NovelToon NovelToon

Menikahi Cinta Pertama

Episode 1

"Katanya Thubi mau ke acara arisan, sekalian mama kenalin sama temen anaknya mama. Kok gak konsisten gitu Thubi."

Si Mama sibuk benerin jilbabnya dengan gamis keluaran terbaru, maklum ibu-ibu di acara arisan bakal jadi ajang pamer baju, tas branded, belum lagi perhiasan bla...bla...

"Kayak gak kenal Thubi aja sih, Ma..."

"Lantas kemana anak itu?"

"Katanya ada rapat dadakan."

Mba Tira mengangkat semua barang belanjaannya ke dapur."

"Disuruh nikah kok susah banget."

Gerutuk Mamanya gusar menatap jam dipergelangan tangannya.

"Mau ngomong apa? mana udah janji."

Mama langsung mengambil ponsel di dalam tasnya.

Bakal perang dunia susulan, kalo keinginan mama ga diturutin. Mba Tira udah kabur duluan, mau ngeliat baby nya sama pengasuh karna ditinggal belanja ke pusat perbelanjaan.

"GAK MAU TAHU, PUTAR BALIK MOBIL KERUMAH, POKOKNYA PULANG ANTER MAMA KE ARISAN, SEKARANG."

Suara si Mama kali ini udah gemetar pengen ngomelin si Thubi, tanpa mendengar lagi alasan Thubi yang berada diseberang sana. Si Mama langsung matikan ponselnya.

Mulut si Mama udah manyun lima senti, kebayang Thubi pasti nurut apapun perintah mama, semenjak papanya meninggal. Thubi sangat patuh sama Mamanya. Dia tak ingin melihat Mamanya bersedih.

"Kamu tuh ya susah dibilangin, cepet ganti baju, anter Mama."

"Kan bisa minta anter supir, Ma."

"Lebih penting mana? Perusahaan atau mama?"

Kali ini Thubi ga bisa menolak, kalo mama udah ngeluarin kata-kata saktinya.

"Ok, Ma..."

Mba Tira udah ketawa aja liat si Thubi dikerjain Mama, dari lantai dua sambil gendong babynya.

........

" Ma, jangan lama-lama."

Thubi menoleh ke mamanya yang dari tadi berhias terus di dalam mobil.

"Gak ikut turun!"

"Ya ampun Ma, Thubi nunggu di mobil aja."

" Gak inget omongan Mama tadi."

"Ok."

Kali ini mama menang, Thubi gak bisa berkutik lagi, dibantah juga percuma. Paling capek berantem sama Mama. Ujung-ujungnya kata-kata sakti bakal terlontar.

Thubi merapikan kemejanya, walaupun sempet kesel sama mamanya. Thubi coba pasangan senyum manisnya. Dari pada dibilang anak durhaka.

"Nah gitu dong, anak Mamakan ganteng. Asli gak bakal nyesel cantik kok anak Tante Mala, kalo gak salah seumuran lho."

Si mama langsung menyeret Thubi kedalam.

Langsung deh diperkenalin ke temen-temen arisan mama yang memang udah pada kumpul sambil ngobrol-ngobrol ringan.

.....

"Wah ganteng ya Thubi sekarang, punya perusahaan dua juga ya? mapan lagi."

"Kok gak punya pacar sih."

"Pasti pemilih."

"Iya dong, gak sembarang orang jadi menantu saya."

Biasa emak-emak sok tahu semua.

Thubi hanya senyam-senyum.

Males banget lama-lama disini gerutuk Thubi.

"Sini tante kenalin, sama anak tante. Belum pernah ketemukan? di coba dulu pendekatan siapa tahu cocok. Nanti tante panggilin."

Mama Thubi melotot ke arah Thubi.

"Awas jangan malu-maluin."

Si mama menarik lengan Thubi untuk masuk ke dalam ruangan santai.

"Mama, apaan sih. Di jodoh-jodohin. Bukan jamannya lagi."

"Ikut aja."

"Tapi, Ma Thubi gak akan bakal setuju dengan perjodohan ini sudah berapa kali, gak capek apa mama. SEKALI TIDAK TETAP TIDAK. THUBI TAK MENGINGINKAN PERJODOHAN INI."

Suara Thubi makin lantang, semua ibu-ibu disitu menoleh ke arah Thubi.

Pranggg... gelas itu terjatuh seketika.

Wanita yang dijodohkan Thubi, sudah berdiri lima menit yang lalu dibelakang Thubi.

Wanita itu kini menunduk. Karna malu. Semua terdiam.

Thubi seakan bermimpi, wajah itu.

Wajah yang tertunduk, raut wajahnya memerah menahan malu.

Wanita itu berlari naik ketangga menutup wajahnya. Tangisnya pecah. Penolakan itu begitu lantang terdengar.

Thubi terpukul, ia tak menyadari jika wanita itu cinta pertama semasa sekolahnya.

"Lubi?"

Bersambung...

Episode 2

Tak semudah itu membuang kenangan yang sudah berakar direlung hati.

Cinta pertama itu kini tak memihak, sungguh Lubi kini memikirkan perkenalan dengan dokter muda yang tampan, dari Shiren beberapa bulan yang lalu.

Tak perlu bersedih, dengan telinganya sendiri. Lubi mendengarkan penolakan itu sekalipun menyakitkan.

Thubi telah menolak perjodohan dengan dirinya.

Awalnya Lubi menolak perjodohan tersebut, namun begitu bahagianya Lubi setelah ia melihat foto lelaki yang akan dijodohkannya adalah cinta pertamanya saat dibangku sekolah dulu.

Serasa terbang ke awan perlahan, ternyata ia salah sangka, cinta pertamanya belum menikah. Sangat percaya diri, Lubi terus mengait-ngaitkan tiap kejadian, mimpi bertemu dengan laki-laki cinta pertamanya.

Namun kepedihan itu makin membenam, ia patah hati atas penolakan dari mulut Thubi langsung.

Seharusnya ia tak perlu berharap, pada laki-laki yang diagungkan.

Pada akhirnya Lubi lebih berdosa jika terus menanam perasaan yang luar biasa itu.

Benar perkataan sahabatnya, mencintailah sewajarnya karna kita tidak tahu suatu saat akan membencinya, dan bencilah sewajarnya karna mungkin suatu saat akan jatuh cinta padanya.

Lubi memilih kabur ke rumah Shiren yang sibuk menyusui bayi kembarnya.

Shiren sudah tahu Lubi dengan perasaannya. Shiren mendengarkan semua keluhan Lubi, matanya sudah berkaca-kaca mulai tumpah.

"Bodoh, ngapain masih mau di ajak ketemu sama orang yang udah nolak mentah-mentah." cerca Shiren kesel ngeliat sahabatnya digituin.

Wajah Lubi memerah menahan sesak.

"Kalau sampai masih mau juga tetep dibodohin sama cowok yang udah nolak, sama aja kayak nyebur kelubang sama, belum apa-apa udah buat nangis, aku bilang juga apa, cowok kayak gitu dikasih pelajaran dulu."

Shiren gregetan banget denger cerita Lubi.

"Dikasih pelajaran maksudnya?"

Lubi menoleh ke arah Shiren

"Ya bolehlah, kalo emang dia mau minta maaf dengan narik ucapannya gitu, toh itukan Mamahnya yang merasa bersalah atas kelakuan anaknya. Bukan dari anaknya langsung, ngapain juga mau diajak ketemuan, biarin aja..."

"Mamahnya langsung ke kamar minta maaf, sambil ngomong...."

"GAK, jangan pernah kasih kesempatan, kecuali anaknya datang langsung memohon berlutut minta maaf, dan jangan pernah mau ngangkat telpon dari si cowok itu, atau di ajak ketemuan."

"Terus, kalo dia nelpon trus..."

"Ya biarin aja, biar dia juga ngerasain, jangan pernah mudah mau dibujuk, jangan keliatan banget kalo ngebet banget, jual mahal dikit. Biar dia juga tahu rasanya enak gak menunggu gak ada kabar."

Lubi terdiam, sejenak ia menatap ponselnya dari semalam udah hampir lima puluh kali panggilan tak terjawab, belum whats up nya dengan emoticon permintaan maaf ditambah bunga yang terkirim di depan rumah dan ucapan maaf.

"Awas kalo gampangan kasian nerima permintaan maafnya." ancam Shiren menoleh ke Lubi yang rebahan di sofa.

Lubi manyun menatap layar ponselnya.

Sebenarnya kenapa jadi seribet itu, setelah sekian lama gak pernah ketemu.

Malah endingnya kayak gini.

Satu sisi Lubi udah kasian, tapi egonya mulai sakit jika ingat sikap cowok itu kemarin dari pura-pura gak kenal dan

Malah ngomong gak setuju dengan perjodohan itu.

Dan dengan tiba-tiba mau minta maaf, emang baginya mudah asal narik omongan aja, apa dia kira, gak punya perasaan apa? Mana rame di hadapan temen arisan Ibu.

Lubi menutup wajahnya dengan bantal sofa, berharap semua ini hanya mimpi.

"Kenapa gak coba kenalan dulu sama si dokter? siapa tahu cocok? gak ada salahnya kan?"

Shiren menawarkan sepupunya itu sang dokter muda yang ganteng.

Emang sempet ketemu beberapa kali sama Lubi.

Lubi menggeleng pelan.

"Aku gak mau hanya karna pelampiasan aja, gak mudah. Emang dikira warung. Bisa buka tutup aja sesuka hati."

"Kan gak salah dicoba dulu, meski sampai kapan menutup hati, sementara diluar sana banyak cowong yang ngantri buat ngelamar. Makannya gak nikah-nikah, inget umur, inget ya, bulan depan Vio nikah, nah kamu masih sibuk dengan masa lalu yang gak jelas sama sekali."

Lubi seakan diserang peluru batinnya bertubi-tubi, memang sakit. Namun masa lalu itu begitu kuat menahannya terkurung.

Tak lama poselnya bergetar, nomor dari semalam muncul kembali di layar ponselnya.

Lubi hanya terpaku menatapnya.

Apa sebaiknya diberi kesempatan? mungkin Thubi khilaf ngomong itu, atau dia gak sadar kalo aku wanita yang dijodohkan untuknya.

Jemarinya seakan ada keberanian untuk menerima panggilan tersebut, namun Shiren lebih dahulu melotot.

Lubi manyun, menutup bantal ponselnya.

"Sebaiknya pikirin baik-baik, renungi akibatnya, dan harus siap nerima konsekuensi setiap keputusan yang diambil." Shiren menepuk bahu Lubi sambil menggendong bayi kembar satunya yang sudah tertidur, dan satunya udah terbaring ditempat tidur.

........

"Non, ada tamu di bawah."

Asisten rumah tangga mengetuk pintu kamar.

"Iya, mbak sebentar ya."

"Shiren langsung mengambil jilbabnya.

"Bentar ya Bi...please jagain anakku yang satunya ya..."

Lubi mengangguk. Mendekati baby twins satunya yang udah nyenyak bobok.

Shiren menuruni anak tangga, dengan pelan berjalan.

Namun tak ada siapapun dibawah.

Pintu setengah terbuka.

Ada buket mawar putih dan secarik kertas.

Shiren membacanya.

"Jadi dia tahu Lubi disini?"

Shiren membawa buket mawar itu kelantai atas.

"Kayaknya ada mata-matain deh, ini buat kamu, baca aja pesan dikertas itu."

Lubi pelan-pelan beranjak bangun dari tempat tidurnya, takut si baby bangun.

"Kok buat Aku?"

Lubi kebingungan mengambil buket mawar putih itu.

"Baca aja!"

Harusnya bisa berikan maafmu sejenak.

By: Thubi

Lubi mendekati jendela kamar.

Nampak di sana parkir mobil putih membuka jendela kaca mobil, dengan melambaikan tangannya kearah Lubi sambil tersenyum tak lama kedua tangannya Thubi seolah memohon maaf sambil dengan wajah penyesalan.

Lubi langsung menutup hordeng kamarnya.

"Awas kalo berani turun nemui cowok itu." ancam Shiren.

Bersambung....

Episode 3

Sampai dirumah, suasana beku. Mata melotot mama udah murka, membidik mangsanya.

"Mamah bilang juga apa? kamu tuh ya gak mempan dibilangin, kalau kayak gini bisa malu mamah."

Thubi terdiam, tak mengeluarkan kata sepatahpun.

"Kamu harus usaha minta maaf sama Lubi, Mamah gak enak sama Tante Mala. Makanya jangan asal nolak aja, kalau kayak gini gimana coba. Kamu udah dewasa belajar tanggung jawab."

Mamah ninggalin Thubi yang merenung di sofa.

Mbak Tira menggendong bayinya, sambil mendekati Thubi.

"Telpon minta maaf langsung sama Lubi, atau kirim bunga kesukaannya."

Thubi menatap Mbaknya sesaat.

"Tapi Mbak..."

"Udah deh, ikutin aja. Kalau emang kamu gak suka perjodohan itu gak seharusnya ngomong di depan orang rame, cewek itukan punya perasaannya juga."

Thubi menatap layar ponselnya, di mobil tadi Mamah sudah mengetikkan no ponsel Lubi ke kontak ponsel Thubi.

"Nunggu apa lagi?"

Mbak Tira rada kesel juga dengan sikap Thubi.

Thubi bangun dari sofa dan naik tangga kelantai atas menuju kamarnya.

Entahlah, kata-kata itu meluncur juga. Seandainya dan seandainya. Sesal Thubi menatap nomor ponsel Lubi yang tersusun rapi dikontak ponselnya sekarang.

"Bismillah...."

Jemari Thubi menekan panggilan untuk menelpon Lubi.

Tak lupa ia mengunci kamarnya. Dan melepaskan kacamatanya.

Kali ini ia rebahan di tempat tidur.

Tak ada respon dari seberang sana. Untuk sekedar menjawab panggilan Thubi yang mulai risau dari tadi kalo Lubi mengangkatnya. Kata pertama apa yang akan Thubi omongin.

Sungguh beberapa panggilan yang Thubi lakukan sama sekali tak ada respon. Thubi mengulang berkali-kali hingga akhirnya ia terlelap di bantal empuknya.

.......

Akhirnya dengan keberanian yang ia kumpulkan, Thubi mendatangi rumah Lubi namun hanya ketemu Tante Mala. Lubi sudah pagi-pagi betul keluar rumah alasannya ada meeting dadakan.

Dengan info yang Thubi dapatkan dari Tante Mala.

Thubi sudah mengantongi seluruh alamat rumah sahabat Lubi, tempat-tempat yang dikunjungi Lubi sampai-sampai jadwal nonton, shopping, kunjungan ke panti asuhan dan yang berhubungan kegiatan sehari-hari Lubi.

Thubi sudah membelikan satu buket mawar putih yang ia beli di toko bunga langganan Lubi. Tak lupa ia menuliskan sesuatu disecarik kertas.

Ia menyuruh orang untuk meletakkan buket mawar putih. Hingga tepat sekali dugaannya. Lubi membuka hordeng dan menatap Thubi yang menunggunya dari dalam mobil.

Namun hanya sampai di situ saja. Detak jantung Thubi bertambah kacau saat ada mobil hitam yang baru tiba parkir di depan rumah Shiren

"Siapa laki-laki muda itu?"

Bisik Thubi mengamati dari dalam mobil.

Nampak di sana Shiren bersama Lubi keluar dari rumah.

Sungguh muncul praduga yang bertanya-tanya di kepala Thubi. Siapa laki-laki itu sebenarnya yang dari tadi curi-curi pandang ke arah Lubi. Dengan salah tingkah ia memberika buket mawar putih yang ukurannya lebih besar dari pada buket mawar Thubi, dan ada kotak kecil berpita emas.

Nampak Shiren tersenyum dengan kedatangan laki-laki tersebut, dengan tanpa basa-basi mengajak laki-laki itu masuk ke rumahnya.

Thubi memukul setirnya kali ini, rona wajahnya memanas. Entah mengapa perasaan cemburu itu mulai muncul pelan-pelan hingga deringan ponsel dari kantornya ia abaikan. Thubi ingin berlari masuk ke dalam tak tahan dengan apa yang dilihatnya, namun ia harus menahan segala gejolak yang ada di dadanya. Menahan dengan hembusan nafas yang naik turun tak menentu.

Bersambung......

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!