membantu keuangan mereka.

Sampai akhirnya ayah tau kalau mereka berdua berjualan diam-diam. Untung saja ayah tak marah, hanya memberikan nasehat pada Arfan dan Runa.

"Kenapa gak kita coba dulu, kita bisa bilang ayah nanti. Pasti ayah tau-"

Seketika motor berhenti mendadak, Runa yang ingin melanjutkan ucapannya terhenti akibat kepalanya ketatap punggung tegap milik Arfan.

"Aduh sakit, kalau mau rem dadak itu bilang-bilang. Bukannya ngerem dadak kayak gini." ringis Runa, mengusap kening nya menatap punggung Arfan.

"Bentar turun dulu, motornya mati." suruh Arfan.

Runa menatap Arfan bertanya-tanya. "Kok bisa?"

"Mana gue tau, buruan turun bentar," ujar Arfan sekali lagi.

Runa menghela napasnya kasar, dan turun dari motor. "Motornya kenapa?" Runa melipat kedua tangannya di depan dada, menatap abangnya yang sibuk mengecek motor.

"Ban nya kempes, mau gak mau kita harus dorong. Kayaknya di pertigaan sana ada tukang tambal ban, dorong!"

Runa mendengus kesal. Membantu mendorong motor. Tak henti-hentinya dia mengumpat dalam hati. Baru hari pertama masuk sekolah, banyak banget kendalanya.

"Bang masih lama kah?" kaki Runa begitu capek, sudah sejauh ini tapi masih saja belum menemukan tukang tambal ban. Menatap jam yang sudah menunjukan pukul 7 kurang.

"Bentar lagi tuh depan. Yok bisa yok Dorong!"

Hingga akhirnya setelah sekian lama, keduanya menemukan tukang tambal ban, keduanya duduk menatap motor yang sedang di perbaiki.

"Masih lama kah?" Tanya Runa, entah berapa kali dia menanyakan hal tersebut, sekarang jam sudah setengah delapan. Yang artinya Runa telat.

"Bentar lagi, sabar."

"Dari tadi sabar mulu, udah jam segini juga. Runa bisa telat kalau gini, mana lagi Runa masih baru, masa iya Runa harus telat sih." Ocehan Runa.

"Sabar kali, tuh abangnya lagi benerin. Lagian ya guru lo juga paham kali. Lo itu anak baru, gak bakal kena hukum." Ucap Arfan memberikan pengertian.

"Ih tapi kan Runa baru abang, masa iya murid baru datangnya telat." Kekeuh Runa.

"Gak bakal Runa, adik gue tersayang. Gak bakal lo dihukum, kalau lo dihukum bilang sama gue," gemas Arfan pada adiknya yang satu ini.

"Bang masih lama?" tanya Arfan pada tukangnya.

"Ini bang udah." Arfan bangkit menghampiri motornya dan menyalakannya. Memberikan helm pada Runa.

"Naik," mengulurkan tangan, membantu Runa naik ke atas motor. Menjalankan kembali motor itu ke sekolah Runa. Hingga keduanya sampai di depan sekolah.

"Makasih abang, udah buat Runa telat." Runa mengecup singkat tangan Arfan.

Arfan menatap jam sekilas. "Ya elah, jam segini juga. Gak papa kali,"

"Mana ada, udah Runa masuk. Bye abang, ati-ati jangan ngebut-ngebut." Runa masuk melambaikan tangannya kepada Arfan.

Trisatya

Berdiri di depan gerbang SMA Trisatya. Tempat yang nantinya akan Runa kunjungi setiap hari, selama dua tahun ke depan.

Sekolah yang dianggap unggul, dengan sejuta prestasi baik akademik maupun non-akademik.

Runa bangga bisa masuk di sini, sekolah yang memang cukup mahal untuk sebagian orang.

Karena sekolah ini memiliki pembayaran SPP yang cukup membuat kantong menangis.

Trisatya adalah sekolah yang memang cukup terkenal, lulusan di sini rata-rata memiliki pendidikan yang cukup baik. Memiliki pekerjaan yang bagus juga.

Walaupun baik, Trisatya adalah sekolah yang bisa di bilang. Memiliki citra yang cukup kurang baik, memiliki geng turun-temurun yang sebagian orang memandangnya sebelah mata.

Meskipun begitu tak jarang juga yang mengapresiasi mereka, karena adanya mereka bisa menjaga nama sekolah serta membantu para anggota OSIS.

Kepala Runa menoleh ke kanan dan ke kiri. Menatap lapangan yang memang udah sepi, sudah setengah sembilan sekarang.

Tak lama datang seorang satpam. "Neng, ada apa ya?" tanya satpam itu.

Runa cukup terkejut dengan kehadiran satpam itu. "Saya mau masuk ke dalam pak, boleh?" Tanya Runa dengan sopan.

"Neng nya terlambat ya?" Runa mengangguk kecil. "Maaf neng, gak bisa udah telat soalnya."

"Maaf pak, saya murid baru. Tadi telat karena ban saya kempes." jelas Runa.

Satpam itu terdiam, "sebentar neng tunggu di sini sekejap." Satpam itu malah meninggalkan Runa, Runa hanya bisa mengangguk sambil sesekali melihat jam.

Tak lama pak satpam itu kembali lagi. "Neng nya pindahan Manggala bukan?" tunjuk pak satpam bernama Jaka, yang tertulis di nametag.

"Iya Pak, saya dari sana. Boleh saya masuk?" tanya Runa kembali.

Satpam itu langsung saja membukakan pintu. "Iya neng, silahkan masuk." ucapnya mempersilahkan Runa masuk. "Maaf neng saya ndak tau, kalau neng nya murid baru."

Runa tersenyum paham. "Nggak masalah pak, Runa mengerti. Bapak hanya menjalankan tugas bapak saja."

"Oh iya, ruang kepala sekolahnya ada di mana ya pak?" tanya Runa sambil menatap sekeliling.

Luas sekali, batin Runa.

"Lurus aja, nanti belok kiri terus aja di sebelah Barat. Nah itu ruangannya. Mau bapak antar tidak?" tawar Pak Jaka.

Runa menggeleng. "Ndak usah pak, saya bisa sendiri. Terima kasih udah dipersilahkan masuk. Kalau begitu saya permisi pak, makasih sekali lagi." tolak Runa dengan suara lembut nya.

"Iya neng silakan, maaf ya neng sekali lagi." ucap pak Jaka tak enak.

"Iya pak, saya permisi dulu makasih." gadis itu pergi meninggalkan pak Jaka.

Berjalan mengikuti arahan pak Jaka, sambil mengingat-ingat. Menatap sekeliling yang sepi karena masih jam pelajaran. Sesekali Runa menoleh ke belakang.

Hingga Runa tak menyadari ada seseorang di depannya, dan Runa tak sengaja menabrak orang itu.

Bruk

Runa menabrak seseorang yang membuatnya tersungkur di atas lantai koridor. Mendongak keatas menatap siapa yang baru saja menabraknya.

"Ma-maaf, gak seng-" ucapannya terhenti ketika, kedua mata tajam bakal elang sedang menatapnya tajam dan jangan lupakan raut wajah datarnya yang membuat siapa saja takut.

Mata keduanya saling menatap beberapa detik, namun dengan cepat cowok itu mengalihkan pandangan dan pergi, meninggalkan Runa yang masih terduduk di atas lantai. Tanpa sepatah kata apapun.

Runa langsung tersadar, dia pun berdiri. Setelah itu menoleh ke belakang, menatap punggung laki-laki berbadan tegap itu yang semakin lama, semakin hilang termakan tembok.

Runa menggelengkan kepalanya sekilas, melanjutkan kembali mencari ruang kepala sekolah. Hingga Runa menemukan tempat yang dia cari dari tadi.

Tok.. tok.. tok..

Runa mulai memegang ganggang pintu dan membukanya perlahan.

"Masuk," ujar pria paru baya yang ada di dalam. Runa masuk setelah mendapatkan izin, dan tak lupa menyalami pria paru baya itu.

"Kamu pasti Aruna Priyanka Zoey kan? Anak pindahan SMA Manggala bukan?" tanya pak Gunawan, nama yang terpampang di atas meja.

"Iya pak," senyum manis tak pernah luntur pada bibir mungil Runa.

"Baiklah, kamu masuk ke kelas 10 IPS 5. Sebentar lagi Bu Hana selalu wali kelas kamu akan kesini dan mengantarkan kamu ke kelas," jelas pak kepala sekolah.

Runa mengangguk sambil tersenyum. "Baik pak,"

Benar saja, tak menunggu waktu lama, pintu terbuka menampakan wanita paru baya seumuran Bunda Yuna masuk ke dalam.

"Ada yang bisa saya bantu pak?" tanya wanita itu.

"Dia murid baru di kelas 10 IPS 5, namanya Aruna Priyanka Zoey,"

Bu Hana manggut-manggut. "Baik pak, kamu ikut ibu, biar ibu antar kan kamu ke kelas," ujarnya.

"Semoga betah disekolah ini,"

Runa mengangguk kecil sambil tersenyum. tak lupa sebelum keluar dirinya menyalami pak kepsek sebagai rasa hormatnya. Mengikuti langkah Bu Hana dari belakang.

Sampai keduanya sampai di depan kelas, Bu Hana masuk terlebih dahulu. "Kamu tunggu di sini sebentar ya,"

"Selamat pagi anak-anak!" sapa Bu Hana memasuki kelas, keadaan ricuh dan berisik terganti menjadi hening.

"Pagi Bu!"

"Baiklah sebelum pelajaran ibu di mulai, pagi ini kita kedatangan murid baru disekolah, nak boleh masuk," Bu Hana mempersilahkan Runa masuk. "Silakan perkenalkan diri kamu,"

Semua murid menatap ke arah pintu, semuanya saling lirik satu sama lain. Tak jarang bisik-bisik terdengar.

"Hai semua, aku Aruna Priyanka Zoey, pindahkan dari SMA Manggala. Salam kenal semua," tak lupa dengan senyum manis yang tercetak jelas di bibirnya.

"Ada yang ditanya kan?" tanya Bu Hana.

"Saya bu!" Bejo mengangkat tangan.

"Iya Jo?"

"Minta nomer WA nya dong cantik?" Bejo degan tatapan genitnya, sambil mengedipkan matanya sebelah.

"Bejo!" Bu Hana menatapnya tajam.

"Lha kok marah sih bu, kan tadi ibu bilang. Ada yang ditanya kan?" Bejo mengikuti ucapan Bu Hana. "Ya udah, saya jawab aja. Ad-"

"Diam kamu. Kamu boleh duduk di samping Vanya, Vanya angkat tangan!" anak yang di panggil Vanya mengangkat tangan.

Runa berjalan ke meja Vanya, "Hai gue Vanya, salam kenal." Vanya mengulurkan tangannya sambil memperkenalkan diri.

"Hai aku Aruna, panggil aja Runa salam kenal kembali," Runa membalas jabatan Vanya.

Dan pelajaran pun di mulai, Vanya membantu Runa membuka halaman yang di tuju, tak lupa Runa mengucapkan terima kasih.

Pelajaran kali ini adalah Geografi, pelajaran yang paling Runa sukai.

.........

Bel istirahat berbunyi seantero sekolah, jam yang dinantikan oleh semua murid membuat semuanya berbondong-bondong berlarian keluar kelas.

Runa membereskan buku-buku dan memasukkannya ke dalam laci, gadis itu menunggu Vanya menyelesaikan rangkumannya.

"Hai Runa, kenalin gue Yudha wakil ketua kelas. Salam kenal," sapa Yudha memperkenalkan dirinya

"Hai aku Runa,"

"Kenalin gue Bianca, sekertaris kelas. Dan dia Rafa bendahara kelas. Salam kenal, semoga betah ya sama kelas ini." gadis berkaca mata itu tak lupa memperkenalkan cowok bermuka datar di sampingnya.

"Runa, salam kenal kembali."

"Kita ke kantin duluan ya, lo mau gabung gak?" tanya Yulia.

"Nanti aja, aku mau nungguin Vanya selesai," tolaknya.

"Oh oke, gue duluan ya bye!" Mereka berempat pergi meninggalkan Vanya dan Runa yang hanya berduaan di kelas.

"Gue udah selesai, yuk ke kantin gue udah laper!" ajak Vanya dengan wajah antusiasnya.

Runa tak kalah antusiasnya. "Ayo! Aku juga lapar,"

Keduanya berjalan menuju ke kantin, sampai nya di kantin keduanya duduk di kursi yang kosong.

"Mau pesan apa? Biar sekalian gue yang pesan." Tanya Vanya.

"Es jeruk sama soto aja,"

Vanya mengacungkan jempol, meninggalkan Runa sendiri. Runa menatap sekeliling kantin. Luas dan pastinya lengkap. Tak seperti sekolahnya dulu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!