NovelToon NovelToon
Aku Tak Percaya Cinta, Ayah

Aku Tak Percaya Cinta, Ayah

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Selingkuh / Obsesi / Keluarga / Angst
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author:

"Aku nggak tahu, dari mana semuanya menjadi retak dan berantakan seperti ini. Yang kuingat, hanya ada satu titik ketika hidupku berubah drastis. Ibuku pergi meninggalkan rumah bersama dengan lelaki lain. Meski ayahku tegar dan tabah, pada akhirnya dia menyerah dan menikahi perempuan lain. Brian, adalah satu-satunya tempat dan rumah terakhir yang aku harapkan. Tetapi, dia pun juga menorehkan luka yang tak bisa kumaafkan."

Aku tak lagi percaya pada cinta, Ayah.
Tak lagi."

~ Serena Azura Auliana~

:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+

Serena telah kehilangan kepercayaannya pada cinta. Semua orang yang pernah ia cintai, yang begitu ia percayai dan anggap berarti dalam hidupnya, ternyata dengan mudah menghianati cinta itu.

Hatinya hancur berkeping-keping. Bukan sekadar patah--tapi benar-benar remuk, hingga tak tersisa apa pun selain reruntuhan yang menyakitkan. Tak ada lagi yang tertinggal, kecuali kekecewaan yang dalam, dan trauma yang perlahan menggerogoti jiwa.

Kasih Sepanjang Masa

"Re, kamu langsung istirahat aja, ya. Biar Bunda yang beresin semuanya. Kamu pasti capek setelah perjalanan jauh," ujar Sarah, membingkai senyum hangat di wajahnya. Suaranya terdengar lembut, penuh kasih sayang yang mengalir tulus.

"Aku bisa bantu kalau cuma cuci piring aja, Bun. Aku masih kuat kok," sahut Serena dengan cepat. Dia tidak merasa enak hati jika membiarkan bundanya juga harus mencuci piring setelah menyiapkan makan siang sebanyak ini hanya untuk menyambut kedatangannya.

Menyaksikan interaksi antara dua wanita yang dia sayangi ini, membuat Romi merasakan kehangatan mengalir di dadanya. Pemandangan ini adalah salah satu dari doa yang selalu ia panjatkan. Di mana Serena akan menerima sosok Sarah sebagai ibu sambungnya, dan kemudian mereka bisa menjadi keluarga yang bahagia.

Sesuatu yang awalnya terasa mustahil, akhirnya terwujud menjadi nyata. Romi merasa senang bukan kepalang. Dalam hati kecilnya ia meletakkan harapan yang besar, meminta pada Sang Maha Cinta untuk selalu melimpahkan kebahagiaan kepada keluarga kecilnya ini, sampai kapan pun.

"Ayah juga setuju sama Bundamu. Lihat deh wajah kamu, udah kelihatan banget capeknya. Mana matanya sembab lagi," timbrung Romi, dengan nada sedikit menggoda. Dia bermaksud ingin mengusili putrinya yang sudah terlalu banyak menangis hari ini.

Mendengar keusilan ayahnya itu, Serena langsung menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Ia membayangkan betapa kusutnya wajahnya setelah perjalanan panjang, belum lagi matanya yang mungkin masih sedikit bengkak karena menangis.

"Kamu ini, Yah. Anak sendiri malah diusili begitu," gerutu Sarah, tak suka melihat putrinya dijahili.

Serena semakin salah tingkah. Ia baru menyadari, betapa hangat dan cerahnya keluarga yang dulu ia tinggalkan. Sungguh situasi yang membuatnya malu sendiri.

"Kamu tetap cantik, kok. Soalnya kamu itu anak Ayah," celetuk Romi dengan cepat, seolah bisa membaca isi kepala putrinya. Padahal, ia diam-diam menikmati reaksi Serena yang cukup menggemaskan. Meski putrinya telah berusia dewasa, tetapi dalam pandangannya sendiri, dia masih tetap seperti anak kecil.

Serena terdiam mendengar ucapan ayahnya.

Jujur saja, ia hampir tidak mengenali sosok di depannya saat ini. Seolah ada orang lain yang berbicara lewat tubuh ayahnya itu.

Ia bertanya-tanya dalam hati, apakah ini sebenarnya sifat asli ayahnya yang selama ini tersembunyi? Atau ... mungkinkah dulu ayahnya memang seorang playboy yang pandai menggombal?

Entahlah. Serena tak sempat memikirkan jawabannya lebih jauh, karena tanpa sengaja matanya melirik ke arah Rafa.

Remaja itu menatapnya dengan ekspresi dingin yang sulit disalahartikan. Sorot matanya jelas-jelas menunjukkan ketidaksukaan terhadap Serena, membuat suasana seketika terasa lebih berat.

Serena menghela napas dalam hati. Ia memilih membalas tatapan itu dengan sebuah senyum kecil, yang tulus dan terkesan memproklamirkan kedamaian.

Ia tidak punya sedikit pun niat untuk memulai perang dengan adik tirinya itu. Kepulangannya ke rumah ini semata-mata untuk memperbaiki apa yang pernah retak, bukan untuk menciptakan perselisihan baru di antara keluarga.

Rafa, yang masih menyimpan bara kemarahan dalam hatinya, memilih bangkit dari kursi dan meninggalkan meja makan lebih dulu, tanpa sepatah kata pun.

Melihat tingkah putranya yang begitu kekanakan, Sarah merasa gatal ingin segera menegurnya.

Namun, Serena cepat-cepat menahan tangan ibu sambungnya itu. Ia tidak ingin Rafa merasa terpojok karena kehadirannya, seolah-olah ibu kandungnya sendiri justru lebih membela anak sambung yang tak memiliki ikatan darah dengannya sama sekali. Serena tidak ingin itu terjadi.

Jika itu sampai terjadi, Rafa akan semakin membencinya, dan itu tidak akan baik untuk keberlangsungan hubungan keluarga yang sudah harmonis ini.

"Maafkan Rafa, ya, Re," ucap Sarah terdengar lirih.

"Nggak apa-apa, Bun. Aku paham kok," balas Serena dengan senyum tulus. "Rafa sekarang umurnya 15, 16 tahun, kan? Wajar aja, Bun. Umur segitu memang masa-masanya suka berontak. Itu justru bagus, berarti dia bisa mengekspresikan dirinya dengan jujur. Bunda nggak perlu khawatir, soal Rafa, aku akan coba mendekatinya pelan-pelan."

Mendengar itu, Sarah merasa sedikit lega.

Tak ingin suasana hangat yang mulai terbangun kembali retak, Romi sigap mengambil inisiatif, berusaha mengalihkan perhatian mereka ke arah lain.

"Bun, Ayah mau angkut tas Rere dulu ke kamar, ya," serunya sambil berdiri dan melangkah ringan menuju ruang tamu, tempat tas Serena tergeletak.

"Iya, Yah. Hati-hati ya, berat itu. Nanti pinggangmu encok!" sahut Sarah, tersenyum puas mengusili suaminya itu.

Romi tertawa ringan sambil pura-pura mengelus pinggangnya. "Waduh, kok Bunda tega banget. Ayah ini masih muda, tahu!" gurau Romi, membuat suasana di meja makan kembali dipenuhi tawa kecil.

Serena pun ikut tertawa, begitu juga si kecil Dafa.

Meskipun sudah dikatakan, Serena tidak perlu membantu mencuci piring, namun Serena tetap membantu hal kecil dengan membereskan meja makan.

Setelah meja makan sudah rapi, Serena ingin segera pergi menyusul ke kamar, namun ada tangan mungil yang menarik ujung bajunya. Membuat Serena menunduk seketika.

Serena mendapati adik bungsunya—Dafa—sedang menatap dirinya dengan mata yang berbinar-binar.

"Dapa mo itut!" serunya polos, mengatakan bahwa dia ingin ikut dengan Serena.

Serena tidak bisa tidak meleleh melihat kelucuan adik bungsunya itu. Maka, dia pun membungkuk dan merentangkan tangan, siap menggendong adik kecilnya itu.

Sarah tersenyum melihat interaksi Serena dan Dafa yang cukup menggemaskan. Dia pun berkata, "Re, Bunda minta tolong, ya."

Tanpa perlu dimintai tolong, Serena dengan senang hati menjaga adik kecilnya yang lucu itu. Ia membungkuk perlahan, lalu mengangkat Dafa ke dalam gendongannya.

Dafa spontan melingkarkan kedua lengannya di leher Serena. Tawa ringannya membuat dunia di sekeliling terasa lebih menyenangkan. Serena tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. Ada perasaan hangat yang mengalir dari pelukan dan tawa menggemaskan itu.

Bersama-sama, mereka berjalan menyusul Romi ke kamar yang telah disiapkan untuk Serena.

Begitu memasuki ruangan itu, langkah Serena terhenti. Ia tertegun, matanya membelalak kecil. Pandangannya menyapu seluruh sudut kamar dalam keheningan.

"Ini kamaa Ba Le," bisik Dafa polos, menunjukkan bahwa mereka sedang berada di kamar Serena saat ini. Lengannya yang mungil masih bergelayut manja di pundak Serena, seolah tak mau lepas sedikit pun.

Serena tidak menyahut. Ia terlalu larut dalam pemandangan di hadapannya.

Kamar ini tidak berubah sama sekali. Semuanya masih sama seperti terakhir kali dia pergi.

Seprai kesayangannya masih terpasang rapi di atas tempat tidur, foto masa kecilnya masih terpanjang di dinding, tidak bergeser sedikit pun dari tempatnya. Bahkan aroma yang menguar dari ruangan ini masih sama—wangi lembut lavender yang bercampur dengan semerbak kayu, menenangkan sekaligus mengoyak perasaannya.

Seolah waktu di kamar ini sengaja dihentikan, menunggu dirinya pulang.

Serena tidak bisa berkata-kata.

"Bundamu itu, setiap hari membersihkan kamar ini sambil merindukanmu, Re. Dia selalu bilang ... seorang anak, sebesar apa pun, sejauh apa pun perginya, suatu saat pasti akan pulang ke tempat yang dia sebut sebagai rumah. Bundamu yakin kamu akan kembali. Dan Ayah juga percaya itu. Karena Ayah tahu, kamu pergi bukan karena membenci kami ... tapi karena kamu hanya sedang membutuhkan ruang atas apa yang terjadi dalam hidup kita."

Kata-kata sang ayah menembus pertahanan hati Serena yang sejak awal sudah rapuh. Ia cukup menyesali keputusannya. Namun, sekalipun bisa kembali ke masa lalu, Serena tetap akan memilih jalan yang sama: meninggalkan rumah ini dan keluarga yang mencintainya. Bukan karena ia membenci mereka, melainkan karena inilah satu-satunya pilihan yang bisa ia ambil.

Jika saat itu ia memilih untuk tetap tinggal, hari ini—hari ketika ia datang dengan penuh penyesalan—takkan pernah ada. Sebaliknya, ia mungkin hanya akan menumbuhkan kebencian dalam dirinya terhadap keluarga ini.

"Yang lalu biarlah berlalu," ujar Romi sambil mengusap kepala Serena dengan lembut, berusaha menenangkan putrinya yang sudah cukup digelayuti rasa bersalah. "Sekarang, kamu istirahat dulu, ya."

Serena mengangguk pelan, mengiyakan ucapan sang Ayah yang sangat berarti baginya.

Romi beralih menatap putra kecilnya, kemudian bertanya, "Dafa mau tidur sama Mbak Rere?"

Dafa kecil mengangguk ceria dan menjawab dengan penuh antusias, "Dapa mo bobo ama Ba Le."

Romi tersenyum mendengar Dafa ingin tidur bersama kakak perempuannya setelah sekian lama. Dia tak punya pilihan lain, selain mengizinkan.

"Ya sudah, kalau begitu, kamu yang baik, ya, sama Mbak Le," ujar Romi sambil tersenyum.

"Iya, Ayah," jawab Dafa bersemangat.

Saat Romi berbalik hendak meninggalkan kamar, Serena buru-buru meraih lengan ayahnya.

Romi menoleh, menatap Serena dengan alis terangkat, seolah bertanya lewat sorot matanya.

"Aku ingin bicara berdua saja dengan Bunda," lirih Serena. "Bisakah Ayah membantuku?"

Romi tersenyum, memahami tanpa perlu bertanya lebih jauh. Ia mengangguk dan keluar dari kamar, meninggalkan Serena bersama Dafa.

Serena lalu mendudukkan adiknya di atas ranjang. Ia bertanya apakah Dafa sudah mengantuk. Dafa mengangguk sambil menguap kecil.

"Kalau begitu, Dafa tidur di sini dulu, ya. Mbak mau salat sebentar, nanti Mbak nyusul."

"Oteee," jawab Dafa dengan senyum cerahnya, lalu segera mengambil posisi nyaman di atas tempat tidur.

Benar-benar anak yang penurut dan manis, pikir Serena. Ia semakin menyayangi adiknya itu.

Tak lama, Sarah benar-benar datang setelah mendengar permintaan Serena yang ingin berbicara dengannya.

Sarah mengetuk pintu perlahan, dan Serena segera mempersilakannya masuk.

"Ada apa, Nak? Kata Ayah, kamu mau bicara sama Bunda?" tanya Sarah dengan lembut.

Bukannya langsung menjawab, Serena melangkah mendekat dan memeluk bundanya erat-erat. Air matanya menghangat di pelupuk saat ia berkata dengan tulus, "Aku minta maaf, Bunda. Aku tidak pernah membenci Bunda. Aku hanya ... tidak bisa menerima kenyataan bahwa Ayah menikah lagi, bahkan belum setahun setelah Ibu pergi bersama selingkuhannya. Aku senang Ayah bahagia ... tapi aku terlalu egois, hanya memikirkan perasaanku sendiri."

Sarah membalas pelukan itu dengan hangat. "Tidak apa-apa, Nak. Bunda tahu, kamu anak yang baik. Kamu hanya butuh waktu untuk memahami semuanya. Bunda tahu kamu sangat menyayangi keluargamu. Kami semua sangat menyayangi kamu."

Serena tersenyum di sela-sela isaknya. "Bunda terlalu baik ... bahkan terlalu baik untuk Ayah," kata gadis itu, setengah bergurau.

Sarah terkekeh mendengar ucapan itu. Tak pernah ia sangka Serena akan mengatakan hal seperti itu tentang ayah kandungnya sendiri.

"Kalau Ayahmu dengar, bisa-bisa dia merajuk, lho," candanya.

"Nggak apa-apa, kan ada Bunda yang bisa bujukin Ayah," balas Serena ringan.

Sarah menggelengkan kepala, tersenyum. "Dasar kamu ini. Kamu sudah salat?"

"Aku mau salat setelah bicara sama Bunda, biar hatiku lebih tenang, dan salat jadi lebih khusyuk."

"Baiklah. Setelah salat, langsung istirahat, ya," ujar Sarah, lalu melirik ke arah Dafa yang menatap mereka dengan mata setengah mengantuk. "Dafa, tidur yang nyenyak sama Mbak Re, ya. Jangan nakal!"

"Iya, Unda," sahut Dafa sambil memejamkan mata.

Sarah kemudian meninggalkan kamar, membiarkan Serena bersiap untuk menunaikan salat.

Seperti yang Serena katakan tadi, perasaannya kini jauh lebih ringan setelah berbincang dengan sang bunda dari hati ke hati.

Meskipun Sarah hanyalah sosok yang menggantikan ibu kandungnya yang memilih pergi, kehadirannya tetap memberi arti yang mendalam bagi Serena. Serena berharap, meskipun tidak sempurna, keluarganya tetap bisa merasakan kebahagiaan yang sejati.

Bersambung

Senin, 25 Agustus 2025

1
HjRosdiana Arsyam
Luar biasa
Ismi Muthmainnah: Terima kasih sudah mampir dan memberikan komentar. Saya merasa terharu🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!