"Bu, kenapa harus menikah dengan seorang duda? " lirihnya terdengar seperti permohonan. Manik mata coklat itu berkaca -kaca seolah menunjukkan sebuah protes yang tertahan. Ya, tentu saja karena dia tidak berani untuk menentang ibunya. Wanita yang sangat dia sayangi dan dia hormati, apalagi beliau tinggal satu satunya orang tua yang Zoya miliki.
"Percayalah, Zoy! Seorang ibu hanya memikirkan kebaikan untuk anaknya." Wanita paruh baya itu masih berusaha meyakinkan putri sulungnya akan niat baik yang akan dilakukannya.
Zoya Kamila, gadis cantik bermata bulat dan berhidung mancung itu hanya terdiam, dia tak mampu berkata apapun saat ibunya sudah mengambil keputusan.
"Tidurlah! Besok keluarga Bu Shanti akan datang ke rumah! " ucap Bu Nurma, kemudian beliau meninggalkan kamar Zoya. Matanya pun mengembun saat menatap guratan kesedihan yang terpancar dari wajah cantik anak gadisnya.
"Ibu...! " lirih Zoya dengan memejamkan mata, rasa sesak di dada pun kian membuncah saat ibunya sudah yakin dengan keputusannya.
Hatinya kian menjadi gelisah, salam terakhir diantara sepertiga malam pun kini memecahkan tangis yang sudah tidak bisa ditahan lagi olehnya.
"Ya Allah, apa menikah dengan orang yang tidak aku kenal adalah caramu untuk mengajarkanku ikhlas dengan segala takdirmu? Ya Allah, hanya engkau yang tau jika di hatiku sudah ada sosok lain." ucap Zoya saat menjelang fajar, dia pun menangis tergugu di atas sajadah untuk meluapkan perasaan sedih yang sulit untuk dikendalikannya lagi.
###
Siang menjelang sore, Zoya berjalan menelusuri koridor kantor tempatnya bekerja di sebuah yayasan pondok pesantren yang terdapat di desanya.
Pikirannya begitu kalut karena perjodohan yang sudah direncakan oleh ibunya, hal itu membuat Zoya tidak menyadari jika sedari tadi seseorang sudah berjalan di belakang dan memperhatikannya.
Wildan Yusufi, lelaki ganteng dengan wajah teduh yang dikenal smart dan religius itu masih menjadi sosok yang sama. Sosok yang menatap Zoya penuh kekaguman seperti empat tahun yang lalu.
"Assalamu'alaikum Zoya... " Suara berat itu menyadarkan Zoya akan keberadaanya saat ini.
"Waalaikumsalam, Gus! " jawab Zoya yang kemudian menundukkan pandangannya, kehadiran Wildan kembali membuat jantung Zoya berdetak lebih cepat.
"Apa laporan data semua guru dan staff sudah disiapkan?" tanya Wildan, putra dari pemilik pondok pesantren Nurul Jannah yang baru saja mendapatkan gelar LC dari Universitas Al-Azhar Cairo Mesir.
"Sudah, Gus! InsyaAllah besok bisa saya serahkan sama Gus Wildan." Zoya masih tak berani menatap wajah tampan yang dulu pernah selalu di kaitkan dengan namanya, gadis berkulit putih itu terus mempercepat langkah kakinya agar bisa secepatnya meninggalkan laki laki yang selalu membuatnya grogi.
"Panggil saja Wildan atau Abang! " ujar Wildan, lelaki itu masih saja mengagumi gadis cantik nan santun di sampingnya.
"Baiklah aku duluan! Assalamu'alaikum warrohmah... " Wildan kemudian berbelok meninggalkan Zoya yang terus melangkah dengan tujuan untuk kembali pulang.
"Eh Zoy, ada apa dengan Gus Wildan? Dari tadi kita melihat kalian berbincang akrab, bahkan lirikannya tak beralih darimu." ujar Nila yang tiba-tiba datang menghampirinya bersama Hasna. Kelihatan banget keduanya begitu antusias jika ada sesuatu yang berhubungan dengan lelaki yang selalu menjadi center of universe diantara para gadis di lingkungan mereka itu.
"Cuma menanyakan data guru dan pegawai di Yayasan Nurul Jannah ini!" jawab Zoya dengan seulas senyum lembut yang senantiasa menghias di bibir tipisnya.
"Dulu kita sempat curiga ya, jika kalian mempunyai hubungan khusus sebelum Gus Wildan kuliah di Cairo. Tapi, kemarin aku lihat Pak Kyai kedatangan tamu, dan kabarnya mereka merencanakan akan menjalin hubungan kekerabatan." jelas Hasna yang saat itu memang melihat serombongan keluarga besar pondok pesantren hafalan Al- Qur'an yang sedang bertamu.
Deg, seketika senyum tipis Zoya pun menyurut, ada rasa sedih yang diam-diam menyelinap saat mendengar kabar yang baru saja di ceritakan oleh Hasna. Memang seharusnya dia tidak membiarkan perasaannya tumbuh dan berkembang terhadap Wildan, karena semua itu adalah hal mustahil untuknya yang notabene putri dari keluarga biasa dan sederhana.
Mereka berjalan bersama menelusuri jalan sepi yang ada di desa mereka, hingga Hasna dan Nila satu persatu berbelok ke rumah masing masing karena hanya rumah Zoyalah yang paling jauh diantara rumah mereka bertiga.
Gadis berkerudung ungu itu masih berjalan dengan langkah gontai. Dia seperti kehilangan banyak harapan tentang perasaannya. Beberapa kali dia harus menghela nafas untuk menguatkan rasa yang sebaiknya di simpan rapat saja.
Langkahnya semakin memelan, saat melihat sedan Marcy terparkir di depan rumahnya. Tubuh kecil itu sedikit bergetar, karena dia yakin itu pasti keluarga Bu Shanti seperti yang diceritakan ibunya, jika keluarga beliau akan bertamu.
"Assalamualaikum...! " ucap Zoya saat memasuki rumah. Atmosfer kekakuan pun tercipta, saat seluruh mata menatap kehadiran gadis yang sudah mereka tunggu dari tadi.
"Waalaikum salam... " Terdengar suara dua wanita paruh baya itu menjawab salam Zoya hampir bersamaan.
"Zoya, kenalkan ini Bu Shanti dan Putra beliau Nak Hans! " Mendengar penjelasan ibunya Zoya hanya mengangguk untuk menyapa lelaki yang hanya meliriknya dingin dan kemudian mengambil punggung tangan Bu Shanti untuk bersalaman.
Petang yang menyisakan sedikit keraguan di hati Zoya setelah kepulangan keluarga Bu Shanti. Masih jelas dalam pikirannya tentang status Mas Hans yang ternyata duda beranak satu. Belum lagi, tatapan dingin lelaki berwajah tampan itu membuat Zoya semakin kalut. Tapi apa daya jika dia juga tak punya keberanian untuk mengelak dari semua.
Lagi-lagi, dia menatap beberapa lembar foto keluarga ketika masih ada bapaknya. Air matanya menetes, "seandainya saja Bapak masih ada!" gumamnya dalam hati.
"Zoy, maafkan ibu yang sedikit memaksamu. Tapi ibu yakin ini yang terbaik buatmu! " Kehadiran Bu Nurma secara tiba tiba di dekatnya membuat Zoya terkaget.
"Bu, Mas Hans sepertinya tidak bisa menerima Zoya." ujar Zoya dengan mengingat tatapan dingin Hans kepadanya.
"Mungkin karena kalian belum mengenal, nyatanya Nak Hans mau menerima perjodohan ini." Mendengar kalimat ibunya, Zoya kembali terdiam.
"Maafkan Ibu, tidak bisa membuat pesta pernikahan untuk anak gadis Ibu!" Butiran bening pun meluncur dengan sendirinya dari kedua netra Bu Nurma, dia sadar pernikahan anaknya bukanlah pernikahan yang diinginkan semua gadis yang ada di dunia ini. Tapi beliau yakin keluarga Bu Shanti akan memberi tempat yang baik untuk Zoya.
Bu Nurma memeluk putrinya, ada rasa bersalah saat beliau menyadari jika dia bukan orang tua yang bisa memberikan apa yang diinginkan anaknya. Tapi dalam hatinya, beliau tidak pernah luput mendoakan Zoya agar selalu diberi segala kebaikan dan kebahagiaan.
"Ibu, jangan menangis! Zoya bahagia jika bisa membuat Ibu bahagia. Jangan cemaskan Zoya, Bu! " ucap Zoya dengan mencium kedua tangan kasar ibunya. Tangan yang sudah memberikannya cinta dan banyak hal. Saat menatap wajah yang semakin keriput itu, Zoya tidak akan pernah tega untuk mengatakan tidak, meski itu tentang kehidupannya sendiri.
"Zoy, lusa setelah akad pernikahan, keluarga Bu Shanti akan langsung membawamu. Pesan ibu, kamu harus sabar dan ikhlas. Selain menjadi seorang istri kamu juga akan menjadi seorang ibu sekaligus." Bu Nurma kembali memeluk anaknya, mencium puncak kepala gadisnya yang akan dia lepas untuk hidup bersama keluarga lain.
Setelah kepergiaan Bu Nurma dari kamarnya, Zoya kembali memejamkan mata, menghela nafas panjang seolah ingin mengumpulkan kekuatan untuk bisa menerima semuanya dengan ikhlas. Tidak ada yang tau kehidupan seseorang selanjutnya.
Bersambung.
Pagi ini menjadi pagi terakhir Zoya bekerja, semua memang serba mendadak. Bahkan hari ini, dia akan mengundurkan diri seketika pula, mungkin akan ada protes bagi yang lainnya, karena mutasi dan peralihan pekerjaan, memberikan kesibukan ekstra untuk karyawan lain yang akan menggantikan posisi Zoya sebagai staf administrasi.
Saat pertama kali sampai di kantor, Zoya mengambil semua berkas yang kemarin sudah diminta oleh Wildan, sekaligus dia akan menyerahkan surat pengunduran dirinya pada penanggung jawab Yayasan Nurul Jannah yang sudah dilimpahkan sepenuhnya pada Wildan. Semua belum ada yang tahu jika besok Zoya akan menikah, termasuk kedua sahabatnya itu, Hasna dan Nila.
"Assalamualaikum... " lirih Zoya setelah mengetuk pintu ruangan Wildan.
"Waalaikum salam, silahkan masuk, Zoy! " Senyum Wildan mengembang saat menyambut kehadiran gadis yang sudah lama menarik perhatiannya.
Zoya melangkah masuk, meski dengan hati yang masih bergetar, setiap kali bertemu dengan lelaki yang sempat memenuhi perasaannya.
'Kendalikan perasaanmu, Zoy' itu yang selalu dia tekankan untuk dirinya sendiri.
Tak berani menatap wajah Wildan, Zoya pun memilih menundukkan pandangan saat mengulurkan beberapa map di atas meja, yang kemudian ditumpangi dengan sebuah amplop surat pengunduran dirinya.
"Apa ini, Zoy? " tanya Wildan begitu penasaran saat memegangi amplop berwarna coklat itu.
"Ehmm, saya ingin mengundurkan diri, hari ini juga, Gus! " lirihnya dengan suara sedikit bergetar, dengan sekuat tenaga Zoya menahan semua rasa yang bercampur aduk di dalam dadanya.
"Apa? Kenapa? " Seketika Wildan dibuat terkejut dengan apa yang barusan di katakan oleh Zoya.
"Iy- iya... mulai besok saya sudah tidak bisa bekerja lagi. Maaf, jika semua serba mendadak!" Kalimat Zoya terdengar tertahan, tenggorokannya terasa tercekat untuk mengatakan tujuannya.
"Kenapa? Ada apa?" Hanya pertanyaan singkat itu yang mampu Wildan lontarkan karena semua terlalu mengejutkan untuknya.
Lelaki yang terhenyak kaget itu menyandarkan punggung tegapnya di kursi kebesaran. Saat ini, tatapannya tertuju pada gadis yang sedang menunduk di depannya untuk mencari sebuah kebenaran dari keputusan yang sudah Zoya ambil.
"Zoy, kenapa tidak menjawab?" desak Wildan yang masih begitu penasaran.
"Sa- saya... besok, saya akan menikah!" ucap Zoya dengan terbata.
"Apa? " Kali ini Wildan benar-benar dibuat terkejut, sungguh jawaban yang tidak pernah disangka oleh lelaki bermata sayu itu.
Sementara gadis yang masih duduk di depannya itu tertunduk dengan meremas jari jemarinya yang ada di atas pangkuan guna menghilangkan rasa gelisah yang sudah meledak-ledak di hatinya.
"Zoy, itu tidak benar, kan? " Wildan memajukan tubuhnya mencari celah untuk menemukan kebohongan dari apa yang baru saja diucapkan oleh Zoya.
"Apa kau dipaksa? Atau keluargamu di bawah tekanan?" selidik Wildan mencoba mengurai cerita yang sebenarnya.
Zoya menggeleng dan manik mata coklat itu sejenak terpejam untuk menahan tangis yang sudah dia bendung sejak tadi. Butuh kekuatan besar untuk mengatakan semua pada seseorang yang sudah menempati perasaannya itu.
"Zoy, Apa kau menginginkan pernikahan itu? Apa kau mencintai lelaki itu? " Zoya hanya terdiam membuat Wildan semakin kelimpungan untuk mengungkapkan isi hatinya selama ini.
"Zoy, katakan sesuatu!" lirih Wildan penuh penekanan karena dia mengharapkan jawaban jujur dari Zoya.
"Tidak ada yang perlu saya katakan, Gus! Saya pikir semua sudah jelas." lirih Zoya, berusaha tenang meskipun harus dengan menahan tangisnya.
"Sudah lama aku mencintaimu, Zoy! Aku pikir kamu juga punya perasaan yang sama terhadapku, hingga aku memutuskan untuk memilih waktu yang tepat untuk melamarmu! " Kalimat itu meluncur begitu saja, sudah lama perasaan wildan untuk Zoya itu terasa menyesak di dadanya. Tapi, sekarang tidak hanya menyesakkan bahkan rasanya perasaan itu seperti belati yang sudah menghujam, menusuk jantung hatinya sendiri.
"Bisakah saya menyelesaikan pekerjaan saya? " tanya Zoya, tapi tidak mendapatkan jawaban apapun dari Wildan, nampak jelas laki-laki berhidung mancung itu masih tertegun mendengar kabar yang diberikan Zoya.
"Assalamualaikum...! " ucap Zoya sedikit tergesa hingga tidak mendapatkan jawaban dari Wildan. Zoya beranjak keluar dari ruangan itu. Atmosfir di dalamnya sudah terlalu kacau ketika keduanya menyelami perasaan masing-masing.
"Zoy...! " Suara berat itu menghentikan langkah Zoya yang sudah berada di depan pintu.
"Apa kau pernah punya perasaan yang sama dengan perasaanku?" Seketika pula Zoya hanya menggeleng lemah tanpa harus menoleh ke belakang. Gegas, dia melangkah keluar dengan berlari kecil menuju toilet.
Kakinya menganyun cepat, ke arah ruang sempit yang dia tuju untuk menyembunyikan tangisnya. Tubuh kecil itu menabrak begitu saja pintu toilet dan kemudian menguncinya dari dalam.
Tangisnya yang sudah ditahan sedari tadi akhirnya pecah, membuat isakannya sudah tak bisa di kendalikan lagi. Pernyataan Cinta Wildan malah membuat hatinya semakin terasa sakit. Jantungnya seolah berhenti berdetak membuat seluruh tubuhnya terasa melemah, saat ini rasanya untuk bernafas saja dia merasa sangat sulit.
Zoya's Pov
Dadaku terasa sakit saat mendengar semua pengakuan tentang perasaanmu, Gus! Bukan karena aku tidak punya perasaan yang sama tapi karena sudah percuma kita saling mengungkapkan rasa.
Entah sudah berapa lama perasaan ini sudah mengkristal dalam hatiku, biarlah hanya aku dan Allah saja yang tau. Memang ini sudah takdirku menjalani semuanya. Belajar menerima takdir Allah dan berdamai dengan keadaan, mungkin akan jauh lebih baik. Kita ini siapa? Kita hanya bisa berusaha, selanjutnya kita tidak punya hak atas hidup kita termasuk perasaan kita.
Author pov
Isakan Zoya masih memenuhi ruang sempit itu, hingga beberapa percikan air membasahi seluruh wajahnya.
"Zoya... bersabarlah! " gumamnya bermonolog dengan diri sendiri.
Setelah merasa isakan tangisnya mereda, Zoya menatap sejenak wajahnya di cermin dan merapikan jilbabnya sebelum dia keluar dari toilet.
Apapun yang terjadi gadis yang hati dan perasaannya sudah luluh lantak kini berusaha terlihat baik baik saja. Langkah kakinya kembali membawanya masuk ke dalam ruang kantornya
"Zoy, tadi Gus Wildan mencarimu, dia meminta aku yang akan menggantikan dirimu dan menyerahkan amplop ini padamu! Sebenarnya ada apa, Zoy?" tanya Nila saat melihat wajah sembab Zoya dan sikap Wildan yang tidak biasa.
"Aku akan mengundurkan diri, Nil!" lirih Zoya membuat Nila tak kalah kaget. Tapi seketika pula Zoya mengatupkan jari telunjuknya di bibir agar Nila tak bersuara.
"Kenapa? " gumam Nilla setengah berbisik, dia tau jika Zoya sangat membutuhkan pekerjaan karena dia bukanlah anak dari keluarga yang kaya.
"Sudahlah, ayok aku tunjukan mana tugasmu! Agar kita tidak terlalu sore pulangnya. " Ajak Zoya mengalihkan perhatian Nilla.
###
Sore itu, saat seluruh kantor Yayasan Nurul Jannah sudah sepi, seseorang masih berdiri di dekat jendela menatap gadis yang sedang berjalan menuju keluar gerbang bersama sahabatnya Nilla. Bisa terlihat kesedihan yang tersembunyi di balik wajah ayunya itu.
Mata teduh itu pun berkaca-kaca saat menyadari jika tatapannya kini hanya untuk melepaskan gadis yang dia damba selama ini menjadi milik orang lain.
Seandainya waktu bisa diulang kembali, mungkin dia akan memilih untuk mengambilnya terlebih dahulu.
Mengikat bidadari hatinya dalam sebuah ikatan suci atas nama Allah.
"Semoga kau bahagia, Zoy." gumam Wildan di tengah rasa kecewa yang membuncah di hatinya.
Bersambung....
Betapa terkejutnya Nila, saat mendengar kabar dari ayahnya yang menjabat sebagai sekretaris desa, jika nama Zoya Kamila didaftarkan sebagai calon mempelai wanita. Gadis yang sudah lama bersahabat dengan Zoya itu pun semakin tidak sabar untuk segera menemui dan mempertanyakan langsung pada Zoya.
"Apa ayah yakin, jika itu Zoya Kamila sahabatku?" tanya Nila menyakinkan kembali cerita ayahnya.
"Tentu Ayah yakin, alamat dan nama orang tuanya sudah tertera jelas! Tapi yang datang mengurus administrasi hanyalah perwakilan dari calon suami Zoya, jadi jangan tanya seperti apa calon suami Zoya!" jelas Ayah Nila setelah mengambil air wudhu dan segera melaksanakan Salat Magrib berjamaah.
Seusai Salat Magrib, Nila bergegas pergi ke rumah Zoya. Nila melangkah menembus suasana petang, karena banyak pertanyaan di otaknya yang sudah tidak sabar ingin segera mendapat jawaban.
"Assalamualaikum, Zoy! " ucap Nila dengan mengetuk pintu. Tak harus menunggu lama, Zoya pun keluar dengan membalas salam Nila, "Waalaikum salam, Nila. Apa ada hal penting yang membuatmu ke sini malam ini juga?" Zoya sedikit kaget, tidak biasanya Nila bertamu di saat malam hari.
Nila hanya menarik tangan kecil Zoya, membawa gadis itu untuk duduk di kursi yang ada di teras rumah sederhana keluarga Zoya.
"Zoy, apa kamu sudah yakin? Menikah loh, ini? Seumur hidupmu, Zoya?" Nila menatap nanar wajah ayu di depannya. Cecaran pertanyaan yang dia lontarkan hanya di jawab dengan seulas senyum tipis Zoya. Nila hanya bisa membuang nafasnya kasar. Entah bagaimana lagi dia akan meyakinkan Zoya tentang keputusan penting yang akan menentukan kehidupan dia selanjutnya.
"Aku sudah yakin, Nil! " ucap Zoya dengan mengambil punggung tangan sahabatnya yang masih belum bisa menerima kebenaran tentang pernikahan Zoya.
"Kau sudah mengenal seperti apa calon suamimu? Bagaimana dengan hatimu?" Suara Nila terdengar lirih saat menatap wajah sendu Zoya, dia sudah hafal seperti apa Zoya, bagi Zoya tidak akan ada kata buruk untuk orang lain meski itu tidak sesuai dengan hatinya.
Tidak mendapat jawaban dari Zoya, gadis yang sedang mempersiapkan hatinya untuk bisa menerima semua keadaan, Zoya pun memeluk Nila. Pelukannya terasa erat bersamaan butiran air mata yang ikut mengalir di pipinya. Ada kesedihan yang sulit untuk diungkapkan Zoya dengan kata-kata.
"Kenapa tidak menolaknya saja, Zoy? " ucap Nila setengah berbisik.
Zoya segera menghapus air matanya. Dia tidak ingin, jika sampai ibunya melihat kesedihan yang saat ini dia rasakan karena perjodohan itu.
"Aku tidak ingin Ibu kecewa?" jawab Zoya tak kalah lirih.
"Tapi... Ini tentang hidupmu, Zoyaaa!" Nila kembali meyakinkan Zoya.
"Doakan saja ini jalan terbaikku, Nil! Aku sudah ikhlas dan semoga sabar juga selalu bersamaku." jawab Zoya, dia kembali tersenyum, dan itu membuat Nila sudah tak mampu untuk berkomentar apapun. Baru saat ini Zoya menceritakan jika setelah acara akad nikahnya besok, dia harus pergi untuk tinggal bersama suaminya.
Raut wajah kedua gadis itu sama-sama terlihat sedih, saat pelukan perpisahan itu terurai secara berlahan. Bagaimanapun mereka sudah melewati banyak waktu bersama, baik suka maupun duka sebagai sahabat.
###
"Saya terima nikahnya Zoya Kamila binti Husein dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai!" Suara Hans saat akad nikah terus menggema di telinga Zoya, saat itu pula menegaskan jika dia sudah menjadi seorang istri dari Hans Satria Jagad. Lelaki yang belum pernah menatapnya barang sejenak.
Seusai acara sakral pernikahan, gadis kecil berumuran tiga tahun itu selalu mengikuti kemana Zoya pergi, Alexa Salma Aqila, dia putri Hans dari mendiang istri pertamanya almarhumah Renita Farhana.
Sebelum mempertemukan Ale dan Zoya, Bu Santi sudah memberi pengertian pada cucunya jika dia akan mempunyai mama baru yang bernama Zoya. Beruntungnya, pembawaan sikap Zoya yang lembut dan sabar membuat bocah itu langsung menempel terus pada Zoya.
"Ma, Ale biar satu mobil sama kita saja." ujar Niar kakak perempuan Hans satu satunya kepada Bu Shanti.
"Nggak mau, Ale maunya sama Mama Zoya!" Sahut Ale mendahului sebelum Bu Shanti menjawab. Di panggil 'Mama' Zoya sendiri sebenarnya merasa aneh, tapi seperti itulah kenyataannya.
"Nggak apa apa Mbak, biar Ale sama saya saja!" Menurut Zoya, itu akan jauh lebih baik dari pada hanya satu bangku dengan suaminya yang sikapnya terkesan asing dan dingin.
"Ayo, kita berangkat sekarang, takut kemalaman" titah Bu Shanti membuat semua berjalan ke arah mobil masing-masing.
Rombongan dibagi menjadi dua, Niar dan kerabat yang lain memasuki mobil Alphard yang di kemudikan oleh suami Niar. Sedangkan Bu Santi, Hans, Zoya termasuk Ale memasuki Mercy hitam yang dikemudikan Pak Bagus, sopir pribadi Bu Shanti.
Mercy hitam itu melaju berlahan, membuat Zoya kembali menoleh ke belakang menatap rumah yang sudah mengukir cerita indah selama ini, rumah yang memberikan banyak kenangan manis bersama orang orang yang pasti akan dia rindukan.
Zoya kembali memeluk Ale yang duduk di pangkuannya, bocah itu begitu manja dengan Zoya hingga tak mau untuk duduk sendiri di bangku.
"Ale... duduk sendiri!" Suara bariton Hans baru terdengar sejak saat mereka berada di dalam mobil.
"Nggak mau, Pa! Ale sama mama saja!" Ale membantah apa yang diperintahkan Hans. Berbicara dengan Ale membuat Hans menatap Zoya sekaligus.
"Ale, nurut nggak sama Papa? " tegas Hans terdengar kesal saat mendengar bantahan putrinya. Lelaki itu membuka jas dan melipat lengan kemeja putihnya hingga ke siku karena sudah merasa gerah.
"Biarkan saja, Mas! " Suara lirih Zoya terdengar seperti sebuah tekanan hebat yang membuat Hans kembali terdiam.
Mendengar perdebatan di bangku belakang Bu Shanti hanya meliriknya saja sambil tersenyum. Setidaknya sudah ada interaksi diantara mereka. Alasan wanita paruh baya itu memaksa Hans untuk secepatnya menikah, salah satunya karena Ale. Setiap kali cucunya selalu bertanya kapan dia akan mempunyai Mama, membuat hatinya terasa ngilu.
Hingga suatu ketika, saat Santi menemukan kontak Nurma, yang dulunya sahabat terdekatnya saat masih SMA, membuatnya datang berkunjung ke rumah Nurma. Tentu saja, saat bertemu dengan sahabat lama membuat mereka bernostalgia dan menceritakan kehidupan mereka masing masing. Dari situlah Shanti tertarik dengan putri sulung sahabatnya itu, apalagi saat melihat Zoya secara langsung, wanita paruh baya itu langsung tertarik untuk menjodohkan Zoya dengan Hans.
Flashback
"Please Ma, jangan mencampuri urusan Hans! " ucap Hans pada saat Shanti mengatakan akan menjodohkannya dengan putri sahabatnya.
"Apa kamu akan seperti ini terus Hans? Kasian Ale, dia butuh sosok ibu! Apalagi setiap kali dia merengek ingin punya mama! Apa kamu tega? " Santi kembali membujuk putranya.
"Tapi tidak harus dijodohkan pula, Ma! " Suara Hans meninggi. Membuat Santi terduduk dan menekan dadanya yang sudah terasa nyeri.
"Ma... Mama! " Hans dibuat cemas saat melihat mamanya sudah meringis kesakitan. Langsung saja Hans mencarikan obat jantung mamanya yang sudah dia hafal keberadaanya.
"Iya, Ma. Aku akan menerima perjodohan itu. " ucap Hans pasrah ketika Santi menyandarkan tubuhnya di sofa.
Flash On.
Saat Mercy itu membelok ke sebuah rumah di kawasan perumahan elite itu, Hans mulai bingung bagaimana membangunkan istrinya yang tertidur sejak tadi.
"Bangun...! " ucap Hans dengan menggoyangkan bahu kecil Zoya.
Melihat Zoya mengerjakan mata, Hans mengambil Ale yang juga tertidur untuk dibawa masuk ke dalam rumah.
Saat keluar mobil, Zoya mendongak, menatap rumah mewah berlantai dua yang didominasi warna putih.
"Ayo Zoya masuk! Biar barang barangnya dibawakan Pak Bagus! " ajak Shanti membuat Zoya mengikutinya melangkah ke dalam.
Hans meletakkan Ale di kamar yang ada di depan kamarnya. Sudah pasti itu kamar Ale, karena banyaknya pernak pernik dan boneka di dalamnya.
"Hans, ajak Zoya untuk istirahat dulu!" Mendengar perintah mamanya Hans hanya menjawabnya dengan gumaman. Dan kemudian berjalan menuju kamar yang diikuti Zoya.
Tangan besar itu membuka handle pintu dan membiarkan Zoya masuk tanpa sepatah katapun. Ruang kamar yang cukup besar, Zoya pun mendekati sofa dan mendudukkan tubuhnya di sana.
Pandangannya mengedar, seolah meneliti setiap detail ruangan yang sempat membuatnya terkesima. Deg... tatapannya kini tertuju pada foto pernikahan berukuran besar yang masih menggantung di dinding kamar.
"Kenapa rasanya sakit saat melihatnya." gumam Zoya dalam hati saat melihat foto pernikahan Hans bersama Renita yang nampak bahagia.
bersambung
Jangan lupa tinggalkan jejak ya... 😊
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!