"Kamu yakin, akan tinggal disini mulai sekarang?"
Tanya Selli, matanya menatap tajam Nanda yang sibuk menghabiskan sarapannya.
"Hmm... kenyang."
Nanda terlihat tersenyum lebar, memperlihatkan sederet giginya yg berbaris rapih dan putih, satu piring nasi goreng ala anak kos dan satu gelas teh manis sudah berdiam damai diperutnya, Selli terlihat mendengus.
"Tempat ini bagus kok, nyaman, sepertinya aku akan kerasan tinggal disini, tenang saja."
Selli sejenak terlihat memandang ke sekeliling ruangan berukuran 4x7 meter itu, rumah kontrakan yang hanya terbagi menjadi tiga ruangan itu benar-benar memprihatinkan untuk pandangan Selli.
"Sudahlah... aku tahu apa yang kamu pikirkan, tapi yang jelas aku pastikan aku baik-baik saja Sell."
Nanda kemudian bangkit berdiri dari posisinya duduk lesehan di karpet, dibawanya piring bekas makannya ke arah ruang belakang yang merupakan dapur ala kadarnya, bersebelahan dengan kamar mandi sempit yang juga ala kadarnya.
Selli menyambar tas tangan mahalnya, lalu berjalan menyusul Nanda yang terlihat sibuk mencuci piring kotornya.
"Aku benar-benar tidak habis pikir bagaimana bisa kamu lebih memilih tinggal di sini daripada di rumahku."
Kata Selli sambil tangannya mengambil beberapa lembar uang ratusan ribu untuk kemudian disodorkan pada Nanda.
"Hei, apa ini Sell?" Nanda cepat menghindar.
"Terimalah, setidaknya supaya aku bisa sedikit tenang. Bagaimanapun, Nenek pasti akan menyalahkan aku jika tahu kamu tinggal di tempat seperti ini. Apa kamu lupa bagaimana nenek selalu menelfon aku saat kamu berencana datang ke Jakarta."
Nanda sejenak menatap Selli yang matanya terlihat memerah.
"Sori kalo aku jadi beban" Kata Nanda.
"Kalau sudah tahu jadi beban, harusnya jangan seenaknya pindah. Aku bingung harus menjelaskan apa pada Nenek. Aku bahkan sudah janji akan membantumu mencari Ibu Ratna!!"
Selli terlihat begitu kesal. Nanda hanya terdiam. Dia mencoba mengerti posisi Selli.
Meskipun Nanda yakin sebetulnya Selli tahu kenapa Nanda memutuskan untuk keluar dari rumah Selli sejak beberapa hari lalu, hanya saja pasti sulit untuk Selli membuka semuanya dengan Nanda, begitu juga Nanda sendiri, rasanya ia bahkan tidak tahu harus memulai dari mana jika membahas semuanya dengan Selli.
Sungguh, Nanda tidak bisa, atau lebih tepatnya tidak sanggup.
Selli akhirnya meletakkan beberapa lembar ratusan ribunya diatas dapur, lalu berbalik untuk pamit pulang. Nanda menatap saudara sepupunya itu dengan perasaan campur aduk.
**------------**
Kantor Notaris tempat Nanda magang masih terlihat sepi. Gadis itu melenggang masuk dan mendapati hanya Bang Radit yang sudah duduk di mejanya menata berkas.
"Pagi Bang Radit. " Sapa Nanda ceria.
"Pagi juga anak magang yang masih rajin."
Sahut Bang Radit iseng, membuat Nanda memanyunkan bibirnya. Nanda meletakkan tas selempang kumalnya di atas meja dekat monitor, lalu menghampiri meja Bang Radit untuk menawarkan bantuan karena seniornya itu terlihat kerepotan.
"Mau ke Kantor Pertanahan ya Bang?"
"Iya nih, harusnya berkas udah siap semua tapi malah masih berantakan begini, emang si Mona dan Bela ngga bisa diandalkan."
Bang Radit menggerutu.
"Jangan gitu Bang, mereka sibuk banget belakangan ini, banyak kerjaan notaris juga yang harus selesai, mana dari Bank juga numpuk."
Nanda berusaha membuat kedamaian dan kestabilan kantor terjaga dengan tidak menambah kompor
"Ah' aku tuh kerja sama mereka berdua udah lebih dari empat tahun, udah tau mereka lebih banyak ngerumpi dan main hp, apalagi sejak ada si Niko, teller baru di Bank sebelah."
Bang Radit kemudian menumpuk beberapa map berisi berkas yang sudah dianggap lengkap. Satu map lain ia pisahkan dan ia tempel kertas memo dengan tulisan berderet-deret.
"Taruh di atas meja Mona, biar dia baca."
Kata Bang Radit pula sambil memberikannya pada Nanda.
"Siap." Nanda tersenyum lebar, lalu menuruti Bang Radit meletakkan map berkas itu di atas meja Mona.
Bang Radit kemudian menyambar jaketnya, lalu berjalan melewati Nanda menuju pintu keluar.
"Sarapan dulu yah." Katanya santai.
"Oke." Nanda mengacungkan ibu jari.
Nanda duduk di depan mejanya sendiri, menatap sejenak tas kumalnya yang masih teronggok diatas meja. Bagian talinya sudah agak sobek dan ia kait dengan peniti.
Ada rasa ingin beli tas baru, tapi keuangannya tidak memungkinkan untuk itu. Ia harus benar-benar hemat. Tabungannya terkuras habis untuk bayar kontrakan beberapa hari lalu dan membeli beberapa alat rumah tangga seperti panci, kompor, piring dan sebagainya.
Ah' beruntung, ia mendapatkan kasur cuma-cuma dari ibu pemilik kontrakan, karena ia mendapati Nanda hanya tidur beralas karpet.
Nanda meraih tas kumalnya, dan entah kenapa ia teringat uang pemberian Selli, tapi...
"Ah' tidak.. aku tidak akan memakainya." batin Nanda meyakinkan diri.
Nanda kemudian mengalihkan perhatiannya, ia mulai menyalakan komputer, ia ingat kemarin janji pada Rio untuk membantunya menyelesaikan beberapa akta, sebagai ganti ia meminta tolong pada Rio mencarikan alamat Ibu Ratna.
"Hai Nan... udah kerja aja."
Suara yang jelas tak asing itu memaksa Nanda memalingkan wajah kearah asal suara.
Rio, cowok itu menenteng ransel lalu melewati meja Nanda dan duduk di tempatnya yg memang tepat di belakang Nanda.
"Udah sarapan belom?" Tanya Rio.
"Udah, tadi di rumah." Sahut Nanda.
"Baguslah, berarti hari ini sudah siap bekerja keras hahaha..." Rio tertawa, Nanda nyengir keki.
Bersamaan dengan itu dua gadis cantik yang penampilannya selalu menarik, si Mona dan Bela memasuki kantor, sungguh macam bumi dan langit penampilan mereka dengan Nanda.
"Tumben Rio udah di kantor."
Celetuk Mona sambil duduk dengan cantik di tempatnya.
"Iyalah... emangnya kalian, dari tahun ke tahun tidak ada perubahan."
"Huuu enak aja." Bela memanyunkan bibirnya.
"Eh... apa nih." Mona mengambil map dengan catatan diatas mejanya.
"Dari Bang Radit" Kata Nanda memberitahu
"Hrhg.... selalu!"
Mona langsung terlihat kesal.
**----**
Warung Makan Ibu Yuni, begitu tulisan yang terpampang di spanduk depan warung, spanduk berwarna hijau cerah mencolok dengan warna tulisan merah menyala berukuran besar.
Di jam makan siang kantor, warung itu adalah salah satu warung yang paling ramai, selain menu yang disajikan beragam, rasanya juga terkenal lezat dan yang paling penting harganya ramah di kantong.
"Makan apa Nan?"
Tanya Rio ke arah Nanda yang berdiri disebelahnya ikut mengantri.
"Ayam goreng aja sama kentang balado, kasih sambel dikit."
"Itu doang?"
Nanda mengangguk.
"Kamu tugas nyari tempat duduk gih, biar aku yang ngantri."
Perintah Rio pula. Nanda pun menurut, lalu bergegas mencari bangku dan meja yang masih kosong.
Ini sudah bulan kedua Nanda bekerja menjadi pegawai magang, dan hampir setiap hari Nanda menghabiskan jam istirahat siangnya dengan Rio.
Untuk Nanda, bertemu Rio seperti bertemu kakak laki-laki yang selalu bisa diandalkan.
"Bikinin es jeruk dua mba, anterin ke meja saya ya."
Kata Rio dengan gaya santai khasnya pada salah satu pelayan warung, lalu berjalan ke arah Nanda dengan dua piring berisi makan siang mereka.
"Makan yang banyak, kamu belakangan pucat pasi macam cacing kurang olahraga."
Ujar Rio sambil meletakan piring makan siang Nanda.
"Ikh, emang cacing olahraga?"
"Olah ragalah, makanya dia langsing."
"Ikh..." Nanda nyengir.
Tak selang berapa lama seorang pelayan warung menghampiri mereka, meletakan dua gelas es jeruk sesuai pesanan Rio.
"Ohh ya, soal alamat Bu Ratna kemarin, aku sudah datengin lagi, bener kata kamu udah tutup. Aku nyari-nyari info katanya dia tinggal di Menteng. Aku ada temen namanya Niko, dia dulu tinggal di Menteng."
"Niko?"
Nanda mengerutkan dahi, menatap Rio sejenak.
"Niko, teller Bank sebelah. Oh iya, kamu belum kenal yah. Dia temenku dari SMA, nanti aku nanya ke dia deh, sapa tau dia kenal."
Nanda mengangguk senang mendengarnya. Sungguh jika pencariannya langsung membuahkan hasil, ia amat bersyukur.
"Harusnya dari dulu ngomong sama aku, kan pasti udah ketemu."
Kata Rio lagi.
"Tadinya aku pengin nyari sendiri dibantu saudara, tapi akhirnya aku..."
Kalimat Nanda menggantung, ia menatap Rio lagi.
"Apa...? Aku apa? Aku tampan?"
"Huuu... tuh baru tampan."
Nanda menunjuk kepala Lele di atas piring Rio.
**-----**
Hari mulai senja. Warna lembayung seolah mulai menyapu langit dari ujung ke ujung. Menghiasi wajah-wajah langit mengiring mentari kembali ke peraduan.
Nanda duduk di salah satu bangku di metromini yang penuh sesak. Kepalanya bersandar pada jendela kaca yang sedikit dibiarkan terbuka agar tak terlalu pengap. Matanya nanar menatap jalanan.
"Sudah hampir satu tahun Ibu Ratna tidak ada kabar berita, sekarang kamu sudah menyelesaikan kuliah, Nenek ingin sekali bisa menemuinya lagi, ingin mengucapkan banyak terimakasih."
Hari itu musim hujan pertama, riuh suara gemericik air yang turun dari langit menyentuh atap terdengar syahdu. Nanda duduk di samping Nenek yang terbaring sakit, tangannya menggenggam tangan Nenek yang hangat.
"Nanda akan cari beliau Nek, Nanda juga ingin bertemu beliau." Lirih Nanda pilu.
Terbayang wajah Ibu Ratna yang ayu, dengan penampilannya yang begitu anggun dan pembawaannya yang begitu berwibawa. Nanda masih kecil saat melihat Ibu Ratna pertama dan terakhir kali.
Yah saat itu, tanggal dua belas Januari tahun dua ribu delapan, tepat hari ketiga di mana kedua orangtua Nanda di makamkan, Ibu Ratna datang ke rumah Nenek untuk mengucapkan bela sungkawa, memperkenalkan diri sebagai mantan teman kerja Ayah saat ada di Jakarta.
"Ibu jangan khawatir untuk semua kebutuhan Nanda, biarlah saya yang akan menanggung, sekolah dan sebagainya saya pastikan akan menanggung semuanya."
"Tapi..." Nenek tampak ragu, Ibu Ratna tersenyum anggun.
"Saya banyak hutang dengan Ayah Nanda, biarkan saya melunasinya."
Begitu Ibu Ratna beralasan.
Hari berlalu, Nanda dan Nenek mulai berfikir bahwa tidak mungkin Ibu Ratna yang bukan orang biasa saja itu memiliki hutang begitu banyak pada Ayah yang hanya sekedar pegawai biasa di perusahaan kecil.
Entah apa yang Ibu Ratna maksud dengan hutang, tapi Nanda makin dewasa makin yakin itu bukan hutang uang, karena jumlah yang Nanda terima jelas tidak mungkin jika Ayah Nanda bisa meminjamkan pada orang lain.
"Pasar Minggu... Pasar Minggu."
Tiba-tiba suara lantang terdengar. Penumpang bersiap turun. Nanda juga buru-buru membenahi tasnya, kawasan rumah kontrakannya sudah dekat.
**-----------**
Tepat Nanda turun dari metromini, suara adzan Maghrib berkumandang. Nanda mempercepat langkah kecilnya menyusuri jalanan kecil dari belokan gang menuju tempat kontrakannya.
Lampu-lampu jalan dan lampu teras rumah orang mulai berpendar. Sepi. Sunyi. Sama sebagaimana hidup Nanda selama ini.
Menjadi seorang yatim piatu sejak berusia tujuh tahun, membuat Nanda tak punya banyak kenangan bersama kedua orangtuanya. Hidupnya begitu hampa, ibarat langit yang sepanjang hari tertutup awan mendung tebal.
Nanda masih menyusuri jalanan menuju rumah kontrakannya saat tiba-tiba ia mendengar suara kucing kecil seolah minta tolong, merasa iba Nanda pun bergegas mencari asal suara.
Tak jauh dari Nanda tadi pertama mendengar suara, ada sebuah lubang selokan, Nanda berjongkok untuk memastikan suara anak kucing itu memang berasal dari sana. Dinyalakannya senter di hpnya agar bisa lebih mudah untuk melihat ke arah dalam lubang selokan, dan benar saja, seekor anak kucing terjebak disana.
Nanda pun melepas tas dari bahunya, diletakkannya begitu saja disampingnya, begitupun juga hpnya. Ia mencoba meraih anak kucing itu dengan tangannya tapi tak bisa. posisi anak kucing itu lebih dalam dari apa yang Nanda kira.
Nanda menatap anak kucing itu dengan tatapan bersalah, ia berulangkali mencoba tapi tangannya tak mampu menjangkau. Nanda memutar otak untuk mencari cara lain agar tetap bisa menolong anak kucing malang itu.
Yah, anak kucing malang yang sendirian sebagaimana Nanda selama ini, begitu Nanda merasa.
Disaat Nanda celingak-celinguk berharap ada orang lain yang lewat untuk dimintai tolong, sebuah sepeda motor mendekat dan kemudian berhenti. Seorang cowok turun dari sana, membuka helm lalu menghampiri Nanda.
"Ngapain mba?"
Tanya si cowok pada Nanda yang berjongkok didekat lobang selokan seorang diri.
"Anak kucing Mas, kasian."
Kata Nanda menjauh dari lobang agar cowok itu bisa melihat sendiri. Cowok itupun berjongkok, mencoba melihat ke dalam lobang selokan, suara anak kucing terdengar mulai melemah.
"Tolong senternya mba." Kata cowok itu cepat.
Nanda segera menurut, diarahkannya senter hp nya ke arah lobang selokan dan terlihat anak kucing yang mulai lemah menatap keduanya dengan tatapan memohon yang begitu dalam.
Cowok itupun mengulurkan tangannya, menjangkau anak kucing dengan sekali raih. Nanda sampai tak sadar memegangi lengan cowok itu sambil berulang kali mengucapkan terimakasih.
"Kucing mba bukan?" Tanya si Cowok.
Nanda yang tiba-tiba sadar tangannya berada ditempat yang tidak seharusnya cepat-cepat menariknya. Ia menggeleng untuk menjawab pertanyaan si cowok.
"Miaau... miaau."
Anak kucing itu mengeong, tubuhnya basah dan kotor.
"Kita bawa ke klinik hewan dekat sini, sepertinya dia dehidrasi, pasti sudah lebih dari setengah hari dia disana." Ujar si cowok seraya berdiri.
Nanda meraih tasnya, lalu ikut berdiri juga.
"Ki... Kita?" Nanda bingung
Cowok itu mengangguk lalu menyerahkan anak kucing itu pada Nanda.
"Aku susah bawa dia sambil nyetir motor kan."
"Hah... Ta... tapi..."
Nanda menatap si anak kucing yang juga menatapnya. hihi...
**-----------**
Entah skenario apa yg membuat Nanda akhirnya duduk di depan klinik hewan itu. Menatap jalanan yang penuh oleh kendaraan berlalu lalang.
Hari semakin gelap. Nanda merasa benar-benar sudah gerah dan ingin segera pulang untuk mandi dan istirahat. Tapi...
Nanda melongok ke dalam ruangan klinik melalui kaca. Cowok tadi terlihat masih sibuk bicara, di luar dugaan Nanda, cowok itu sungguh-sungguh peduli dengan si anak kucing.
Nanda menghela nafas panjang, ia menatap langit seolah bertanya pada bulan harus bagaimana, haruskah ia pamit pulang? Tapi ia yang membuat cowok itu menolong si anak kucing dari dalam selokan? Bukankah itu sikap yang tidak bertanggungjawab jika Nanda malah pulang lebih dulu?
Nanda sibuk berpikir tak jelas, sampai kemudian terdengar dering hp nya mengabarkan ada panggilan masuk.
Nanda menatap sejenak layar hp ditangannya, terlihat nama Bibinya, yang tidak lain adalah ibu Selli.
"Yah Bi..."
Nanda akhirnya mengangkat panggilan Bibinya.
"Kamu ini, kalo di telfon kebiasaan ngangkatnya lama." Omel Bibi dari seberang sana.
Nanda diam saja. Sudah biasa Bibinya bersikap begitu. Sejak orangtua Nanda masih hidup, apalagi setelah mereka tiada, sikap Bibi Marsini memang begitu kepada Nanda.
"Bibi sudah dengar dari Selli, kamu katanya keluar dari rumah Selli tanpa pamit dulu, bisa-bisanya kamu begitu sama Selli, sudah bagus sampai Jakarta ada yang nampung, malah tidak tahu terimakasih."
Bibi Marsini meneruskan omelannya.
"Kamu harusnya bersyukur, di usia Selli yang cuma beda dua tahun dari kamu itu dia sudah sukses di Jakarta, dia masih baik nampung kamu, bersedia repot, tapi apa kamu malah begitu, bikin masalah, kalau ada apa-apa kamu mau ya Selli kena marah Nenek? Bibi juga dimarahin Nenek? kamu itu dari dulu selalu seenaknya sendiri, manja, tidak pernah dewasa, tidak bisa menghargai orang lain."
Mendengar Omelan Bibi Marsini yang seolah tak mau berhenti itu, nyatanya cukup membuat emosi Nanda akhirnya ingin terpancing, ia ingin sekali balik memaki Bibi, membuka semuanya agar ia bisa berhenti bicara seenaknya, tapi...
"Dari dulu Bibi sudah sering bilang, belajar seperti Selli, dia bukan cuma cantik tapi baik hati, makanya hidupnya selalu beruntung. Kamu ini, suka sekali membuat masalah, suka membuat Selli yang akhirnya kena marah Nenek karena ulah mu."
Nanda sejenak menghela nafas, mencoba meredam emosinya agar tidak sampai pecah, dijauhkannya hp nya agar suara Bibi tidak terdengar, bersamaan dengan itu cowok yang tadi mengajaknya ke klinik keluar dan menghampiri Nanda.
"Sori lama, Kitten nya untuk beberapa hari ini biar dirawat di sini dulu"
Katanya, lalu tersenyum. Sesaat Nanda merasa terkesiap, senyum itu... manis sekali.
"Oh yah, kenalin, aku Niko."
Cowok itu mengulurkan tangannya, Nanda menerima uluran tangan itu dan mereka berjabat tangan.
"Nanda."
Di seberang sana, Bibi Marsini masih mengomel, tidak menyadari jika Nanda sudah tidak mendengarkan omelan dia lagi.
**-------------**
Malam telah benar-benar larut, jam di dinding bahkan telah hampir meninggalkan setengah dua dini hari. Di luar sana hujan turun cukup deras.
Nanda masih belum juga bisa tertidur. Matanya yang sebetulnya sudah mengantuk seolah menolak untuk terpejam.
Pikirannya berlari ke sana kemari. Melompat-lompat tak tentu arah. Ada banyak ingatan tentang kejadian yang baru ia alami, pun juga yang telah lama berlalu.
Nanda menatap langit-langit kamarnya yang suram. Samar dalam balutan cahaya tipis dari lampu di teras kontrakan yang masuk melalui kaca jendela.
Ia ingat Nenek di kampung. Ia ingat Bibi dengan semua kata-katanya yang selalu menyakitkan. Ia ingat Selli...
Yah, Selli... saudaranya yang selalu dibanggakan Ibunya. Yang seolah hidupnya sempurna dalam semua kebaikan dan keberuntungan.
Nanda menghela nafasnya yang terasa berat. Andai Bibi tahu apa yang sebenarnya, apakah ia akan masih bisa pongah seperti itu? Batin Nanda gundah.
"Oo jadi kamu karyawan magang di kantor Ibu Dewi?"
Niko tampak terkejut, sepertinya ia memang benar-benar tidak menyadari sosok Nanda siapa, dan begitupun juga dengan Nanda.
"Berarti satu kantor dengan Rio kan?"
Tanya Niko pula, Nanda mengangguk.
"Sori, aku bener-bener ngga tau."
"Ngga apa, aku baru magang dua bulan disana, dan jarang keluar, ngga pernah disuruh ke Bank sebelah juga."
Nanda nyengir.
"Semua kerjaan harus dimulai dari bawah, biar kerasa prosesnya."
Niko menepuk-nepuk bahu Nanda.
"Di Jakarta tinggal dimana?"
Tanya Niko lagi.
"Aku tadi mau pulang, kontrakan aku disana."
"Ooh..."
Niko mengangguk.
"Rumah Bibiku ada dikawasan itu juga, Bu Sundari, kenal?"
Nanda menggeleng.
"Aku baru pindah beberapa hari, belum kenal banyak orang disana."
"Hmm gitu, hari ini aku berencana tidur di rumah Bibi, besok harus ngantor pagi soalnya. Ah kita pulang bareng aja, nanti aku antar nyampe rumah."
"Aku... aku bisa naik angkutan kok."
"Hei, udah malam non, ini Jakarta, lebih aman sama aku, percaya deh. Tapi kita mampir makan dulu, laper nih, tuh resto deket sini enak... ayo."
Niko memberikan helm kepada Nanda.
"Ntar keburu malam." Katanya lagi.
Nanda akhirnya menurut, dipakainya helm pemberian Niko dan naik ke boncengan. Niko membawa motornya menuju resto yang tak jauh dari klinik hewan di mana keduanya membawa anak kucing yang baru mereka selamatkan.
"Adikku suka banget kalo aku ajak makan disini, aku rasa kamu juga akan suka."
Niko semangat promosi begitu akhirnya motornya terparkir di area depan resto yang luas. Mereka berdua turun dari motor, lalu berjalan beriringan menuju resto, sampai kemudian Nanda tak sengaja melihat ke salah satu sudut dan mendapati Selli disana.
Yah Selli, ia duduk bersama seseorang, menikmati makan malam dengan santai. sesekali ia terlihat tertawa seolah bahagia adalah sudah menjadi takdirnya.
"Ngg... kita ke tempat lain saja yah."
Tiba-tiba tangan Niko meraih Nanda yang tertegun di tempatnya. Meskipun Nanda tidak tahu alasan Niko yang tiba-tiba begitu, tapi Nanda tetap mensyukurinya.
Nanda tidak tahu apa yang akan terjadi jika harus makan di tempat yang sama dengan Selli disana. Ia bingung apakah harus pura-pura tidak kenal? Kalau begitu bagaimana nanti Selli akan bicara pada Ibunya? Tapi kalau Nanda menyapanya, Nanda juga takut akan membuat Selli tidak nyaman.
Nanda menghela nafasnya. Entah sampai kapan ia akan lebih memilih diam demi kebaikan semuanya. Meski setiap kali ingat kata-kata Bibi yang menyakitkan dan merendahkan, Nanda ingin sekali mengungkapkan kebenaran.
**------------**
Pagi menjelang, Nanda yang baru bisa tertidur saat jam dua dini hari akhirnya sukses bangun kesiangan. Tidak ada waktu untuk sarapan, bahkan mandi juga ia harus buru-buru.
Nanda tergesa keluar dari kontrakannya. Mengunci pintu lalu berlari kecil menuju jalan besar. Ia berharap metromini datang tak akan terlalu lama.
Jalanan sudah cukup padat saat Nanda akhirnya sampai di jalan besar. Nafasnya terengah-engah karena dipaksa berlari.
"Aku mohon... metromini datanglah... datanglah." Gumam Nanda tak jelas, seperti dukun yang merapal mantra.
Lima menit berlalu, Nanda mulai gelisah, ia celingukan mencari ojek atau apapun yang bisa ia jadikan pilihan lain. Nihil.
Nanda mengambil hp nya dari dalam tas. Membuka aplikasi ojek online. Ia tak bisa membuang waktu lagi, ia harus bisa sampai kantor sebelum dua puluh menit.
Nanda baru akan melakukan pesanan saat tiba-tiba sebuah motor berhenti di dekatnya.
"Hai..."
Tampak Niko ada diatas motornya, membuka kaca helmnya dan tersenyum manis.
"Mau berangkat? Yuk bareng sekalian."
Kata Niko tanpa banyak basa basi.
"Udah siang, nanti telat." Tambah cowok itu pula karena melihat Nanda seolah ragu.
Nanda akhirnya menutup aplikasi di hp nya, lalu memasukkan hp nya lagi ke dalam tas. Niko mengulurkan helm ke arah Nanda.
"Kamu selalu bawa helm dua?" Tanya Nanda menerima helm dari Niko lalu memakainya.
Niko tersenyum.
"Yah buat jaga-jaga saja, kalo ada teman yang mau nebeng, atau ada nenek-nenek yang butuh diantar pulang."
"Aku diantara keduanya..." Kata Nanda lalu naik ke boncengan.
Niko tertawa lalu melajukan motornya.
Jalanan ibu kota sudah benar-benar padat merayap. Niko gesit membawa motornya meliuk melewati banyak kendaraan lain. Menyelip, kadang harus masuk gang untuk menghindari jalanan yang macet.
Tak banyak yang bisa Nanda bicarakan dengan Niko selama perjalanan itu karena Nanda terlalu ngeri melihat bagaimana Niko membawa motornya. Ia bahkan sibuk memegang erat ujung jaket Niko karena takut kehilangan keseimbangan dan jatuh terpental.
Lima belas menit saat akhirnya motor Niko memasuki area parkir kawasan perkantoran di mana Bank tempat Niko bekerja dan kantor Nanda magang berada.
"Ngga telat kan?"
Tanya Niko sambil membuka helmnya, Nanda mengelus dadanya berulang kali, lalu turun dari boncengan, kakinya benar-benar lemas.
Nanda membuka helm dan mengembalikan pada Niko.
"Terimakasih tumpangannya."
Niko tersenyum. Manis seperti biasa. Entahlah, Nanda bahkan tidak mengerti kenapa Niko suka sekali tersenyum seperti itu. Apa dia pikir dia seperti matahari yang tidak boleh redup meski hanya sesaat?
"Selama belum nemu kos, aku masih pulang ke rumah Bibi, kita bisa pulang bareng lagi kalau kamu mau." Kata Niko begitu Nanda sudah berjalan menuju kantornya.
"Oke" Niko mengacungkan ibu jarinya, lalu menenteng ranselnya menuju kantor ia bekerja.
"Oke apanya" Gumam Nanda tak jelas sambil melanjutkan langkahnya kearah pintu masuk kantor.
**--------**
Nanda memasuki ruangan kantor. Tak seperti hari biasanya di mana Nanda selalu datang lebih awal dari yang lain, kali ini tampaknya Nanda justru yang paling telat.
Bang Radit sudah sibuk di depan mesin fotokopi. Mona sudah sibuk ngeprint dan Bela sudah ada didepan monitor. Hanya Rio yang sepertinya juga terlambat datang.
"Pagi."
Sapa Nanda.
Mona, Bela dan Bang Radit kompak memandang ke arah Nanda, membuat Nanda sedikit salah tingkah.
"Ngg... maaf telat." Ujar Nanda canggung.
"Kamu pacaran sama Niko yah?" Bela akhirnya bersuara, memaksa Nanda menghentikan langkahnya menuju meja kerjanya.
"Kamu berangkat bonceng dia, kalian pacaran?" Nada suara Mona seperti sedikit cemburu, Nanda cepat menggeleng dan berusaha menyanggah.
"Bukan, bukan begitu, tadi kita cuma ketemu ngga sengaja dijalan kok."
"Pacaran juga ngga apa Nan, sama sama singel ini." Ujar Bang Radit menyela.
"Ikh..." Mona dan Bela kompak menatap sewot ke arah Bang Radit yang baru selesai memfotokopi berkas lalu berjalan kembali ke mejanya.
"Oh, tadi Rio mampir nyariin kamu Nan, dia ijin berangkat siang, katanya dia telfon ngga diangkat." Kata Bang Radit pula memberitahu
"Ya iyalah ngga sempet angkat, lagi asik." Sindir Bela yang kemudian kembali menatap monitornya.
Nanda berusaha acuh dengan sikap Mona dan Bela pagi ini, Nanda mengambil hp dari dalam tasnya, dan benar ada banyak pesan masuk serta panggilan tak terjawab dari Rio.
Nanda membuka beberapa pesan Rio.
"Nan, bener Bu Ratna pernah jadi tetangga Niko."
"Kemarin sore aku udah konfirm dan Niko bilang iya dia kenal."
"Niko nanya ngapain aku nyari Bu Ratna, tapi aku belum jelasin, mending nanti langsung ketemu kamunya aja."
"Nan... angkat ngapa!"
"Angkat whoiii..."
"Nan, kamu dimana sih?"
Setelah membaca rentetan pesan masuk Rio, Nanda pun keluar dari kantor sebentar, ia langsung menghubungi Rio.
"Eh, gila kamu Nan, kemana aja? Ngga ada apa-apa kan?"
Terdengar Rio seperti khawatir.
"Ngga apa, aku tadi lagi di jalan jadi ngga denger ada telfon."
"Syukurlah. Aku ijin berangkat siang, cewekku masuk Rumah Sakit semalam, ni aku masih diminta jagain, gantian sama Mamanya."
"Ooh Iyah, semoga cepet sembuh yah."
"Ok, thanks Nan. Tadinya dari semalam mau ngabarin, tapi repot di Rumah Sakit. Nanti siang kita ketemu di warung Bu Yuni aja, aku juga nanti minta Niko gabung, biar kamu bisa langsung ngomong."
"Ketemu Niko langsung... tapi."
"Udah, jangan tapi tapi... makin cepet ketemu makin cepet lega kamunya. Eh udah dulu, cewekku manggil nih."
Tut... sambungan telfon ditutup.
**------------**
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!