Sundirah, adalah anak seorang pekerja upah harian, sebagai pemetik kelapa. Perjalanan cinta Sundirah dengan Mahendra, putra semata wayang juragan kopra adalah sebuah ujian yang tidak mudah ia lalui.
kehilangan kedua orang tua sekaligus bukan fakta yang mudah di terima.
Atmosiman, yang semula sebagai sosok penyayang, melindungi dan penuh kewibawaan. Hanya karena tergiur oleh sebuah kehormatan, Dia lupa akan tujuan utama didalam kehidupannya.
Lurah Djaelani, bersama kamituwo. Sebagai pamong yang seharusnya menjadi teladan pada masyarakat.
Lupa kewajiban sebagai kepala desa, dan lebih memburu harta, berjudi sabung ayam dan menjodohkan anak gadisnya, yang semata-mata untuk menguasai harta sang juragan.
Mampukah Sundirah menghadapi semua cobaan dalam kisah cinta dia, nyawa orang tua nya sebagai taruhan atas nama cinta.
Duri yang paling mematikan disini adalah sosok seorang kamituwo. akan kah ambisi mereka berhasil membawa keberkahan?
Ikuti sebagian dari kisah yang nyata seorang Sundirah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Delima Rhujiwati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cemburu Harjito
"Ini kopi nya kang, Tumben kang Naris sepagi ini sudah datang?" Sapa Lastri sambil menyuguhkan secangkir kopi untuk Naris.
"Iya Ning, saya menunggu Harjito, sama den Hendra. mungkin sebentar lagi mereka datang." jelas Naris.
Naris, menatap Lastri tidak berkedip, sesekali dia tersenyum. tatkala mata mereka beradu pandang, cepat cepat dia mengalihkan pandangannya.
"Kang Naris, sampean kenapa to..? apa ada yang salah dengan rambutku?" Lastri bingung membetulkan ikatan rambutnya.
"Ndak, ada yang salah ning Lastri." Naris mencoba membenahi rasa hatinya, yang berdebar tidak menentu telah mencuri-curi pandang.
Lastri, semakin salah tingkah. Semenjak Suprapto, memberikan tugas untuk mengamati keamanan rumah lurah Djaelani, karena permintaan Atmosiman.
Intensitas bertemu semakin sering. Datangnya benih asmara, yang di rasakan Nasir, tidak di sadari oleh Sulastri.
Ting.... suurr....
"Ohhh... maaf..!"
Dug..
"Ahhh..kang..!Maaf..!"
"Lastri...! kau tidak apa-apa kan?" Naris spontan memegang tangan Lastri, dan kening Lastri.
Tidak sengaja karena kegugupan Naris, tangan nya menyenggol segelas cangkir kopi. yang di suguhkan Lastri.
Cangkir terjatuh ke lantai, mereka mencoba menangkap, karena jarak mereka yang terlalu dekat, kening mereka saling bersentuhan keras. lalu terjadilah adegan saling elus kening 🤧.
Ratmini yang merasa sudah mendingan sakitnya, berjalan pelan keluar dan menyaksikan tangan Naris memegang kening Lastri, begitu sebaliknya Lastri seperti gugup berusaha, melepaskan pegangan tangan nya Naris.
"Lastri.. ada apa ndhuk?. kamu kenapa?" Ratmini mendekat.
"Nyo..nya Ratmini..., sa..saya menjatuhkan cangkir kopi." Naris gugup luar biasa menjawab suara Ratmini, berusaha tersenyum malu dan khawatir.
"Maaf kang... tadi saya, naruh nya kurang ke tengah."
"Saya buat kopi lagi nek, nenek sama kang naris dulu ya.." Lastri kembali ke belakang.
Tanpa mereka sadari, dari luar Harjito bersama Mahendra juga telah sampai.
Mereka terkejut melihat adegan antara Lastri dan Naris.
Harjito dan Mahendra mereka saling pandang. kebingungan jelas terlihat pada Harjito, Mahendra berusaha mencairkan suasana dengan menepuk bahu, dan mengajak masuk ke dalam bale-bale.
Suasana canggung, dan sunyi. Semua pada pikiran masing-masing. Naris berusaha menenangkan, debaran jantungnya.
Sedangkan Harjito, bertanya dalam hati. apa yang sedang terjadi antara Naris dengan Lastri.
Mahendra di posisi tengah, dia berusaha mencairkan suasana. memulai pembicaraan dengan menanyakan perihal kesehatan Rukmini.
"Sugeng enjing,! Nenek sehat..? maaf kan kami, datang sepagi ini nek." Senyum Mahendra mencairkan .
"Nenek senang dengan kedatangan kalian, tapi! tidak biasanya kalian datang sepagi ini, dan bersamaan! sepertinya ada masalah yang harus di bicarakan bersama?" Ratmini bertanya balik ke Mahendra.
"Betul nek..kami akan membicarakan perihal, pak Lek Djaelani dengan tuan Jupri." Mahendra berbicara sambil melihat mereka satu persatu.
Suasana sudah semakin membaik dari kecanggungan masing-masing.
Lastri masuk dengan membawa beberapa cangkir kopi, lalu duduk di sebelah Ratmini.
"Kang Jito sudah lama?" Tanya Lastri sambil melihat jito yang sedang tersenyum ke arah Lastri.
"Kami, baru saja sampai Lastri. Mungkin sebentar lagi ndoro Atmosiman beserta nyonya, juga akan datang."
Tidak berapa lama Atmosiman bersama karmilah sampai juga. dan mereka memulai pembicaraan, mengenai hutang piutang antara lurah Djaelani kepada Jupri.
"Ini harus segera terselesaikan!, sebab akan terjadi dampak buruk."
"Ada baiknya Harjito segera menikahi sulastri, karena hanya sebuah pernikahan yang sah, yang akan menyelamatkan kalian dari ancaman para penagih hutang."
"Kebijakan lurah Djaelani, sudah tidak bisa di nalar. Yang menjadikan anak perempuan nya sebagai pelunas hutang." Atmosiman menjelaskan panjang lebar.
"Nak Siman.. nak Karmilah... saya sangat berterima kasih atas kepedulian kalian kepada kami." Ratmini menunduk nafasnya nya naik turun. Menahan tangis, tubuh kurusnya bergetar.
Karmilah mendekati Ratmini, "Ibu... mas Siman dengan lurah Djaelani, mereka adalah teman akrab dari kecil. Seperti ibu juga selayaknya, bagaikan orang tua sendiri untuk mas Siman. Kita wajar saling membantu Bu..! Jangan bersedih. kita tuntaskan bersama permasalahan ini." Karmilah memegang pundak dan merangkul Ratmini, Ratmini menumpahkan emosi nya dalam pelukan karmilah.
"Lakukan yang terbaik untuk cucu ku, Siman! Kami sudah tidak punya apa-apa. Hanya tempat tinggal ini yang kami miliki." Kesedihan Ratmini tiada tinta yang mampu melukiskan, segala penderitaan batin yang harus ia pikul di usia senja nya.
"Saya akan berusaha, semampu dan sekuat saya untuk melindungi sulastri!" Harjito meyakinkan Ratmini.
Sementara di ujung bangku, Naris menunduk kan kepala. Ia bermonolog dalam hati, Bukan kesedihan lagi, namun akan merasa kehilangn.
"Tidak mungkin aku mendapat kan dirimu Lastri, tapi percayalah. sampai kapan pun aku akan melindungi mu, dari ke egois an lurah Djaelani. Aku mencintaimu Lastri."
"Apakah ini yang di namakan, Witing treso jalaran Soko kulino? Duh Gusti... beri jalan agar saya menemukan jawabannya."
Mata Harjito melirik kearah Naris, bertanya dalam hati. Ada apa antara mereka, mungkinkah Lastri berdusta padanya?, Entah kapan pertanyaan ini akan terjawab.
Musyawarah pun berakhir, hari pernikahan ijab qobul Sulastri di percepat, Persiapan harus segera dilakukan.
\#Menghitung hari, menghitung lara dalam duka. senyum mu membawa kebahagian ku, biarlah duka menyemai asa ku. Mungkin hanya doa ku mewakili jari jemariku, membelai mimpi dalam tidurmu.\#
"Den... apakah Sulastri ada sesuatu dengan kang Naris? hatiku mengatakan kang Naris, menaruh rasa pada Lastri." Suara jito pelan, pandangan lurus tangan nya tetap fokus pemegang kendali dokar.
"Kamu cemburu Jito..?" Mahendra mengerutkan dahinya.
"Itu wajar Jito! akupun pernah pada posisi seperti mu. Cemburu ku membawa keterpurukan, hampir putus asa. Surat-surat ku tidak satupun mendapat jawaban dari Sundirah, aku fikir Sundirah telah berpaling dariku, tetapi nyatanya, cinta dia tulus padaku." Hendra tersenyum tipis.
"Hingga pada akhirnya, kau pun ikut menyaksikan. peristiwa yang terjadi waktu itu."
"Jito..! Pernikahan laksana pelaut di atas samudra penuh dengan gelombang. Hati-hati dalam rumah tangga ada gelombang akan mengantar ke tepian atau dalam palung lautan. Mencintai bukan untuk menyamai, tetapi keikhlasan menerima perbedaan. Jadilah yang mencintai dan bukan hanya untuk dicintai karena pernikahan hanya bersama orang yang mencintai bukan dicintai."
Harjito memindai raut wajah Mahendra, yang sedang menatap lurus ke depan.
"Den Hendra...! Anda tidak sedang berpuisi kan? Ha...ha...ha..". Jito tertawa lebar.
"Ha..ha..ha..! Aakhh sudahlah, aku juga belum menikahi Sundirah secara resmi."
"Kau pasti bingung mendengar kan kata-kata." Mahendra masih dengan gelak tawanya. dan mampu mengubah kekhawatiran Harjito menjadi tawa yang menggembirakan.
"kang... malam ini dingin sekali." Pekerja yang selalu berjaga malam, di sisi rumah lurah Djaelani membuka suara dengan teman jaga nya.
"ya! memang musim ***bediding***, wajar saja kalau dingin. Bakar ***mbothe*** aja, biar hangat lek." Laki-laki muda itu mulai mengumpulkan kayu, lalu salah satu dari mereka mencabut mbothe untuk di bakar. Tubuh hangat, perut pun kenyang tentunya.
Mereka bercengkerama, menceritakan kejadian-kejadian lucu, dan berbincang remeh temeh tentang pengalaman bekerja siang tadi.
Malam pun beranjak pelan, dingin semakin menusuk ke dalam tulang sumsum.
kerseek....krsseek ..
"Siapa ooiii....! keluar..!" Teriak salah satu dari mereka.
\*\*\*\*\*\*\*
***Witing tresno jalaran soko kulino artinya kurang lebih adalah "cinta hadir karena terbiasa". Ini adalah sebuah ungkapan percintaan dalam bahasa Jawa yang populer***.
***Bediding \= adalah istilah untuk menyebut perubahan suhu yang mencolok khususnya di awal musim kemarau. Suhu udara menjadi sangat dingin menjelang malam hingga pagi, sementara di siang hari suhu melonjak hingga panas menyengat***.
Tuh kan🤧 dari mata turun ke hati.
Dari hati turun lagi ke jempol, 😂😂
pokok nya love love for all of you😘😘
Salam sehat selalu.
cheers always 😘😘