NovelToon NovelToon

Ksatria Lembah Neraka

Perpisahan

Hutan larangan, sejak zaman dahulu merupakan hutan yang terkenal kramat di kalangan masyarakat penduduk Desa Senyiur. Bukan saja karena namanya yang berkesan angker tetapi karena menurut sebagian besar penduduk sekitar telah banyak orang dunia persilatan yang mencoba memasuki hutan tersebut untuk mencari senjata pusaka berbentuk pedang yang konon menurut para cenayan terkenal merupakan senjata pusaka tanpa tanding bernama 'Pedang Siluman Darah'.

Menurut para cenayan pusaka tersebut merupakan pedang yang dapat memancarkan hawa yang sangat mengerikan, berwarna merah dan ujungnya senantiasa meneteskan darah segar. Mereka menambahkan bahwa siapapun yang mendapatkan senjata tersebut akan menjadi rajanya dunia persilatan karena takkan ada yang sanggup mengalahkannya. Maka tak ayal banyak para pendekar bergelar berbondong - bondong menyatroni Hutan Larangan untuk mengundi nasib.

Namun malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Dari sekian banyaknya pendekar yang memasuki hutan tersebut tidak ada satupun lagi yang terdengar kabarnya. Menurut para tetua kampung Senyiur kemungkinan besar para pendekar tersebut telah tewas terbunuh karena menyinggung jin penghuni hutan larangan.

Sepuluh tahun sudah berlalu tanpa kabar dari para pendekar yang memasuki Hutan Larangan. Akhirnya para pendekar baik aliran putih maupun hitam sepakat bahwa kabar tentang pedang siluman darah hanyalah merupakan cerita bualan kosong belakang, namun demikian dengan banyaknya pendekar hebat yang menghilang membuat kesan angker Hutan Larangan semakin menjadi. Lambat laun tempat itu menjadi tempat pantangan bagi orang-orang tanpa terkecuali.

"Dinda, ini akan menjadi pertemuan terakhir kita. Setelah hari ini mataku mungkin akan kehilangan kemampuanku untuk melihat wajahmu, tapi percayalah hati dan jiwaku tidak akan kehilangan kemampuan untuk mengenang dirimu"

Seorang pemuda tampan berusia sekitar 25 tahun berkata sambil mengusap air mata seorang gadis cantik dalam rangkulannya. Pasangan yang serasi, bagaikan dua sejoli.

Sang pemuda tampan berkulit putih kecoklatan akibat terpapar cahaya matahari. Pakaiannya yang merupakan seragam kebesaran panglima kerajaan Datu Gumi menambah kesan gagahnya.

Sedang Sang gadis berhidung bangir. Warna kulit nya seputih salju. Pakaiannya yang terbuat dari emas mengkilat menyilaukan. Warna rambutnya sangat berbeda dengan orang - orang pada umumnya yang berwarna hitam, warna rambut si gadis justru berwarna emas seolah rambut itu memang terbuat dari emas. Pemandangan itu memiliki daya tarik tersendiri menambah keanggunan gadis itu.

Ya, mereka adalah sepasang kekasih dari dua bangsa yang berbeda. Sang pemuda bernama Lalu Askar Wirajaya, panglima termuda kerajaan Datu Gumi. Sedangkan Sang gadis adalah Dyah Ayu Pitaloka, seorang wanita dari bangsa siluman darah. Lebih tepatnya ratu Siluman darah.

"Aku mengerti, kakang. Hubungan kita ini adalah hubungan yang menentang kodrat alam" Kata Dyah Ayu Pitaloka tersendat di antara isak tangisnya.

"Setelah kau menjalani ruqiahmu kau takkan lagi bisa melihat maupun merasakan kehadiranku. Meskipun harus berakhir duka, tapi aku tidak akan menyesali pertemuan kita dulu dan semua yang telah terjadi malam itu." Si gadis semakin deras derai air matanya mengenang pertemuan pertama mereka yang mengawali cinta di antara kedua makhluk dari bangsa berbeda itu.

Panglima Askar Wirajaya adalah panglima termuda yang terkenal di Kerajaan Datu Gumi bukan saja karena ketampanannya yang memikat banyak gadis. Melainkan juga karena kegagahan dan kepiawaiannya dalam mengatur strategi peperangan sehingga banyak gadis dari kalangan bangsawan secara diam-diam maupun secara terang-terangan menunjukkan rasa suka kepada sang panglima muda.

Tetapi sang panglima selalu menghindar dengan alasan karena masih ingin mewujudkan cita - citanya untuk mendamaikan negerinya dari peperangan melawan Kerajaan Sakra

Tujuh tahun yang lalu Panglima Termuda Askar memimpin lima ribu prajurit menuju Provinsi Sendaq guna mengatasi kekacauan yang ditimbulkan oleh para pemberontak. Akan tetapi di perjalanan pasukan yang dipimpinnya diserang oleh pasukan penyergap Kerajaan Sakra berjumlah sepuluh ribu orang, dua kali lipat lebih banyak dari jumlah pasukan yang dibawanya.

Ternyata kekacauan itu merupakan siasat yang disusun oleh pasukan Panglima Sembalun dari Kerajaan Sakra untuk menjebak para pasukan Panglima Askar.

Pertempuran kedua kubu pecahlah, dentang senjata pedang dan perisai para prajurit mengiringi teriakan - teriakan kematian para prajurit dua Kerajaan.

Pertempuran ini merupakan kekalahan pertama Panglima Askar Wirajaya. Namun di sinilah terlihat kelihaian Lalu Askar Wirajaya, kehebatannya dalam mengatur strategi perang yang dalam keadaan terdesak oleh jumlah lawan sekalipun tetap saja tidak kehilangan ketenangannya.

Lima ribu pasukan yang dibawanya memang terbunuh tanpa sisa, tetapi di pihak Panglima Sembalun Kerajaan Sakra juga mengalami kerugian yang bahkan lebih besar dari Kerajaan Datu Gumi.

Sepuluh ribu pasukan yang dibawa dalam penyergapan tersisa hanya tiga ribu lima ratus. Kerugian itu sekaligus meredam sementara serangan Kerajaan Sakra.

Dalam pertempuran itu Panglima Askar terluka parah dan melarikan diri jauh ke tengah hutan hingga tanpa sadar telah memasuki hutan larangan. Di sanalah dia jatuh tak sadarkan diri dan diselamatkan oleh Dyah Ayu Pitaloka.

Itulah awal mula pertemuan mereka. Kelembutan Dyah Ayu Pitaloka juga kesopanan yang ditunjukkan Panglima Kerajaan Datu Gumi tersebut mulai menumbuhkan benih - benih cinta di antara keduanya. Sejak pertemuan pertama mereka Panglima Askar sudah diberitahu oleh Dyah Ayu Pitaloka bahwa gadis kekasihnya itu adalah gadis dari bangsa siluman. Namun cinta telah membutakan mata keduanya hingga pada suatu malam terjadilah hal yang tidak seharusnya terjadi.

Setelah kepulangannya Askar tak pernah bisa melupakan wajah Dyah Ayu Pitaloka, kekasihnya. Rasa rindu itu kemudian menyulut hasrat mereka untuk terus bertemu secara diam-diam hingga akhirnya tiga tahun kemudian Dyah Ayu Pitaloka pun mengandung.

Hubungan mereka lambat laun diketahui oleh Ki Rupani, guru Askar. Ki Rupani lalu menasehati muridnya dan menjelaskan bahwa hubungan antara manusia dan siluman merupakan hubungan yang melanggar kodrat alam dan merupakan sebuah dosa besar. Ki Rupani juga memerintah muridnya untuk memutuskan hubungan mereka. Akhirnya dengan berat hati keduanya harus rela memutuskan ikatan dosa yang telah mereka jalin selama berbulan-bulan.

"Dinda. Kau adalah duniaku. Setelah ruqyah nanti aku tidak akan bisa melihatmu, yang artinya aku akan kehilangan duniaku. Maka atas nama cinta kita setelah hari ini aku bersumpah. Dengan sapu tangan ini yang kau rajut dari serat duka, aku akan menjalani kehidupan gelap gulita di sepanjang usiaku"

Duarrr...!!!

Terdengar sambaran petir membahana seolah mendengarkan sumpah Sang Panglima.

Dyah Ayu Pitaloka dengan diringi derai air mata berkata dengan suara parau.

"Setelah hari ini semua cerita tentang kita hanyalah akan menjadi sejarah panjang. Tetapi biarlah, cinta kita akan tetap tumbuh di dalam tubuh anak kita ini" kata Dyah Ayu Pitaloka sambil mengelus perutnya yang mulai membuncit.

Dyah Ayu Pitaloka tersenyum pahit.

"Sebelum kita berpisah, Kakang berilah nama untuknya sebagai tanda pengenal nya kelak ketika dia mencarimu setelah dewasa nanti" Dyah Ayu Pitaloka mencoba bersikap setegar mungkin.

Kemudian Askar Wirajaya menghela napas panjang sebelum menjawab

"Baiklah, dinda. Kelak jika anak kita perempuan berilah dia nama Baiq Ayra, dan jika dia laki-laki berilah nama Lalu Argadana"

"Aku anggap kedua nama itu sebagai hadiah darimu pada pertemuan terakhir kita ini" kata Dyah Ayu Pitaloka menambah kesedihan di hati sangat kekasih.

"Aku takkan sanggup membayangkan bagaimana aku harus menghabiskan usiaku tanpa dirimu, kakang. Suatu hari jika kau menemukan ada wanita yang mau mencintaimu setulus hati maka nikahilah dia" Dyah Ayu Pitaloka berpesan kepada Askar Wirajaya.

Angin beliung bertiup kencang seolah memberi tanda pada sepasang kekasih itu bahwa waktu berpisah telah tiba.

"Aku akan membesarkan anak kita. Sampai tiba masanya nanti akan ada seorang pemuda mendatangimu dengan pedang merah yang ujungnya senantiasa meneteskan darah. Dia adalah anak kita. Tolong jaga dan rawat dia baik-baik untukku"

"Kau akan lenyap dari pandanganku, tapi tidak dari hatiku. Nama dan wajahmu akan terukir dalam di sana selamanya" kata Askar Wirajaya.

"Mungkin peruntungan jodoh kita hanya sampai di sini saja, kakang. Jika ada kehidupan kedua, aku berharap akan bisa mencintaimu seutuhnya sebagai gadis manusia"

"Perpisahan ini akan menjadi awal bagi perjalanan kita yang baru, sayang" kata Askar dan Dyah Pitaloka bersamaan dan mulai melangkah saling menjauhi namun tangan mereka seolah enggan untuk saling melepaskan.

"Selalu baik-baik lah kau tanpaku, dinda"

"Selamat tinggal, kakang"

"Selamat tinggal, cinta"

Lalu Argadana

5 tahun kemudian di Hutan Larangan

Seorang bocah laki-laki ditemani oleh seorang wanita yang tampak berusia 25 tahun sedikit kurus dengan wajah pucat sedang memainkan jurus - jurus ilmu silat aneh yang sangat mematikan. Kulitnya putih halus bak seorang pangeran di sebuah kerajaan. Pakaiannya terbuat dari kulit buaya putih yang tebal. Tapi ada yang aneh dari penampilan sang bocah, yaitu rambutnya yang berwarna keemasan sama seperti wanita yang sedang mengamati permainan jurusnya. Terlihat sederhana namun memancarkan aura seperti bangsawan tinggi.

Bocah itu adalah Lalu Argadana, putra Panglima Lalu Askar Wirajaya dengan Dyah Ayu Pitaloka. Dan tentu saja wanita berrambut emas yang menemaninya adalah Dyah Ayu Pitaloka, ibundanya. Setelah perpisahannya dengan Askar Wirajaya ibu sang bocah Argadana itu selalu terlihat murung tanpa semangat hidup hingga wajahnya terlihat lebih tua dari usianya. Satu - satunya yang membuat Dyah dapat bertahan hanyalah harapan terhadap putranya.

Sejak lahir Dyah merawat putra semata wayangnya itu dengan penuh kasih sayang, tak tanggung - tanggung agar anaknya tumbuh besar menjadi pemuda yang perkasa Ratu Siluman Darah itu memberikan semua sumber daya terbaik untuk pertumbuhan putranya.

Kini di usianya yang ke - 4 tahun Argadana telah tumbuh menjadi bocah yang bertubuh sangat kuat, melebihi anak - anak seusianya. Pangeran Siluman Darah itu telah dapat menghimpun sejumlah besar tenaga dalam yang mana seharusnya tenaga dalam itu baru dapat mulai dihimpun oleh seorang pendekar setelah berumur sepuluh tahun.

"Cukup, nak. Latihan hari ini sampai di sini dulu. Lanjutkan lagi besok" tegur Dyah menghentikan latihan Argadana.

"Baik, ibu" jawab Argadana singkat sambil tersenyum.

"Ayo, kita pulang dulu. Ada yang ingin ibu sampaikan" kata Dyah sambil tersenyum kepada putranya.

"Apakah itu tentang ayah, ibu?" celetuk Argadana tiba - tiba menghentikan langkah Dyah Ayu Pitaloka.

Wajahnya tiba - tiba terlihat murung, kesedihan tergambar jelas di matanya. Memang selama ini Argadana kerap menanyakan siapa ayah kandungnya karena di antara teman sebayanya di istana Siluman Darah seperti anak - anak para pembesar istana mereka selalu membanggakan - banggakan ayah mereka membuat rasa tak enak di hati sang Pangeran. Sebab hanya dirinyalah yang tidak dia ketahui ayah kandungnya siapa. Setiap kali bertanya pun selalu dijawab dengan wajah murung sang ibu.

"Ibu, maafkan aku jika pertanyaanku membuat ibu bersedih. Aku janji tidak akan bertanya lagi tentang ayah" Argadana memelas menghibur Dyah Ayu Pitaloka.

"Nak, jangan salah sangka. Ayahmu sebenarnya adalah orang yang sangat bertanggung jawab, dia adalah kesatria terhebat yang pernah ibu jumpai. Hanya saja kodrat alam tidak mengizinkan ayah dan ibumu bersatu" jawab Dyah Ayu Pitaloka mengelus kepala putranya.

"Kelak setelah kau berumur sepuluh tahun ibu akan ceritakan semua tentang ayahmu. Tapi dengan syarat kau harus sudah menguasai semua jurus - jurus yang ada di dalam kitab Muara Darah. Bagaimana? Kau sanggup?" tantang Dyah Ayu Pitaloka.

"Benarkah, ibu? Kalau begitu aku akan terus berlatih dengan rajin" sambut Argadana kegirangan.

"Yahh... Kau harus tekun berlatih agar cepat menjadi kuat, kelak biar ayahmu bangga dengan pencapaianmu"

"Iya, ibu. Aku akan membuat ayah terkejut nanti" pungkasnya bersemangat.

**

"Salam, Pangeran dan Ibunda Ratu" kata seorang pria tinggi tegap berusia 20-an. Pakaiannya terbuat dari kulit harimau berwarna putih, di tangannya tergenggam tombak emas yang memancarkan hawa mencekam. Pria tersebut adalah Jendral Thalaba, putra Panglima Perang Darah.

Kebiasaan seluruh rakyat siluman darah memanggil Dyah Ayu Pitaloka adalah memanggil dengan sebutan Ibunda Ratu, karena memang merupakan permintaan Dyah Ayu Pitaloka sendiri.

"Salam juga, Paman Belang" balas Argadana pada Jendral Thalaba yang memang akrab dipanggil belang oleh Argadana.

Argadana kemudian masuk ke kamarnya setelah berpamit untuk membersihkan tubuh kepada ibunya, Ratu Siluman Darah Dyah Ayu Pitaloka.

"Kamu harus secepat mungkin menyempurnakan semua ilmu yang terdapat di Kitab Muara Darah, nak. Agar kau dapat menguasai Pedang Siluman Darah. Waktu ibu sudah tak banyak lagi" gumam Dyah Ayu Pitaloka menitikkan air matanya.

Sementara di dalam kamarnya Argadana tengah tenggelam dalam meditasinya setelah selesai mandi membersihkan diri.

###

Demikianlah kesehariannya yang dijalani oleh Lalu Argadana. Hampir seluruh waktunya dia jalani untuk berlatih agar dapat menguasai secara sempurna seluruh ilmu leluhur bangsa ibunya Siluman Darah. Tujuannya tentu tidak lain adalah karena dia sudah tidak sabar lagi ingin segera mengetahui tentang ayah kandungnya. Berkat kegigihannya itu dua bulan kemudian Argadana telah berhasil menguasai secara sempurna tekhnik - tekhnik dasar jurus siluman darah.

"Ciat... "

Wusss...!!!

Duarr... Duarr... Duar...!!!

Tiga kali ledakan beruntung terdengar mengiringi tiga gerakan tangan dan kaki mungil Argadana. Tiap ayunan tangan dan kakinya membawa hawa panas dan dingin secara bergantian.

Gerakannya semakin cepat hingga...

Duarr....!!!

Argadana baru menghentikan latihannya setelah tanah dihutan tempat berlatihnya membentuk kawah besar berdiameter seukuran satu tombak. Beberapa tarikan nafas kemudian tanah di dalam kawah tersebut berubah menjadi salju yang tidak lama kemudian berubah lagi menjadi magma letusan gunung berapi.

Gerakan tadi adalah penutup tekhnik dasar jurus siluman darah namanya adalah Pukulan Api Salju.

Seperti namanya lawan yang terkena pukulan api salju akan sangat menderita karena efeknya yang luar biasa. Lawannya akan merasakan panas atau dingin sesuai yang dikehendaki pengguna pukulan itu. Dan apabila efeknya ditahan dengan tenaga dalam maka akan berubah menjadi sebaliknya. Jika dingin ditahan dengan tenaga dalam akan berubah menjadi panas, begitu pula sebaliknya.

"Pangeran sudah sangat berkembang pesat, Ibunda Ratu" kata Jendral Thalaba menoleh Dyah Ayu Pitaloka yang dibalas dengan anggukan oleh sang ratu.

"Dia memang harus cepat - cepat menguasai semua isi dalam Kitab Muara Darah untuk dapat mengendalikan Pedang Siluman Darah. Dia tidak punya pilihan lain selain itu untuk dapat bertemu dengan ayahnya" kata Dyah Ayu Pitaloka lirih, terlihat matanya merembang berair sedih mengingat kekasihnya, Panglima Lalu Askar Wirajaya.

"Ibunda Ratu, bolehkah saya meminta sesuatu?" tanya Thalaba sopan.

"Katakanlah, Jendral"

"Jika kelak Pangeran hendak pergi mencari ayah kandungnya, apakah saya juga akan ikut beserta Pangeran?"

"Tentu saja, Thalaba. Kau adalah Jendral yang khusus kutugaskan untuk menjadi pengawal pribadi putraku sejak kecil. Aku tahu betul seberapa bahayanya dunia di luaran sana. Aku tidak ingin terjadi apa - apa pada putraku"

"B-baik, Ibunda Ratu. Mohon maaf, Saya bertanya karena merasa penasaran seperti apa dunia para manusia itu" jelas Thalaba.

"Tidak akan lama lagi, Thalaba. Waktunya akan segera tiba, setelah takhta Istana Darah aku wariskan kepadanya, saat itu juga kalian akan melakukan perjalanan panjang di dunia manusia"

Ilmu Serat Darah

Plak... Plak...

Bunyi dua tapak saling beradu di udara terdengar nyaring.

"Ayo, nak. Serang ibu dengan sungguh - sungguh" seru seorang wanita berambut emas kepada pemuda tanggung lawannya yang juga berrambut emas. Itu tidak lain adalah Dyah Ayu Pitaloka dan Argadana yang sedang berlatih ilmu silat.

Pertarungan keduanya terus berlangsung sengit. Sementara hutan tempat mereka berlatih telah tidak karuan bentuknya, ada pohon yang tercerabut dari akarnya dan ada pula bebatuan yang hancur lebur terkena imbas tenaga dalam tinggi dari keduanya.

Des..

Duaarrr...!!!

Ledakan memekakkan telinga terdengar ketika kepalan tangan mereka beradu. Kedua ibu dan anak itu pun sama - sama terlempar sejauh lima tombak ke belakang akibat benturan tenaga dalam yang berimbang.

"Sudah cukup, anakku. Ibu sudah tidak kuat lagi.. Hah.. Hahh... " Dyah Ayu Pitaloka tersengal nafasnya meladeni serangan Argadana yang demikian gencarnya

"Bagaimana, ibu? Ibu mengaku kalah?" seru Argadana tersenyum.

"Kau sudah melampaui ibu, anakku" Dyah Ayu Pitaloka tersenyum puas.

"Dengan kekuatanmu sekarang ibu yakin kamu sudah bisa mengendalikan Pedang Siluman Darah" sambungnya dengan bangga.

"Pedang Siluman Darah? Pedang macam apa itu, ibu?" tanya Argadana Penasaran.

Dyah kemudian membelai lembut putra semata wayangnya yang kini telah berusia genap sepuluh tahun tersebut. Terpancar kebanggaan dari pandangan matanya.

Bakat dan kekuatan tubuh Lalu Argadana luar biasa. Dyah Ayu Pitaloka dulu menghabiskan waktu lima belas tahun untuk menguasai seluruh ilmu yang terdapat di Kitab Muara Darah, sedangkan putranya hanya memerlukan waktu kurang dari sepuluh tahun. Dengan demikian rampunglah semua harapan Dyah pada putranya. Hanya tinggal satu lagi tujuan terakhirnya yang akan segera dia capai setelah Argadana berhasil menyempurnakan ilmunya kali ini.

Adapun ilmu - ilmu yang terdapat di dalam Kitab Muara Darah adalah:

Jurus tapak darah

Jurus pembelah mata hari

Jurus bulan darah

Jurus Pengendali Darah

Jurus Sembilan Bulan

Jurus Sembilan Matahari

Jurus Nafas Siluman (Ilmu Meringankan Tubuh)

Ada juga pukulan aji kesaktian:

Pukulan api salju

Pukulan pembalik matahari

Pukulan gerhana matahari

Pukulan gerhana bulan

Ke semuanya dari ilmu - ilmu tersebut telah berhasil dikuasai Argadana dengan sempurna. Dia hanya perlu pengalaman saja untuk melengkapi kemampuan bertarungnya.

"Anakku. Pedang Siluman Darah adalah pedang pusaka lambang Kerajaan Siluman Darah kita. Setelah nanti kau mewarisi pedang itu, maka itu artinya kau telah menggenggam tampuk kekuasaan di Kerajaan ini." jelas Dyah Ayu Pitaloka lemah lembut.

"Sebulan lagi dari hari ini kita akan lakukan upacara penobatanmu menjadi raja, dan setelah kau mendapatkan Pedang Siluman Darah barulah kau boleh mencari ayahmu. Sekarang kita pulang dulu, nanti di istana ibu akan ceritakan semuanya tentang ayah kandungmu" ajak Dyah Ayu Pitaloka sambil tersenyum.

"Baik, ibu"

Mereka berdua kemudian pulang dengan wajah ceria.

***

"Ibu, apakah ayahku wajahnya tampan?" tanya Argadana polos. Dyah Ayu Pitaloka membalasnya dengan senyum lebar sebelum menjawab

"Yaah... Tidak ada satu pun di dunia yang bisa membuat hati ibu tergetar selain dia. Ayahmu adalah Panglima hebat di Kerajaan yang bernama Kerajaan Datu Gumi. Waktu itu.... "

Dyah Ayu Pitaloka menceritakan semua kisah tentang awal pertemuan hingga akhir perpisahannya dengan kekasihnya, Panglima Muda Lalu Askar Wirajaya.

"Wahhh.... Jadi ayah bukan orang jahat, ibu?"

"Benar, anakku. Ayah dan ibumu terpisah karena kodrat kami sebagai bangsa manusia dan siluman tidak bisa bersatu."

"Jadi ibu, apakah aku termasuk manusia atau siluman?" tanya Argadana.

"Darah ayah dan ibumu mengalir di tubuhmu, anakku. Itu artinya kau setengah manusia, setengah siluman"

"Oooo....." Argadana menjawab singkat dengan mulutnya membentuk huruf 'O'

"Nah, semua tentang ayahmu sudah ibu ceritakan. Sekarang berbaliklah, ibu akan memberikan hadiah kenang - kenangan untukmu"

Argadana menurut saja perintah ibunya tanpa mengetahui bahwa hadiah yang akan dia Terima merupakan seluruh kekuatan sang ibu.

Ya, Dyah Ayu Pitaloka berniat memberikan seluruh tenaga dalam miliknya kepada putra semata wayangnya, Argadana. Dengan demikian tinggal beberapa langkah lagi semua tujuannya akan tercapai.

"Jangan menolak hawa yang masuk ke tubuhmu, anakku"

"Baik, ibu"

Dyah Ayu Pitaloka meletakkan tangannya di punggung Argadana. Beberapa tarikan nafas kemudian terasa hawa hangat mulai memasuki tubuh Argadana. Lama kelamaan terasa panas, tubuh Argadana seperti terbakar.

Dyah Ayu Pitaloka memiliki tenaga dalam yang sangat besar. Tak tanggung - tanggung semuanya diberikan pada Argadana secara berlebihan sehingga menyebabkan membesarnya syaraf - syaraf penampungan tenaga dalam di tubuh Argadana. Hasilnya, tenaga dalam Dyah Ayu Pitaloka terserap seluruhnya dalam waktu singkat. Argadana tidak menyadari bahwa proses penyaluran tenaga dalam itu adalah untuk membuka syaraf Siluman Darah miliknya yang tertutup karena dia merupakan perwujudan manusia setengah siluman.

Syaraf Siluman Darah adalah ciri khusus yang hanya dimiliki oleh kaum Siluman Darah. Dan itu juga merupakan kelebihan Siluman Darah dari siluman lain. Seluruh kaum siluman darah memiliki kemampuan yang terbilang aneh yaitu dapat menyerap tenaga dalam lawan melalui sentuhan fisik ketika lawan menyerang dengan tenaga dalam. Hal inilah yang membuat Kaum Siluman Darah menjadi siluman terkuat, Rajanya para siluman.

Wajah Dyah terlihat pucat setelah menyalurkan seluruh tenaga dalamnya pada Argadana. Namun dia tersenyum puas, usahanya membuahkan hasil yang tak sia - sia.

"Argadana, anakku. Ibu telah menyalurkan seluruh tenaga dalam ibu kepadamu, untuk membuka simpul yang menutup syaraf siluman darah milikmu. Jadi dengan begitu kamu telah menguasai ajian pamungkas yang merupakan ciri khas kaukaum kita, bangsa Siluman Darah. Ilmu itu bernama Ilmu Serat Darah" kata Dyah Ayu Pitaloka mengejutkan putranya.

"Dengan ilmu itu kamu dapat menyerap seluruh tenaga dalam bahkan aura kehidupan musuhmu. Intinya selama musuhmu menggunakan tenaga dalam untuk menyerangmu, kau akan tetap dapat menyerapnya ketika terjadi kontak fisik. Nah, untuk sebulan ini kau akan mempelajari cara menggunakan ilmu ini"

"Bulan depan kau akan aku nobatkan menjadi raja Kerajaan Siluman Darah yang baru. Jadi persiapkanlah dirimu dari sekarang" Kata Dyah Ayu Pitaloka serius.

"Iya, ibu." jawab Argadana santun

###

Di balai istana Kerajaan Siluman Darah

"Ratu, apakah keputusan Ratu sudah tidak dapat lagi dirubah?"

Seorang pria berambut putih gagah bertanya dengan nada hormat pada Dyah Ayu Pitaloka. Dia adalah salah seorang penasehat Kerajaan Siluman Darah, Gumara Wirayuda.

"Dengan menggunakan ajian lebur raga tubuh Ratu akan hancur. Mohon difikirkan kembali keputusannya, Ratu"

"Aku tak dapat menolak keinginan putraku untuk bertemu ayah kandungnya, Paman Gumara"

"Keputusan ini sudah kufikirkan baik - baik. Setelah penobatannya nanti, putraku akan memulai perjalanan nya di dunia manusia. Dan Kerajaan ini akan aku titipkan kepada kalian semua. Putraku akan kembali lagi ke singgasana ini memimpin Kerajaan setelah dia menemukan wanita yang akan menjadi permaisurinya nanti. Sampai saat itu tiba, tolong jaga Kerajaan ini sebaik mungkin" pesan Dyah kepada seluruh bawahannya yang hadir dalam pertemuan itu.

"Kami mengerti, Ratu!!! "

jawab para bawahan Dyah serempak.

"Baiklah. Kalau begitu pertemuan ini aku cukupkan sampai di sini. Terimakasih atas kehadiran kalian" tutup Dyah membubarkan pertemuan hari itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!