Ia berjuang sendirian demi menebus kesalahan di masa lalu, hingga takdir mengantarkannya bertemu dengan lelaki yang mengangkatnya dari dunia malam.
Hingga ia disadarkan oleh realita bahwa laki laki yang ia cintai adalah suami dari sahabatnya sendiri.
Saat ia tahu kebenaran ia dilematis antara melepaskan atau justru bertahan atas nama cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seroja 86, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
REUNI SMA BUDI MULYA ANGKATAN 2013
"@Alma Hapsari nggak ada alasan buat nggak hadir loh yo."
Senyum terbit di bibirnya Hangat rasanya melihat orang-orang yang dulu dekat masih mengingat namanya.
Ia membalas
“Gak entuk mekso yo 😅”.
Dalam hitungan detik, balasan datang.
“Woyyy Almaaa iseh urip toooo kamu!.”
“Pokoknya hadir, titik!” balasan lain menyusul
Alma membaca satu per satu, sesekali menutup mulut menahan tawa.
Ada nostalgia yang lembut menyusup ke dadanya.
Untuk sejenak… ia lupa tentang masalahnya dengan Harsya. Ia larut dalam euforia.
Matanya membelalak sempurna saat ada notifikasi.
“Nadine Anggraini Attend."
Namun senyumnya spontan meredup kembali meredup peristiwa 4 tahun masih membekas dalam ingatannya dimana hari itu ia resmi keluar dari kartu keluarga Lambang antono rektor di sebuah universitas negeri incaran para camaba.
Alma terpaku menatap layar ponselnya ada kerinduan pada teman teman lamanya namun ia tidak bisa menolak bahwa setiap sudut Jogja mengingatkannya pada masa lalunya pada orang ia yang membuatnya terpuruk begitu dalam.
Rasa rindu pada teman temannya menggalahkan traumanya jarinya menekan tombol Attend.
Ada banyak balasan heboh dan emotikon gembira tapi Alma tidak membacanya lagi. Ia hanya menutup mata, menarik napas panjang.
Tanpa ia sadari reuni itu menjadi ajang terbukanya tabir dlaam kehidupannya.
Grup masih riuh oleh celotehan teman temannya.
Alma berkali-kali tertawa sampai matanya panas bukan hanya karena lucu, tapi karena seperti menemukan keluarganya.
Akhirnya dia mengetik lagi.
“Ralat aku gak bisa ngga ada pasangan. Kalian pasti datang dengan pasangan masing-masing kan?.”
Ia sisipkan emoji menangis untuk mendramatisir.
Balasan langsung berdatangan.
“Ra sah sedih Al, mbahku ku loh nganggur…”
“Aseeeem…” tulisnya sambil terbahak.
Dan di tengah percakapan yang ramai itu, tiba-tiba balasan lain datang
"Tak kancani Al aku yo ijen." balas Nadine.
Nama yang familiar sangat familiar.
Ingatannya langsung melompat ke acara amal beberapa waktu lalu.
Ketua yayasan yang elegan,dengan senyum ramah, suaranya lembut tapi tegas.
“Nadine? apakah orang yang sama?” gumam Alma pelan.
Alma menyematkan emotikon peluk kemudian ia keluar obrolan di grup.
Untuk sesaat ia menggulir kontak Harsha, membaca pesan pesan yang masih tersimpan sebelum perang dingin diantara mereka.
"Apa kabarmu Mas?, "Gumamnya lirih, ada rindu yang menyelusup namun ia menahan diri untuk lebih dulu menyapa.
Satu menjelang keberangkatannya ke jogja ia menitipkan urusan butik pada staff yang ia percaya.
""Aman Bu."
Alma tersenyum lega hari itu ia pulang lebih cepat, meski raganya masih diSemarang namun pikirannya sudah di Jogja, ia tidak sabar untuk segera bertemu teman teman lamanya.
Keesokan paginya langit masih gelap saat Alma membelah jalanan kota Semarang menuju Jogja.
Sepanjang perjalanan ia riang bersenandung mengikuti lantunan lagu lawas dari radio,sehingga perjalanan selama tiga jam itu tidak terasa melelahkan.
Namun saat mobil yang ia kendarai keluar dari keluar dari tol Bawen perasaannya menjadi sendu.
Bayangan peristiwa empat tahun lalu kembali berkelebat dalam benaknya layaknya sebuah video yang di putar ulang.
Semuanya masih terlalu jelas seakan terjadi kemarin.
Tanpa ia sadari, air mata mengalir dari sudut matanya, jatuh satu persatu ke pipinya. Bahunya mulai terguncang, napasnya naik turun, dadanya sesak seolah seluruh beban masa lalu menindih.
Ia buru-buru menepikan mobil ke bahu jalan.
Mesin masih menyala, lampu hazard berkedip pelan.
Alma memejamkan mata beberapa saat
"Its okay Alma, kamu kuat." Bisik hatinya.
Perlahan isaknya mereda meski air matanya masih belum sepenuhnya berhenti.
Ia memandang bayangannya sendiri di kaca spion mata bengkak.
ia berbicara pada dirinya sendiri
“Jangan diingat, Alma! Apa yabg sudah berlalu, lihat dirimu sekarang kamu mampu berdiri diatas kakimu sendiri.”
Senyum kecil terbit di bibirnya, meski getir
“Terima kasih Bapak, Ibu… Kalau kalian tidak mengusirku dulu, aku masih jadi Alma si anak manja yang berlindung di ketiak orang tuanya."
Ia menarik napas panjang menyeka air matanya, dan kembali melajukan mobilnya menuju hotel karena acara baru akan di mulai sore hari.
Sore itu Ballroom sudah sudah terlihat raai oleh para alumni ,Alma melangkah penuh percaya diri.
Semua kepala menoleh.
Bisik-bisik langsung santer terdengar diantara hadirin.
“Siapa itu?.”
“Cakep banget… ada yang kenal nggak?”
“Bukan alumni kayaknya.”
Alma tahu dia sedang menjadi pusat perhatian, tapi ia tidak menghiraukan
Ia berjalan anggun dagu terangkat, senyum menghias wajahnya.
Tatapannya menyapu ruangan dan berhenti pada satu sosok.
Seno!
Anak paling konyol di kelasnya tanpa ragu Alma berseru.
“Senooooot!”
Seno menoleh cepat, seingatnya hanya satu orang yang memanggilnya seperti itu.
Ia terpaku beberapa detik, lalu matanya membulat.
“Al… Alma? kamu Alma?!.”
Alma berkacak pinggang pura-pura kesal.
“Terus mbok kiro sopo? roh halus?.”Sungut Alma, tawa mereka sontak meledak.
Seolah tidak pernah ada jarak waktu .
Beberapa teman-teman lain langsung berkumpul, heboh, kagum dengan transformasi Alma.Seno menggeleng gelengkan kepalanya.
“Kirain tadi model,yang mau fashion show.”
Alma hanya tersenyum, menikmati momen sederhana itu.
Setidaknya malam ini… ia tidak sendirian acara dimulai.
Lalu tiba sesi ramah tamah momen tiap orang berkeliling menyapa satu sama lain.
Alma sedang berbincang bersama teman yang lain… ketika sebuah suara lembut menyapa dari belakangnya.
"Boleh ikut gabung?.”
Alma menoleh tertegun mencoba mengingat dimana ia pernah bertemu wajah itu, akhirmya ia mengingat ya perempuan di depannya adalah Nadine anggraini si ketua yayasan penyelengara acara amal yang ia sponsori.
Nadine menyapa lebih dulu.
“Kayaknya kita pernah ketemu tapi dimana ya?."Ujar Nadine.
"Ya betul kita bertemu acara amal,"sahut Alma ramah.
"Oh iya baru ingat, kamu salah satu sponsor jadi kamu Alma?, ya ampun dunia selalu punya kejutan,” seru Nadine spontan seraya memeluknya hangat.
Teman-teman lain ikut menyapa Nadine.
“Wah hadir juga akhirnya ya, Nyonya Pranowo!.”
Nyonya Pranowo? Alma tersentak.
Napasnya tercekat apakah ada hubungannya dengan Harsha Pranowo?.Pria yang selama ini hadir di hidupnya.
Alma termenung beberapa saat.
“Jadi… dia istrinya Mas Harsha?.”
"Aah mungkin hanya kebetulan nama suaminya juga Pranowo." Gumamnya bersikap denial.
Alma menarik napas dan tersenyum lagi, senyum untuk menutupi keresahan hatinya.
Nadine masih memegang tangannya, bangga memperkenalkan.
“Teman-teman, Alma ini hebat loh, pengusaha butik dia.”Alma tersipu.
"Eeeh enggak deng ngapusi, jangan di percaya."Ujar Alma sambil mengoyang goyang kan telapak tangannya .
Tawa mereka kembali pecah beberapa komentar datang dari rekan rekan yang lain menambah hangat pertemuan itu.
Alma baru saja meletakkan gelasnya ketika Nadine kembali menghampirinya dengan senyum tulus.
“Nggak nyangka lho, waktu acara amal itu kamu yang jadi sponsor, Al.aku bener-bener nggak ngeh.”
Alma tersenyum, mencoba santai meski hatinya gelisah.
“Sama, Nad aku juga nggak kepikiran kalau ketua yayasan itu kamu, kamu hebat banget sekarang, jadi pembina yayasan…”
Lalu Alma menambahkan dengan nada hati-hati,
“Jadi suamimu orang Semarang asli, tho?.”
Tujuannya jelas memastikan bahwa dugaannya salah.
Namun ia berusaha terdengar sekadar basa-basi.
Nadine mengangguk sambil tersenyum lega dan bangga, tanpa sedikit pun kecurigaan.
"He'eh, suamiku asli sana kapan-kapan aku main ke butikmu ya, Al? Penasaran."
Alma mengangguk mantap senyumnya hangat, seolah tidak ada apa apa.
“Serius lho ya aku tunggu jangan cuma janji doang.”
"Yo."