Seorang gadis cantik bertubuh mungil tengah berjalan ke ruang tengah di mana seorang pria berusia 30 tahun tengah melepas penatnya setelah seharian bekerja, mata sayu pria itu menandakan betapa lelahnya ia hari ini.
Gadis itu meletakkan secangkir teh hangat untuk si pria, dan lelaki tampan itu mengucapkan terimakasih kemudian tersenyum tulus.
"Aku sudah siapkan makan malam, kalau Kakak mau makan," ucap gadis 15 tahun tersebut sopan. Pasalnya, pria yang ada di hadapannya kini adalah kakak iparnya.
Suami dari mendiang Alea, kakak perempuannya, yang meninggal karena kecelakaan. Padahal saat itu, sang kakak tengah mengandung 5 bulan. Tepatnya 2 tahun yang lalu kejadian tragis tersebut menimpa keluarganya, dimana ia harus kehilangan ayah, ibu, juga Alea.
Alsa, hanya dia dan kakak iparnya yang selamat, sehingga sang kakak ipar merawat dirinya lantaran tak lagi memiliki siapapun. Tak ada sanak saudara yang perduli padanya sehingga sempat membuat Alsa depresi.
Alhasil kakak iparnya lah yang menggantikan sosok ayah, ibu, juga kakak untuknya. Dan kini gadis itu tumbuh menjadi gadis cantik, manis, baik hati, juga sopan. Ia sedikit pendiam dan sangat pemalu.
"Kamu udah makan?" tanya sang kakak lembut, diusapnya puncak kepala Alsa.
Ia menggeleng pelan.
"Kenapa?" tanya pria itu lagi. Namun sang gadis hanya menunduk, menyembunyikan raut kesedihan yang terlukis di wajah cantiknya. Bahkan, kedua hazel indah itu sudah redup dengan air mata yang menggantung.
"Hei... ," panggil sang kakak lembut, diangkatnya dagu mungil Alsa, melihat raut kesedihan terlukis di wajah adiknya, ia menghembuskan napas lelah. Ya, lelaki itu lelah dengan semuanya, gadisnya tak pernah terlihat tersenyum tulus sejak 2 tahun lalu.
"Kenapa sedih, Dek?" tanya pria bernama Davin Adrian Wijaya penuh kasih sayang.
"Kangen mama, papa, juga kakak," jawabnya lirih, Davin menatap Alsa iba. Sungguh, ia juga merindukan mereka. Namun dirinya yang sebagai kakak laki-laki, tak mau menunjukkan kerapuhan pada adiknya.
"Kita doakan mereka ya, Sayang. Semoga mereka tenang di surga sana. Jangan terus bersedih, nanti mereka juga ikut sedih dan gak tenang, kasihan." nasehat Davin sembari memeluk adik iparnya.
"Masih ada Kakak di sini yang akan jagain kamu, memang Kakak belum bisa sebaik ayah menjaga juga mendidik kamu. Tapi, kakak akan berusaha supaya jadi lebih baik lagi buat kamu."
"Alsa ... ," panggil Davin pada gadis yang sesenggukan di pelukannya.
"I-iya kak, Alsa akan coba iklas," ucap Alsa sembari menghapus air matanya. Alsa tak ingin membuat kakaknya cemas. Ia merasa tak enak hati pada Davin, pria itu sudah lelah seharian bekerja namun saat ia kembali ke rumah bukan rasa nyaman dan ketenangan yang ia dapat, melainkan sikap cengeng Alsa yang tak berubah. Alsa memutuskan untuk menyimpan kesedihannya sendiri.
"Makan malam yuk, Sayang," ajak Davin lembut, kemudian lelaki dewasa itu menggenggam tangan Alsa dan mengajaknya ke meja makan. Mereka pun makan malam dengan tenang meski hati gadis yang beranjak remaja itu masih berselimut kabut kerinduan mendalam.
***
Alsa mengerjakan dua buah soal yang diberikan oleh Davin di papan tulis dengan jawaban yang sempurna. Lelaki yang juga guru Matematika dan Fisika itu tersenyum puas. Adiknya memang anak yang cerdas.
Alsa meletakkan kembali spidol hitam yang ia gunakan tadi di meja guru Davin, kemudian ia menunduk sekilas sebagai sikap kesopanannya sebelum kembali ke tempat duduk yang ada di urutan kedua dari depan.
"Pinter banget sih lo, Al," puji teman sebangkunya yang bernama Levin. Alsa terpaksa duduk dengan Levin karena tak ada seorang pun siswi yang mau sebangku dengannya. Mereka semua iri karena kecantikan juga kepintaran Alsa.
"Ma-makasih, Vin," ucap Alsa gugup. Gadis itu dengan seksama memerhatikan Davin yang menerangkan rumus matematika yang dianggap seperti benang kusut oleh sebagian siswa.
Bahkan, tak jarang dari mereka yang disuruh maju ke depan kelas lantaran ketahuan tertidur di tengah jam pelajaran.
Davin terkenal sebagai guru yang tegas, disiplin dan galak. Namun karena ketampanan pria itu, membuat para gadis bahkan guru wanita yang masih single begitu memuja Davin.
Tetapi Davin bersikap dingin dan menutup diri dari semua wanita yang mencoba merayu-nya. Rasa cinta pada mendiang sang istri masih kuat dan tak akan pernah luntur meski bertahun-tahun lamanya.
Lagipula yang ada di pikiran Davin hanyalah masa depan Alsa, bukan hanya keluarga gadis itu yang tak mau direpoti mengurus Alsa. Namun juga keluarga Davin tak mau tahu perihal kehidupan gadis kecil itu selanjutnya, Davin memutuskan keluar dari rumah dan membawa Alsa tinggal bersamanya di apartmen milik pria itu yang dulu dihuni bersama sang istri.
Meski Davin masih berkomunikasi dengan baik bahkan terkadang mengurus perusahaan papanya, namun Alsa sama sekali tak dianggap oleh mereka.
Lelaki itu takut jika ia menikah nanti istri barunya tak dapat menerima Alsa, mengingat kenyataan bahwa Alsa dan Davin memang sudah tak memiliki ikatan keluarga.
Namun, Davin berjanji akan tetap menjaga Alsa, sampai adiknya menemukan pendamping yang baik.
Kini Alsa dan Ken, kakak kelasnya, sudah berjalan ke arah kantin. Sesekali para siswi menatap benci pada Alsa, lantaran terlalu dekat dengan Ken yang memang banyak di sukai para siswi.
Alsa sedikit menjaga jarak dengan membiarkan lelaki itu berjalan lebih dahulu, membuat Ken berhenti dan memandangnya bingung.
"Kenapa?" tanya Ken bingung, sementara Alsa hanya gugup ketika dipandang Ken dari jarak dekat.
"Mmm ... kamu duluan aja," jawab Alsa gugup. Ia melihat ke sekitarnya, ketakutan Alsa bertambah tatkala melihat seorang gadis yang menatap dirinya penuh kebencian.
"Ayo lah, gak usah di pikirin mereka. Biarin aja." Ken memang lelaki yang peka ia mengerti ketakutan Alsa karena perasaan iri para gadis lain yang tak mampu sedekat Alsa dengan Ken.
"Tapi kak--" ucap Alsa tak nyaman, ia bahkan terlihat gelisah ketika pemuda tampan itu mendekat.
"Lucu banget sih, Ca. Jadi pengen gigit tau gak?" Ken terkekeh pelan, digenggamnya tangan Alsa dan mengajak gadis itu ke kantin untuk mengisi perut mereka.
***
Di kantin, Alsa dan Ken menikmati makan siang dengan mengobrol ringan. Alsa merasa senang bisa dekat dengan Ken yang begitu banyak penggemar, meski perasaan khawatir akan dibully menggelayuti pikirannya.
Ia memang siswi yang terkenal pintar di sekolah. Namun, sifat penakut dan pemalu yang Alsa miliki menjadikan ia sebagai sasaran empuk bagi para pembully.
Sekolah elite dengan hampir keseluruhan siswa dan siswi dari kalangan atas, tak heran jika sifat sombong dan semaunya sendiri melekat pada mereka.
Menjadikan teman yang lemah sebagai korban bully sudah menjadi hal yang wajar. Apalagi jika korbannya dari kalangan bawah, sudah pasti mereka akan memperlakukannya dengan tak manusiawi.
Namun hal tersebut tak sampai terjadi pada Alsa, Ken selalu ada di dekat gadis itu sepanjang jam sekolah berlangsung.
"Masuk, Ca." Ken mengantar Alsa hingga ke depan pintu kelasnya. Lelaki itu terkekeh pelan ketika Alsa mengangguk patuh dan mengucapkan kata 'iya'.
Ken mengacak rambut Alsa pelan, kemudian ia kembali ke kelasnya sendiri yang ada di lantai dua. Ken adalah siswa kelas 3 SMA.
Ken, lelaki tampan dengan perpaduan wajah Korea-Jepang, adalah siswa yang pintar meski terkenal dingin.
Namun jika dengan Alsa, maka sifat dingin dan cuek yang Ken miliki, ia buang entah ke mana. Ken berubah menjadi sosok yang periang dan banyak bicara.
_____Tbc.
Bel pulang sudah berdering sejak lima menit yang lalu, namun Alsa masih berada di ruang kelas bersama seorang guru perempuan yang mengenakan hijab hijau.
Membereskan lembaran soal untuk dibawa ke ruang guru dibantu Alsa yang dengan senang hati menolong sang pahlawan tanpa tanda jasa tersebut. Dengan senyum tulus, bu Ambar, guru perempuan itu mengucapkan terimakasih.
Alsa memang gadis yang baik, ia tak seperti temannya yang lain. Dimana mereka enggan membantu orang lain yang kesusahan. Namun, lain dengan dia yang akan langsung membantu siapa pun yang membutuhkan pertolongannya.
Maka tak heran jika Alsa begitu disayangi oleh para guru di sekolahnya.
Selesai dengan tugas membantu bu Ambar, Alsa melangkah menuju kelasnya. Namun belum setengah jalan ia sudah dicegat oleh tiga orang gadis yang menatapnya benci di koridor tadi. Tepatnya ketika Alsa dan Ken hendak ke kantin.
"Hai ...," sapa salah seorang dari mereka dengan senyum yang Alsa tak tahu tulus atau tidak.
"Ha-hai," jawab Alsa gugup, bahkan dirinya sudah meremas sisi rok seragam berwarna hitam itu.
"Boleh kenalan gak?" Tanya gadis blonde, Alsa ingat dia saat jam istirahat tadi sempat menatapnya penuh benci serta mengeluarkan umpatan tanpa suara. Hanya bibir berlipstik tipis itu yang bergerak.
"Boleh kok," jawab Alsa tak yakin, pasalnya ia tahu betul sifat kakak kelas satu tingkatnya ini, yang begitu menyukai Ken juga kakaknya, Davin. Maka tak mungkin ia tulus mau berkenalan dengan Alsa.
"Nama gue Keysha. Nama lo siapa?" ucapnya ramah.
"Alsa," ia menyambut jabatan tangan Keysha, semua teman-temannya memanggil dirinya Alsa. Namun, hanya Ken yang memanggil dia Caca.
"Gimana kalau kita pulang bareng?" tanya Keysha antusias dan diangguki semangat kedua temannya yang lain.
"Maaf ... tapi aku gak bisa," tolak Alsa sopan.
"Kenapa, Al? Lo pulang sendiri, kan?" tanya Keysha lagi.
"Iya, tapi aku udah dijemput," jelas Alsa pelan. Davin tidak bisa mengantar Alsa pulang lantaran ada panggilan mendadak dari Frans, ayahnya.
Maka Davin memutuskan untuk menyuruh Glen, temannya, menjemput Alsa pulang sekolah.
"Owh ... sayang banget ya, padahal gue kan pengen pulang bareng lo," sesal Keysha dengan mimik wajah sedih.
"Tapi, lain kali kita bisa pulang bareng kok," ucap Alsa menghibur, karena tak tega pada Keysha yang kecewa. Mendengar ucapan Alsa membuat Keysha tersenyum senang dan mengangguk.
Kemudian ia pergi dengan kedua temannya, juga Alsa yang beranjak dari sana menuju pintu gerbang di mana sudah ada mobil Glen yang terparkir rapi di seberang jalan.
Glen melambaikan tangannya pada Alsa, pria dewasa yang berprofesi sebagai model itu tersenyum hangat pada adik sahabatnya.
Alsa berjalan ke arah Glen dan mencium punggung tangan Glen.
"Makasih ya, Om, sudah mau jemput Alsa," ucap Alsa saat mereka sudah ada di perjalanan. Pria di sampingnya ini lebih tua empat tahun dari sang kakak namun masih belum berumah tangga.
"Iya, lagian tadi om juga lagi senggang. Bisa-bisa kakak kamu itu ngomelin Om, kalau sampai Om nolak jemput kamu." ia ingat ketika dua minggu lalu Glen menolak menjemput Alsa di sekolah lantaran pria itu tengah berpacaran dengan rekan sesama modelnya, dan berakhir dengan omelan Davin yang berjilid-jilid.
Belum lagi ancaman Davin yang akan menyebarkan foto aib Glen yang sudah pasti akan membuat siapa pun ilfeel padanya. Karena tak ada pilihan lain, akhirnya pria itu menurut dari pada mencari masalah lebih lanjut dengan Davin.
***
Malamnya, Davin kembali dari kediaman Frans dengan wajah yang sangat lelah. Masalah kantor kali ini dirasa sedikit rumit dari sebelumnya.
Davin mendudukkan diri di sofa yang letaknya ada di ruang tengah, memijit keningnya yang terasa pening sejak tadi, ia memilih menyandarkn tubuh sejenak sebelum membersihkan dirinya.
Kriet ...
Terdengar pintu kamar Alsa terbuka pelan, Davin menoleh sekilas dan tersenyum melihat adiknya. Tumben sekali Alsa belum tidur? Padahal sudah larut malam. Pikir Davin.
Alsa berjalan menghampiri Davin. Piyama tidur pink yang dikenakannya, membuat Davin tersenyum tipis. Alsa terlihat begitu manis memakainya.
"Kenapa belum tidur, Sayang?" tanya Davin seraya mengubah posisi bersandarnya menjadi duduk dengan punggung yang tegak. Diusapnya puncak kepala Alsa yang membuat adiknya sedikit menggeram kesal. Ia tak suka diperlakukan seperti anak kecil, sedangkan Davin sering sekali melakukannya. Pria dewasa memang kadang sama sekali tidak peka.
"Aku nunggu Kakak pulang." Alsa berjalan menuju dapur."Kakak mandi aja dulu, air panasnya udah aku siapin. Biar aku bikinin teh buat Kakak."
Davin mengangguk singkat. Lelaki itu memilih melenggang pergi memasuki kamarnya, membersihkan diri kemudian beristirahat. Davin sudah menyusun rencana untuk merileks-kan tubuhnya yang sangat lelah.
Kata-kata Frans masih terngiang di telinganya. Menikah lagi? Yang benar saja! Bahkan kekasih saja ia tak punya. Meskipun banyak wanita yang mendekatinya, bukan berarti mudah untuk Davin menemukan pasangan yang pas.
Ia harus menemukan wanita yang setia, tulus mencintainya, dan juga bisa menerima Alsa.
Tak mau semakin pusing, Davin memilih berendam nyaman dengan air hangat yang mampu merilekskan tubuhnya yang lelah.
***
Keesokan harinya, Alsa berjalan di koridor menuju perpustakaan untuk menghabiskan jam istirahat kedua. Tampak Keysha dan dua temannya berjalan ke arah Alsa dan menghentikan langkah gadis itu.
Tiga orang kakak kelasnya itu bersikap ramah pada Alsa, bahkan mengajak gadis itu duduk dan mengobrol ringan di taman sekolah.
"O iya, gue mau tanya dong." Keysha menjeda ucapannya dan menarik napas sejenak."Hubungan lo sama Kenzo tuh apa sih?" Tanya Keysha membuka suara. Ia sudah penasaran sedari kemarin-kemarin mengenai hubungan mereka yang dirasa lebih dari teman biasa.
"Cuma temen kok, Kak, gak lebih," jawab Alsa singkat. Namun, Keysha masih tak yakin kalau adik kelasnya ini berkata jujur. Entahlah, ia yang melihat cara Kenzo bersikap manis pada Alsa, berfikir tak mungkin hubungan mereka hanya sebatas pertemanan saja.
"Beneran?" tanya Keysha memastikan.
Alsa mengangguk sembari tersenyum meyakinkan. Ketiganya saling melempar tatapan bertanya, kemudian Keysha mengatakan percaya pada Alsa dan memilih pergi dari sana.
Alsa berjalan menuju kelas bersama dengan Levin, yang bertemu di koridor kelas 11 IPS 2. Mereka berjalan sembari mengobrol ringan, memasuki kelas hingga pelajaran pun dimulai.
Alsa menyimak penjelasan biologi yang dijabarkan oleh ibu Aini, guru perempuan yang usianya sudah hampir setengah abad. Beliau terkenal sangat sabar dan disegani oleh semua siswa siswi. Bahkan ketika pelajaran ibu Aini, tak ada seorang pun dari muridnya yang tak menyimak.
Mereka semua duduk tenang dan mempelajari Biologi dengan seksama, membuat bu Aini selalu merasa dihargai sebagai seorang guru. Apalagi para siswa siswinya selalu mendapat nilai yang bagus ketika ulangan Biologi.
Tiba-tiba ponsel Alsa yang dimasukkan ke dalam laci mejanya bergetar, membuat sebagian yang mendengar suara itu menoleh padanya.
Alsa hanya tersenyum meminta maaf, kemudian membaca isi chat yang baru saja masuk.
From : Kak Kenzo😈
Nanti tunggu di gerbang sekolah, Ca!
Pulang bareng.
Gak terima penolakan.
Inilah alasan Alsa memberikan emot bertanduk pada Ken. Sebab, pemuda itu memang gampang marah juga pemaksa. Terkadang baik, tapi juga bisa bersikap dingin.
Sikapnya tak mudah ditebak, membuat Alsa terkadang bingung dengan perubahan emosi Ken yang mendadak ekstrim.
To : Kak Kenzo😈
Ya.
Read.
Alsa pun kembali menyimak pelajaran dengan tenang, berharap semoga tak ada yang melihat mereka pulang bersama nanti.
____Tbc.
Alsa berdiri di samping pintu gerbang untuk menunggu Ken yang tengah mengambil motornya di parkiran sekolah, lelaki tampan itu mengatakan akan mengantar Alsa sampai ke rumah gadis itu dan Alsa tak bisa menolak karena memang Ken adalah orang yang keras kepala.
"Ayo, Ca," ajak Ken yang sudah berada di depan Alsa dengan motor ninja hitamnya.
"Makasih ya, kak, sebelum nya udah mau nganter aku pulang," ucap Alsa hati-hati. Ia tak enak jika harus merepotkan Ken.
"Santai aja kali, Ca. Kayak sama siapa aja," jawab pemuda itu sembari tersenyum hangat. Alsa baru sadar kalau ternyata selama ini Ken mau tersenyum padanya. Mengingat lelaki itu sangat pendiam dan dingin, ia juga tak pernah tersenyum apa lagi tertawa dengan orang lain.
Tapi, Alsa baru sadar kalau selama ini Ken bersikap berbeda dengannya. Bahkan beberapa kali pemuda itu tersenyum juga tertawa lepas dihadapan Alsa. Ia berharap semoga Ken benar-benar mau menjadi temannya. Alsa sudah lelah dikucilkan di sekolah.
Mereka mengendarai motor dengan kecepatan sedang, membelah jalanan kota yang lumayan padat juga terik matahari yang tak terlalu menyengat siang ini.
Beberapa kali Ken membetul kan posisi tangan Alsa untuk memeluk perut sixpacknya agar tak terjatuh. Namun, gadis itu kembali menarik kedua tangannya dan memilih menumpukan telapak tangan tersebut pada pahanya sendiri.
Ken menghentikan laju motornya di depan sebuah apartmen Alsa, bersamaan dengan Davin yang baru sampai menggunakan mobil Ferrari hitam pria itu.
Davin turun dari mobil dan disambut Alsa juga Ken yang langsung mencium punggung tangannya dengan sopan. Ya, memang kebiasaan Alsa adalah selalu mencium punggung tangan Davin ketika hendak berangkat atau pulang sekolah. Dan kakaknya pun sangat senang dengan sikap sopan Alsa yang jarang di temui pada gadis seusianya.
"Terimakasih ya, Kenzo. Sudah mengantarkan adik saya pulang," ucap Davin sambil tersenyum ramah.
"Sama-sama, Pak. Lagi pula kita juga searah," jawab Ken kikuk. Pasalnya dari semua guru hanya Davin lah yang sering menghukum bahkan menjewer pemuda itu lantaran Ken yang selalu bersikap semaunya sendiri.
Bagi Davin pemuda di depannya ini adalah sosok yang pendiam namun menjengkelkan. Sementara Ken menilai Davin adalah guru yang berwajah tampan bak Dewa Yunani, namun berjiwa killer.
Dari semua siswa siswi di sekolahnya, hanya Ken lah yang tahu mereka berdua bersaudara. Bahkan, hanya beberapa guru saja yang tahu perihal hubungan itu.
"Ya udah, Ca, gue pulang dulu ya. Saya pamit dulu, Pak Davin," pamit Ken pada mereka dan di balas senyum tulus keduanya.
Sepeninggal Ken, Davin langsung mengajak Alsa masuk ke apartnya, kemudian memesan makanan karena Davin tahu pasti adiknya kelelahan jika harus memasak makanan sepulang sekolah.
***
Alsa tengah belajar di kamarnya dengan serius, padahal jam sudah menunjuk kan pukul 21.00 malam. Namun sang kakak belum kembali juga dari rumah keluarganya.
Gadis itu khawatir juga takut terjadi sesuatu pada Davin, ia tak tahu lagi bagaimana nasibnya jika Davin tak lagi disisi Alsa.
Berdoa pada Tuhan semoga Davin selalu dalam lindungan-Nya, kemudian Alsa menutup buku pelajaran fisika dan beranjak tidur.
Di lain tempat, Davin tengah duduk bersama keluarganya di ruang tamu. Seorang wanita cantik seusia Davin tengah memandang kagum padanya. Lelaki itu berdecak kesal, ia merasa risih ditatap dengan intens. Apalagi pelakunya seorang wanita.
Bahkan sesekali wanita itu menyentuh punggung tangan Davin, namun segera ditepis oleh pria berwajah dingin tersebut.
"Maaf, Pa, tapi saya gak bisa menikah dengan Sherly. Saya belum ada pikiran untuk kembali menjalin hubungan dengan siapa pun," ucap Davin mantap dan formal. Ia memang sama sekali tak tertarik dengan wanita di sebelahnya.
Apa lagi sekarang pikirannya hanya terfokus pada Alsa yang sedang di apartemen-nya seorang diri. Ia ingin segera pulang.
"Tapi, Davin. Kamu adalah putra sulung papa, penerus perusahaan ditambah lagi kamu sudah 2 tahun hidup sendiri tanpa istri. Jadi tidak ada salahnya untuk mencari seorang pengganti Alea yang akan mengurus hidup kamu," ucap Frans panjang lebar. Davin hanya menghembuskan napas kasar. Ia benar-benar sangat lelah sekarang.
"Maaf, Pa, tapi selama ini saya mampu mengurus diri sendiri. Dan lagi ada Alsa yang selalu memperhatikan saya. Jadi rasanya saya belum membutuhkan pendamping," selama ini memang Alsa mengurus semua keperluan Davin dengan baik dan sempurna seperti halnya Alea sang istri, hanya kebutuhan biologisnya-lah yang tak dapat dipenuhi. Namun lelaki itu tak ambil pusing, ia masih bisa menahan hasratnya.
"Jadi kamu masih mengurus anak itu?" tanya Frans emosi, pasalnya sang ayah memang tak menyetujui Davin menikah dengan Alea. Dan ketika mendengar Davin masih berhubungan dengan Alsa yang notabene adik Alea, tentu ia sangat murka.
"Anak itu punya nama, Pa. Namanya Alsa," ucap Davin sedikit meninggikan nadanya.
"Papa tidak perduli siapa nama dia, yang jelas sekarang kamu harus menikah dengan Sherly dan tinggalkan gadis itu! Dia tidak ada hubungan darah dengan kita! Apa kata tetangga nanti, Davin?"
"Saya gak perduli, Pa. Toh mereka hanya bisa berkomentar dan mencari keburukan orang lain tanpa tahu kejadian sebenarnya. Alsa tidak memiliki keluarga lagi selain saya. Jadi maaf, sampai kapanpun saya akan tetap ada untuk Alsa, karena dia adik saya." Davin terang-terangan membela Alsa di depan kedua orang tuanya, orang tua Sherly juga Sherly yang sudah menanam kebencian pada gadis yang bahkan ia tak tahu rupanya seperti apa.
"Keluarganya saja tidak mau perduli dengan gadis itu, lalu kenapa kamu harus perduli, Davin? Kamu juga masih memiliki seorang adik yang membutuhkan perhatianmu," ucap papanya mengingatkan Davin jika ia masih punya tanggung jawab lain yang lebih penting.
"Jangan membanding kan mereka, Pa. Grace dan Alsa tentu berbeda, Grace masih memiliki kita dan mendapatkan kasih sayang yang utuh. Sedangkan Alsa? Dia hanya sendirian di dunia ini, Pa. Saya harap Papa masih memiliki sedikit hati nurani agar bisa memahami kondisi Alsa, setidaknya berbaik hatilah demi kemanusiaan," ucap Davin tak merendahkan suaranya. Papanya menggeram kesal.
"Berani sekali kamu menentang Papa, Davin! Ini semua gara-gara anak sialan itu!" Davin sudah sangat meradang dan tak tahan mendengar Alsa terus dihina papanya. Ia berdiri dan memutuskan untuk pergi sebelum emosinya meledak.
Ia masih menghormati papanya.
"Maaf, pa. Saya harus segera pulang, Alsa membutuhkan saya di rumah." Davin pamit pada kedua orang tuanya, meski sang papa menolak bersalaman dengan Davin.
Sherly ikut berdiri, ia berjalan ke arah Davin dan mengamit lengan pria itu dengan cepat. Davin yang risih hanya berdecak kesal, tak peduli dengan kesan baik apa tidak dirinya di mata kedua orangtua Sherly.
"aku nginep di rumah kamu ya? Soalnya-kan kamar tamu di sini udah untuk tidur mama sama papa. Lagian rumah aku kan jauh," rengek Sherly yang membuat Davin jengah.
"Iya, Vin. Biar beberapa hari ini Sherly nginep di rumah kamu, ya? Lagiankan ada Alsa juga di apartemen kamu," ucap mamanya lembut.
Davin tak pernah bisa menolak keinginan mamanya, mau tak mau ia mengangguk.
"Jangan merepotkan saya, dan jaga sikap kamu di depan adik saya," ucap Davin formal, ia sungguh tak suka berurusan dengan wanita gatal seperti Sherly.
Bahkan Davin meninggalkan Sherly di belakang tanpa membantu wanita itu mengangkat koper berukuran sedangnya.
_______Tbc.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!