Setelah mengetahui sebuah rahasia kecil, Karina merasa bahwa ia akan mendapatkan banyak keuntungan dan tidak akan rugi saat dirinya mendekati Steve, pewaris dari perusahaan saingan keluarganya, dengan menawarkan sebuah kesepakatan yang sangat mungkin tidak akan ditolak oleh Steve. Sebuah pernikahan yang mendatangkan keuntungan bersama, baik bagi perusahaan maupun secara pribadi untuk Karina dan Steve. Keduanya adalah seseorang yang sangat serius dan profesional tentang pekerjaan dan kesepakatan, ditambah keduanya tidak memiliki perasaan apa pun satu sama lain yang dapat mempengaruhi urusan percintaan masing-masing. Jadi, semuanya pasti akan berjalan dengan lancar, kan? * * Cerita ini hanyalah karangan fiksi. Baik karakter, alur, dan nama-nama di dalam tidak ada sangkut paut dengan dunia nyata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Theodora A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 33
•
Keesokan paginya, Karina sudah cukup yakin keadaan akan menjadi sangat canggung di antara dirinya dan Steve saat dirinya terbangun.
Karina bereskpektasi setidaknya akan menerima tatapan-tatapan aneh atau dingin dari Steve. Mungkin, jika dirinya tidak beruntung, akan ada serangkaian pertanyaan tidak nyaman yang akan ditujukan padanya, seperti ‘Bagaimana bisa kamu membiarkanku melakukan itu semalam?’ atau ‘Kamu seharusnya tahu kalau kita hanya boleh berciuman ketika kita harus berpura-pura, kan?’
Well, sebenarnya itu semua adalah pertanyaan-pertanyaan yang Karina tujukan pada dirinya sendiri di dalam kepalanya. Namun ia cukup yakin Steve akan menanyakan hal yang sama, menyerangnya begitu ia membuka matanya.
Maka karena itu Karina memutuskan untuk tetap menutup matanya, di dalam hati bersiap-siap untuk menghadapi sepasang mata tajam yang pasti akan menatapnya dengan datar dan dingin seperti saat pertama kali mereka bertemu. Karina mencoba untuk tidak bergerak sebisa mungkin, ia bahkan sedikit menahan nafasnya dan berusaha untuk tidak mengeluarkan suara apa pun, berpura-pura masih tertidur lelap. Namun perlahan Karina mendengar ada suara pergerakan dari sebelahnya. Alisnya tanpa sadar mengernyit ketika ia menyadari bahwa suara itu terdengar lebih dekat dari yang ia duga.
“Berhentilah berpura-pura tidur, aku tahu kamu sudah terbangun,” Karina dapat mendengar suara Steve dengan sangat jelas, suara itu sangat dekat, terdengar sedikit serak seperti baru saja bangun tidur, dan suara itu seperti berada tepat di samping wajahnya.
“Karina Yates, ayo bangun. Kamu bukan anak kecil lagi, pastinya kamu tidak membutuhkan seseorang untuk membangunkanmu dengan susah payah, kan?”
Tiba-tiba Karina merasakan sepasang tangan menangkup kedua sisi pipinya, dan saat itu juga mata Karina langsung terbuka lebar, menggeliat dari tangan tersebut. “Oke, oke! Baik! Aku sudah bangun! Ini masih pagi kenapa kamu menggangguku seperti ini?!” Karina menggerutu, alisnya mengernyit dan kini ia benar-benar bersiap untuk menghadapi sergapan pertanyaan dan tatapan tidak suka yang akan Steve berikan padanya.
Namun yang tidak Karina duga, cengkeraman di pipinya melonggar dan berubah menjadi sentuhan yang lembut, yang kemudian berubah lagi menjadi cubitan yang pelan di kedua sisi pipinya, sebelum tangan itu mundur. Mata Steve sama sekali tidak memancarkan ketidaksukaan apa pun, malah sebaliknya mata itu menatapnya hangat dengan senyum tipis yang terukir di bibirnya. “Apa kamu tidur dengan nyenyak?”
Karina sedikit tersentak, dan ia hanya bisa terdiam untuk sejenak. Ia mengerjap-ngerjap dengan bingung, merasa seperti dirinya baru saja terbangun di waktu dan dimensi yang salah. Steve sama sekali tidak bereaksi seperti yang ia duga, dan Karina tidak tahu apakah dirinya harus bersyukur dengan sikap Steve yang cukup ramah ini, atau harus merasa was-was karena sikap ramah ini adalah hal yang patut ia pertanyakan. Karina pun menjawab pertanyaan Steve itu dengan tatapan bingung. “Hmm, ya... cukup nyenyak.”
Karina bohong. Tidurnya semalam adalah tidur terbaik yang pernah ia dapatkan pada saat badai petir sedang terjadi. Dirinya belum pernah tidur senyenyak itu semenjak ia tidak lagi berbagi kamar dengan kedua orang tuanya. Tapi tentu saja Steve tidak perlu tahu soal ini.
“Bagus lah kalau begitu. Kenapa kamu tidak cerita kalau kamu takut dengan petir?” Steve memiringkan tubuhnya, menyangga dirinya dengan siku di atas bantal. Seluruh perhatiannya teralihkan pada Karina yang membalas tatapan itu dengan alis yang mengernyit.
Aneh. Bagaimana bisa Steve tidak memberondonginya dengan tatapan dingin sambil melemparkan berbagai pertanyaan yang tidak menyenangkan? Semua ini benar-benar terasa aneh.
“Kenapa aku harus menceritakannya padamu? Lagipula, memangnya kamu akan peduli? Hubungan kita tidak sedekat itu untuk saling berbagi hal seperti ini.” bantah Karina, mencoba bergeser lebih jauh dari Steve setelah ia menyadari betapa dekatnya jarak di antara tubuh mereka, bahkan kini ia sadar bahwa dirinya berbaring di sisi tempat tidur Steve. Apakah semalaman dirinya tidur sambil menempel pada pria ini?
Namun pergerakannya itu harus terhenti karena Steve yang langsung menahannya dengan melingkari tangannya di pinggang Karina dan menariknya kembali untuk mendekat. Karina menoleh dan melihat sorot yang ada di mata pria itu, yang seolah berkata ‘kamu tidak bisa melarikan diri dari percakapan ini’. Dan itu membuat bibir Karina sedikit mencebik.
“Hubungan kita juga tidak sedekat itu sampai-sampai aku harus terbangun karena mendengarmu menangis, atau mendapati dirimu yang meringkuk memelukku karena takut pada petir,” balas Steve, membuat bibir Karina semakin cemberut. “Dan jangan lupa juga fakta bahwa kita juga sud–”
Tangan Karina terangkat dengan cepat untuk menutup mulut Steve. “Cukup! Jangan mengungkit-ungkit hal itu lagi!”
Separuh bagian bawah wajah Steve tertutupi, namun sorot jenaka di matanya sudah cukup untuk membuat Karina tahu bahwa pria ini sedang tertawa terbahak-bahak di dalam hatinya.
“Rasa takut itu adalah motivator yang kuat.. orang-orang membuat keputusan yang tidak bijaksana saat sedang ketakutan,” ujar Karina berusaha membela dirinya. Ia menarik tangannya dan memutuskan kontak matanya dengan Steve, kini menatap lurus pada langit-langit kamar. Ia lebih baik mati daripada harus membicarakan lebih lanjut soal kejadian semalam. “Ditambah lagi, aku minum banyak wine semalam. Aku... mabuk. Dan juga patah hati. Itu bukan kombinasi yang bagus, jadi jangan salahkan aku.”
Karina mendengar Steve tertawa kecil dari sampingnya, dan ia tidak perlu menoleh untuk mengetahui bahwa Steve sedang menatapnya dengan tatapannya yang sangat tidak menyenangkan baginya. Karina sudah cukup dipermalukan, padahal ini baru lima menit sejak dirinya membuka mata.
“Kenapa kamu begitu defensif? Aku tidak akan menggodamu tentang apa yang terjadi semalam,” ujar Steve, kembali tetawa pelan.
“Oh ya, tentu saja kamu tidak akan melakukanya,” sahut Karina dengan nada datar, kini kembali menatap Steve dengan tatapan datar dan bosan.
Steve mengangkat bahu dan kembali berbaring terlentang. “Dan kamu? Mabuk hanya karena setengah botol wine? Tidak bisakah kamu membuat alasan yang lebih masuk akal?”
Karina tahu kejadian semalam sama sekali tidak ada hubungannya dengan wine yang ia minum. “Ya..... aku rasa itu lebih karena aku sedang patah hati,” Karina kembali berujar dengan suara yang sangat pelan dan mata yang mengerjap cepat. Di dalam hati Karina mendengus, cuaca pagi ini terlalu bagus untuk mereka sia-siakan dengan percakapan yang tidak perlu seperti ini.
Karina mendudukkan dirinya, baru saja memutuskan untuk meninggalkan tempat tidur, bergegas ke kamar mandi dan memikirkan akan sarapan apa ketika Steve kembali bersuara. “Sejujurnya, aku sama sekali tidak keberatan.”
Tangan Karina yang baru saja akan menyibakkan selimut seketika berhenti. Ia menatap Steve dengan tatapan bingung, membuat pria itu kembali melanjutkan. “Maksudku, tentang apa yang terjadi semalam.”
Hening. Karina masih tetap menatap Steve dengan tatapan bingung yang sama. Steve menganggap keheningan itu sebagai isyarat untuk dirinya kembali berbicara. “Aku tidak keberatan jika itu bisa membantumu merasa lebih baik, atau tidur lebih nyenyak. Kamu tidak perlu merasa malu karena itu, lagipula kita adalah suami istri, tentu saja hal-hal seperti ini akan terjadi. Karena itu, untuk saat ini kenapa tidak menjadikannya bagian dari kesepakatan saja?”
Karina tidak menanggapi. Tatapan bingungnya kini berganti menjadi tatapan tercengang. Rasanya Karina tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Karina tidak bisa mengatakan bahwa Steve salah, karena ia tahu bahwa yang Steve ucapkan itu benar. Namun, tetap saja ada aspek yang salah di dalam ucapannya itu. Dan Karina pun tahu pasti akan ada resiko dengan melonggarkan batasan yang ada di antara mereka.
“Apa maksudmu?” tanya Karina akhirnya.
“Maksudku adalah,” Steve menghela nafas, memiringkan kepalanya untuk menatap Karina. “Kita berdua terikat pada kontrak dan kesepakatan yang kita buat. Untuk saat ini, kenapa tidak memanfaatkan kontrak di antara kita ini untuk keuntunganmu sendiri juga? Bukankah ini adalah hal yang selalu orang-orang seperti kita lakukan?”
“Ucapanmu membuat kita terdengar seperti manusia yang tidak berperasaan dan oportunitis,” ujar Karina sambil terkekeh dan menggelengkan kepalanya pelan. “Jadi maksudmu, kita harus membuat kontak fisik yang diperlukan menjadi salah satu kesepakatan dalam perjanjian kita, yang berarti aku bisa menggunakanmu sebagai pelampiasan jika aku perlu. Begitu?”
“Selama itu bisa membuatmu tidak terus-terusan menangis dan mengalami mental breakdown seperti bocah yang sedang patah hati,” jawab Steve, matanya melirik Karina dengan tatapan malas, dia sedikit tidak suka karena disebut sebagai tempat pelampiasan. Namun dia tidak menanggapinya lebih lanjut, karena memang itulah kata-kata yang tepat. “Lagipula, pikirkanlah. Bukannya sangat tidak berperasaan, tapi di situasi seperti ini kamu tidak bisa mengendalikan semuanya sendirian. Pilihanmu cuma aku, ibu kita, atau para staf yang ada di mansion ini.” Steve menjabarkannya bagaikan menjelaskan rumus matematika, membuat Karina mendengus pelan.
“Kamu tentunya tidak bisa membicarakannya dengan ibu kita, karena mereka tidak boleh tahu tentang masalahmu ini. Dan kamu juga pastinya tidak ingin ketahuan sedang bermesraan dengan penjaga atau pelayan disaat suamimu berada di bawah atap yang sama denganmu, kan? Apalagi di perjalan bulan madu pula, bukan?” Wajah Steve semakin mendekat ke arahnya pada setiap pertanyaan yang diajukannya, membuat Karina mengerutkan keningnya dan mendorong wajah itu untuk menjauh.
“Bulan madu apanya,” gerutu Karina sambil kembali menjatuhkan kepalanya di bantal. “Tapi harus aku akui, yang kamu bilang cukup masuk akal juga.” Ia menambahkan, berusaha sebisa mungkin untuk tidak melihat ke arah Steve, karena dirinya tidak ingin melihat raut kemenangan di wajah itu. “Berada di dekat seseorang benar-benar membantu mengalihkan pikiranku darinya.”
“Aku selalu mengutarakan hal yang masuk akal, kamu tahu itu.” tanggapan yang sombong langsung terdengar dari Steve. Karina benar-benar ingin menendang pria ini. “Kalau begitu, terusakan saja. Jika aku jadi kamu, aku pasti akan memanfaatkan segala bentuk bantuan yang bisa aku dapatkan di saat seperti ini. Apa pun itu asal aku bisa merasa lebih baik.”
“Ugh, ucapanmu terdengar begitu mengerikan dan kejam,” Karina hanya bisa tertawa kecil mendengar bagaimana Steve menggambarkan situasi ini bagaikan sebuah teori psikologis yang kognitif. “Tapi... ya, kurasa kamu benar. Apa pun yang bisa membantu akan membantu. Tiba-tiba aku sedikit bersyukur karena sedang tidak ada di Australia saat ini.”
Karina tidak menyadari tatapan yang Steve berikan padanya. “Oke, cukup untuk obrolannya. Kita ada jadwal meeting dengan ayahmu jam sembilan nanti. Mandilah.”
“Kamu mandi saja duluan,” Karina meregangkan tangannya, kemudian menarik selimut hingga ke dagunya. “Aku masih ingin tiduran sebentar lagi.”
Ucapannya membuat Steve yang duduk di sebelahnya menatap kaget ke arahnya. “Wah, ada apa ini? Biasanya kamu tidak mengizinkan aku mandi duluan jika kamu sudah terbangun sebelum aku pergi mandi.”
Karina menatap Steve dengan senyum tipis di wajahnya, “Ya, kebetulan saja aku bangun dengan sedikit lebih banyak toleransi untukmu hari ini.”
Steve hanya menanggapinya dengan menggelengkan kepala pelan, sebelum dia bergegas turun dari tempat tidur. Karina menatap sosok Steve yang bertelanjang dada dan hanya memakai celana panjang tidurnya itu menghilang di balik pintu kamar mandi, meninggalkan dirinya sendirian di atas kasur yang terlalu besar untuk ukuran tubuhnya.
Karina menghela nafas pelan dan memutuskan untuk memanfaatkan sedikit waktu luangnya ini untuk hal yang lebih baik daripada hanya berbaring di kasur seperti ini. Ia duduk dan menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya, dan saat itu lah dirinya baru sadar ternyata ia sedang mengenakan kaos tidur milik Steve yang sangat kebesaran di badannya. Karina menurunkan kakinya dari kasur, menatap sekitar dan mencari-cari, hingga akhirnya ia melihat gaun tidurnya yang tergeletak di lantai, di dekat kaki meja nakas pada sisi tempat tidur Steve.
Karina menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan perlahan. Ia bergerak dan meraih jubah sutra yang tersampir di kursi meja rias, sebelum ia berjalan keluar ke arah balkon.
•
•