NovelToon NovelToon
Pembalasan Dendam Sangkara

Pembalasan Dendam Sangkara

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Lari Saat Hamil / Anak Yatim Piatu / Identitas Tersembunyi
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: apriana inut

Sangkara, seorang pemuda yang menjadi TKI di sebuah negara. Harus menelan pil pahit ketika pulang kembali ke tanah air. Semua anggota keluarganya telah tiada. Di mulai dari abah, emak dan adek perempuannya, semuanya meninggal dengan sebab yang sampai saat ini belum Sangkara ketahu.

Sakit, sedih, sudah jelas itu yang dirasakan oleh Sangkara. Dia selalu menyalahkan dirinya yang tidak pulang tepat waktu. Malah pergi ke negara lain, hanya untuk mengupgrade diri.

"Kara, jangan salahkan dirimu terus? Hmm, sebenarnya ada yang tahu penyebab kematian keluarga kamu. Cuma, selalu di tutupin dan di bungkam oleh seseroang!"

"Siapa? Kasih tahu aku! Aku akan menuntut balas atas semuanya!" seru Sangkara dengan mata mengkilat.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon apriana inut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 24

Tepat tiga hari dan sesuai dengan permintaan atau persyaratan dari Sangkara, jenazah kedua orangtua serta adeknya kembali di makamkan. Dan hasil outopsi pun sudah keluar. Dokter forensik yang menangani keluarga Sangkara benar-benar dokter yang paling ahli di Negara itu. Di tambah lagi, tidak banyak yang tersisa pada tubuh keluarga Sangkara, selain tulang belulang.

“Bagaimana, dok?” tanya Sangkara. Dia baru saja kembali dari pemakaman keluarganya lalu pergi ke rumah sakit. Dalam pemakaman keluarganya, Sangkara lakukan secara diam-diam, serta lokasi pemakamannya berada di kabupaten. Bukan di desa X.

“Ayoo, keruangan saya!”

Sangkara, Ello dan Dika mengikuti dokter tersebut ke dalam ruangannya yang berada tidak jauh dari ruang mayat. Di sana, dokter menunjukkan hasil autopsi yang sudah dia lakukan. Hasil yang di berikan dokter, tidak jauh beda dengan cerita Dika sebelumnya. Yang mengatakan jika kedua orangtuanya di hilangkan nyawanya dengan cara di tusuk oleh beda tajam.

“Dan ini apa dok?” Tunjuk Sangkara pada sebuah gambar yang memperlihatkan jika tulang itu retak dan bisa dikatakan rusak parah.

“Itu tulang kemaluan.”

“Tulang kemaluan? Milik adek saya?”

Kepala dokter forensik menganggukkan kepalanya. Dia sebenarnya merasa sangat iba pada Sangkara. Namun, karena professional kerjanya. Dia menunjukkan wajah yang biasa saja. Lalu menjelaskan dengan terperinci mengapa tulang itu bisa sampai begitu dan juga dugaan benda yang di gunakan oleh pelaku.

“Tenang! Belum waktunya lo emosi! Lo datang ke sini untuk mengetahui hasil autopsi dokter. Bukan untuk mengamuk tidak jelas. Tenang dan dengarkan!” bisik Ello pelan. Tangannya menepuk pelan pundak Sangkara. Menyalurkan kekuatan sembari memberi tahu bahwa dia ada di sini untuk Sangkara.

“Lanjut, dok!” pinta Ello.

Sementara Dika yang ikut mendengar penjelasan dari dokter, memalingkan wajahnya sambil memejamkan matanya. Dia tidak sanggup mendengar penjelasan dokter. Kepalanya langsung terbayang bagaimana sakitnya adeknya Sangkara pada saat itu.

‘Rara…’ lirih Dika dalam hati.

Satu jam lamanya, tiga laki-laki itu berada di dalam ruangan dokter. Mereka mengetahui semuanya, semua mengenai penyebab kematian keluarga Sangkara.

Brugh…

Tubuh Sangkara jatuh terduduk. Kepalanya mendadak terasa sakit kembali. Semua tentang keluarganya dan bayangan selama dia berada di luar negri menari-nari di kepala. Satu per satu muncul, awalnya pelan lalu semakin cepat. Dan Sangkara jatuh tidak sadarkan diri.

“Bang, bagaimana ini?”

“Bawa dia keruangan perawatan, biar dokter yang meriksa Sangakara!” sahut Ello tenang. Dia menggendong Sangkara sampai menjauh dari ruang dokter forensik. Ketika melihat perawat, dia pun meminta perawat itu membantunya.

“Dokter Adit! Aku harus  dokter Adit!” seru Dika panik. Dia baru hendak mencari nomor dokter Adit, namun sebuah tangan sudah merebut ponselnya.

“Apa yang mau lo lakukan?”

“Mau nelpon  dokter Adit, bang. Dia oomnya Sangkara, dia harus tahu keadaan Sangakara.”

Ello tersenyum sinis, kepalanya menggeleng, “jangan hubungi siapa-siapa! Gue abangnya Sangkara. Jika membutuhkan wali, cukup gue aja! Tidak perlu orang lain. Lagian gue belum sepenuhnya percaya dengan namanya Adit! Siapa tahu dia juga bagian dari komplotan pelaku.”

“Ta-tapi bang…”

“Dika, kalau lo mau bantu Sangkara. Maka ikutin kata gue! Kalau tidak, silakan lo pergi jauh dari Sangakara. Paham???”

Kepala Dika mengangguk pelan. Dia tidak berani menatap Ello  secara langsung. Tatapan laki-laki yang mengaku sebagai abangnya Sangkara tampak sangat menyeramkan.

Tidak ingin mempedulikan Dika lagi, Ello memilih menyusul Sangkara yang sudah di bawa terlebih dahulu ke UGD untuk mendapatkan perawatan.

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

“Kara, kamu gak apa-apa?” tanya Dika.

Sangkara menggelengkan kepalanya. Dia yang seharusnya dirawat di rumah sakit, tapi memaksa untuk pulang. Wajahnya yang terlihat pucat, dia coba tutupin dengan make up yang di beli Ello.

Sementara itu, Ello sibuk menghubungi seseorang dengan menggunakan bahasa asing yang tidak di mengerti oleh Dika.

“Bang, kok beli warna ini sih?” protes Sangkara dengan suara lemah tapi terdengar jelas kalau dia kesal.

Ello tidak mempedulikan protesan Dika, dia terus berbicara di telepon. Hingga akhirnya sebuah pukulan pelan menghantamnya.

“Apa sih, Kara?”

Sangkara menunjukkan lipstick berwarna merah menyala kepada Ello.

“Pakai aja kenapa? Kagak usah di protes, itu udah yang paling mahal yang ada di sana!” sambung Ello.

“Bang, gue hanya mau nutupin wajah gue yang pucat. Bukan mau mangkal di lampur merah! Gila aja lo!”

“Pakai tipis-tipis aja lah! Kagak kelihatan banget!”

Sangkara menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Bukan masalah tipis atau tebalnya. Tapi warnanya yang terlalu mencolok. Bukannya menutupi wajah pucatnya, tapi lipstik itu malah membuat wajahnya tampak aneh.

“Pakai ini aja, Kara!” Dika memberikan sebuah kantong plastik kecil. Di dalamnya ada lip blam dan lip gloss.

Bibir Sangkara tersenyum menerima  kantong itu, “thank’s, Dik!” ucapnya pelan. Dia pun langsung menggunakan barang pemberian Dika. Saat bercermin, hasilnya memang lebih baik. Wajahnya tidak lagi terlihat pucat. Malah kelihatan lebih segar.

Ello mengakhiri teleponnya dengan orang asing itu. Senyumnya mengembang sempurna melihat kearah Dika, “nah kan cakep! Apa gue bilang, pakainya tipis-tipis aja! Lagian bukannya terimakasih malah protes aja!” serunya.

“Iya, bang! Terimakasih. Gue simpan di sini dulu ya?” balas Sangkara tersenyum penuh arti.

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

Keluarga Adi dan keluarga Naya masih berada di desa X. Mereka masih menunggu kepulangan Sangkara untuk mengetahui hasil autopsi. Dokter Adit yang melihat orangtuanya dan orangtua kakak iparnya yang sudah kelihatan lelah, meminta mereka semua untuk mencari hotel dan beristirahat. Dan untuk hasil autopsinya, dia akan mengabarinya nanti. Itu pun jika Sangkara telah pulang dan bercerita padanya.

“Tidak, papa gak mau pergi dari desa ini. Papa mau nunggu Sangkara!” tolak opa Herman.

“Tapi, pa…”

“Udah nak Adit, tolong ijinkan kami untuk tetap di sini. Kami juga berhak tahu hasilnya. Sudah cukup kemaren-kemaren kami seperti orang bodoh! Anak dan cucu sendiri meninggal saja, kami tidak tahu. Biarkan kami menebusnya,” timpal kakek Saputra.

Dokter Adit menatap para orangtua itu hanya menghela napas panjang. “Ya sudah kalau begitu. Silakan tunggu di sini. Lagian juga kalau Sangkara pulang, dia pasti lewat sini!”

Semuanya mengangguk, kecuali dua orang yang berada di luar. Sejak tiba di rumah dinas itu, mereka sama sekali tidak berniat untuk masuk. Mereka hanya duduk di bangku kayu di depan rumah, sembari mengontrol emosi dan juga memikirkan rencana yang harus mereka tempuh nanti.

“Johan! Cari makanan untuk di makan di sini!” perintah kakek Saputra berdiri di depan pintu.

“Pa, aku mana tahu daerah sini? Kalau nyasar bagaimana?”

“Kamu punya mulut kan? Tanya sama orang, jangan kayak orang bodoh!”

“Ta…”

“Bang, iyakan aja! Ini jadi kesempatan kita untuk pergi dari sini!” bisik Sarah yang senantiasa berada di dekatnya.

Mata Johan melirik kearah Sarah, “oke! Apa aja kan, pa?”

“Iya terserah! Jangan terlalu lama! Jangan pakai mobil, pakai aja motornya Adit. Susah nanti kalau berpapasan dengan mobil juga. Jalan desa ini sempit!”

“Baik, papa!”

Mengendari motor atau mobil itu sama saja. Yang penting dia dan adeknya bisa pergi menjauh dari desa X itu. Tanpa mereka tahu, jika di perbatasan desa sudah ada yang menunggu kedatangan mereka. Menyambut dan juga memberikan sedikit shock terapi pada dua orang itu.

1
Nurhartiningsih
waduh...jangan2 dokter Adit bagian dari mrk..
Pelita: Hmm, mungkin kali ya kak...? Tunggu aja bab berikutnya...

Hmm... Mungkin kali ya kak? Jawabannya tunggu di bab selanjutnya...😁
total 1 replies
Taufik Ukiseno
Karya yang keren.
Semangat untuk authornya... 💪💪
Taufik Ukiseno
😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!