NovelToon NovelToon

Cinta Halal Sang Senior

Masa Lalu

Adelia bangun dari duduknya. Dia baru saja selesai melakukan salat Istikharah sekaligus Tahajud di sepertiga malam. Dia lalu melipat alat salat dan menyimpannya kembali ke tempatnya, baru kemudian berjalan kembali ke ranjangnya. Dia duduk sambil bersandar di headboard.

Sudah dua minggu lebih dia melakukan salat Istikharah, tetapi hatinya masih merasa ragu. Dia masih belum tahu akan menerima taaruf Adi atau tidak. Dia tidak menampik pesona Adi yang begitu dewasa meski terkesan dingin. Dengan wajah yang cukup tampan ditambah sudah mapan, dia yakin banyak wanita yang mengejar Adi. Tetapi dia tidak habis pikir kenapa Adi malah ingin menjadikannya istri.

Dia mengembuskan napas panjang. Sampai detik ini dia masih tidak percaya Adi menginginkannya. Dia selalu bertanya pada dirinya sendiri, apa memang dia pantas untuk seorang Adi yang sempurna di matanya. Sedangkan dia sangat jauh dari sempurna mengingat semua masa lalunya. Meski dia sudah mencoba untuk memantaskan diri dengan lebih mendekat pada Allah dan belajar agama lagi, tetapi dia masih merasa banyak kekurangan.

Adelia sebenarnya tumbuh di lingkungan keluarga yang cukup harmonis. Kedua orang tua dan adiknya sangat menyayanginya. Hanya saja, kedua orangnya tidak memberikan bekal agama yang cukup karena kesibukan mereka. Papanya merupakan salah satu petinggi bank milik BUMN di Jogja, sedangkan mamanya bekerja sebagai ASN dengan golongan IV/B yang sering sibuk karena pekerjaan mereka. Dia mempunyai seorang adik laki-laki yang bernama Arsenio. Adiknya itu sekarang sudah kuliah semester 2.

Perkenalannya dengan Restu, mantan tunangannya, terjadi saat SMA. Restu adalah kakak kelasnya. Usia mereka terpaut dua tahun. Saat orientasi siswa baru, Restu yang merupakan pengurus OSIS menjadi salah satu panitianya. Karena wajahnya yang cantik dengan badan dan tinggi yang proporsional, Adelia menjadi pusat perhatian kakak kelas dan teman-teman seangkatannya. Restu pun tak luput memberinya perhatian lebih.

Usai masa orientasi sekolah, Restu gencar mendekati Adelia hingga membuat banyak siswi iri padanya. Dengan jabatannya sebagai Ketua OSIS membuat Restu menjadi incaran banyak siswi. Selain berwajah tampan, Restu juga siswa yang pintar, ramah dan sopan. Tak salah bila dia menjadi idola di sekolah. Siapa yang tidak mau didekati oleh sosok seperti Restu? Hampir semua siswi menginginkannya.

Setelah melakukan pendekatan selama berbulan-bulan, akhirnya Adelia luluh juga untuk menerima Restu sebagai pacarnya. Sejak itu mereka terus berpacaran meski Restu sudah lulus SMA dan berkuliah. Hampir setiap hari Restu menjemput Adelia pergi ke sekolah dan juga mengantar pulang bila sedang tidak ada jadwal kuliah.

Mereka digadang-gadang sebagai pasangan yang serasi. Hingga Adelia lulus SMA dan mereka kuliah di kampus yang berbeda pun hubungan mereka berjalan lancar. Mereka juga sudah sangat dekat dengan keluarga masing-masing saking lamanya berpacaran. Mereka sudah saling ikut di acara keluarga masing-masing.

Gaya pacaran mereka awalnya sama seperti anak muda pada umumnya, nonton, makan dan nongkrong dengan teman-teman. Kontak fisik pun sekadar pegangan tangan dan rangkulan. Saat itu mereka masih sama-sama polos dan lugu.

Restu mulai berubah sejak dia bekerja setelah lulus kuliah. Mungkin karena pergaulannya dengan teman kantor yang lebih dewasa membuatnya berubah. Dia mulai berani mencium pipi Adelia. Lama-lama dia berani mencium bibir pacarnya.

Hingga suatu saat Restu menyatakan keseriusannya untuk menikah dan ingin mereka bertunangan dulu sembari menunggu Adelia lulus kuliah. Kedua keluarga menyambut baik hal itu. Saat Adelia semester 6, akhirnya mereka bertunangan. Sejak itu hubungan mereka menjadi semakin intim.

Keluarga mereka pun membebaskan mereka berdua, seolah sudah menjadi suami istri. Mereka sering menginap berdua di hotel atau pergi liburan berdua selama berhari-hari.

Kontak fisik mereka pun sudah seperti suami istri. Tapi Adelia masih berusaha mempertahankan mahkotanya meski mereka sering tidur bersama. Restu sudah sering merayu dan meyakinkan Adelia kalau dia akan bertanggung jawab bila Adelia sampai hamil. Tetapi Adelia tetap tidak mau.

Sampai suatu ketika, mungkin karena sama-sama terbawa nafsu mereka nyaris melakukan hubungan terlarang itu. Dengan tubuh yang sudah sama-sama polos, dan Restu sudah siap di depan bagian intimnya, tiba-tiba Adelia tersadar kalau itu salah. Dia memohon sampai menangis agar Restu tidak melakukannya. Dia berjanji akan memberikannya kalau mereka sudah resmi menikah. Meski Restu sangat kecewa tetapi dia juga tidak mau memaksa Adelia. Akhirnya Adelia melayani Restu dengan cara lain. Sejak itu mereka sering melakukannya.

Saat Adelia semester 7, Restu dipindah tugaskan ke luar kota. Sejak itu mereka jarang bertemu meski komunikasi mereka tetap lancar. Mereka hanya bisa bertemu sebulan sekali atau saat long weekend.

Adelia pikir hubungan mereka baik-baik saja. Sampai Restu datang menemuinya dan meminta maaf padanya. Restu mengaku kalau sudah berselingkuh dan membuat pacarnya hamil. Mau tidak mau dia harus bertanggung jawab dan menikahi wanita itu.

Dunia Adelia rasanya runtuh saat mendengar hal itu. Bagaimana dia harus mengatakan pada keluarganya dan menjawab semua pertanyaan mereka?

Akhirnya dia minta Restu untuk datang menemui papanya dan secara resmi memutuskan pertunangan mereka. Dia tidak peduli alasan apa yang Restu pakai untuk memutuskan pertunangan mereka di depan papanya. Yang terpenting dia tidak mau bertemu atau berhubungan lagi dengan Restu setelah ini.

Meski Adelia berusaha menutupi yang sebenarnya terjadi, pada akhirnya semua keluarganya tahu kalau Restu sudah berselingkuh di belakangnya. Karena tak lama setelah Restu memutuskan pertunangan mereka, dia menikah dengan wanita yang dia hamili, yang ternyata adalah teman sekantornya.

Papa dan Arsenio marah saat tahu yang sebenarnya. Mereka bahkan hampir mendatangi Restu dan akan memberi pelajaran padanya. Namun, Adelia dan mamanya berhasil membujuk mereka agar tidak mengotori tangan mereka untuk hal yang tidak berguna. Dia berusaha meyakinkan mereka kalau dia baik-baik saja, dan sudah selayaknya mereka bersyukur karena keburukan Restu terbuka sebelum dia jadi istrinya.

Sejak itu, papa dan mamanya jadi lebih perhatian dengannya. Di depan mereka, dia berusaha untuk tetap tegar dan tidak menangis. Dia ingin terlihat baik-baik saja. Dia hanya akan menangis di saat sendiri atau saat bersama Bara, sahabatnya yang selalu setia menemani dan mendengarkan semua keluh kesahnya. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya kalau tidak ada Bara.

Alarm salat Subuh berbunyi membuat dia tersadar dari lamunannya. Dia mengusap wajah dan mendesah pelan. Dia bangkit dari duduknya dan beranjak ke kamar mandi untuk mengambil wudu. Setelah salat Subuh nanti, dia akan melakukan video call dengan Dita. Sejak Dita menyatakan kalau dia sudah bisa membaca Al-Qur'an minggu lalu, setiap bakda Subuh mereka tadarus secara online. Kadang Rendra pun ikut tadarus bersama mereka.

Ah ... kadang dia merasa iri dengan Dita dan Rendra. Mereka pasangan muda yang sama-sama taat beragama. Tak pernah mengenal pacaran dalam hidupnya. Menikah muda untuk menghindari zina, sementara dia sudah terbiasa melakukan zina. "Astaghfirullah hal 'adzim. Semoga Allah mengampuni semua dosaku," gumamnya.

...---oOo---...

Jogja, 190521 01.15

Hai ... hai ketemu lagi di sini. Terima kasih yang sudah menyempatkan untuk mampir 🙏

Cerita dengan judul baru dengan rasa yang sedikit berbeda. Ini masih kelanjutan dari Romansa Cinta Senior Junior, tetapi tidak terfokus pada kisah Rendra dan Dita saja, ada kisah Adi dan Adelia yang masih belum jelas bagaimana jadinya ✌️✌️✌️

Semoga teman-teman bisa mengikuti kisah mereka sampai akhir 🤗

Mohon dukungan, kritik dan saran yang membangun 🙏

Jangan lupa jempol atau like-nya setelah membaca ya, Kak. Terima kasih 🙏🤗

Kokoro No Tomo (Ayaka Kirei)

Bimbang

"Mbak, kenapa? Kok akhir-akhir ini mama lihat kaya lagi banyak pikiran." Ibu Sarah, mamanya, menegur Adelia yang tampak melamun di depan laptop usai mereka makan malam bersama.

"Eh, Ma." Adelia terkesiap mendengar suara mamanya yang ternyata sudah berdiri di depannya. Karena keasyikan melamun dia sampai tidak sadar mamanya masuk ke ruang baca.

"Mbak, masih teringat Restu?" Ibu Sarah duduk di seberang Adelia.

"Enggak, Ma. Buat apa ingat sama dia. Enggak penting banget." Adelia mendengus kesal.

"Terus kenapa? Ada masalah dengan skripsi? Dosen pembimbing minta revisi terus?"

"Enggak, bukan itu juga. Skripsi masih bisa diatasi. Revisi mah hal biasa, Ma, bukan masalah besar."

"Lalu kenapa?" Kening Ibu Sarah semakin mengerut.

Adelia menghela napas panjang. "Ada yang mau taaruf sama aku, Ma."

"Maksudnya mau ngajak pacaran, Mbak?"

"Bukan, Ma. Taaruf itu bukan pacaran. Bisa dibilang proses pengenalan, Ma."

"Ya, sama kan Mbak kaya pacaran."

"Beda, Ma. Taaruf itu sekali dua kali ketemu, lamaran terus nikah gitu. Selama proses juga selalu didampingi mahram enggak cuma berdua."

Ibu Sarah mengangguk berkali-kali. "Kaya model santri di pondok pesantren gitu ya, Mbak."

"Mungkin, Ma."

"Dia lulusan pondok?"

"Setahuku enggak sih, Ma. Cuma keluarganya memang agamis banget. Enggak ada kata pacaran di keluarganya. Cocok ya nikah."

"Apa mama pernah ketemu dia, Mbak? Kok mama jadi penasaran sama orangnya."

"Kapan hari kan ke sini, Ma. Pas aku pergi sama Rendra. Dia itu kakak iparnya Rendra."

"Rendra, teman Mbak, yang sudah menikah itu?"

"Iya, Ma. Rendra kan itu juga enggak pacaran sama istrinya, Ma. Aku aja kaget waktu tahu dia nikah. Rendra enggak pernah kelihatan pedekate sama istrinya tahu-tahu nikah. Habis lamaran langsung dinikahkan secara agama. Baru 4 bulan kemudian nikah secara resmi."

"Oh .... Apa Mbak pakai hijab juga karena mau diajak taaruf?"

"Enggak, Ma." Adelia menggeleng sambil melambaikan tangan, menepis anggapan mamanya.

"Aku mulai pakai hijab sehari sebelum dia mengajak taaruf, Ma. Aku saja kaget waktu diajak taaruf. Soalnya kalau kita ketemu juga biasa saja. Enggak ada tanda kalau dia suka aku, Ma."

"Mbak, sendiri gimana? Apa suka sama dia? Eh dari tadi nyebutnya dia terus. Namanya siapa sih, Mbak?"

Adelia tersenyum malu. "Namanya Adi, Ma. Aku manggilnya Mas Adi. Dia almamater teknik sipil UGM juga. Sudah kerja dan punya rumah sendiri. Kemarin Mas Adi juga yang awalnya bantu Adelia cari judul skripsi, Ma."

"Baik ya, Mbak, orangnya?" Ibu Sarah memandang wajah putrinya yang terlihat malu-malu.

"Iya, Ma. Saleh juga orangnya, sama kaya Rendra."

"Tadi pertanyaan mama belum dijawab loh, Mbak."

"Pertanyaan yang mana, Ma?" Adelia menatap mamanya.

"Mbak, apa suka juga sama Adi?" Ibu Sarah mengulang pertanyaannya.

"Oh, soal itu. Gimana ya, Ma. Secara fisik Mas Adi ganteng. Orangnya baik, saleh. Siapa yang enggak suka sama dia, Ma."

"Sebatas itu saja, Mbak?"

"Maksud Mama gimana?"

"Apa Mbak enggak ada keinginan untuk jadi istrinya Adi? Bukan hanya sekadar kagum saja."

"Siapa yang tidak mau jadi istrinya, Ma? Dia sosok pria yang nyaris sempurna. Ganteng, baik, saleh, mapan, kriteria suami idaman banget. Justru karena dia nyaris sempurna itu yang bikin aku bimbang, Ma." Adelia menghela napas.

"Di satu sisi aku merasa dihargai sekali sebagai wanita. Tetapi di sisi lain, aku merasa minder, tidak pantas menjadi istrinya. Aku masih berusaha memperbaiki diri. Ya, meski Mas Adi bilang akan membantu dan membimbingku kalau menerimanya," lanjut Adelia.

"Maafkan mama ya, Mbak." Ibu Sarah beralih duduk di samping Adelia, menggenggam tangan putri sulungnya itu.

"Maaf untuk apa, Ma?" Adelia bingung dengan sikap mamanya.

"Maafkan mama dan papa yang tidak membekali kalian dengan ilmu agama yang cukup. Tidak mengarahkan kalian untuk menjalankan kewajiban pada Allah." Ibu Sarah mendesah pelan.

"Mama jadi malu sama Mbak. Mama yang lebih tua, yang seharusnya lebih mendekatkan diri pada Allah tidak hanya sibuk mengejar dunia. Karena kesalahan kami, Mbak, jadi minder, merasa kurang ilmu agama. Padahal ada pria saleh yang berniat baik sama, Mbak."

Adelia memeluk mamanya. "Yang sudah berlalu biarlah berlalu, Ma. Kalau mama mau, kita sama-sama memperbaiki diri, lebih mendekatkan diri pada Allah."

"Iya, Mbak. Mama mau. Malu nanti sama mantu yang saleh kalau mama enggak salat dan ngaji."

Adelia mengurai pelukannya. "Luruskan niatnya, Ma. Jangan hanya karena ingin mencari muka di hadapan manusia. Niatkan kita mau berubah karena cinta kita pada Allah."

"Duh, anak mama sudah pintar ceramah sekarang." Ibu Sarah menggoda Adelia.

"Mama, apa-apaan sih. Aku serius loh, Ma. Aku berubah karena memang panggilan hati, bukan karena siapa-siapa. Enggak tahu kalau jadinya malah diajak taaruf sama Mas Adi. Mama jangan sampai salah mengerti niatku untuk berubah."

"Maafkan mama ya, Mbak. Nanti mama akan bilang sama papa soal ini. Mungkin memang sudah saatnya kami mendekatkan diri pada Allah. Kembali menjalankan kewajiban sebagai hamba-Nya. Karena terlalu mengejar dunia yang fana membuat kami lupa mengejar akhirat yang abadi. Terima kasih, Mbak, sudah membuat mama ingin kembali ke jalan Allah."

"Itu semua hidayah dari Allah, Ma. Aku harap mama dan papa meluruskan niat karena Allah, bukan karena malu sama Mas Adi. Lagian aku juga belum memutuskan untuk menerima atau menolak Mas Adi." Adelia balik menggenggam tangan mamanya.

"Mbak, sudah salat apa itu untuk menentukan pilihan?" tanya Ibu Sarah.

"Salat Istikharah, Ma," jawab Adelia.

"Nah itu. Apa Mbak sudah salat Istikharah?"

"Sudah, Ma. Sudah dua minggu lebih malah. Tapi, masih belum dapat petunjuk." Adelia mendesah.

"Kalau Adi juga sudah?"

Adelia mengangguk. "Sudah, bahkan katanya sejak pertama ketemu sama aku, Ma. Setelah dia merasa yakin, baru ngomong kalau mau taaruf. Sekarang juga kami sama-sama Istikharah."

"Semoga segera dapat jawaban yang terbaik ya, Mbak."

"Aamiin. Doakan ya, Ma."

Ibu Sarah mengangguk. Dia menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah Adelia. "Mama akan berdoa, anak mama yang cantik ini dapat suami yang saleh."

"Aamiin. Makasih, Ma." Adelia tersenyum penuh arti.

"Sayang sebenarnya kalau sampai Mbak menolak Adi. Selain membimbing Mbak, kan juga bisa membimbing mama dan papa juga Arsen," gumam Ibu Sarah.

Adelia tertawa. "Kok jadi mama yang mau modusin Mas Adi. Enggak boleh begitu, Ma. Kalau mau belajar agama kan kita bisa mengundang ustaz. Mas Adi itu cukup sibuk kerjanya, sering lembur kerja. Sabtu saja kadang masih kerja."

"Memangnya Mbak belajar ngaji sama ustazah?"

"Enggak, Ma. Sama Dita, adiknya Mas Adi. Kadang dia juga ajak aku ikut pengajian di musala. Aku sudah nyaman sama Dita, tapi katanya nanti kalau aku mau belajar lebih lanjut mau dikenalkan sama ustazah."

"Nah itu apa Mbak enggak modusin adiknya Adi?" goda mamanya.

"Astaghfirullah, Ma. Demi Allah, aku enggak ada niat seperti itu. Dita yang pertama kali membuat aku ingin berubah dan dapat hidayah. Makanya aku minta diajarin sama dia. Aku kan sudah bilang, aku berubah bukan karena Mas Adi." Adelia menjelaskan pada mamanya sambil cemberut.

Ibu Sarah tertawa kecil karena sudah berhasil menggoda Adelia. "Iya, mama tahu. Mama cuma bercanda, Mbak."

"Mbak, boleh enggak mama cerita soal Adi sama papa?" tanya Ibu Sarah setelah berhenti tertawa.

"Terserah, Mama. Mama yang lebih tahu soal itu," jawab Adelia.

"Sepertinya Adi beda jauh ya sama Restu, Mbak?"

"Jauh bedanya, Ma. Jangan pernah membandingkan mereka. Dan, bukan kelasnya untuk dibandingkan, masa hp polyphonic disandingkan sama iphone."

Ibu Sarah tertawa mendengar jawaban Adelia. "Mbak, bisa aja. Restu itu hp polyphonic? Terus Adi itu iphone?"

Adelia mengangguk sambil tertawa geli dengan perbandingan yang dibuatnya.

"Nah, putri mama sudah bisa tersenyum sekarang. Perlu Mbak tahu, apa pun nanti keputusannya, mama akan dukung. Dan mama akan bantu doa biar Mbak dapat suami yang saleh."

"Aamiin. Makasih, Ma."

"Sudah yuk kita tidur, Mbak," ajak Ibu Sarah.

"Aku mau ngerjain skripsi dulu, Ma," tolak Adelia.

"Sudah besok saja mengerjakan skripsinya. Dari tadi laptop juga cuma dibuka enggak dinyalain, Mbak," sindir Ibu Sarah sambil tersenyum geli.

Adelia menatap laptop di depannya yang menunjukkan layar hitam. Dan ternyata tombol power-nya pun mati. "Astaghfirullah, aku lupa nyalain, Ma."

"Iya, Mbak kan sibuk melamun dari tadi. Sudah yuk tidur aja."

"Iya, Ma. Aku beresin dulu ini." Adelia menutup laptop dan menata buku dan kertas-kertas miliknya.

"Mbak, kalau sudah ada jawaban kasih tahu mama ya," kata Ibu Sarah sebelum meninggalkan Adelia di ruang baca.

"Iya, Ma."

...---oOo---...

Jogja, 200521 23.45

Jangan lupa jempol atau like-nya setelah membaca, Kak. Terima kasih 🙏🤗

Gelisah

"Dek, sudah ada jawaban belum?" tanya Adi pada Dita begitu duduk di samping adik semata wayangnya itu. Dia baru saja pulang dengan Rendra karena suatu keperluan.

"Salam dulu kenapa Mas, baru juga masuk rumah," tegur Dita yang langsung menyalami kakaknya itu.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam. Nah gitu dong. Biasanya juga masuk rumah salam dulu. Oh ya, Kak Adel belum kasih jawaban, Mas."

Adi mendesah. "Lama banget sih."

"Mas Adi, berapa lama Istikharah sampai akhirnya berani ngajak Kak Adel taaruf?" tanya Dita kesal.

"Ada kali sebulan lebih," jawab Adi sambil menerawang.

"Mas Adi aja butuh waktu lama, ini baru tiga minggu, Mas? Kak Adel juga pasti banyak pertimbangan apalagi kemarin sempat gagal menikah."

"Kamu enggak tahu, Dek, gimana rasanya menunggu jawaban," keluh Adi.

"Tanya Mas Rendra tuh, jangan tanya aku."

"Assalamu'alaikum. Ada apa ini kok namaku disebut?" tanya Rendra yang baru masuk.

"Wa'alaikumussalam. Mas Adi galau itu, Mas." Dita berdiri menghampiri Rendra lalu mencium punggung tangan suaminya, yang dibalas Rendra dengan mengecup kening Dita.

"Galau kenapa, Mas?" Rendra duduk di samping istrinya, membuat Dita berada di tengah antara Adi dan Rendra.

"Adel belum beri jawaban."

"Memang sudah berapa lama?" Rendra mengernyit.

"Tiga minggu, Mas," sahut Dita.

"Oh, baru tiga minggu, Mas." Rendra tersenyum. "Kalau begitu lebih kencengin lagi doanya di sepertiga malam, Mas," saran Rendra.

"Gitu, ya?" tanya Adi tak yakin.

"Berdasar pengalamanku sih, Mas."

"Kamu dulu gitu, Rend?" Adi menoleh pada Rendra.

"Iya, Mas. Aku dulu malah nunggunya dua kali," kata Rendra sambil melirik Dita.

"Iya, ya, Rend. Pakai acara kabur pulang ke rumah ayah juga." Adi ikut menimpali.

Dita mengerucutkan bibirnya karena malah menjadi bahan pembicaraan suami dan kakaknya. "Sindir aja terus," ucapnya sambil menyilangkan tangan di depan dada.

"Enggak, Sayang." Rendra tersenyum sambil mengelus kepala istrinya.

"Eh, jangan malah mesra-mesraan. Aku belum selesai ngomong sama Rendra ini, Dek," protes Adi.

"Aku mau ke kamar. Mas Adi ngobrol berdua aja sama Mas Rendra." Dita hendak bangkit dari duduknya tapi ditahan Adi.

"Eh, jangan, Dek. Urusan kita juga belum selesai."

Dita kembali menyandarkan punggungnya di sofa.

"Rend, lanjutkan yang tadi," perintah Adi.

"Ya itu dikencengin saja doanya, Mas. Kita minta langsung pada Allah yang bisa membolak-balik hati manusia. Mas Adi berdoa semoga hati Adelia segera terbuka dan bisa menerima Mas Adi," jelas Rendra.

"Enggak ada cara lain, Rend?"

"Aku enggak tahu cara lainnya, Mas. Kalau aku ya dulu cuma itu. Mas, masih mendingan ada Dita yang bisa ditanya. Aku dulu cuma bisa lihat hp. Setiap ada notifikasi masuk berharap itu dari Dita." Rendra terkekeh saat bercerita.

Adi berulang kali menganggukkan kepalanya.

"Kalau Mas Adi enggak sabar, tanya langsung sama Kak Adel aja," usul Dita tiba-tiba.

"Jangan, Dek. Nanti dia malah merasa dikejar-kejar. Bukannya dapat malah lari nanti." Adi menolak usulan adiknya.

"Daripada Mas Adi teror aku terus."

"Ya, siapa tahu Adek lupa. Mas cuma ngingetin aja, Dek. Mas enggak ada maksud buat teror, Adek," elak Adi.

Dita mencibir. "Ngingetin kok melebihi kaya waktu minum obat. Lama-lama aku blokir nomornya Mas kalau aku kesal."

"Eh, jangan coba-coba ya blokir nomor, Mas. Ajari istrimu ini Rend, jangan jadi adik yang durhaka."

Rendra tersenyum geli melihat perdebatan istri dan kakak iparnya.

"Sayang, enggak boleh blokir nomornya Mas Adi. Karena aku pernah di posisi Mas Adi, jadi aku bisa ngerti gimana rasanya. Setiap saat rasanya gelisah menunggu sesuatu yang enggak pasti." Rendra kembali mengelus kepala Dita, memberi pengertian.

"Tapi Mas Adi juga jangan tanya terus setiap saat. Aku kan capek jawabnya. Mas Adi juga enggak sabaran sih, makanya rasanya lama." Dita membela dirinya.

"Iya, Mas mulai besok tanya sekali sehari aja kalau belum ada jawaban." Adi akhirnya mengalah pada Dita. Bisa runyam urusannya kalau adiknya itu mengambek.

"Oh iya lupa. Hari ini terakhir Kak Adel belajar ngaji sama aku."

Adi terkejut. "Kenapa, Dek?" tanyanya dengan raut cemas.

"Karena keluarganya sudah mengundang ustaz ke rumah untuk belajar ngaji dan agama. Mereka sekeluarga katanya mau belajar semua. Aku kan masih minim ilmunya, jadi aku bilang untuk fokus belajar sama ustaz saja yang lebih banyak dan paham ilmu agama."

"Jadi, Adel udah enggak akan ke sini lagi, Dek?" Adi mendadak jadi lesu.

"Aku enggak tahu, Mas. Kak Adel masih ingin tukar pikiran sih sama aku. Bisa jadi juga ada perlu sama Mas Rendra atau malah Mas Adi." Dita mengangkat bahunya.

"Tadarus online-nya masih diterusin enggak, Sayang?" Rendra ikut menyahut.

"Masih, Mas, kalau itu. Apa Mas Adi mau ikut tadarusnya?" tawar Dita.

Adi menggeleng. "Enggak, Dek. Nanti malah pikiranku jadi enggak fokus."

"Sejak aku kecil sampai umur 20 tahun, baru kali ini aku lihat Mas Adi sampai gelisah kaya gini. Dulu waktu lamarannya ditolak cuma sedih aja beberapa hari. Habis itu udah." Cerita Dita.

"Dulu kan langsung ditolak lamarannya, Dek. Jadi langsung dapat kepastian," celetuk Adi.

"Mas Adi, aku tanya serius ini. Kenapa Mas Adi cinta sama Kak Adel?" tanya Dita tanpa basa basi.

"Enggak tahu, Dek. Setelah pertama ketemu rasanya kaya ada kesan yang mendalam dari Adel. Sejak itu aku mulai Istikharah. Aku suka sifatnya yang terbuka, apa adanya, semangat untuk belajar agama."

"Bukan karena fisiknya kan, Mas?" Dita memicingkan mata pada Adi.

"Insya Allah bukan. Kalau wanita yang lebih cantik dari Adel, banyak yang sudah Mas temui, Dek. Kalau hanya dari fisik mungkin sudah lama Mas menikah. Kesan pertama memang pasti dari fisik. Tapi apa gunanya fisik cantik tapi hatinya enggak cantik." Adi mendesah.

"Terus, kenapa kemarin Mas tiba-tiba bilang mau taaruf sama Kak Adel tanpa rencana? Mana tempatnya enggak banget lagi."

"Tanya suami Adek tuh, dulu nembak Adek di Alkid apa dia pakai rencana?"

"Mas, apa benar yang dibilang Mas Adi?" Dita beralih pada Rendra.

"Iya, benar. Aku spontan waktu itu." Rendra menjawab sambil tersenyum kikuk.

"Kalian berdua memang enggak romantis," gerutu Dita.

"Tapi, sekarang aku romantis kan, Sayang?" Rendra membela diri.

"Iya, iya, Mas Rendra."

"Huh ... mulai lagi mesra-mesraan," sindir Adi.

"Udah jangan iri, Mas. Ayo yang tadi belum dijawab kenapa? Enggak mungkin langsung ngomong begitu aja kan, pasti ada pemicunya," desak Dita.

"Harus ya Mas jawab?" Adi malah balik bertanya.

"Ya udah kalau enggak mau jawab. Yuk, Mas Ren, kita pulang ke mama aja."

"Urusan kita belum selesai, Dek. Gitu ya sekarang sama Mas main pergi aja kalau kesal."

"Mas Adi juga bikin kesal sih."

"Iya, mas jawab. Mas terus terang cemburu sama Bara. Mas takut Adel suka sama Bara."

Tawa Dita meledak, sampai ditegur Rendra. Dia mulai menahan tawanya sambil menutup mulut.

"Mas Adi cemburu sama Kak Bara?" Dita kembali tertawa sampai air mata keluar dari sudut matanya.

Adi menatap kesal adik semata wayangnya itu. Akhir-akhir ini sering sekali mengejeknya, meski dia tahu hanya bercanda. Tapi rasanya tetap kesal.

"Sudah kenapa ketawanya, Dek," protes Adi.

"Iya. Uh maaf, Mas. Aku enggak nyangka aja Mas Adi bisa cemburu sama Kak Bara." Dita masih berusaha menahan tawanya.

"Kak Bara memang baik sih, tapi tetap Mas Rendra yang termuah di hati," ucap Dita sambil tersenyum dan menatap suaminya. Bisa bahaya kalau dia juga terlalu memuji Bara. Dia baru tahu kalau ternyata dua pria yang sangat dicintainya itu cemburu pada satu pria yang sama, Bara.

"Oke, kembali ke topik. Jadi kalau hari itu kita enggak ngomong soal Kak Bara dan enggak datang ke festival musik itu, Mas Adi pasti belum akan ngomong kan?"

Adi mengangguk. "Karena aku masih mencari waktu yang pas dan masih memantapkan hati. Tapi waktu aku dengar cerita Adel soal Bara, aku baru sadar kalau aku takut Adel dimiliki orang lain."

Dita menghela napas. "Ya sudah, enggak apa-apa. Sudah terlanjur juga. Meski aku suka meledek Mas. Aku tiap salat berdoa kok buat Mas Adi agar segera mendapatkan jodoh istri yang salehah."

"Aamiin. Makasih ya, Dek." Adi merangkul bahu Dita lalu mencium pelipisnya.

"Aku tuh juga sedih lihat Mas Adi yang gelisah menunggu jawaban, tapi aku bisa apa. Aku juga enggak mungkin memaksa Kak Adel untuk segera memberi jawaban. Karena aku pernah di posisi Kak Adel."

"Ditembak sama seseorang yang enggak pernah kita sangka. Pasti merasa bingung, bimbang. Jangan dikira memberi jawaban itu juga enak. Wanita itu memikirkan banyak hal kalau mau memutuskan sesuatu, tidak asal, pasti dengan pertimbangan yang matang. Apalagi ini tentang masa depan."

"Mas Adi juga harus mengerti Kak Adel yang sedang berhijrah. Kak Adel merasa malu, minder dan mungkin merasa belum pantas karena itu belum memberi jawaban. Mas Adi harus lebih sabar, insya Allah nanti akan dapat jawaban yang ditunggu-tunggu." Dita menenangkan hati kakaknya.

"Iya, Dek."

"Dibanyakin istighfar, Mas, sama doa sepertiga malamnya. Insya Allah hati jadi lebih tenang dan segera mendapat jawaban." Rendra memberi masukan pada Adi.

"Makasih, Rend."

...---oOo---...

Jogja, 240521 00.45

Cerita ini mengikuti kompetisi You Are A Writer Season 5, mohon dukungannya 🙏

Jangan lupa like atau jempolnya ya Kak setekah membaca. Terima kasih 🙏🤗

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!