Kerajaan itu berdiri di atas darah, dusta, dan pengkhianatan.
Putri Mahkota yang logis dan penuh tanggung jawab mulai goyah ketika seorang tabib misterius menyingkap hatinya dan takdir kelam yang ia sembunyikan.
Putri Kedua haus akan kekuasaan, menjadikan cinta sebagai permainan berbahaya dengan seorang pria yang ternyata jauh lebih kuat daripada yang ia kira.
Putri Ketiga, yang bisa membaca hati orang lain, menemukan dirinya terjerat dalam cinta gelap dengan pembunuh bayaran yang identitasnya bisa mengguncang seluruh takhta.
Tiga hati perempuan muda… satu kerajaan di ambang kehancuran. Saat cinta berubah menjadi senjata, siapa yang akan bertahan, dan siapa yang akan hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 4 : Bermimpi Di Pagi Hari
Keesokan harinya, Yvaine duduk di ruangan khusus dengan gaun rapi nan anggun. Rambutnya disanggul sederhana, menyisakan beberapa helai poni yang terurai lembut di wajahnya, dan menambahkan Mahkota kecil di atas kepalanya untuk menambah kesan menawan saat ia berbincang dengan Cealia di sisinya.
Di hadapannya terbuka beberapa buku tebal tentang politik, dan di sekelilingnya duduk beberapa penasihat yang sengaja ia undang untuk berdiskusi. Suasana ruangan yang biasanya tenang kini dipenuhi lembaran kertas, tinta, serta percakapan serius.
Tiba-tiba, pintu ruangan berderit terbuka. Marius bersama Celestine melangkah masuk, bermaksud mendiskusikan persoalan kekuasaan mereka. Namun langkah keduanya terhenti begitu melihat pemandangan di hadapan mereka: putri sulung mereka duduk tegak, memancarkan wibawa yang belum pernah terlihat sebelumnya, ditemani para penasihat yang menunduk hormat.
Marius membeku sesaat, sulit mempercayai apa yang ia lihat. Ia melangkah mendekat, matanya bergantian menatap Yvaine dan Cealia di sampingnya. Dengan suara teredam keheranan, ia bertanya,
“Yvaine… apa yang kau lakukan?”
Cealia, yang biasanya selalu menjawab atas nama tuannya, hanya menunduk dalam-dalam, menggeleng kecil seolah ia sendiri tak mengerti apa yang sedang terjadi.
Dengan ketenangan yang membuat semua orang terdiam, Yvaine menjawab,
“Bukankah ini yang Ayah inginkan? Agar aku mulai belajar politik? Maka aku memanggil beberapa penasihat untuk menjelaskan hal-hal yang perlu kupahami.”
Alis Marius berkerut. Ia menoleh pada Celestine, namun istrinya hanya membalas tatapan itu dengan kebingungan yang sama, bahkan menggeleng pelan, tidak tahu harus berkata apa.
“Kenapa? Ada yang salah?” tanya Yvaine lirih, pandangannya lurus pada ayahnya.
Marius terdiam sejenak, sebelum akhirnya menarik napas panjang dan tersenyum samar. Ia menggeleng, kemudian menepuk bahu putrinya dengan lembut.
“Tidak… lanjutkanlah tugasmu.”
Ia lalu menggandeng Celestine keluar dari ruangan. Begitu pintu tertutup rapat, Marius menunduk, berbisik lirih kepada istrinya,
“Apakah kau melihatnya juga? Atau aku sedang bermimpi di pagi hari?”
Mereka baru saja meninggalkan ruangan itu dan baru melangkah beberapa tapak di lorong istana, ketika sosok seorang wanita muncul dari pintu lain. Ia melangkah anggun dengan gaun berwarna putih keemasan yang berkilau lembut diterpa cahaya. Rambut panjangnya terurai hingga pinggang, dihiasi aksesori tipis di atas kepala, sementara riasan sederhana di wajahnya justru menonjolkan kecantikan alaminya.
Wanita itu menunduk sopan, lalu tersenyum sambil menyapa, “ayah…ibu…”
Keduanya kembali membelalak tak percaya. Marius, yang belum pulih dari keterkejutan sebelumnya, mengerjap berulang kali, seolah matanya mempermainkan dirinya. Dengan suara bergetar dan penuh keraguan, ia bertanya,
“Lyanna…? Apa yang kau lakukan juga?”
Lyanna hanya tersenyum lembut. “Aku akan menghadiri jamuan para tamu asing yang sebelumnya kutolak.”
Tanpa menunggu jawaban, ia menunduk kembali, lalu berjalan melewati mereka dengan anggun. Marius hanya bisa menoleh sambil menggeleng pelan. Napasnya tercekat, ia berbisik lirih,
“Aku benar-benar bermimpi…”
Namun tak ada jeda untuknya mengatur napas. Dari arah lain, seorang gadis kembali keluar, kali ini dengan gaun biru menjuntai yang baru pertama kali dikenakannya. Setiap langkahnya memantulkan cahaya lantai istana, membuat sosoknya terlihat berbeda dari biasanya.
Marius terpekik kaget. Tubuhnya terhuyung hingga jatuh ke lantai, membuat Celestine buru-buru menopangnya. Tangannya menekan dada, seakan jantungnya berdebar terlalu kencang untuk menanggung kejutan ketiga di pagi itu.
“Ve… Veyra…?” panggilnya dengan suara serak.
Gadis itu tersenyum tipis, matanya menyiratkan tekad. Ia melangkah melewati mereka tanpa banyak bicara.
Namun Celestine menoleh cepat, suaranya meninggi penuh dorongan naluri keibuan.
“Veyra! Kemana kau ingin pergi?”
Langkah Veyra terhenti sejenak. Ia menoleh, senyumnya melembut, meski matanya tetap tegas.
“Untuk melakukan sesuatu yang bisa kulakukan,” jawabnya singkat.
Kemudian ia kembali melangkah, meninggalkan lorong itu dengan gaunnya yang berayun ringan.
Marius masih terengah, berusaha menenangkan jantungnya yang seperti dipaksa bekerja tiga kali lipat. Ia menutup wajah dengan tangannya, bergumam lirih,
“Apa sebenarnya yang sedang terjadi di sini…?”