Kisah tentang para remaja yang membawa luka masing-masing.
Mereka bergerak dan berubah seperti bola kuning, bisa menjadi hijau, menuju kebaikan, atau merah, menuju arah yang lebih gelap.
Mungkin inilah perjalanan mencari jati diri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Paffpel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Di kelas 10B, ada Mutia, Talita, Susi dan Kela. Mereka pernah saling bertemu, tapi Susi ataupun Kela selalu menghindari Mutia dan Talita.
Sama seperti kelas 10C, murid-murid di kelas 10B juga sudah mulai terbentuk kelompok-kelompok di dalam kelas.
Mutia kadang menyapa murid-murid kelas 10B, dia juga sering ngobrol pendek. Tapi Mutia lebih sering bersama Talita. Sedangkan Talita, dia selalu bersama Mutia. Susi dan Kela, sejak awal masuk kelas 10B, mereka berdua lebih banyak diam.
Saat ditengah pelajaran, Susi terus-menerus menatap Kela. Kadang dia memalingkan pandangannya, tapi hanya sebentar.
Sedangkan Kela, matanya setengah kosong. Gerakannya lebih lambat dari biasanya. Dia juga berusaha untuk menghindari semua orang.
Saat pergantian jam pelajaran. Ternyata gurunya tidak masuk. Kelas 10B pun jam kosong.
Susi yang tau hal itu, langsung menatap lebih fokus Kela. Dia bangun sedikit dari duduknya, tapi langsung duduk lagi. Hal itu berulang-ulang beberapa kali.
Kela sebenarnya tau jika Susi terus-menerus menatapnya. Tapi dia berusaha untuk tidak menatap balik.
Tiba-tiba ada yang menyenggol meja Kela dengan tidak sengaja. Dia meminta maaf pada Kela dan langsung pergi. Kela melihat pulpennya terjatuh. Dia ingin mengambilnya. Tapi ada yang menyentuh bahu Kela. Tangan kela yang ingin mengambil pulpen terhenti seketika.
Kela lanjut mengambil pulpennya dan nengok ke arah orang yang menyentuh bahunya. Tapi dia langsung memalingkan mukanya dan menundukkan sedikit kepalanya.
“Pergi, Sus,” kata Kela dengan singkat dan datar.
Mulut Susi terbuka sedikit dan langsung menekan pelan bibir. Dia mundur perlahan-lahan, dan pergi.
Mutia dan Talita memperhatikan mereka berdua dari jauh. Mutia sedikit menyipitkan matanya sambil memegang dagunya.
Waktu pun terlewati begitu saja, tidak terasa jam istirahat tiba. Susi ingin pergi ke kantin, tapi tiba-tiba Mutia berdiri di depan Susi. Kepala Susi mundur sedikit, dia mundur pelan-pelan.
Tapi Mutia semakin mendekati Susi. Mutia tersenyum. “Kamu jadi baik ya, Susi!” Mutia memegang tangan Susi.
“Kalau kamu mau, kita bisa jadi temen kok!” kata Mutia sambil tersenyum lebar.
Susi melepaskan tangan Mutia perlahan-lahan. Kepalanya menunduk sedikit. Dan dia… pergi.
Mata Mutia membesar sedikit. Dia ingin mengejar Susi, tapi Talita menghentikannya. “Mut, biarin dulu ya,” Talita tersenyum tipis.
Di tengah langkahnya, Susi berpapasan dengan Arpa. Arpa tersentak dan alisnya naik. Dia menatap Susi. “S-Susi?!”
Susi menatap sebentar Arpa. Dia mengepalkan pelan tangannya. Dia memalingkan pandangannya.
Mata Arpa perlahan-lahan beralih dari Susi. Dia memutuskan untuk pergi. Tapi tiba-tiba Susi menundukkan kepala dan badannya. “Arpa, gua minta maaf, gua minta maaf atas apa yang gua lakukan selama ini, gua tau lu nggak bakal maafin gua, tapi setidaknya, gua pengen minta maaf.”
Badan Arpa langsung rileks. Dia mendekati Susi. Dia menyentuh bahu Susi dengan lembut. “Iya, gua maafin kok,” Arpa tersenyum.
Susi mengangkat kepalanya, dia melihat senyum Arpa. Matanya seketika berkaca-kaca. Dia langsung memalingkan mukanya. “Lu… orang baik ya,” Susi mengusap air matanya sambil berusaha menyembunyikannya.
“Makasih,” Arpa senyum tipis.
Tiba-tiba ada suara tepuk tangan yang menghampiri mereka. Ternyata itu Depa. Dia nyengir. “Wah, wah, gila, langsung ngedeketin cewe aja lu, gokil.”
Susi memiringkan kepalanya sambil menatap Depa. Arpa memukul pelan Depa sambil ketawa kecil. “Haha, ya nggak lah.”
Depa menatap fokus ke arah Susi. Mulutnya terbuka tipis. Dia langsung natap Arpa. “Ada apaan nih?!”
Arpa langsung ngerangkul Depa dan nyeret dia pergi. “Haha, nggak ada apa-apa kok.”
Arpa dan Depa pun sampai di kantin. Di kantin, mereka ngeliat ada Rian yang lagi diganggu sama kakak kelas.
Arpa langsung lari ke arah kakak kelas itu. Dia natap tajam ke arah mereka. Tangannya mengepal keras. “Woi! Ngapain lu hah?!”
Salah satu dari mereka menengok ke arah Arpa. Dia narik kerah baju Arpa. “Apa, hah?!”
Arpa mengangkat tangannya dan ingin memukul orang itu. Tapi Depa menahan tangan Arpa.
Depa menatap para kakak kelas itu. “Bang, ini temen gua.”
Kakak kelas itu pun pergi dengan muka yang masih kesal.
Depa nyenggol Arpa dan Rian. “Ayuk duduk.”
Mereka pun duduk. Kepala Rian sedikit miring. Dia menatap Depa, tapi nggak ngomong apa-apa.
Depa melirik ke arah Rian. Dia senyum miring. “Keren kan gua?”
Rian langsung memalingkan kepalanya. “Tadi itu apaan? Kenapa mereka pergi?”
Depa menyilangkan tangannya. “Gini-gini gua cukup terkenal loh.”
“Mereka itu apa? Mereka ngapain?” tanya Arpa.
Depa menghela napas. “Yang kaya gitu pasti selalu ada kan?”
Alis Arpa mengkerut tipis. “Tapi itu bukan hal yang harusnya kita wajarin kan?”
“Gua takut orang lain kenapa-napa juga,” kepala Arpa sedikit turun.
Depa ketawa sambil nepuk pahanya. “Hahaha, lu banget ya.”
Tawa Depa perlahan berhenti. Dia memegang dagunya. “Tapi bener juga sih…“
Arpa diam sebentar sambil natap fokus meja. “Gimana kalau kita basmi aja? Lu bilang lu kuat kan? Gua juga lumayan kok.”
Badan Depa langsung maju. Matanya berbinar. “Kayaknya seru tuh!”
Rian mengangkat tangannya. “Gua ikut.”
gerakan Arpa berhenti sesaat. Dia natap Rian. Alisnya mengkerut pelan dan bibirnya di gigit pelan. “Jangan, Yan.”
Rian menepuk punggung Arpa. “Tenang, Rap, gua juga pengen bantu.”
Depa bangun dari duduknya. Depa menatap mereka berdua. “Gua tau dimana mereka sering ngumpul, oh iya, yang tadi itu bukan keseluruhan dari semua berandalan di sekolah ini.”
Depa jalan sambil mengangkat tangan dan menggoyangkan jarinya. “Ikut gua.”
Mereka pun berjalan menuju tempat berkumpulnya berandalan di sekolah SMA Kuantama.
Ternyata tempat berkumpulnya berandalan itu ada di belakang sekolah, mereka punya bangunan khusus untuk mereka.
Depa, Arpa dan Rian pun sampai di depan bangunan itu. Depa langsung menendang pintu dengan keras. Dia nyengir. “Hai, orang-orang masa depan suram.”