Mata Regan bergerilya. Menatap hasil karyanya selama ini. Mom and baby. Usaha yang sudah ia rintis setelah menyelesaikan pendidikannya. Ia pikir tidak akan mudah untuk membuat ayah juga kakaknya memberi modal, oleh karena itu dia bilang meminjam dana dulu. Dan sekarang dia sudah mengembalikan semua modal yang ia pinjam pada ayah juga kakaknya. Walaupun mereka menolak, ia tetap bersikeras untuk mengembalikannya. Ia ingin usahanya ini benar-benar jerih payahnya.
Mom and baby. Tempat penitipan bayi seperti day care namun ditambahi dengan fasilitas lainnya. Seperti namanya, mom and baby. Artinya fasilitas untuk para mom juga tersedia. Ia sengaja membangun tempat ini agar para ibu bisa membawa anak mereka bersosialisasi dan para ibu juga tidak bosan. Gedung tiga lantai ini dilengkapi dengan segala fasilitas agar anak juga ibu tidak merasa bosan.
Lantai satu diperuntukan untuk anak-anak. Ada taman bermain indoor maupun outdoor. Taman bunga tempat mereka bisa mengenal alam. Lapangan tidak terlalu luas untuk tempat mereka bermain. Namun tidak ada kolam renang disini, Reagn tidak ingin membahayakan nyawa anak kecil dengan membuat kolam dimana anak-anak berkeliaran disini. Jangan lupakan kantin yang berisi makanan sehat. Tidak ada jajanan luar, hanya ada cemilan yang jelas dibuat sendiri. Ia sendiri yang memastikan jika makanan yang ada disana sehat.
Lantai dua diperuntukan untuk ibu-ibu. Terdapat tempat untuk Yoga, gym, juga salon. Juga café yang diperuntukan untuk orang dewasa. Jelas anak-anak tidak boleh makan disana. Wajar bukan jika banyak ibu yang betah disana? Menyenangkan diri sendiri juga mengontrol anak mereka.
Lantai tiga adalah lantai yang di khususkan untuk para pegawai dan tentu untuk Regan sendiri. Terdapat kamar-kamar yang bisa digunakan pegawai untuk beristirahat. Regan pun memberi izin jika ada pegawainya yang tidur atau menginap disana. Daripada membuang uang untuk bayar kos atau kontrakan, lebih baik memanfaatkan fasilitas bukan?
Sebenarnya Regan membuat tempat ini terinspirasi dari masalalunya. Jika saja dulu ada tempat seperti ini, pasti ibunya akan kesini dan bermain bersama. Adiknya tidak akan diculik. Walaupun semuanya sudah berjalan lancar, tetap saja ia masih merasa bersalah. Menyesal atas kejadian itu. Makanya tempat ini dilindungi oleh orang-orang yang sudah dibayarnya. Agar tidak terjadi tragedi seperti keluarganya dulu.
"Eh, nak Regan. Udah lama nggak keliatan, kemana aja?"
Lamuan Regan buyar. Kepalanya menoleh pada sumber suara. Wanita paruh baya yang sudah menjadi pelanggannya sejak dulu kini berdiri di sebelah kanannya. Seulas senyum ia berikan pada wanita yang pasti tengah mengajak cucunya bermain.
"Sibuk sama pekerjaan yang lain Bu,"
"Ah, padahal saya lebih suka kalau kamu manggil saya Mamah." Raut wajah wanita bernama Nida itu berubah muram.
Regan menanggapi itu dengan kekehan. Bukan rahasia lagi kalau Nida ingin menjadikannya menantu. Putri bungsu Nida masih muda, mungkin dua tahun dibawah usia Regan. Sebenarnya Regan masih sama seperti dulu. Cap playboy yang melekat padanya belum menghilang. Hanya saja dia sudah mengenal Nida cukup lama, mana mungkin dia mempermainkan anak dari wanita ini bukan?
"Emang kamu udah ada calon Re?" tanya Nida penasaran. Jika memang belum, kenapa tidak mau mencoba dengan putrinya? Padahal sosok Regan adalah sosok menantu idaman. Masih muda sudah sukses, mendirikan tempat ini berarti Regan menyayangi anak kecil, ia yakin Regan pasti akan sangat menyayangi keluarganya kelak. Makanya dia ingin putrinya lah yang menjadi keluarga pria ini. Menjadi ibu dari anak-anak Regan.
"Lagi usaha, do'ain ya Bu?" balas Regan dengan senyum jahil.
"Kan udah Ibu bilang, sama anak Ibu aja. Rena pinter masak loh, cocok lah jadi istri kamu."
Rena adalah nama dari putri bungsu Nida. Sudah beberapa kali Regan bertemu dengan gadis itu. Cantik, cukup menarik menurutnya. Hanya saja, tidak cukup untuk membuatnya ingin serius dengan wanita itu. Gadis murah senyum itu terlihat terlalu baik untuknya. Disaat dia akan bersuara, ponselnya bordering. Setelah ijin pada Ibu Nida, dia segera beranjak pergi darisana. Siapapun yang sudah meneleponnya adalah malaikat penyelamatnya. Karena sekarang dia terbebas dari Ibu yang ingin menjadikannya menantu. Apa setampan itu dirinya sampai banyak yang menyukainya?
"Ha-"
"REGAN!" seruan dari seberang membuat Regan menjauhkan ponsel dari telinganya. Barulah dia melihat nama sang penelepon. Baru saja dia lepas dari satu ibu-ibu, kini dia berurusan dengan ibu-ibu lainnya. Dimana dengan ibu ini dia akan diam tak berkutik. "Bunda kan udah bilang sama kamu buat makan siang dirumah, kenapa nggak pulang?"
Regan meringis mendengar itu. Untuk satu ini dia benar-benar tidak ingat. Setelah rapat dengan investor dia pergi ke tempat ini, dimana dia akan merasa senang saat melihat banyak anak-anak kecil tertawa tanpa beban. Membuatnya lupa jika dia sudah menyanggupi ajakan makan siang bersama Bundanya.
"Bunda itu kesepian dirumah. Nggak kamu, nggak yang lain sama aja. Sibuk sama pekerjaan terus lupa sama Bunda. Tahu gitu nggak Bunda kasih makan kalian biar kecil terus!" sungut Farah diseberang sana.
"Maaf Bunda sayang.... Regan beneran lupa, yaudah sekarang Regan pulang ya?" bujuknya lembut.
"Masih inget jalan pulang kamu?"
Pria itu kembali meringis mendengar sindiran bundanya. Ibu Negara sudah terlanjur marah. "Masa nggak inget sih Bun? Kan disana ada bidadari cantik, yakali Regan lupa!" kekehnya. Kakinya kini sudah berjalan menuju parkiran. Sesekali ia mengangguk ketika ada yang menyapa.
"Gombalan kamu nggak mempan buat Bunda ya!"
"Ya Bunda kan mempannya kalau sama Ayah, Regan mah apa? Cuma anak kecil yang masih polos."
Terdengar decakan diseberang sana. "Cepet pulang! Awas kamu kalau bohong, Bunda pecat kamu jadi anak!"
"Iya Bunda sayang.... Tutup dulu ya teleponnya? Regan mau nyetir."
Setelah mendengar dehaman dari Bundanya sambungan terputus. Tentu Bundanya yang memutuskan, bisa marah besar ibunya sampai dia yang memutuskan panggilan. Tak berselang lama, range rover-nya sudah melesat meninggalkan parkiran bangunan tiga tingkat itu. Perjalanannya ditemani oleh suara merdu yang keluar dari radio. Sebelumnya dia mampir terlebih dahulu untuk membeli bunga. Bunga tulip kesukaan bundanya.
Hanya pelayan yang menyambut kedatangannya. Saat siang seperti ini rumah besar keluarga Wiratama memang sepi. Hanya ada bundanya -Farah- dan para pelayan. Setelah ibunya memutuskan untuk membawa adiknya berobat keluar negeri rumah ini memang sepi. Terlebih Papahnya -Rian- menyusul setelah beberapa bulan ditinggal oleh istri dan putrinya. Katanya hidupnya hampa tanpa ada sang istri yang menemani. Penolakan tegas dari Mamahnya -Alina- membuat Papahnya mendirikan hotel di London. Tempat dimana istri dan putrinya tinggal. Dia beralasan mengurus cabang hotelnya disana. Yeah, harus Regan akui selain gagal move-on Papahnya itu sosok bucin. Sudah tua padahal, tapi masih sering manja pada istri yang tak lain adalah Mamahnya. Ckck! Beruntung dia tidak seperti itu.
"Bunga cantik buat Bunda yang lebih cantik," ujarnya seraya menyodorkan buket bunga yang ia beli tadi.
"Pantes cewek kamu banyak." Cibir Farah setelah menerima bunga tersebut. Diperintahkannya salah satu pelayan agar menata bunga tersebut di vas ruang keluarga.
"Tapi ya Bun, sampe sekarang Regan nggak nemu yang lebih cantik dari Bunda." Ujar Regan dengan tampang begitu serius yang langsung dihadiahi pukulan di bahu oleh Bundanya. "Kasar Bun."
"Udah sana cepet makan, keburu nggak enak ntar,"
"Kapan sih masakan Bunda enggak enak?" kekeh Regan. "Bunda nggak makan?" tanyanya setelah Bundanya mengambilkan dia makan. Hanya untuk dirinya.
"Udah. Nunggu kamu keburu pingsan dulu."
Regan terkekeh mendengar itu, berbanding terbalik dengan hatinya yang merasa bersalah. Bundanya memang selalu kesepian apalagi jika Ayahnya sibuk bekerja. Mau bagaimana lagi? Saudaranya, Galih kini sibuk dengan perusahaannya sendiri, SJ Group. Lalu Gibran sudah memutuskan menjadi arsitek dan kini sudah mulai membangun usahanya sendiri setelah keluar dari perusahaan tempatnya bekerja dulu. Jika perusahaan Gibran bergabung nanti, makan perusahaan keluarga menjadi menguasai berbagai bidang. Dimulai dari industri yang diurus oleh Reza selama ini juga pelaksanaan ekspor impor, lalu perhotelan juga mall yang sudah menyebar dimana-mana, sedangkan SJ Group di bidang pertambangan. Tambah lagi dengan Gibran di bidang kontraktor. Sayap perusahaan Wiratama semakin besar nantinya.
Hal itu tentu berdampak pada kesibukan anggota keluarga. Jadi wajar ketika menginjakkan kaki di rumah besar ini hanya ada pelayan yang menyambut. Suara tawa yang memenuhi setiap penjuru rumah juga tak lagi terdengar karena dua bungsu Wiratama tidak ada disini.
"Bunda pengen kamu cepet nikah Regan, jadi Bunda bakal ada temen masak. Terus kamu kasih Bunda banyak cucu, biar rumah ini ramai lagi."
Dan Bundanya bukan hanya sekali dua kali mengatakn hal tersebut. Permasalahannya disini, siapa yang akan menampung benihnya?
•To be continue•
🍀🍀🍀🍀
*Note:
halo semua! adakah pembaca Wiratama Family disini? jadi cerita ini pernah aku publish di ******, nama akunnya megathorn. silahkan cari aja. sengaja pindah lapak karena pengin mencoba hal baru.
makasih udah mampir kesini! see you...
jangan lupa vote sama komen ya guys**!!!!
"Gimana? Suka sama hadiahnya?"
Mata Regan memang tengah fokus pada jalanan yang cukup padat tetapi telinganya masih setia mendengar percakapan dari seberang sana. Jadi, ditengah kemacetan yang melanda Ibukota dan dia terjebak di dalamnya, dia tengah mengobrol dengan para saudaranya. Memang mereka tidak ada di satu tempat, tapi tidak membuat jarak mereka jauh. Teknologi semakin maju, dengan adanya panggilan grup jadilah dia bisa mengobrol bersama dengan para saudaranya. Hanya Galih saja yang tidak ikut karena tengah rapat.
"Suka banget! Makasih Kak Re!"
"Sama-sama." Bukan, ini bukan suara Regan melainkan suara kakaknya, Reza. Pria yang hampir berusia 30 tahun itu menjawab ucapan terimakasih adiknya dengan santai. Seolah dia lah yang memberikan hadiah. Untung sodara, gumam Regan dalam hati.
"Gue gak dapet hadiah nih Bang?" tanya Gava menimpali. Cowok yang sudah hidup di Negera orang lebih dari dua tahun ini memiliki kebiasaan baru yaitu memanggil para kakaknya dengan sebutan Abang. Katanya lebih enak ketimbang memanggil 'Kakak'. Mungkin efek bergaul dengan bule-bule disana.
"Sebagus apa nilai lo sampe minta hadiah?" balas Regan congkak. Terdengar decakan dari sana yang ia yakini itu adalah Gava. "Nilai gue jelas lebih bagus dari lo ya Bang! Lagian saingan gue disini tuh gak sebanding sama saingan lo waktu kuliah."
"Gitu ya? Tapi gue nggak peduli." dengan santainya dia tertawa. Ia yakin jika adiknya tengah mengumpat kasar di dalam hati. Kenapa begitu? Tentu saja karena ada Reza. Bisa di depak dari bumi sampai Gava mengumpat apalagi ada Vika disana.
"Abang!" suara Revika yang tambah melengking namun terdengar menggemaskan ditelinga para kakaknya. Apalagi ketika gadis itu merengek meminta sesuatu atau mode manjanya kumat. Benar-benar sangat menggemaskan. Mungkin hanya dengan jurus puppy eyes-nya saja dia bisa merayu si sulung untuk minta dibelikan pulau. Apalagi sampai mencium pipi kakaknya itu, mana bisa Reza menolak.
"Ya Ngel?" Sudah tahu bukan itu suara siapa? Ya, putra kedua atau lebih tepatnya sulung dari Farah dan Gifri. Gibran Alfino Wiratama. Seorang arsitek yang mulai melambung namanya.
"Lagi gambar ya Bang? Kok diem mulu?"
"Iya." jika saja Gibran tengah tidak sibuk sekarang, pasti dia tidak akan membalas begitu singkat pada adik kesayangannya.
"Matiin aja kalau sibuk," ujar Reza bijak.
"Nggak perlu, yang penting kan denger suara Angel."
"Berasa denger lo gombalin pacar Gib!" cibir Regan.
"Mana mungkin gombalin pacar, doyan cewek aja kagak!" Tanpa melihat pun sudah jelas tahu ini suara siapa. Si tengil adik kandung Gibran sendiri. Jika saja posisi mereka dekat, pasti Gibran sudah memiting adiknya itu.
"Disini banyak cewek cantik loh Bang! Mau Vika bawain nggak?"
"Gibran tuh gasuka barang impor dek, yang lokal aja." sahut Regan enteng.
"Cewek bukan barang." memang tidak begitu tegas, tetapi mampu membuat Regan meringis. Tentu saja karena yang mengatakan itu adalah kakak tertuanya. Reza Davillio Wiratama, pria yang akan masuk kepala tiga namun tak kunjung bertemu jodohnya. Malah terkesan tidak tertarik dengan perempuan. Mirip dengan Gibran, lebih cinta pada pekerjaan.
"Dengerin tuh!" tambah Gava kemudian terkekeh. "Kali aja Bang Gib mau, kan lumayan memperbaiki keturunan."
"Nanti anaknya Abang jadi tambah lucu." Kekeh Revika. "Gimana kalau sama orang Korea aja Bang? Nanti anaknya kiyowo banget, terus gedenya kayaknya oppa-oppa!" Serunya semangat kemudian tertawa sendiri mendengar argumennya.
"Jangan, orang Korea terlalu cantik buat Gibran." timpal Regan yang membuat Gava terbahak disana. Memang kapan lagi akan bisa membully Abangnya yang satu ini.
"Fokus nyetir aja Re, mati dijalan ntar siapa yang bayar cicilan mobil lo?" balas Gibran. Gelak tawa Gava semakin terdengar keras. Mendengar para kakaknya saling mengejek itu seru baginya. Tidak ketinggalan Revika juga ikut tertawa. Makanya Reza tidak berkomentar, tak apa adik-adiknya ribut. Yang penting si bungsu tertawa.
"Tinggal dikit lagi Gib, nggak mau bayarin lo?"
"Kalau lo beneran mati gue bayarin."
"Emang kampret lo!"
"Bang! Kak! Vika matiin dulu ya? Mau pergi ini."
Ucapan Revika menginterupsi perdebatan tidak berguna antara Regan dan Gibran. "Mau kemana?" tanya Regan.
"Sama siapa dek?" tambah Reza bertanya.
"Maudy. Mau jalan-jalan biasa kok!"
"Sama Gava?" tanya Gibran.
"Kagak Bang, gue juga ada acara sama temen."
"Kakaknya Maudy ada kok! Jadi ada yang jagain." ujar Revika. Ia sudah sangat hafal dengan tabiat para kakaknya. Protektif. Jika tidak ada seseorang yang bisa diandalkan untuk menjaganya ketika keluar maka dia tidak akan diijinkan keluar. Mereka memang terpisah oleh jarak, tapi para kakaknya tahu kegiatan sehari-harinya. Jangan lupa dengan uang anak-anak Wiratama yang bisa menghidupi banyak orang, dengan uang itu lah mereka bisa menyewa orang untuk mengawasi kegiatan adik bungsu mereka.
"Si Mi... Mi sapa tuh? Lupa!"
"Miguel!" ujar Revika membenarkan.
"Kamu deket sama kakak temen kamu itu?" tanya Reza. Jika sudah bersangkutan dengan Revika, pasti jiwa keponya akan keluar.
"El baik, makanya jadi temen Vika juga."
"Suka dia sama Adek!" celetuk Gava.
"Hah?"
"Apa?"
"Apa?"
"Kak Gava ihhh!" rengek Revika.
"Dua hari lalu si mi-mi itu nyatain perasaannya sama Adek. Depan gue pula! Pengen gue tonjok tapi nggak dibolehin." jelas Gava kemudian terdengar rengekan dari adik mereka.
"Kenapa kagak lo tonjok aja sih?!" tanya Regan heran juga gemas. Gemas ingin memberikan cap tangan pada wajah pria yang sudah berani-beraninya mendekati kesayangannya.
"Vika inget ucapan Kakak?" tanya Reza. Menyebut nama adiknya berarti dia tengah serius, sangat serius malah. Karena biasanya dia akan menyebut adiknya dengan panggilan sayang atau adek.
"Inget." cicit Revika diseberang sana. "Vika nggak ada apa-apa kok sama Kak El, cuma temenan. Lagian pas itu Vika langsung ditarik sama Kak Gava, terus ini baru mau ketemu lagi." jelasnya.
"Angel suka sama Miguel?" tanya Gibran.
"Nggak tahu..."
Bukan hanya Regan, tapi semua kakak dari Revika menghela nafas mendengar jawaban ambigu adiknya. Tidak tahu bukan berarti tidak suka. Bukan berarti juga suka.
"Sampai kamu pacaran Kakak bawa pulang kamu." memang tidak tajam namun ancaman dari Reza cukup membuat Revika menciut.
"Jangan gitu Bang." tegur Regan. Bagaimanapun adik mereka tidak bersalah. Salahkan saja wajah adik mereka yang pasti membuat banyak orang tertarik. Dan percayalah, Miguel bukan pria pertama yang menyatakan cinta pada Revika. Makanya para Kakaknya begitu posesif padanya, karena mereka tidak ingin Revika terluka oleh seorang pria. Bisa menjadi pembunuh dadakan mereka.
"Kamu sih dek! Makin gede makin cantik, jadi banyak yang suka kan."
"Adek gue mana mungkin jelek." sahut Gibran.
"Bang? Kak? Vika boleh pergi kan sama Maudy sama El?" tanya Revika. Dari nada suaranya seperti ragu, sarat akan rasa takut. Tapi Regan yakin, sampai ditolak maka adiknya akan merengek.
"Hm, asal jangan lebih dari temen."
"Makasih Kak Eza!" seru Revika senang. Ah, panggilan yang disematkan pada Kakak pertamanya juga ia berikan setelah beberapa bulan mulai mau berkomunikasi kembali. Karena awal menjalani terapi dulu, Revika benar-benar menjadi pendiam.
"Vika matiin ya? Sayang kalian! Cium jauh ya? Muahh!" lalu terdengar gelak tawa gadis itu.
Lalu sambungan dari adik mereka terputus. Setelah berbasa-basi memberi salam perpisahan, panggilan grup tersebut selesai. Regan melepaskan earphone bluetooth-nya. Sudah hampir sepuluh menit dia sampai di parkiran tetapi tak kunjung keluar. Apalagi alasannya jika bukan karena tadi.
Sore hari ini dia menyempatkan untuk mengunjungi mom and baby. Seulas senyum tercetak ketika melihat banyak anak-anak yang masih bermain disana. Matanya menatap arloji di pergelangan tangannya. Jam empat lebih, sebentar lagi sudah waktunya bagi anak-anak pulang. Makanya sudah banyak ibu-ibu juga disini. Menunggu anak mereka puas bermain.
Rasanya rasa lelah dan pusing yang menyerang menguap begitu saja ketika datang kesini. Kadang dia berpikir, jika melihat anak orang saja dia senang apalagi anak sendiri bukan? Mungkin dia harus mulai serius sekarang. Mencari seorang wanita yang sudah ditakdirkan menjadi jodohnya. Menjalin hubungan sakral dan dia akan memiliki rumah tempatnya benar-benar pulang. Dimana dia akan melihat anak-anaknya sendiri nantinya. Ah, semoga saja Tuhan memberinya takdir indah.
Bruk!
Regan terkejut ketika seorang anak kecil menabrak tubuhnya. Dia memang tidak apa-apa, tapi berbeda dengan anak kecil tersebut. Tubuh mungil dari balita itu terjatuh karena menabrak tubuh besar Regan. Sudah tahu bukan kejadian apa selanjutnya? Ya, anak itu menangis. Regan berjongkok untuk meraih anak tersebut tetapi sepasang tangan mulus mendahuluinya. Menarik tubuh tersebut membuat dia mengangkat kepalanya untuk melihat siapa orang tersebut.
Cantik. Satu kata yang terlintas dalam kepalanya. Rambut panjang tergerai, sepasang mata yang tengah menyorot anak kecil tadi penuh sayang, wajah yang terlihat natural cukup menyita perhatiannya. Terus saja ia pandangi wajah perempuan tersebut. Keterpesonaannya tidak sampai situ saja, ketika melihat bagaimana cara perempuan tersebut menenangkan sang balita tadi, dia menjadi semakin terpana. Ah, bolehkah ia meminta pada Tuhan untuk menjodohkan dirinya dengan perempuan ini?
Tapi... Perempuan ini ada disini dengan seorang anak. Berarti anak ini anaknya dan... Perempuan ini sudah menikah. Astaga ada apa dengan otaknya, bagaimana bisa ia ingin berjodoh dengan jodoh orang?
Setelah sekian lama ia mengamati wajah cantik perempuan ini, ia merasa tidak asing. Seolah mereka pernah bertemu. Tapi dimana? Apa mungkin perempuan ini adalah matan pacarnya? Tapi mantan mana yang begitu terlihat sangat keibuan. Jika memang dia menemukan perempuan seperti itu dulu, pasti dia sudah menikah sekarang.
"Clara!"
Seruan seseorang membuyarkan segala pemikiran Regan. Bodohnya, dia masih berada pada posisinya. Jongkok dengan kepala mendongak menatap perempuan tadi. Ah, dia pasti terlihat begitu konyol sekarang.
Clara. Itu namanya? Tapi tuh cowok siapa? Suaminya? Kok keliatan tua?
"Papah!" seru balita yang berada dalam gendongan perempuan tadi. Jadi benar? Pria itu suami dari Clara?
Tapi tunggu. Clara. Kenapa nama itu terasa tidak asing baginya? Begitupun dengan wajah cantik itu.
Clara....
Clara....
Cla-
"Clara Aretta?!"
"Ya?" balas perempuan tadi. Kini keduanya bertatapan dengan jarak tidak terlalu jauh. Mungkin hanya satu meter. Ternyata benar? Dia Clara Aretta? Mantan pacarnya dulu. Mantan pacar pertama, yaitu perempuan pertama yang ia buat sakit hati saat masa putih abu-abu. Sialnya, kenapa sang mantan terlihat begitu menarik sekarang? Apa karena sudah menikah? Dan fakta itu cukup membuatnya sakit hati.
•To be continue•
**🍀🍀🍀🍀
kebanyakan tokoh ada dicerita New Life, ceritanya aku upload di *******. kalo mau baca bisa mampir kesana, kalau enggak juga gapapa, masih nyambung kok.
makasih udah baca cerita ini, jangan lupa tinggalkan jejak! see you**....
"Clara Aretta?"
"Ya?"
"Gue Re-"
"Bundaaa!"
Rengekan itu menginterupsi ucapan Regan. Mau tidak mau dia harus mengalah pada balita yang kini merengek minta di gendong lagi oleh Clara. Ya Clara. Clara Aretta. Mana mungkin dia lupa dengan wanita ini -walau tadi sempat lupa sebentar- karena Clara adalah mantan pertamanya. Bisakah ia sebut cinta pertama? Kalau begitu mari kita ingat-ingat dulu bagaimana perasaannya pada Clara dulu ketika masa putih abu-abu
Memiliki wajah tampan cukup mengganggu bagi Regan. Bagaimana tidak? Dia yang notabenenya murid baru alias junior disini ditembak oleh kakak kelasnya. Catat ya, dia ditembak. Padahal dia seorang pria dan yang menembaknya tentu saja perempuan. Hanya saja dia tidak suka perempuan agresif. Seharusnya dia yang menembak perempuan bukan sebaliknya. Bisa hancur harga dirinya.
Dari sekian banyak mahluk berjenis kelamin perempuan di sekolahnya dulu, ada satu sosok yang cukup menyita perhatiannya saat itu. Clara Aretta. Gadis yang suka mengikat rambutnya, tidak suka berdandan tetapi cantik. Pendiam? Tidak juga. Clara malah tergolong cewek cerewet, hanya saja pada tempatnya saja. Menonjol? Tidak, Clara hanya gadis biasa. Tidak di kelas unggulan ataupun masuk geng bar-bar sekolah. Gadis yang lebih suka menghabiskan waktu bersama kedua temannya di kelas atau dikantin. Suka makan tetapi tubuhnya tetap ideal.
Awal pertemuan mereka tidak menye-menye sebenarnya, tapi cukup membuat Regan malu jika mengingat. Saat itu Regan tengah membeli minuman di kantin sendirian, teman-temannya masih ada dilapangan karena latihan basket, bodohnya dia lupa membawa uang. Awalnya dia nego-nego pada Ibu penjual, tapi tiba-tiba ada sosok yang nyodorin duit disebelahnya. Bisa ditebak bukan siapa gadis itu?
"Gausah dibalikin, gue ikhlas. Lagian cuma segitu." itulah yang diucapkan oleh Clara saat itu.
Untuk informasi saja, Clara itu bisa dikatakan anak Sultan. Golongan atas. Uang yang diberikan untuk membayar minum Regan saat itu limapuluh ribu tapi dibilang 'cuma segitu'. Saat itu Regan memang membeli untuk teman-temannya juga, makanya habis banyak. Tak disangka malah dia lupa membawa dompet. Sudah bergaya sok beli banyak, eh lupa bawa uang.
Yang membuat Regan tertarik pada Clara itu bukan karena gadis itu anak orang kaya atau hanya sekedar cantik. Walau dia tidak bisa menyangkal jika wajah Clara memiliki daya tarik sendiri. Tapi yang membuatnya suka pada Clara adalah cara perempuan itu tertawa. Ketika tertawa bersama teman-temannya terlihat begitu natural seolah tidak memiliki beban hidup. Begitu lepas. Juga senyum manis gadis itu.
Awalnya dia pikir hanya rasa suka atau kagum biasa, ternyata perasaan itu lebih. Dia tidak bodoh untuk mengartikan perasaannya sendiri. Setelah tahu jika dia memang cinta pada Clara, barulah dia beraksi mendekati gadis itu. Tidak semudah yang orang pikirkan, karena butuh waktu tiga bulan ia bisa memacari Clara. Tapi hampir satu tahun hubungan mereka ia membuat kesalahan. Yang membuat hubungan yang membuat banyak orang iri kandas begitu saja.
Lupakan hal itu, yang perlu dia ingat adalah perasaannya pada Clara saat itu. Jantungnya berdegup kencang ketika bertatapan dengan gadis itu, bahkan dia gugup ketika Clara menatapnya intens. Sangat bukan dirinya bukan? Bukankah itu cinta?
"Kenapa gue sia-siain lo dulu ya Ra?" gumamnya dalam hati. Jika mengingat masa-masa dia merasakan cinta pertama maka dia akan merasa menjadi manusia terbodoh di dunia. "Nyatanya dari tiga orang yang buat gue jatuh cinta, cuma lo yang paling susah gue lupain,"
"Mauuu!"
Seruan dari suara khas anak kecil menarik paksa Regan dari pikirannya sendiri. Dilihatnya sosok Clara yang tengah menggendong balita tadi. Entah apa saja yang orang-orang itu bicarakan, dia tidak tahu. Telinganya seakan berhenti berfungsi tadi. Ketika kepala Clara menoleh padanya, tiba-tiba saja tubuhnya kaku. Apalagi saat tatapan mereka beradu. Belum lagi dengan senyum tipis wanita itu. Ah, dia bahkan bisa mendengar degup jantungnya sekarang. Begitu keras dan cepat. Efek macam apa ini? Kenapa dia seperti ini hanya karena menatap Clara?
Tidak ada yang keluar dari bibir Clara. Wanita itu hanya mengangguk kecil kemudian pergi dari sana bersama pria tadi. Kembalilah dia pada realita. Clara sudah menikah? Tapi kenapa dia tidak tahu? Memang mereka tidak berhubungan lagi sejak lulus SMA, tapi setidaknya dia akan mendapat kabar dari grup sekolah bukan?
Melihat punggung wanita itu yang mulai menjauh, ia hanya bisa menatap miris. Clara sudah bahagia. Memiliki anak yang manis. Dipanggil Bunda seperti impiannya sejak dulu.
"Lucu kayaknya deh kalau dipanggil Bunda, imut-imut gitu." ucapan Clara saat berada ditaman masih teringat jelas oleh Regan. Saat itu mereka tengah berkencan di taman lalu melihat keluarga yang tengah bermain juga. Dan gadis kecil begigi kelinci itu memanggil Bunda pada ibunya. Saat itulah keinginan Clara muncul. Padahal mereka masih SMA pada saat itu.
"Kok sakit ya Ra?" tanyanya entah pada siapa. Telapak tangan kanannya sudah bertengger di dada. Merasakan detak jantungnya sendiri. Juga remasan kasat mata disana.
"Jadi gue belum move-on?" lagi ia bergumam sendiri. Sedetik kemudian dia menggelengkan kepalanya. Tawa sumbang terdengar. "Yakali gue belum move-on. Udah lama juga." lanjutnya. Dalam hati dia menekan kalimat jika dia sudah move-on. Clara itu masalalu. Sudah seharusnya dilupakan.
Tapi....
Kok ada yang sakit ya? Sakit lihat dia udah berkeluarga. "Argh!" tanpa sadar dia berteriak kesal. Tidak mengingat dimana dia sekarang. Butuh lima detik baginya untuk kembali ke realita. Ditatapnya sekeliling yang kini menatapnya bingung. Bahkan ada anak kecil yang menangis karena terkejut tadi. Bagus Regan! Kamu mempermalukan diri sendiri.
Sepertinya pergi kesini bukan keputusan yang bagus. Tubuhnya berbalik, lebih baik ia mencari tempat yang bisa mengurangi rasa aneh dalam dirinya. Campuran dari pusing juga sakit. Tapi sakitnya di hati. Ada yang tahu obatnya?
Masih ingat rumah yang Rian -Papah Regan- beli untuk tinggal sementara. Rumah tersebut ditinggali oleh Gibran. Posisinya yang dekat dengan kantor Gibran membuat pria itu memilih pindah. Hanya sesekali saja dia pulang kerumah utama. Jika tidak terlalu sibuk bisa seminggu sekali. Tapi jika banyak pekerjaan bisa sampai sebulan sekali.
Dan disitulah Regan berada. Rumah besar walau tak sebesar rumah utama baginya cukup nyaman. Sama seperti rumah utama, pelayan lah yang menyambut. Tidak ada banyak pelayan disini. Untuk pelayan tetap ada tiga, yang lain hanya paruh waktu. Toh hanya mengurus rumah ini dan Tuan mereka cuma satu. Jadi tidak repot.
"Bangkrut lo? Masa kulkas muat buat gajah tapi kaga ada isinya?" cibir Regan setelah menginjakan kaki di ruang kerja milik saudara sepupunya. Jika tengah mendapat proyek, biasanya Gibran akan mengerjakannya di rumah saja. Katanya butuh konsentrasi penuh, tidak mau diganggu. Itu juga alasan kenapa Gibran pindah kesini. Tadinya Regan juga ingin ikut, tapi dia tidak tega pada sang Bunda.
"Isi gajah aja biar penuh." jawab Gibran asal. Pandangannya tidak lepas dari laptopnya.
"Bibi kemana emang?" Regan duduk di sofa kemudian melepas dasi yang mencekiknya sedari tadi. Tak lupa ia melepas tiga kancing teratas kemejanya. "Panas amat disini." lanjutnya yang merasa gerah.
"Lagi belanja. Kebanyakan dosa lo!"
"Apa karena liat mantan dah nikah jadinya panas ya?" gumamnya sendiri namun masih terdengar oleh Gibran. Bagaimana tidak dengar, Regan saja mengatakannya dengan suara cukup keras.
Regan itu tipe orang yang suka curhat. Jika masalah kantor ia lebih suka berbagi dengan Reza. Karena dia pasti akan mendapat solusi saat memiliki masalah. Tapi jika masalah asmara biasanya ia akan curhat ke Gibran. Kenapa tidak pada Galih? Alasannya karena Kakaknya yang satu itu cukup banyak bicara. Tidak seperti Reza dan Gibran. Ketika dia bicara seolah tidak di dengarkan tapi nyatanya didengarkan. Diakhir cerita biasanya diberi solusi. Jadi intinya enak, ia curhat lalu saat selesai baru ditanggapi.
"Gue tadi ketemu mantan." ujar Regan sedikit dramatis. "Dia udah kawin Gib!" lanjutnya dengan nada lemas. Tubuhnya meluruh, bersandar pada kepala sofa. "Padahal gue belum."
"Terus?"
"Gue deg-degan masa nyet!" lanjut Regan sedikit heboh.
"Kagak deg-degan mati goblok!" sembur Gibran kesal.
Benar juga. Sepertinya dia salah dalam memilih kata. "Maksudnya deg-degan yang nggak biasa. Kayak orang jatuh cinta."
"Bulan lalu lo ngomong gitu."
"Beda cerita woy!"
"Kalimat lo sama."
"Sumpah lo nyebelin Gib!"
"Lo ganggu Gan!"
Ingin sekali Regan mengumpat tapi masih bisa dia tahan. Dan ini adalah reaksi Gibran ketika dia curhat tapi cowok itu tengah sibuk. Bukan masalah, toh dia sudah biasa.
"Apa gue gagal move-on ya?"
"Bisa aja."
"Pengin gue ajak balikan, tapi doi udah kawin."
"Gan?" panggilan itu membuat Regan menatap Gibran. Ternyata sepupunya itu juga tengah menatapnya dari balik kacamata. "Mampus!" lanjut Gibran kemudian kembali fokus pada laptopnya.
Tahu saudara laknat? Ya ini salah satu contohnya. Keputusannya untuk curhat pada Gibran adalah kesalahan besar. Mungkin lebih baik dia curhat pada Galih saja tadi. Tak apa ia harus mendengar ceramah panjang. Tapi mau bagaimana lagi? Beras sudah menjadi nasi dan nasi sudah menjadi bubur.
•To be continue•
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!