Terikat oleh kisah masa lalu yang saling bertalian, takdir pun menuntun langkah tiga pemuda pengembara untuk dipertemukan. Mereka harus melakukan perjalanan bersama untuk menggenapi takdir karmaphala.
Ada kutukan bawaan lahir yang harus dimusnahkan, ada juga kutukan takhta berdarah yang harus mereka hancurkan. Di samping itu, ada nama baik seseorang yang telah difitnah selama bertahun-tahun harus dibersihkan untuk mengembalikan kehormatannya.
Dibimbing takdir lewat jiwa-jiwa masa lalu yang masih tercecer di buana, ketiganya menghadapi berbagai macam rintangan dan goda tanpa gentar. Tujuan perjalanan mereka adalah Istana Kerajaan Jagat Kawiwitan karena dari sanalah segalanya berawal.
Namun, sebelum itu mereka harus singgah ke sebuah gunung untuk bertemu dengan ratu siluman ular. Perjalanan menuju ke sana pun tidak mudah, karena selama berada di wilayah hutan dan gunung ilmu kanuragan mereka tidak bisa digunakan, padahal ada begitu banyak bahaya mengancam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Altairael, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ARC 1.32 PERTEMUAN: RITUAL SIRAMAN
Ketika Kamandaka memberi tahu Bumirang 'ada yang aneh', lalu disusul pertanyaan 'apa kamu juga merasakan?'
Sebenarnya yang Kamandaka maksud aneh itu bukanlah suasana tempat tersebut yang menyerupai hiruk-pikuk ibu kota, melainkan karena ada energi negatif sangat kuat menguar di udara. Energi negatif itu mengalir dari arah depan yang kemungkinan besar berasal dari alun-alun, tempat di mana sedang diadakan ritual siraman.
Ketika Bumirang membahas perihal letak ibu kota, yang berarti melenceng dari topik yang dimaksud, Kamandaka punya firasat bahwa sebenarnya pemuda itu hanya berpura-pura bodoh, berpura-pura tidak memahami maksudnya.
Sekarang dia sedang menunggu kira-kira apa yang sedang Bumirang rencanakan. Dia pun sangat ingin tahu kekuatan macam apa yang bisa menguarkan aura negatif yang begitu besar. Dengan prinsip Bumirang yang enggan melibatkan kekerasan dalam menyelesaikan segala persoalan, kira-kira cara seperti apa yang akan pemuda itu gunakan untuk mengatasi jika terpaksa harus terjadi bentrokan.
Sebagai jiwa yang telah melanglang buana selama ratusan tahun, Prabu Jagad Kawiwitan yang berada di dalam tubuh Kamandaka bisa merasakan bahwa, ritual siraman yang sedang berlangsung tidak sesederhana seperti yang terlihat. Mengembalikan selir kepada keluarganya secara baik-baik saja sudah merupakan sebuah aib besar bagi pihak keluarga selir, tetapi ini malah dijatuhkan derajatnya dengan dijadikan wanita penghibur.
Sebenarnya ada niat apa di balik tindakan yang tidak manusiawi ini?
Sesampainya mereka di alun-alun, pemandangan yang tersaji adalah gambaran nyata kesenjangan yang berlaku dan hidup di masyarakat. Para bangsawan mendapat tempat terhormat, duduk di bawah atap balai alun-alun beralaskan tikar dan permadani, sedangkan rakyat jelata seperti berserakan di luar, duduk di tanah atau rerumputan, juga berdiri berdesakan.
Di dalam pagar pembatas, ratusan selir duduk bersimpuh, tubuh hanya dibalut kain kabung warna cokelat tua sampai batas atas dada, rambut yang tergerai berperan melindungi bahu mulus mereka dari tatapan lapar laki-laki mata keranjang.
Dua orang berjubah putih, bercadar abu-abu memimpin jalannya upacara. Kedua tangan mereka terangkat menghadap langit, sedangkan orang-orang yang berperan sebagai asisten, berjalan perlahan di antara para selir dengan kuali tembikar berisi air bunga berada dalam rengkuhan tangan kiri, dan menyiramkan air ke kepala para selir menggunakan batok kelapa dengan tangan kanan.
Berdiri berdesakan di antara para penonton yang kebanyakan kaum laki-laki, Bumirang menatap intens ke arah dua orang bercadar yang memimpin jalannya upacara. Saat ini dia tengah merasakan pergolakan dahsyat tidak kasatmata yang mengacaukan udara hingga suasana hatinya pun turut terpengaruh.
Wajah pemuda itu memerah, bintik-bintik peluh merata di dahi dan pelipis, tinjunya mengepal erat-erat hingga otot-otot lengannya mengencang dan menonjol. Namun begitu, tarikan napasnya tetap tenang dan teratur.
Kamandaka memperhatikan Bumirang tanpa berkedip dan sempat melihat seekor kumbang hitam hinggap di bahunya. Di matanya, pemuda itu terlihat seperti sedang berusaha mengendalikan amarah. Bumirang marah, kenapa? Apa yang sudah membuatnya marah? Mungkinkah itu berarti Bumirang sudah mengetahui situasinya dengan lebih jelas? Lebih jelas dari yang Kamandaka ketahui.
Sesaat kemudian perhatian Kamandaka teralihkan oleh suara laki-laki tua, yang karena didukung oleh tenaga dalam mampu menjangkau pendengaran setiap orang dengan sangat jelas.
"Mereka telah berkhianat! Hukum pancung sangat layak mereka terima, tapi Gusti Prabu Danur Kawiwitan masih berbelas kasih dengan tidak menghukum mati!"
Yang berbicara adalah salah satu dari pimpinan upacara siraman. Suara yang mengandung magis itu seoalah menyerap suara-suara lain, terutama suara para hadirin yang semula riuh saling berkasak-kusuk hingga akhirnya hening.
Akan tetapi, di telinga Bumirang dan Kamandaka terdengar suara yang lain. Suara sangat kecil yang berbicara dalam bahasa siluman.
"Beraman, Raden. Saeh rajah tilar. Cengkar agem rajah tilar magi langeng kar maehni tuguren."
[Bahaya, Raden. Ada rajah pati. Mereka menggunakan rajah pati untuk mencegah para selir itu bicara]
Bumirang tersentak, begitu pula dengan Kamandaka yang diam-diam juga turut mendengar penuturan kumbang hitam pelacak. Namun, Kamandaka tidak menunjukkan perubahan sikap, tetap tampak seolah sedang menyimak penuturan sang pemimpin ritual.
Sejak kapan dia mengundang bantuan? Sambil membatin Kamandaka mengagumi tindak-tanduk Bumirang yang ternyata memang tidak seperti penampilannya---penampilan sederhana dan mudah ditebak.
Sewaktu di Desa Ngalun Dalu Eyang Pamekas sudah pernah mengatakan bahwa Bumirang memang terlihat sangat mudah dibaca, tetapi sebenarnya pemuda itu lebih dari sekadar mengejutkan. Bumirang itu sudah ada di tahap luar biasa dan jika mau pamer, setiap tindakannya bisa mematahkan semua persepsi.
Rajah pati. Bumirang membatin, lalu bicara menggunakan telepati, "Salwe sikak, Wawong. Dimardi rungseng bada ngula."
[Terima kasih, Wawong. Sekarang kamu boleh pergi]
"Sadeka, Raden. Pulah uksun nir saib masbat lucak pardi."
[Baik, Raden. Jangan sungkan jika butuh bantuan panggil saya]
"Jurnak. Salwe sikak." [Pasti. Terima kasih]
Buana benar-benar telah memilihnya. Kamandaka tersenyum, tetapi senyum hambar. Karena kemampuan Bumirang bisa berbahasa siluman adalah salah satu bukti bahwa buana menaruh harapan besar pada pemuda itu. Harapan besar yang sebenarnya merupakan beban kutukan yang harus Bumirang tanggung sekaligus dikikisnya.
Keheningan di alun-alun yang semula hanya dikotori oleh suara sang pemimpin acara, tiba-tiba dipecah oleh suara teriakan laki-laki yang tidak tampak wujudnya.
"Omong kosong apa yang sedang kamu muntahkan itu, hei, Orang tua! Jangan membodohi rakyat kecil dengan omong kosong yang menyesatkan."
Semua yang ada di tempat itu pun mulai saling berbisik sambil celangak-celinguk untuk mencari siapa yang barusan berbicara. Bumirang dan Kamandaka pun turut menoleh ke sana-kemari.
Sementara itu, Kidung Kahuripan yang tadinya asyik memperhatikan kedua pemimpin upacara, tiba-tiba mendekatkan diri pada Kamandaka dan berbisik, "Sepertinya dia ada di antara orang-orang yang membawa kuali."
Pandangan Kamandaka pun serta-merta mengarah pada orang-orang yang bertugas menyiramkan air kembang. Mereka menghentikan tugas dan tengah melihat ke sekeliling, tidak ada tanda-tanda bahwa salah satu dari merekalah yang barusan berbicara.
"Yang mana?" Kamandaka pun bertanya dengan berbisik.
Dahi Kidung Kahuripan mengernyit dalam, mata pun menyipit. Pertanyaan Kamandaka, dia tidak bisa menjawabnya karena dirinya sendiri pun tidak mengerti kenapa bisa bicara seperti barusan. Rasanya seperti ada yang membuatnya berbicara di luar kehendak. Akhirnya gadis itu hanya bisa menggaruk pipi yang tidak gatal.
"Aku hanya asal bicara," ujarnya kemudian dan Kamandaka pun tidak ambil peduli lagi.
"Jika ingin bicara, keluarlah! Tunjukkan diri jangan jadi pengecut!" Kali ini pemimpin perempuan yang berbicara, terdengar tenang dan jernih seperti seseorang yang masih berusia muda.
"Abaikan saja. Jangan buang-buang waktu, Nyai." Pemimpin laki-laki menegaskan. "Siraman harus sudah selesai sebelum matahari terbenam. Kalian para pengawal, berjaga-jagalah. Siapa pun yang terlihat mencurigakan, langsung tangkap."
Setelah perintah disuarakan, orang-orang berpakaian pendekar yang tadinya berkumpul di dekat balai alun-alun langsung beranjak dan mengambil posisi masing-masing di luar pagar lokasi para selir bersimpuh.
Tiba-tiba suara tawa menggelegar di udara, tetapi kedua pemimpin upacara tidak menghiraukannya. Mereka terus menadah tangan ke angkasa sambil berkomat-kamit membaca mantra. Semakin mereka abai suara tawa itu pun semakin menggila dan membuat orang-orang yang tidak memiliki ilmu karunagan harus menutup telinga sambil merintih kesakitan. Situasi pun kacau balau.
"Pergi kalian! Pergiii!" Setelah menghardik, suara itu pun terbahak-bahak lagi.
Karena ketakutan akhirnya para penonton pun lari kocar-kacir untuk menyelamatkan diri. Namun, terjadi hal yang tidak terduga, tiba-tiba semua orang membeku di tempat. Cahaya yang keluar dari telapak tangan kedua pemimpin upacara mengikat tubuh semua orang yang ada di situ, termasuk Bumirang, Kamandaka dan Kidung Kahuripan.
Dan saya salut Author bisa kepikiran menciptakan bahasa sendiri. Ini jadi nilai plus dan menambah kesan mistis. Terima kasih sudah membuat karya yang baik 👍
mungkinkah author punya jalannya sendiri /Hey//Hey/
cerita ini penuh dengan perjuangan, cinta kasih, juga tantangan
pokoknya berasa ugh.....banget
pada dasarnya Oyot Ngulo itu Ular yang seperti akar atau akar yang seperti ular...???
/Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
bukannya lagi bertarung di luar y