Liora, 17 tahun, lulusan SD dengan spesialisasi tidur siang dan mengeluh panjang, menjalani hidup sederhana sebagai petani miskin yang bahkan cangkulnya tampak lebih bersemangat darinya. Suatu pagi penuh kebodohan, ia menginjak kulit pisang bekas sarapan monyet di kebunnya. Tubuhnya melayang ke belakang dengan gaya acrobat amatir, lalu—krak!—kepalanya mendarat di ujung batang pohon rebah. Seketika dunia menjadi gelap, dan Liora resmi pensiun dari kemiskinan lewat jalur cepat.
Sayangnya, alam semesta tidak tahu arti belas kasihan. Ia malah terbangun di tubuh seorang perempuan 21 tahun, janda tanpa riwayat pernikahan, lengkap dengan balita kurus yang bicara seperti kaset kusut. Lebih parah lagi, si ibu ini… juga petani. Liora menatap langit yang sudah tau milik siapa dan mendesah panjang. “Ya Tuhan, jadi petani rupanya jalan ninjaku.”
Anak kecil itu menunjuk wajahnya, bergumam pelan, “Wa... wa...”
Liora melotot. “Hebat. Aku mati dua kali, tapi tetap dapat kerja tanpa gaji.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Smi 2008, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sepuluh Menit
Setelah meninggalkan toko pengepul sayur, perjalanan liora belum selesai. Masih ada satu makhluk berbulu di tangannya yang harus “disingkirkan secara terhormat.”
Ia mencari toko pembeli ayam. Biasanya, penjual ayam kampung mau menampung juga, lalu menjualnya kembali. Tapi untuk ayam hutan seperti yang dibawanya? Liora belum tahu. Ia hanya mencoba peruntungan—tiga puluh ribu pun tak apa. Toh, ia sendiri tidak suka makan ayam, apalagi yang dagingnya alot. Salwa juga belum bisa makan dengan lancar; kemarin saja anak itu makan sambil separuh tertidur. Membayangkan si mungil tersedak gara-gara serat daging ayam hutan saja sudah cukup membuat Liora bergidik.
Untuk mencapai tempat pengepul ayam, ia harus berjalan sedikit jauh. Jalan yang dilaluinya tanahnya basah dan becek akibat sisa hujan semalam. Setiap langkah menimbulkan bunyi plok-plok.
“Sayang anak, sayang anak!” seru seorang kakek di pinggir jalan dengan suara serak diselingi batuk keras. Di depannya tergeletak tikar berisi mainan murahan: boneka, kerincing, dan mobil-mobilan plastik yang warnanya sudah pudar dimakan matahari.
“Uhuk—sayang anak, uhuk... murah aja, Nak... uhuk!”
Liora hanya melirik sekilas. Dia bahkan tak punya cukup uang buat beli nasi, apalagi mainan. Orang-orang yang lewat juga sama saja—menoleh sekilas, lalu pura-pura sibuk menatap jauh.
Ia mempercepat langkah. Perutnya sudah protes. Sejak pagi belum ada sebutir nasi pun lewat ke kerongkongannya. Di rumah hanya ada telur, itu pun belum dimasak karena tadi ia buru-buru pergi. Kalau sampai kesiangan, dagangannya bisa rusak.
Setelah berbelok tiga kali, Liora akhirnya bisa melihat barisan kandang ayam di kejauhan. Aroma amis bercampur bulu terbakar langsung menyerbu hidung—baunya tajam, .Di kiri-kanan, lapak pedagang berjajar tak rapi: ada penjual baju bekas yang menumpuk pakaiannya, dan di ujung gang, gerobak soto yang asapnya berbaur dengan debu jalan.
Liora melirik baju-baju bekas itu.
“Fokus, Liora. Dapat uang dulu, baru boleh melankolis,” gumamnya lirih.
Ayam di tangannya berkokok lemah, seolah ikut setuju.
Begitu sampai di depan toko, Liora langsung disambut aroma paling jujur di dunia: bau kotoran ayam yang menusuk sampai ke jiwa. Puluhan ayam kampung berkotek di dalam kandang bambu, bulunya berterbangan. Ia menutup hidung dengan tangan, berusaha menahan mual yang menggeliat di perut kosongnya.
“Permisi… halo? Ada orang? Assalamualaikum…” suaranya melengking, tapi tak ada jawaban selain dengkuran ayam jantan yang sok gagah.
“Penjual, oh penjual!” teriaknya sedikit lebih keras. Hening.
Liora mendesah. “Mungkin penjualnya juga sudah dijual,” gumamnya, lalu berbalik, siap pulang.
“Trang!” suara pisau menancap di potongan kayu. Liora spontan menoleh. Dari balik tirai plastik berminyak, muncul seorang pria berperut buncit dengan kumis tipis.
“Cari ayam?” katanya seraya menatap tajam tapi dengan senyum usil. “Jenisnya cuma dua, Nak: jantan dan betina. Dan kabar buruknya, mereka belum punya merek dagang, hahaha!”
Liora memandangnya datar. Kalau humor bapak ini dijual, mungkin malah harus disubsidi pemerintah.
“Saya Liora. Maaf, Om… saya malah mau nawarin ayam,” katanya, mengangkat ayam hutan yang sudah nyaris berpindah alam.
Pak Saleh—begitu tulisan di papan kayu di belakangnya—menaikkan alis, menatap si ayam dengan minat seukuran kucing lapar. “Ayam hutan, kecil pula. Orang jarang cari beginian. Mau jual berapa?”
“Di atas dua puluh ribu, Pak. Asal jangan dua puluh pas.” Suaranya tenang, tapi nada putus asanya bocor di ujung kalimat.
Pak Saleh menggaruk perutnya, merogoh kantong depan dengan malas. Ditemukannya lima lembar lima ribuan dan selembar dua ribuan yang sudah bernoda darah ayam—agak ironis, Ia menggumpalkan uang itu dan menyodorkannya ke Liora tanpa hitung lagi.
“Nih. Ambil aja, biar nggak mati sia-sia tuh ayam,” katanya pendek.
Liora menerima uang itu dengan semangat yang lebih besar daripada jumlahnya. “Terima kasih, Pak,” ucapnya cepat, menyerahkan ayam yang sudah tinggal napas setengah.
“Ya ya ya,” sahut Pak Saleh, melirik ayam yang tampak lemas seolah baru keluar dari seminar kehidupan.
Liora melangkah pergi, membawa uang yang tak seberapa tapi cukup untuk membeli harapan dan tetap disyukuri.
Liora berjalan pulang dengan hati lumayan lega. Dari semua hasil jualannya, terkumpul seratus dua puluh tujuh ribu rupiah—angka yang tidak cukup untuk bahagia, tapi lumayan untuk tidak mati. Ia singgah di warung sembako pinggir jalan, tempat segala kebutuhan manusia tersedia... kecuali oksigen dan rasa aman finansial.
Ia membeli garam, micin, MSG, kecap, segenggam bawang merah dan putih, sebotol kecil sampo anak, sabun batangan, dan sepasang sikat gigi.
Begitu berdiri di depan rak sikat gigi, Liora menatap lama, “Yang kecil atau yang besar, ya?” pikirnya. Giginya sih normal, tapi mulut Salwa jelas model mungil. “Yang kecil aja deh. Aku masih bisa pakai sikat gigi Salwa—asal gosoknya agak lama, pasti bersih,” gumamnya dengan nada pasrah khas ibu hemat tapi optimis berlebihan.
Matanya kemudian menangkap rak odol dewasa. “Hem, Salwa harus belajar rasa baru,” katanya mantap.
Tangannya lalu menyentuh rambutnya sendiri yang kering, kusut, kusam. Setelah beberapa detik kontemplasi, ia merobek dua sachet sampo paling murah—yang biasanya cuma bikin rambut wangi lima menit sebelum menyerah pada minyak kepala.
Ia menambahkan gula seperempat kilo, beras dua liter, dan minyak setengah liter ke dalam daftar belanja. Saat akhirnya menunggu giliran di kasir, Liora berdiri tegak menyerahkan semua barang pilihannya
Kasir menghitung cepat, jari-jarinya menari di atas kalkulator. Mata Liora tak berkedip menatap layar angka yang terus naik
“Tujuh puluh delapan ribu,” kata kasir dengan senyum datar.
Liora membeku. Wajahnya pucat seperti lukisan abstrak. Ia menyerahkan lembaran seratus ribuan, dengan perasaan setengah iklas.
Parkiran.
“Wa... wa...”
Salwa terus menunjuk ke arah ibunya pergi. Sebelum berpisah, ibunya bilang, “Tunggu sepuluh menit, ya.”
Salwa tidak tahu apa itu “sepuluh menit.” Ia hanya yakin itu waktu yang sebentar—mungkin sependek kedipan mata. Tapi setelah satu bungkus buras masuk kelambungnya, ibunya belum juga muncul.
“Tenang ya, Nak. Ibu sedang berjualan, makanya agak lama,” ucap ibu Desi yang memakunya dengan setia, sambil menyisir lembut rambut Salwa dengan jari-jarinya yang gemuk. Wanita itu sadar anak kecil ini tidak seperti anak lain. Saat digendong, rasanya seperti memeluk boneka kain—ringan, nyaris tak berbobot.
Salwa juga diam saja. Beberapa penjual mainan lewat di depan mereka, menggoyang-goyangkan kerincing dan mobil-mobilan plastik. Tapi Salwa tetap tak menoleh, matanya hanya terpaku ke arah jalan tempat ibunya menghilang. Pandangan itu gelisah, seperti mata anak burung yang menunggu induknya di sarang yang terlalu sunyi.
Kebetulan, ibu itu membeli buras dan sepotong kue berbentuk bunga. Saat dibuka bungkusnya, aroma santan dan daun pisang menyeruak lembut. Salwa masih diam, tapi begitu buras menyentuh bibirnya, mulut mungil itu akhirnya terbuka. Ia mengunyah pelan—terlalu pelan. Mungkin lima puluh kali kunyahan untuk satu suapan, dengan kecepatan yang membuat waktu sendiri hampir tertidur bosan.
Setelah buras habis, si ibu memberinya minum, lalu mencoba menyuapi kue bunga. Tapi Salwa menolak. Kepalanya diputar ke samping, pelan namun tegas—penolakan kecil dari tubuh mungil yang tak biasa bicara.
Ibu itu tersenyum getir. Ia mencoba mengajak Salwa berbicara, bercerita soal pasar, soal ayam, soal cuaca. Tapi yang ia dapat hanyalah tatapan datar—tenang di luar, kosong di dalam.
Lalu, suara nyaring menembus keramaian pasar.
“Salwaaa...!”
ketahuan boroknya ....
nek jelasin kemana uang yg dikirimkan untuk Liora....
mumpung yg ngirim juga ada di situ.....
nyampeknya cuma lima ratus ribu......
duh ini mah bukan korupsi lagi tapi perampokan....
badai Liora.......
kejam sekali itu nenek Darma.
ngak ada Darmanya sama cucu sendiri.