Istri kedua itu memang penilaiannya akan selalu buruk tapi tidak banyak orang tau kalau derita menjadi yang kedua itu tak kalah menyakitkannya dengan istri pertama yang selalu memasang wajah melas memohon simpati dari banyak orang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ranimukerje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32
"Ayo pulang"
Begitu kira-kira sorot mata wisnu berbicara saat menjemput nara disebuah club malam. Jam baru menunjukkan angka 8 tapi nara sudah duduk manis disebuah sofa bundar dengan dandanan seksi yang mencetak jelas bentuk tubuhnya. Wisnu datang ditemani dua asistennya karena mereka baru saja pulang dari rapat penting dengan klien dari luar negeri.
Wisnu berdiri tegap persis didepan nara duduk, tapi nara tetap diam acuh tak acuh sampai dani salah satu asisten wisnu membungkuk dan mengajak nara untuk segera bangun dan mengikuti wisnu yang akan membawanya pulang.
Dengan gerakan pelan sekaligus malas akhirnya nara berdiri. Berdiri, tapi tidak untuk ikut pulang dengan wisnu. Nara maju beberapa langkah mendekatkan diri pada suaminya yang masih berdiri tegap tanpa ekspresi.
"Mas kalau mau pulang, pulang aja. Aku akan tetap disini."
Munduk satu langkah tapi dengan gerakan super cepat, wisnu mengangkat tubuh nara untuk digendong. Dalam sekali gerak, nara dinaikkan keatas pundak. Tentu saja nara berontak, memukul punggung wisnu dengan brutal tapi wisnu tak perduli. Kakinya tetap melangkah kepintu keluar dan niatnya untuk membawa sang istri pulang harus terlaksana.
Kesibukan dikantor membuat wisnu tak punya waktu untuk bertemu nara dan membicarakan tentang mereka apalagi sekarang ads febri yang benar-benar membutuhkan perhatiannya.
Brak
Wisnu membanting pintu mobil bagian penumpang sebelah sopir.
"Kalian naik taksi."
"Baik pak"
Dua asisten wisnu yang sejak tadi berjalan dibelakang wisnu dalam diam serempak mengangguk dan mengiyakan peri tah bosnya.
"Buka pintunya mas." Teriak nara saat wisnu baru saja masuk dan duduk dikursi pengemudi.
Mobil melaju pelan keluar dari parkiran club dan mulai membelah jalanan ibu kota yang selalu macet.
"MAS"
"DIAM"
Nara menjerit dan wisnu membentak.
Ini kali pertama nara mendengar suaminya meninggikan suara dan hal itu sukses membuat nara bungkam bahkan tubuhnya sampai bergetar karena takut. Setelahnya, suasana didalam mobil langsung sepi sampai mobil yang wisnu kemudikan sampai dirumah orangtua nara.
Nara sempat mendelik, menatap kearah suaminya yang tetap bersikap tenang padahal didada sudah menyimpan bara yang siap membakar seisi rumah.
Pintu terbuka, keduanya berjalan pelan masuk lebih dalam mencari keberadaan orangtua nara yang belum terlihat. Diruang keluarga, ayah dan ibu nara sudah duduk bersisian. Wajah mereka sama kerasnya tapi sorot mata keduanya menyimpan raut malu sekaligus tak terima apalagi wajah ibu nara sudah sembab menandakan wanita baya itu sehabis menangis.
"Ra" Serak suara hermanto memanggali putrinya.
Nara tetap diam, masih saja acuh dan memilih duduk di sofa tunggal. Wajahnya santai tak menyiratkan rasa takut atau khawatir sedikit pun.
Sekarang wisnu yang duduk diseberang mertuanya membuka suara lebih dulu. Nadanya santai namun setiap kata yang keluar menusuk dan tak terbantahkan.
"Sekarang saya mau tanya ke papa dan mama, harus bagaimana lagi saya kepada nara? Semua, semuanya sudah saya berikan apapun maunya saya turuti terlepas itu semua memang tanggung jawab saya sebagai suami dan saya juga mencintai dia."
Hening.
Tak ada satupun yang menjawab sampai bibi pembantu datang dengan nampan berisi cangkir teh dan disuguhkan pada masing-masing orang yang duduk diam disana. Suasana tetap hening, sampai wisnu kembali membuka suara. Kali ini nadanya lebih lembut tapi menyiratkan luka yang teramat sangat.
"Papa dan mama pasti akan marah tidak terima dengan apa yang akan saya putuskan tapi semua yang saya lakukan ini demi kebaikan bersama. Saya tidak akan menceraikan nara tapi untuk saat ini sampai kondisi tenang kembali saya ingin menitipkan istri saya, anak papa dan mama dirumah ini untuk kembali diberi arahan karena jujur saja saya sudah kewalahan menghadapi sikap dan perilaku nara."
Nara naik pitam. Tak terima dengan apa yang suaminya katakan. Lagi dan lagi dalam benaknya mencari tumbal penyebab semua keputusan yang baru saja wisnu sampaikan. Dewi, ibu mertuanya memang jadi musuh bebuyutan sejak awal dan sekarang febri juga masuk dalam daftar karena kehamilan febri pasti jadi pemicu wisnu bersikap seperti sekarang terhadapnya.
"Mas ga bisa gitu dong."
Wisnu tak menggubris. Tetap tenang dengan raut wajah yang menunjukkan emosi tertahan. Sengaja sekali, sejak menjemput nara di club tadi wisnu memilih banyak diam karena kalau sampai dirinya lepas kendali bisa saja kata-kata haram keluar dari mulutnya dan wisnu tak mau hal itu terjadi. Wisnu masih memikirkan nara, biar bagaimana pun nara adalah wanita pertama dalam hidupnya, wanita yang dulu begitu ia puja bahkan berani menantang dunia hanya demi membela cintanya pada nara.
"Pa, ma. Saya titip nara, tanggung jawab saya akan terus ada tapi kali ini untuk membimbing nara saya serahkan lagi pada papa dan mama. Saya tidak mau nantinya malah ada keputusan sepihak dari saya kalau hubungan kami tetap dibiatkan mengambang begini."
Tanpa pamit, wisnu bangkit dan berjalan menuju pintu. Diabaikan teriakan nara yang menggema didalam rumah. Sengaja karena wisnu tak ingin terlibat adu mulut dengan istri pertamanya itu. Mobil keluar dari rumah orangtua nara menuju rumah utama keluarga wijaya. Diperjalanan wisnu banyak melamun tapi pikirannya penuh, nara nara dan nara. Kepalanya penuh dengan satu orang yaitu nara yang entah apakah cintanya untuk nara masih tersisa atau sudah mati.
Kembali pada nara yang masih terus mengumpati suaminya yang sudah pergi. Ada hermanto yang ikut berteriak karena sejak tadi nara tak juga mau diam.
"Kamu itu bisa diam ga sih ra, kepala papa mau meledak dengerin suaramu."
"Papa ga tau apa apa, wisnu begitu 0asti karena febri hamil sekerang makanya aku dipulangi kesini karena fia udah mau pynya anak sama istri mudanya."
"Jangan lupa, ada febri diantara kalian itu karena ulahmu. Berulang kali wisnu udah bilang ga ada anak pun dia ga masalah, tapi kamu yang ngotot maksa wisnu nikah sama febri kamu juga yang menjauh dan mendekatkan suami mu sama madunya. Dan sekarang udah begini kamu masih sibuk nyalahin orang padahal sumber masalah itu semuanya dari kamu."
Deg
Nata bungkam, hati kecilnya mengakui semua ini adalah ulahnya. Sementara, ibunya nara sejak wisnu pergi terus menangis. Menangisi nasib putrinya juga nasib keluarga mereka kalau sampai nara dicerai maka mereka tidak akan lagi bisa menikmati kenyaman yang sudah lama wisnu berikan. Uang dan martabat yang selalu diagungkan didepan keluarga akan sirna kalau nara sampai berpisah dari wisnu apalagi usaha ayah nara sudah tidak sejaya dulu.
"Pa, kita harus gimana?"
"Mama tenang aja, biar sekarang papa yang atur nara."
"Apasih pa, pakai mau atur atur aku segala."
"Kamu jangan bantah, kondisi kita diujung tanduk sekarang."
"Halah, uang masih lancar papa sama mama juga masih bisa sombong ke keluarga. Apanya yang diujung tanduk? Wisnu itu cinta mati sama aku, dia ga akan ceraiin aku. Cuma sekarang aku harus segera cari cara beresin febri biar dia ga macam macam."
#Happyreading
nara dan org tuanya tak benar" menganggpmu sbg bagian dri keluarga.... mereka hnya mnjadiknmu mesin uang.....
miara ular ber bisa kok betah amat wisnu....
jgn nnti bilang nyesel klo febri prgi dri hidupmu krna kmunya menye" g jelas... & msih sja mmberi nara ksempatan brbuat ulah untuk yg ksekian kalinya...
km permpuan egois... punya kekirangan tpi ttp sja g berubah tetap aja miara pola hidup buruk....
jgn salahkn suamimu bila kelak mmbuangmu nara.... suamimu jga makin lama bkalan muak dgn sikapmu yg semakin g karuan... ap lgi madumu perempuan idaman suami dan mertua...