Hangat serta penuh akan kasih sayang dari orang- orang tercinta, adalah dambaan kehidupan bagi semua orang. Dan beruntungnya seorang gadis cantik bernama Emily Gabriella Putri, mendapatkan anugerah itu.
Sejak kecil ia dikenal sebagai sosok ceria dengan penampilan yang bisa dikatakan cukup sederhana. Namun bukan berarti penampilannya yang tidaklah terlalu menonjol itu, menenggelamkan aura kecantikannya. Emily cantik dan mereka yang berteman dengannya mengakui hal itu. Dan bukan hanya cantik, tapi ia juga tumbuh menjadi seorang yang pintar dengan segudang prestasi dibidang akademis.
Alasan dibalik penampilan sederhana seorang Emily, ialah saudari kembarnya yang berprofesi sebagai seorang Model, Emilia Karmila begitulah namanya. Berbanding terbalik dengan dirinya, Emilia memilih untuk berpenampilan nyentrik. Parasnya yang cantik serta tubuh sexynya mampu membius setiap penggemar, terlebih para lelaki.
Model cantik itu meminta kepada Emily agar berpenampilan sangat sederhana, dengan tujuan agar awak media tak menyorot Emily karena wajah mereka yang identik.
Dengan mudahnya Emily setuju, ia tidak masalah dengan hal itu, karena baginya sebuah penampilan tidak berarti apa-apa. Tujuannya hanya menjadi seorang yang berguna agar bisa membanggakan kedua orang tuanya dengan kemampuan yang ia punya. Tidak perduli jika dia terlihat sedikit berbeda dari sang kakak.
Membahas tentang Emilia, sesuatu sepertinya kembali terjadi dan itu mengusik kehidupan Emily yang tenang. Seorang pria tua yang sebaya dengan sang ayah, tiba-tiba muncul dan duduk diruang tamunya. Emily yang hendak masuk ke dalam kamar, memilih berhenti dan menguping sebentar.
“Apakah kau sudah mencarinya?” Wijaya, ialah ayah Emily, berbicara dengan raut wajah paniknya.
“Sudah, namun anak itu tak kunjung menunjukkan batang hidungnya. Aku menyesal telah mengenalkannya pada tuan Albert” pria yang duduk dihadapan sang ayah nampak berteriak kesal. Ia adalah Justin, Paman sekaligus ayah angkat Emilia.
“Apa kau butuh bantuan kami untuk mencarinya?” Jesica, ibu dari si kembar masuk ke dalam obrolan dan mulai menaruh curiga kepada sang kakak.
Justin menegakkan tubuhnya ”Tidak perlu, aku akan mencarinya sendiri, karena aku sudah mengerahkan beberapa anak buahku. Kedatanganku kemari bukan untuk meminta kalian mencari Emilia. Aku hanya meminta bantuan yang lain” kecurigaan Jesica semakin menjadi, ia tatap mata sang kakak penuh selidik. Mencari tahu rencana apa lagi yang akan ia jalankan kali ini.
“Bantuan seperti apa?”tanya jesica lagi.
“Kalian tahu jika Emilia sudah menikah dengan Albert Wheeler, bos mafia yang terkenal kejam di negara kita. Aku hanya ingin meminjam Emily untuk menggantikan Emilia sementara wakt..”kalimat Justin terpotong.
“Tidak kak, kau sudah mengambil Emilia dan kali ini kau ingin mengambil Emily lagi?” Sela Jesica dengan tatapan tajam menolak.
Emily tidak tau pasti apa yang sebenarnya terjadi, karena sejak kecil Emilia dibesarkan oleh sang paman dan Emily dibesarkan oleh kedua orang tuanya. Ia masih mencoba mengintip serta menguping dengan baik, berharap mendapat satu fakta mengenai terpisahnya mereka berdua.
“Aku tidak perduli dan aku tidak butuh persetujuanmu! Aku hanya tidak mau perusahaanku menjadi korban karena kelalaian putri kalian, Emilia. Dan kalian sebagai orang tuanya harus bertanggung jawab untuk itu. Satu lagi, kalian masih memiliki hutang Budi padaku.” Sambung Justin tak kalah garangnya. Emosinya hampir meledak, bahkan ia tak segan menggebrak meja ketika menyampaikan keinginannya.
Hal itu sontak membuat Emily yang sedari tadi asik mengintip, terlonjak kaget. Alhasil, gadis itu tak sengaja menyenggol meja dan menarik perhatian ketiga manusia yang tengah berdebat sengit.
“Emily, kemarilah” Justin menatap sang keponakan tajam, meminta agar gadis itu mendekat ke arahnya.
Emily yang sudah tertangkap basah berjalan menuju sofa dan duduk tepat disamping ibunya. Wijaya dan jesica hanya bisa menatap sendu ke arah sang putri.
“Kenapa harus Emily Justin?” Wijaya yang mulai tersulut emosi, akhirnya ikut berteriak. Terlebih kini ia melihat wajah Emily, sungguh Wijaya tak akan mengorbankan putrinya lagi.
“Siapa lagi yang harus menggantikan Emilia selain Emily, karena mereka saudara kembar dan juga wajah mereka sangat mirip” balas Justin, tak henti ia tatap Emily dengan begitu intens.
Emily yang masih belum paham dengan apa yang ayah serta pamannya bicarakan, memilih untuk tetap diam sambil sesekali memegang tangan sang ibu yang juga terlihat khawatir.
“Aku tidak setuju Justin jika Emily harus dikorbankan. Yang mempunyai urusan dengan Albert adalah kalian berdua dan kami tidak akan ikut campur” tolak Wijaya dengan tegas yang membuat Justin emosi dan berdiri
“Apa kau lupa dengan janji yang kau ucap dulu! Kau akan lakukan apapun untuk membalas budi ku karena telah menyelamatkan istri dan kedua anakmu. Lalu sekarang aku menuntut hutang budi itu!!” teriak Justin, benar-benar hatinya telah dikuasai emosi.
“Maaf paman, aku tidak bermaksud untuk mencela pembicaraan kalian, tapi bisakah kalian jelaskan apa yang terjadi?” Akhirnya Emily memberanikan diri untuk berbicara. Sungguh, tak bisa jika dirinya berada diposisi membingungkan seperti ini.
“Emilia menghilang setelah melukai adik dari Albert Wheeler yang tak lain adalah seorang mafia berkuasa. Hal itu membuat dia sangat murka, dia mengancam akan membuat perusahaanku bangkrut dan juga akan membunuh ku serta seluruh keluargaku jika aku tidak menyerahkan Emilia kepadanya.” Urai Justin, yang membuat Emily melongo tak percaya.
Apa maksud dari perkataan pamannya?
Mengapa ini seperti, dirinya yang akan ditumbalkan?
Emily tentu tidak terima “Kenapa harus aku? kenapa paman tidak mencari kakak dan meminta kakak untuk bertanggung jawab.” gumam Emily di dalam hati
“Sekali tidak tetap tidak! aku tidak rela putriku menjadi tahanan seorang mafia!!”bentak Wijaya yang membuat Emily tersadar dari lamunannya.
“Jika kau tetap tidak setuju, maka bersiaplah menerima timah panasku!!” Detik itu juga, Justin keluarkan benda yang sudah ia siapkan sejak kali pertama masuk ke dalam rumah ini. Semuanya sudah ia rencanakan.
Sontak Emily dan Jesica terbelalak, terkejut bukan main dengan apa yang dilakukan oleh Justin. Didetik itu juga, jesica berlari lalu bersujud di depan hadapan kakaknya, agar hal buruk tidak terjadi kepada sang suami.
“Aku mohon kak Justin jangan lakukan itu”pinta jesica yang diiringi tangisan.
Emily yang sedari tadi diam karena kaget akhirnya tersadar dan berlari ke arah sang ayah. Dia memeluk wijaya dengan air mata yang sudah membanjiri wajahnya. Sungguh, jantungnya tak henti berdetak kencang, begitu takut akan sesuatu yang buruk terjadi.
Namun seolah tuli Justin tetap menarik pelatuknya. Suara tembakan bergema di hampir seluruh ruangan. Riuh berisik bercampur dengan suara teriakan dari dua wanita penghuni rumah ini.
Bersambung…
Emily memejamkan matanya dengan erat begitupun dengan jesica. Kompak tubuh mereka bergetar hebat akibat suara tembakan tadi. Lantas suasana berubah hening, hanya suara deru nafas memburu yang terdengar samar.
Emily mengumpulkan keberanian untuk membuka mata, menepis segala pikiran buruk yang mulai berkecamuk, memenuhi kepalanya. Masih dengan tubuh yang gemetar pun telapak tangan dingin bak dicelupkan ke air es, ia lirik kepada sosok sang ayah yang nampak baik-baik saja. Lantas dialihkan kepada perempuan yang ikut berteriak kencang tadi, terlihat baik-baik juga.
Lega setelah melihat kedua orang tuanya dalam keadaan baik-baik saja. Kini ia tekadkan untuk melirik kepada sang paman yang berdiri gagah dihadapannya, masih dengan pistol yang tegak lurus mengarah ke dinding.
“Huh, ternyata paman menembakkannya ke dinding” batin Emily, benar-benar tak bisa membayangkan jika peluru itu harus bersarang di antara mereka bertiga.
“Keputusanku sudah bulat! Emily akan menggantikan Emilia! Setuju atau tidak setuju, aku akan tetap membawa Emily!” Tegas tak mau dibantah, tak lupa ia arahnya ujung pistolnya ke arah Wijaya.
Wijaya yang sedari tadi menunduk karena keterkejutannya, kini kembali menatap sang kakak ipar “Kau boleh membunuhku Justin! Asal tidak kau libatkan Emily ke dalam rencanamu! Putriku tidak bersalah, aku tidak akan rela jika sampai dia menderita karena perbuatan yang tidak ia lakukan.”ucap Wijaya menantang
“Membunuhmu? Hahahaha itu sangat mudah bagiku! Bahkan aku akan lebih mudah untuk membawa Emily.” Justin tertawa keras.
“Kurang ajar kau JUSTIN!! Tidak cukupkah selama ini kau mengorbankan putriku untuk kepentinganmu?!”Wijaya berdiri dengan marah. Habis sudah kesabarannya, tidak akan mau ia tindas lagi oleh pria ini. Tidak gentar sedikitpun, walau kepalanya tengah ditodong dengan pistol lagi.
“CUKUP! ” Emily berteriak lantang pun dengan nafas memburu. Ditatap dalam sosok sang paman yang nampak enggan untuk menyudahi perdebatan ini.
“Emily..” lirih Jesica sembari menggeleng ribut. Wanita ini tahu betul apa yang akan dilakukan putrinya setelah ini. Sikap Emily yang selalu mengalah, membuat dirinya merasa khawatir sekarang.
Emily menatap sejenak wajah sang ibu yang sudah berderai air mata, mengangguk pelan dengan senyum manis seperti biasanya “Aku bersedia menggantikan kak Emilia, asalkan Paman berjanji satu hal padaku.” Kini ia tatap sang paman, tangannya terangkat untuk menghapus buliran bening yang lolos begitu saja.
Dia tau keputusannya ini sangat gila, tapi apa boleh buat. Ancaman pamannya tak bisa dianggap omong kosong. Keselamatan orang tuanya adalah yang nomer satu. Tak apa jika dirinya harus menjadi tahanan ataupun menyerahkan nyawanya sekalipun, asal dua orang tercintanya dalam keadaan baik-baik saja.
Justin tersenyum penuh kemenangan “Bagus Emily!Paman suka keponakan yang penurut seperti mu! Apapun permintaanmu paman akan penuhi, katakanlah!”
“Paman harus berjanji tidak akan mengusik kedua orang tuaku! Tidak melibatkan mereka dalam masalah apapun, yang berhubungan denganmu!tegas Emily
Justin terkekeh rendah “Hanya itu?”remehnya
“Iya hanya itu. Dan aku mau perjanjian ini ditulis pada kertas!” Pinta Emily dengan tatapan benci. Sungguh, ia sangat ingin memutuskan tali persaudaraan dengan pria ini.
“Hey, apakah harus se formal ini? Percayalah, paman akan berjanji untuk itu!”
“Aku tidak mempercayai siapapun paman, terkecuali kedua orang tuaku! Janji yang hanya diucapkan dengan mulut, sama halnya seperti omong kosong paman! Akan lebih terpercaya jika semua itu ditulis pada secarik kertas.” Final Emily.
Justin mengangguk setuju “Baiklah aku setuju. Akan aku berikan surat itu nanti malam. Setelahnya kau harus ikut denganku ke mansion Albert.” Balas Justin, lantas memasukkan kembali senjata apinya.
Sebelum Justin benar-benar meninggalkan rumah Wijaya, dia melangkah ke arah Emily untuk memeluk keponakannya, sebagai rasa terima kasih karena telah mau membantunya.
“Terima kasih Emily kau telah menyelamatkan Perusahaan dan juga nyawa paman. Namun Ingat satu hal, jika kau berani melawan atau melarikan diri, aku tidak akan segan-segan untuk membunuh kedua orang tuamu!”bisik Justin ditelinga Emily
Tak akan gentar, dibalas pelukan sang paman dan membalas kalimat ancaman Justin “Aku bukan tipe manusia licik paman. Tak pernah sekali pun aku melanggar janjiku.”balas Emily, menyelipkan sedikit kalimat sindiran kepada sang paman.
Usai sudah urusan Justin dengan keluarga sang adik. Setelahnya ia benar-benar melenggang pergi dengan senyum merekah, meninggalkan kediaman Wijaya tanpa berpamitan dengan siapapun.
“Kenapa kamu menyetujuinya nak?” Wijaya bergegas menghampiri putrinya, begitu Justin benar-benar menghilang dari balik pintu. Raut wajah sendu, terpaut jelas di wajah Wijaya.
Emily menatap sang ayah dengan senyum hangat diwajahnya. Ia tangkup juga pipi Wijaya lembut “Tidak apa-apa ayah, aku akan melakukan apapun demi keselamatan kalian. Aku sangat menyayangi kalian, sungguh. Apalah dayaku jika hidup tanpa kalian dan percayalah aku akan baik-baik saja”
Begitu tulus Emily mengucapkan setiap kalimat yang keluar dari mulutnya. Mengundang rasa haru bercampur syukur tak terhingga, memiliki putri seperti Emily. Wijaya dan jesica pun memeluk putri mereka dengan sangat erat sambil menangis sejadinya. Tak bisa mereka bayangkan bagaimana kehidupan Emily kedepannya. Mereka merasa menjadi orang tua yang gagal dalam hal menjaga anak mereka.
“Maafkan ayah Emily. Lagi dan lagi ayah gagal menjadi sosok pelindung untuk kalian.” Sesal Wijaya, bergetar tubuhnya memeluk semakin erat kepada dua wanita yang begitu ia cintai keberadaannya.
Begitu pun Emily, sekuat tenaga ia bertahan, ternyata air matanya lolos begitu saja “Tidak ayah, kau tidak pernah gagal untuk melindungi kami. Kau sosok yang sempurna di mataku. Ini hanya masalah keadaan saja, kau tidak bersalah dalam hal ini”
Sedangkan Jesica, tak ada satu kalimat pun yang mampu ia katakan. Terlampau sedih, mengingat kembali semua hal yang terjadi karena ulah saudaranya sendiri. Untuk beberapa saat mereka saling berpelukan, menumpahkan kesedihan dan saling menguatkan satu sama lain.
Bersambung...
Malam hari pun tiba, semua orang di kediaman Wijaya nampak bersedih karena akan melepas Emily pergi. Setelah kejadian tadi, Emily memilih mengurung diri didalam kamarnya, sembari menyiapkan diri untuk ikut bersama pamannya malam ini.
Semua terasa berat baginya, terlebih harus meninggalkan kedua orang tuanya dan tinggal di tempat orang yang sama sekali tidak ia kenal. Atau mungkin saja, malam ini adalah hari terakhirnya di dunia. Bisa saja sang mafia membunuhnya karena kesalahan sang kakak. Semua bisa saja terjadi bukan, pikir Emily.
Semua kenangan manis bersama kedua orang tua nya tiba-tiba terlintas. Hingga membuat pipi yang sudah teroles make up itu, kembali dibasahi oleh air mata. Bisa Emily bayangkan bagaimana orang tua nya tanpa dirinya dan bagaimana dia tanpa orang tuanya.
“Emily?” panggil jesica dari balik pintu sambil mengetuk pintu kamar putrinya. Sontak Emily menyadarkan diri dari lamunannya, serta mengapus sisa air mata di permukaan pipinya.
“Iya ibu?” sahut Emily sambil mengusapkan bedak ke wajahnya. Ia tidak ingin terlihat rapuh di depan orang tuanya.
“Apakah paman Justin sudah tiba?” tanya Emily sembari membukakan pintu untuk sang ibu. Terlihat ceria, seperti biasa. Seolah-olah tidak akan ada hal buruk yang terjadi.
“Emily maafkan ibu nak.” tangis sang ibu kembali pecah, tat kala melihat sang anak begitu tegar didepannya.
“Hey bu kenapa menangis? i’m oke!” Emily peluk dan usap lembut punggung sang ibu. Sebisa mungkin untuk membendung air matanya agar tidak jatuh dan terlihat oleh ibunya.
“Emily ayo turun nak, kita makan malam terlebih dahulu” ajak ayah Wijaya yang baru saja tiba dan melihat kedua bidadarinya sedang rapuh. Sengaja tidak ia hampiri keduanya, karena itu akan menambah kesedihan Emily. Sebagai seorang kepala keluarga, Wijaya berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis di depan kedua bidadarinya.
Mengangguk patuh, Emily ajak sang ibu untuk bergegas turun, menuju meja makan “Ayo bu, aku sudah sangat lapar”
Jesica menghapus sisa air matanya, tersenyum hangat ke arah Emily “Ayo, ibu memasak makanan kesukaanmu malam ini” gemetar bibir Jesica. Mengapa rasanya seperti akan berpisah dan tidak bertemu lagi.
Emily tersenyum semakin lebar, diraihnya tangan sang ibu dan mengajaknya untuk berjalan saling beriringan. Setiap langkah, terasa begitu berat untuk keduanya. Terlebih ketika melihat sang iblis yang telah hadir kembali, ke istana mereka.
“Wah, keponakan paman terlihat sangat cantik malam ini” puji Justin ketika melihat keponakannya turun dari atas bersama kedua orang tuanya.
“Terima kasih paman atas pujiannya” balas Emily sambil tersenyum sinis. Muak rasanya melihat wajah sang paman.
Mereka berempat telah berkumpul di satu meja yang sama. Duduk saling berhadapan, lengkap dengan hidangan makan yang cukup mewah. Penuh perhatian, Wijaya letakkan beberapa menu masakan, yang menjadi favorite putrinya. Dadanya sesak, mengingat apa yang akan terjadi setelah moment ini.
“Cepatlah habiskan makananmu karena tuan Albert tidak suka menunggu!” perintah Justin yang langsung mendapat tatapan tajam dari Wijaya dan jesica.
“Berhenti mengancam putriku, Justin!” Wijaya dibuat kesal dengan sikap kakak iparnya yang benar-benar seperti iblis.
Suasana makan malam kali ini terasa berbeda. Meja makan ini biasanya dihiasi dengan suka cita dan kehangatan. Malam ini, seperti ada awan hitam serta badai, yang berhasil menghancurkan segelanya.
“Jika sudah, paman akan menunggumu dimobil. Jangan terlalu lama karena ini sudah waktunya.” Justin bangkit dari duduknya. Tidak ia sentuh barang sedikit pun makanan yang dihidangkan oleh sang adik. Sebab tujuannya datang kemari untuk menjemput sang keponakan, bukan makan malam bersama keluarga.
Mau tidak mau, mereka menghentikan acara makan malamnya. Waktu terlampau cepat berputar, hingga rasanya sangat sulit untuk melepas satu sama lain.
“Ayah, ibu, Emily pamit. Tolong jaga diri kalian baik-baik. Aku tidak mau salah satu dari kalian sakit. Tidak perlu mengkhawatirkan keadaanku disana. Semuanya akan baik-baik saja, karena aku wanita kuat. Percayalah.” Emily mengucapkan kata perpisahannya dengan mimik wajah setegar mungkin, meski nyatanya tengah menahan tangis sekuat tenaga.
Tanpa aba-aba, kedua orang tua nya datang dan menghamburkan pelukan. Begitu erat dan sakit, menangislah Wijaya dan Jesica dipelukan sang anak sambil menangis sejadi-jadinya.
Bagaimana bisa putrinya berusaha meyakinkan mereka kalau dia akan baik-baik saja, sedangkan putrinya saja tidak tahu, apa yang akan ia hadapi disana. Membayangkannya saja, membuat Wijaya takut. Takut jika anaknya akan disiksa, karena dia tahu betul siapa itu Albert wheeler. Atau bahkan, Wijaya tak akan pernah bertemu dengan putri kesayangannya itu.
“Baiklah aku akan berangkat ayah, ibu. Kasian paman, harus menunggu lama di dalam mobil. Aku,-aku sangat mencintai kalian lebih dari apapun” ucap Emily, lantas mencium kedua orang tuanya secara bergantian.
“Kami juga sangat mencintai mu nak. Kami akan selalu berdoa agar bidadari kecil kami selalu dilindungi.” kata Wijaya sambil mencium puncak kepala sang putri. Perasaan bersalah terus berkecamuk, benar-benar ia gagal dalam hal menjaga sang buah hati.
Dan akhirnya, keluarga Wijaya melepas sang putri kesayangan dengan perasaan hancur berderai air mata. Runtuh sudah kerajaan yang telah mereka bangun dengan kehangatan dan suka cita, selama ini.
Diantarkannya oleh Wijaya dan juga Jesica, putri kesayangan mereka hingga di ambang pintu mobil. Bahkan ketika Emily telah masuk ke dalam sana, Jesica masih belum melepas tangan putri kecilnya.
“Ibu, Emily pasti akan datang dan menjenguk ibu suatu hari nanti. Tolong bersabarlah sampai hari itu tiba” ujar Emily, semakin membuat sang ibu menangis histeris. Dengan terpaksa, Emily lepas genggaman tangan sang ibu. Menutup kaca mobil cepat, sebab tak sanggup lagi membendung kesedihannya.
Seolah tak peduli, Justin lirik sang keponakan melalui spion “Kau sudah siap Emily?”
“Sudah paman.” singkat Emily
“Baiklah kita berangkat. Paman harap kau tersenyum ketika bertemu tuan Albert” perintah Justin yang dijawab anggukan kepala oleh Emily.
Mobil sedan hitam milik Justin melaju kencang meninggalkan istana Wijaya. Menyisakan luka dalam bagi raja dan ratu, yang ditinggalkan oleh putri mereka.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!