Chiit!!
BRAK
"Setan!! Jalan pakek mata woy!!"
Mendadak situasi jalanan menjadi ramai, ia menjadi pusat perhatian. Sungguh hal ini bukan kemauannya, pria itu berdecak kesal lalu keluar dari mobil mewahnya. Menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya seraya mengacak rambutnya.
"Ays!! Apa kau tak bisa menggunakan matamu dengan benar?!" bentak pria itu begitu kasar, beberapa orang di sekitarnya tak berani sedikitpun mendekat.
"Hah?! Kau menyalahkanku? Kau lah yang menabrakku, lampu merah secara nyata tengah menyala!! Lalu siapa yang tidak pandai menggunakan mata?!!"
Sial, baru kali ini seorang Dirgantara Avgian dibentak gadis, paras rupawan dan begitu sempurna seakan tak pantas menerima cacian seorang gadis kecil. Bisik-bisik para pengguna jalan yang berada di kanan kirinya cukup membuat pria itu terganggu.
"Shitt," umpat Gian seraya menatap tajam gadis itu dari balik kacamata hitamnya, cantik namun tentu saja bukan tipenya.
Lagi-lagi Gian melakukan kesalahan yang sama, menerobos lampu merah seakan tak pernah lepas dari pria bermata coklat itu. Di umur 25 tahun, ia masih berada di bawah pengawasan Abima Raka Wijaya, sang Papa.
"Eh Mas, nggak niat tanggung jawab? Kasian Mbanya gak bisa berdiri tuh."
Gian menatap tak suka pada pria berjaket hijau senada dengan helm dan juga kaus tangannya, tak lupa sepatu juga turut hijau.
"Iya bener, masa iya gak tanggung jawab." Seorang wanita ajaib yang tiba-tiba datang membuat suasana semakin panas, ingin rasanya Gian memukul wajah bak jablay itu.
"Ganteng doang, tanggung jawab kagak," sorak seseorang di sana yang mendapat sahutan meriah dari beberapa orang di sekelilingnya.
"Hey kau!! Berhenti bicara atau aku hancurkan keluargamu." Gian membuka kacamatanya, dan benar saja tatapan mematikan itu membuat pria yang berani menentangnya ciut seketika.
Menyesal ia berani ikut campur urusan salah satu pewaris keluarga Wijaya. Sikap Gian yang kerap menggunakan kekuasaan berhasil membuat siapa saja takluk di hadapannya. Pria itu tak segan menghancurkan seseorang yang berani mengusiknya hingga benar-benar tak bersisa.
"Siapa dia?" Gadis yang kini belum beranjak tak jauh darinya hanya mengerutkan dahi.
Perih di kakinya cukup menyiksa, sore ini hujan rintik. Tak ia duga perjalanan pulang dari perpustakaan menjadi penuh drama, berulang kali ia berusaha bangkit, namun cidera di kakinya benar-benar menyakitkan.
"Aaawww!!" rintihnya seraya menggigit bibir bawahnya, sungguh ia bukanlah perempuan yang mampu bersandiwara terutama di depan pria.
"Ck, kau mau memerasku? Berapa yang kau butuhkan?!" tanya Gian mengeluarkan benda pipih dari saku celananya.
Hal seperti ini kerap ia alami dulu, Gian selalu menyelesaikan permasalahannya dengan uang. Baginya apapun bisa ia beli dengan uang, pernyataan uang bukanlah segalanya bagi Gian adalah pernyataan munafik penuh kepalsuan.
"Katakan padaku."
"Jika di lihat dari penampilanmu sudah pasti kau wanita munafik yang menggunakan kepolosan wajahmu untuk mendapatkan uang, benar kan?"
Gian menarik sudut bibir, menatap hina gadis mungil yang kini berada di hadapannya. Tanpa ia sadar jika ucapannya bak hunusan anak panah yang mendarat tepat di dada gadis itu.
"Jaga sikapmu!! Aku bahkan tidak menginginkan sepeserpun uang darimu, mengerti?!!"
Sungguh Gian terperanjat kaget dengan gadis yang kini ia temui, untuk pertama kalinya ia merasa tak nyaman dengan air mata. Namun tetap saja, Gian adalah Gian, tidak akan pernah ia memberikan kesempatan hatinya lemah karena kaum hawa.
Perlahan tapi pasti, gadis itu berdiri dengan kekuatannya sendiri. Segera ia meminta bantuan tukang ojek di sana untuk mengantarnya ke rumah sakit terdekat, meski tak terlalu parah namun darah yang mengucur di lututnya cukup membuat orang-orang di sekitarnya ngilu.
Gian masih menatap kepergian gadis itu, tanpa peduli dengan keadaan yang kini tengah mengutuknya Gian berlari kembali masuk ke mobil. Sang Papa sudah pasti menunggunya sejak lama, Raka menyampaikan pesan dadakan bahwa ia baru Jelita di rumah sakit.
"Ays!! Sialan, gara-gara cewek munafik itu semua kacau!!" Gian memukul kemudi berkali-kali. Terjebak macet yang cukup menyesakkan membuatnya kembali menyalahkan wanita itu.
"Hallo, Pa? Iya-iya, Gian sebentar lagi tiba." Gian menghela napas kasar, sungguh pria itu kalut begitu mengetahui kondisi Jelita, sang Mama tiba-tiba memburuk.
"Mama." Gian berucap berkali-kali, meski pria itu telah dewasa, tetap saja Mama menjadi harta utama baginya.
_*******_
Sedang di tempat lain, wanita yang kini menatap lututnya terbalut kain kasa. Radhania Cheilla Azhura, gadis cantik yang kini masih duduk di kelas 3 SMA menatap nanar keluar jendela. Nyatanya kakinya terkilir, dan dokter tak memberi izin gadis itu pulang sebelum bisa berjalan dengan baik.
"Awww!! Dok, kenapa kakiku bisa sesakit ini?" rintihnya seraya menatap sang Dokter yang merupakan salah seorang teman papanya.
"Sabarlah, Radha, kau terkilir." Dewi menepuk pundak Radha, senyum hangat yang ia berikan mampu membuat Radha sedikit tenang.
"Dok, kenapa Papa tidak bisa menemuiku?" tanya Radha sendu, pasalnya sejak dahulu status anak seakan tak berguna bagi Radha.
"Dokter Ardi sibuk, Radha. Kau tahu kan dia salah satu dokter bedah paling berpengalaman di rumah sakit ini." Penjelasan klise dari seorang Dewi untuk Radha cukup muak ia dengar.
"Dokter bedah atau dokter di hati Tante?" tanya Radha dingin, gadis cantik pemilik rambut coklat itu tak dapat menyembunyikan amarahnya.
Perselingkuhan yang dilakukan Ardi yang membuat Maya memilih pergi adalah luka terdalam dalam hati seorang Radha. Selama 8 tahun Radha hidup dalam kesendirian, tinggal di rumah mewah bak istana namun bak neraka rasanya.
Dewi, yang nyatanya telah menjadi seorang ibu sambung dari jalur perebut suami orang itu hanya mampu berpura-pura sabar menghadapi anak tirinya. Kalau bukan karena permintaan Ardi takkan pernah mau ia memberikan cinta untuk Radha.
"Cih, dunia terlalu lucu untukku." Radha membatin, menatap tajam mata Dewi yang nyata terbesit kebencian yang begitu luar biasa.
"Terserah kau saja, aku merawatmu hanya sebatas tanggung jawabku sebagai Dokter di rumah sakit ini."
Sejak awal kehadirannya dalam hidup Ardi, tak sedetikpun Dewi menganggap gadis itu anaknya. Baginya Radhania hanya seroang gadis sialan yang akan menghalanginya dan putrinya untuk mendapat warisan Ardi.
"Pergilah, aku muak dengan wajah sok malaikatmu itu." Radha tengah dikuasai amarah, baginya tak ada tempat didunia ini untuk seorang perebut kebahagiaan orang.
Dengan emosi tertahan Dewi keluar ruangan, wanita itu mengepalkan tangan seraya menggertakan giginya. Teriakan Radha dari dalam ruangan begitu jelas terdengar, wanita itu hanya menarik sudut bibir.
"Cih, kau lihat Maya ... betapa hancurnya putrimu." Wanita itu tersenyum evil penuh kemenangan, saat ini ia tengah bertahta di singgasana hati Ardi.
BRUKK!!
"Tante Dewi," sapa pria tampan yang tampak terburu-buru, napasnya masih tersengal. Begitu jelas kekhawatiran di raut wajah pria itu.
"Kau?" Dewi membeliak menyadari siapa yang menabraknya, menganga karena ketampanan pria itu begitu menurun dari sang Papa.
"Ah iya, maaf, Tante." Gian menetralkan napas, sesak rasanya berlari sepanjang koridor rumah sakit.
Sejak lama tak bertemu, Dewi sedikit kesulitan mengenali Gian yang kini terlihat dewasa. Pria yang dulu sempat bertemu dengannya beberapa tahun lalu semakin tampan di matanya.
"Waw, Gian kau semakin tampan," puji Dewi berbinar, putra Jelita yang dahulu selalu menjadi pusat perhatian lantaran sifat cerewetnya kini terkesan dingin.
"Tentu saja, aku tahu itu," ujar Gian bangga, sifat Raka benar-benar menurun padanya. Bahkan Jelita sampai menggelengkan kepala lantaran pria itu bahkan lebih angkuh dari suaminya.
"Hahaha benar ya, buah tak jatuh jauh dari pohonnya." Dewi menarik sudut bibir, dahulu ia cukup mengenal Raka sejak kehamilan anak kedua mereka.
"Tentu saja, ah iya apa Tante tau dimana mama di rawat?" tanya Gian sedikit bingung, sungguh hal bodoh yang menjadi kebiasaannya. Ia bahkan tak bertanya pada Raka dimana Jelita dirawat.
"Mari Tante tunjukkan." Dewi mendahului Gian, tentu saja ia mengetahui tentang hal itu.
Penampilan Gian yang begitu menawan selalu saja menjadi pusat perhatian, beberapa perempuan menatapnya penuh kekaguman. Jiwa ingin menikung di sepertiga malam bergejolak kala menatap mata tajam itu.
"Ganteng banget sumpah!! Omegot😭 Itu siapa, Han?"
"Mana gue tau, Nov, kita ajak kenalan aja kali ye." Hana, gadis cantik berambut ikal itu menarik sudut bibir, remaja SMA yang kini melupakan tujuan awal mereka ke rumah sakit.
"Hayuklah," ucap Novi berbinar, tak peduli dengan pandangan kanan kini yang menilai mereka kurang waras.
"Eits!! Mau kemana elu pada?" Ifi menarik kedua pergelangan tangan jelmaan ulat bulu itu.
"Paan sih, Fi, ganggu aja deh." Susah payah Hana meminta Novi melepaskan genggaman tangannya.
"Tau si Ifi, kebiasaan gak bisa liat orang seneng." Novi mencebik, niat hati mencuci mata malah emosi jiwa dengan gagalnya rencana oleh pemilik mata sipit itu.
"Eh botol kecap, kita kemari mau apa?" tanya Ifi menyilangkan tangannya.
"Iya-ya, kita kemari mau ngapain, Fi?" Hana justru bertanya pada Novi yang kini masih saja melihat ke belakang, berharap pria tampan yang dia incar masih ada.
"Hadeuh, udah buruan Radha sendirian." Ifi memilih berlalu lebih dulu, ketiganya segera ke rumah sakit kala sahabatnya itu meminta segera datang.
"Ah iya lupa gue, elu sih." Novi menjadikan Hana sebagai kambing hitam dalam kejadian ini, tak sadar dialah sumber dari terhambatnya tujuan mereka.
"Nyalahin orang, dasar kuyang." Hana mencebik, sudah menjadi kebiasaan kedua makhluk ini selalu berseteru. Dan tentu saja Ifi yang memiliki jiwa kebundaan selalu menjadi penengah.
"Kuyang paan?" tanya Novi kemudian, ia sempat mendengar istilah itu hanya saja ia lupa.
"Kuda melayang kali," jawab Ifi sekenanya, menghadapi duo ulat bulu ini takkan habisnya.
"Masa iya?" tanya Novi menatap Hana serius, sungguh sudah 3 minggu ia mencari arti makhluk itu.
"Iyain aja biar kelar. Ck, udah buruan!!" Nyatanya Ifi bukan Bunda yang memiliki kesabaran besar, ia akan mengeluarkan taring jika tensinya mulai naik.
"Kebiasaan, ngeggas mulu." Novi memajukan bibirnya beberapa centi, ingin sekali ia mendaratkan telapak tangan di lengan mulus Ifi.
_******_
"Assalamualaikum ya ahli kubur," sapa Hana kala membuka pintu ruang rawat Radha. Sudah menjadi kebiasaan gadis cantik itu selalu bercanda dengan hidupnya.
"Waalaikumussalam," jawab Radha apa adanya, jika saja ia dalam suasana hati yang baik tentulah ia akan menghabisi gadis kurang sesendok itu.
"Eh tumben gak marah?" tanya Hana seraya menghampiri Radha, memeriksa keadaan sahabatnya yang jika ia simpulkan tampak baik-baik saja.
"Gue nggak mood, Han," balas Radha singkat, lain halnya dengan Hana kini Novi sibuk dengan ponsel canggihnya.
"Radha, sakit lu gini doang? Gue kira parah." Hana menekan lutut Radha yang tebalut perban.
"Hadoooh!! Sakit gila!!" Radha meringis, bukan main sakitnya lantaran Hana menekan lukanya cukup kuat.
"Yaya Maap, surry, Sayang gue gak tau." Begitu besar sesal di hati Hana menyadari kini sahabatnya hampir menangis.
"Lagian elu sih, ngadi-ngadi amat jadi orang." Ifi, sang Bunda menenangkan Radha dengan mengusap puncak kepalanya pelan.
"Radha liat sini bentar," ujar Novi mengambil posisi untuk mendapatkan hasil foto terbaiknya.
"Lebay lu, Nov." Radha terkekeh, sahabatnya memang benar-benar ajaib. Sudah berapa banyak postingan Novi yang bersamanya kala di rumah sakit, seakan membagikan kenangan kala di rawat adalah hobi baginya.
"Yee pan lu sakit gak tiap hari," celetuk Novi sekenanya yang membuatnya mendapat jitakan dari Ifi.
PLETAK
"Bunda mah jahara ma gue awas aja," ujar Novi seraya menggosok keningnya beberapa kali, sakit memang, Ifi tak pernah segan dalam menyakiti sahabatnya.
"Eh, Radha lu harus tau ini," ujar Hana membuka pembicaraan lebih serius, seakan ini adalah hal penting dan mendesak.
"Apa? Jangan bilang mau bahas kak Haidar lagi, gue gak mood." Radha paling tak suka dengan gosip yang kerap Hana bawakan, selalu saja tentang kekasihnya yang kini berada di luar negeri. Simpang siur pemberitaan yang menimpa aktor tampan itu membuat Radha tak nyaman.
"Ye bukan itu, ini lebih berbobot daripada Kak Haidar."
"Ya udah apa?!!" Radha meninggi, benar saja ia terpancing emosi dengan gosip yang bahkan belum Hana bawakan.
"Gue tadi liat cogan, buset!! Gak kalah sama kak Haidar yang gak pernah ada buat lu itu." Penjelasan Hana cukup menusuk hati Radha, entah mengapa ucapan Hana benar adanya.
"Bener tuh, Dha. Ya Allah matanya ngajak berumah tangga," timpal Novi yang memang sejak tadi belum mampu melupakan pria tampan yang ia lihat tadi.
"Dih dapet darimana tu istilah?" tanya Ifi menatap heran Novi yang semakin terlihat bak ulat bulu.
"Dari tik-tak lah, Bunda." Novi menjawab seadanya seraya kembali fokus pada ponselnya.
Dalam diamnya, sejuta pikiran buruk terbenam di benak Radha, apa mungkin cintanya akan sia-sia untuk Haidar. Meski ia masih remaja, Radha bahkan lebih dewasa dibanding teman-temannya, terutama perihal perasaan.
"Nisa mana?" tanya Radha mengalihkan pembicaraan, tak ingin berlama-lama dengan perasaan galaunya.
"Katanya capek, biasa abis gulat sama Abangnya." Hana menjawab asal seraya meraih ponsel Novi secara paksa.
Novi membeliak, betapa tidak rahasia besar yang berada di ponselnya bisa terbongkar jika Hana sudah mengetahuinya.
"Hee ketauan elu Nov, elu chat-an ma Rio kan? Gue aduin ma Nisa, liat aja." Hana tersenyum smirk, sungguh ia puas mendapati wajah pias Novi.
"Eh jangan dong, pan itu cuma nanya resep seblak doang." Jelas saja Novi akan mencari pembelaan, baginya tidak ada yang salah berhubungan dengan banyak pria.
"Nanya resep? Heh terus fungsi kita apa?!" gertak Hana tak habis pikir dengan apa yang ada di otak Novi.
Perdebatan antara dua remaja itu cukup membuat Radha pusing, ia memilih keluar dengan bantuan kursi roda yang disiapkan Dewi tadi. Ia butuh udara malam ini, setidaknya air matanya dapat ia keluarkan tanpa di saksikan teman-temannya.
Tbc
"Mama." Suara Gian begitu lembut, meghampiri Jelita seraya memeluk tubuh mungil sang Mama. Baginya, Jelita adalah wanita paling berharga. Seburuk-buruknya Gian, ia akan luluh kala Jelita turun tangan.
"Kau kemana saja, Gian, kau tau betapa khawatirnya Mamamu ?" Raka dengan suara tegasnya tak segan berlaku demikian pada sang Putra. Pasalnya Gian menunda waktu cukup lama, sejak pagi ia mencoba menghubungi Gian, namun pria itu seakan hilang ditelan bumi.
"Maaf, Pa, ponselku berada di mobil selama aku terjun ke lapangan." Gian menjelaskan hal yang terjadi apa adanya, memang benar ponselnya tak berada dalam genggaman siang tadi.
Raka mempercayakan Gian mengurus perusahaan sejak beberapa minggu yang lalu. Meski ia harus debat dan perang badar terlebih dahulu akhirnya pria tampan itu mengalah. Kini, barulah Raka rasakan betapa menyebalkannya wujudnya di masa muda.
"Sudah, Mas, kebiasaan hal kecil dibesar-besarkan." Jelita selalu menjadi sosok penengah di antara kedua pria itu. Baik suami dan putranya sama-sama keras kepala, itulah yang kadang membuat Jelita tiba-tiba naik darah.
"Mama baik-baik saja?" tanya Gian mendekati malaikatnya, tak dapat dipungkiri kekhawatiran Gian begitu besar. Sejak dua tahun terakhir Jelita kerap dirawat lantaran penyakit asmanya.
"Ehem, tentu saja, Sayang. Ah iya, apa kau sudah menghubungi adikmu?" tanya Jelita menatap lekat manik sang Putra.
Sejak beberapa bulan terakhir Jelita meminta Haidar untuk pulang ke Indonesia, rindu di hatinya tak terbendung lagi. Bahkan wanita itu kerap enggan makan hanya karena memikirkan putra bungsunya.
Mengikuti jejak Randy, Haidar lebih memilih menjadi selebriti daripada pembisnis. Beberapa kali Raka meminta putranya itu untuk mengelola salah satu anak perusahaan yang ia kembangkan tetap saja ia enggan.
"Masih sama, Haidar tidak ingin pulang dalam 2 bulan ini," ujar Gian memberi penjelasan, hampir setiap hari perdebatan antara kakak dan adik itu terjadi prihal kembali ke rumah.
"Mas," panggil Jelita menatap mata Raka penuh harap, sungguh ia merindukan putranya. Bagimana tidak, di umur 15 tahun putra bungsunya telah sibuk dengan profesinya di dunia hiburan.
"Apa, Sayang?" Raka menggenggam tangan Jelita erat, ia tahu sudah pasti sang Istri akan membahas rencananya beberapa bulan lalu.
"Lakukan tindakan terakhirmu, aku tidak dapat menahan rindu lebih lama. Aku ingin putraku, aku ingin makan bersamanya, aku ingin dia berada di dekatku, Mas. Tolong ya," pinta Jelita penuh permohonan.
Raka terdiam sesaat, apa mungkin ini adalah langkah terbaik. Kemarin malam ia telah membicarakan hal ini matang-matang bersama Ardi, sahabatnya. Lagi-lagi ia menuruti jejak sang Papa, demi Jelita.
"Jika memang ini yang terbaik, maka aku akan lakukan." Raka menatap Jelita dan Gian bergantian, berharap keduanya lega dengan keputusannya.
"Apa Papa tidak salah? Haidar masih muda, laki-laki seusianya hanya akan bermain dengan cinta," ujar Gian menolak keputusan sang Papa secara halus, pria itu tak mau adiknya terpaksa menerima keinginan konyol orang tuanya.
"Tidak ada cara lain, Gian, selama ini Papa membebaskan Haidar untuk memilih jalannya. Dan sudah saatnya dia berbakti pada Papa," tegas Raka tak dapat dibantah.
Gian hanya mampu mengangguk kala Raka berlalu keluar, ia tahu betul sifat sang Papa sama halnya dengan mendiang Wijaya, sang Kakek. Meski ia begitu memikirkan masa depan Haidar yang kini tengah berada di puncak kesukseskan di dunia hiburan.
"Gian, Mama mohon kali ini bantu Mama ya." Harap Jelita takkan terealisasikan jika putra sulungnya tak ikut andil. Pengaruh Gian begitu besar untuk Haidar, hal itu karena ialah yang menentang sang Papa secara tegas kala Raka menghambat karir Haidar.
"Ehem, iya, Ma." Gian tersenyum hangat, sedikit menyesal ia berjuang agar Haidar dapat meraih mimpinya kala itu. Jika saja ia tak bersikeras mendukung karir Haidar mungkin hal semacam ini takkan terjadi.
_*******_
Sementara di belahan negara lain, pria yang kini tengah bersama beberapa rekannya tengah menikmati makan malam bersama. Mendapat julukan Sweet Baby lantaran wajah dan usianya memang masih muda membuat Haidar mudah dikenali.
"Maaf, aku permisi sebentar," ujar Haidar begitu sopan pada mereka, panggilan telepon dari sang Kakak membuatnya geram sejak tadi.
Sudah pasti hal yang dibicarakan akan sama dengan kemarin, dan jawaban Haidar hari ini akan sama. Ia tidak mungkin pulang di tengah proses syuting film yang ia jalani. Mendapat peran utama jelas Haidar berpengaruh besar di dalamnya.
"Ck, sudah kukatakan jawabanku tetap sama, Kak!!" Haidar meninggi, sengaja ia mencari tempat sepi agar dapat melampiaskan kemarahan kali ini.
"Bisakah kalian mengerti, kemaren kau memintaku pulang karena Mama sakit. Tapi, aku memang tak bisa meninggalkan tanggung jawabku saat ini, Kak." Haidar bicara seraya menahan kekesalannya, meski ia tahu tetap saja semua adalah salahnya.
"Cukup, Haidar," sahut suara tegas penuh wibawa dari balik telpon itu. Salahnya ia tak mengizinkan penelponnya bicara lebih dahulu hingga membuatnya salah mengartikan.
"Pa-pa?" tanya Haidar kaku, sungguh pria itu terlalu takut dengan sang Papa. Hingga memutuskan untuk memblokir momor ponsel orangtua-Nya adalah jalan ninja Haidar.
"Iya, ini Papa. Pulang atau produksi film yang tengah kau lakukan Papa hentikkan." Alasan Haidar memilih menghindar dari Raka adalah ini, ia tahu sang Papa memiliki sejuta kuasa yang bisa saja membuatnya hancur dalam satu jentikan jari.
"T-tapi, Pa, mana mungkin aku pulang," ujar Haidar penuh kekhawatiran, benar saja ancaman sang Papa bukan sekadar ancaman, ia tahu betul dengan hal itu.
"Tidak ada yang tidak mungkin, Haidar, kau tahu bagaimana Mamamu menangis setiap malam sambil memeluk fotomu? Itu yang kau inginkan?" Kalimat Raka yang sedemikian rupa kerap membuat Haidar lemah, bahkan pria itu memilih untuk menghilang demi menghindari ucapan Raka adalah pilihan terbaiknya.
"Jangan egois, Nak, sekali ini saja," tambah Raka yang membuat Haidar memilih mengiyakan permintaan sang Papa. Setidaknya ia akan pulang selama beberapa hari demi sang Mama.
"Hem, minggu depan aku pulang, Pa." Haidar pasrah, toh memang ia telah meninggalkan Jelita cukup lama.
"Jangan mengecewakan Papa kali ini, Haidar," tegas Raka yang membuat Haidar bertanya-tanya. Entah mengapa perasaanya tak nyaman dengan kalimat ambigu sang Papa.
"Maks ...." Sambungan telepon terputus kala Haidar masih mempertanyakan ucapan Raka, benar-benar menyebalkan bahkan hingga kini sikap sang Papa masih sama.
"Haidar," panggil seseorang seraya menepuk bahunya, Haidar menoleh seraya berdecak kesal. Sudah menjadi kebiasaan Pamannya datang tiba-tiba seperti ini.
"Ays!! Mengejutkan saja," ujar Haidar seraya menatap tajam Randy yang kini berada di sampingnya.
Pria yang merupakan adik Jelita ini masih bugar dan terlihat tampan, pria satu anak yang tetap memilih aktor sebagai profesinya ini menjadi salah satu pelindung Haidar di dunia hiburan.
"Kau kenapa?" tanya Randy menatap heran wajah keponakannya yang kini di tekuk.
"Papa memintaku pulang. Huft ... ada-ada saja," keluh Haidar menghela napas kasar, sedikit bingung dengan keputusannya yang mengiyakan permintaan sang Papa.
"Pulang?" Randy memastikan, pasalnya Jelita juga memaksanya untuk pulang sesegera mungkin. Jelas hal ini menimbulkan tanya di benak Randy.
"Iya, kenapa, Om?" Haidar mengerutkan dahi, menatap heran sang Paman yang juga tampak terkejut.
"Mama cerewetmu itu juga memaksaku pulang, ironisnya dia bahkan mengancam karirku hancur jika aku menolak." Randy menggeleng, di usia yang tak lagi muda Jelita tetap sama menyebalkannya.
"Ada apa sebenarnya?" Haidar membatin menatap nanar tanpa arah, kembali lagi firasat tak nyaman hinggap di hatinya.
Tbc
HAIDAR ZHAFRAN ABRISAM
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!