NovelToon NovelToon
Dendam Putri Pengganti

Dendam Putri Pengganti

Status: sedang berlangsung
Genre:Transmigrasi ke Dalam Novel / Bullying dan Balas Dendam / Putri asli/palsu / Balas dendam pengganti / Romansa / Mengubah Takdir
Popularitas:7.9k
Nilai: 5
Nama Author: eka zeya257

Asa terkejut saat membuka matanya semua orang justru memanggilnya dengan nama Zia Anggelina, sosok tokoh jahat dalam sebuah novel best seller yang menjadi trending topik paling di benci seluruh pembaca novel.

Zia kehilangan kasih sayang orang tua serta kekasihnya, semua terjadi setelah adiknya lahir. Zia bukanlah anak kandung, melainkan anak angkat keluarga Leander.

Asa yang menempati raga Zia tidak ingin hal menyedihkan itu terjadi padanya. Dia bertekad untuk melawan alur cerita aslinya, agar bisa mendapat akhir yang bahagia.

Akankah Asa mampu memerankan karakter Zia dan menghindari kematian tragisnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 23

Zia membanting pintu kamarnya dengan keras hingga gagangnya bergetar dan gema dentumannya bergulung di sepanjang koridor. Napasnya memburu, dadanya naik turun menahan luapan emosi yang sejak tadi ditahannya di hadapan Damian.

Begitu pintu menutup rapat, amarahnya meledak.

"Sialan!" teriak Zia sambil menendang kaki meja belajar hingga buku-buku di atasnya terjatuh berhamburan ke lantai.

Ia meraih bantal dan melemparkannya ke arah dinding, kemudian mengambil novel yang tadi ia bawa novel yang kini menjadi satu-satunya penopang kewarasannya sejak ia "masuk" ke dunia yang tidak seharusnya ia tinggali.

"Kenapa gue harus ada di cerita ini?!" makinya sambil menjambak rambutnya sendiri. "Kenapa gue harus rasukin karakter yang hidupnya nyebelin kayak gini?!"

Zia berjalan mondar-mandir di kamarnya, menendang apa saja yang bisa ditendang. Tangannya gemetar bukan hanya karena tamparan Damian yang masih terasa panas di pipi kirinya, tetapi juga karena kata-kata itu.

"Kamu anak paling tidak tahu diri yang pernah aku besarkan!"

"Aku menyesal memungut kamu dari panti asuhan!"

"Kamu cuma bikin malu keluarga ini!"

Setiap kalimat menyayat lebih dalam daripada tamparannya.

"Dasar pria brengsek!" Zia membentak ke udara, seolah Damian berada tepat di depannya. "Gara-gara dia gue ada di tubuh ini! Gara-gara dia gue harus terjebak dengan karakter Zia yang dikutuk hidupnya!"

Ia meraih novel itu lagi, membukanya, lalu melemparnya ke kasur dengan kasar.

"Kalau gue bisa keluar dari cerita bodoh ini, gue bakal protes besar-besaran sama Kinar!" geramnya.

Namun amarahnya tidak berhenti di situ. Zia mencengkeram sisi meja, menunduk sambil mengatur napas, suaranya bergetar.

"Bajingan itu bahkan berani bilang menyesal mungut gue ..." gumamnya lirih, tetapi penuh luka yang meletup-letup. "Padahal… gue juga ogah punya orang tua kayak dia."

Ia mendongak, matanya berkaca-kaca tetapi dibakar oleh kemarahan.

"Gue benci ini. Benci semua ini. Benci tubuh ini, benci keluarga ini, benci alur cerita tolol yang bikin hidup Zia sengsara dari awal!"

Ia menghantamkan tangannya ke meja. Zia mengusap pipinya yang masih perih, lalu berkata dengan suara rendah namun sarat dendam:

"Damian… lo belum lihat apa-apa. Kalau gue harus hidup sebagai Zia di dunia ini, gue bakal pastikan gue bukan lagi Zia yang bisa lo tampar seenaknya."

Ia menghempaskan diri ke kasur, wajahnya menghadap ke langit-langit kamar, matanya tajam.

"Mulai besok… cerita ini bakal gue ubah."

***

Pagi datang dengan sunyi yang ganjil. Rumah Damian biasanya dipenuhi suara halus aktivitas pagi seperti suara gelas, suara langkah Amanda di dapur, suara Gaby yang ribut mencari pita rambut, dan suara Damian yang membaca koran sambil mengetuk meja bila ada hal yang tidak disukainya.

Zia membuka matanya perlahan, cahaya pagi menyelinap masuk melalui tirai kamar yang sedikit terbuka. Semalam ia tertidur bukan karena lelah, melainkan karena amarahnya habis menguras tenaga.

Pipinya masih terasa perih bekas tamparan yang jelas memerah. Setiap kali mengingatnya, perutnya menegang, amarah itu kembali membesar seperti lava yang siap menyembur.

Zia bangkit dari kasur dengan kepala tegak, tanpa ragu. Ia tidak ingin menangis lagi, tidak ingin meratap lagi, dan tidak ingin memikirkan apakah Damian marah atau tidak.

Ia akan hidup seperti yang ia pilih. Kalau dunia ini ingin menjebaknya, maka ia akan memporak-porandakannya dengan caranya sendiri.

Zia mandi dengan tenang. Mengganti pakaiannya dengan seragam sekolah, merapikan rambutnya seperti biasa. Tidak ada yang mencurigakan bagi siapa pun yang melihatnya dari luar.

Tidak ada lagi kerentanan. Tidak ada lagi kerut bingung atau ketakutan. Yang ada hanya kehampaan dan ketegasan yang belum pernah muncul sebelumnya.

Ia membuka pintu kamar.

Lorong rumah terasa terlalu panjang, tetapi Zia melangkah dengan santai. Saat menuruni tangga, ia mendengar suara-suara samar dari ruang makan.

Amanda dan Gaby sedang sarapan. Damian… suaranya terdengar berat dan pendek seperti seseorang yang tidak tidur semalaman.

Bagus, batin Zia.

Biarkan dia merasakan sedikit saja dari apa yang ia rasakan tadi malam.

Ketika Zia memasuki ruang makan, ketiganya menoleh bersamaan.

Gaby langsung berdiri setengah melompat kecil, wajahnya berbinar.

"Kak! Pag—"

Zia berjalan melewatinya tanpa menatap. Seolah suara adiknya itu hanya angin.

Amanda yang sedang menuang teh langsung menahan gerakan tangannya.

"Zia… semalam kamu pulang terl—"

Zia duduk di kursi paling ujung meja makan kursi yang selama ini ia tidak pernah pakai karena terlalu jauh dari ayahnya. Ia mengambil roti panggang tanpa sepatah kata pun. Tidak menatap siapa pun. Tidak menjawab siapa pun.

Damian menghentikan gerakan membaca korannya.

"Zia," panggilnya.

Tidak ada respons.

"Kamu tidak menjawab sapaan adik dan ibumu?" Damian bertanya dengan suara yang sengaja direndahkan, mencoba tetap tenang.

Zia menggigit rotinya. Mengunyah perlahan. Masih tanpa memandang.

Gaby memandang kedua orang itu secara bergantian, bingung luar biasa.

"Kak… lo kenapa? Pipi lo merah… lo abis jatuh ya semalam?"

Zia meraih segelas susu tanpa menoleh. Seolah Gaby tidak ada di sana.

Amanda mulai gelisah. "Zia, kalau kamu sakit, bilang ya. Mami bisa—"

Zia berdiri.

Untuk sesaat, Amanda dan Gaby tampak sedikit lega, mengira Zia akan menjelaskan atau sedikit merespons.

Namun Zia hanya berjalan menuju wastafel, menaruh gelasnya, melewati keluarga itu… lalu kembali duduk tanpa mengatakan apa-apa.

Ketegangan mulai terasa menusuk.

Udara di meja makan seakan mengental.

Damian mengusap dahinya, menahan kesal.

"Apa kamu tidak dengar Papi bicara?"

Suaranya terdengar mengancam.

Zia tidak mengangkat kepalanya. Hanya menggigit roti lagi. Seolah Damian adalah suara background.

"Kamu benar-benar diam sekarang?" nada suara Damian meninggi. "Setelah semalam kamu membantah ucapan Papi, sekarang kamu malah tidak menganggap saya ayahmu?!"

Zia berhenti mengunyah. Ia menurunkan rotinya pelan, menatap meja bukan orangnya. Kemudian ia mengangkat wajahnya perlahan. Tatapannya kosong dan dingin seperti bongkahan es.

"Apa aku bilang sesuatu?" tanya Zia datar.

Nada suaranya sangat sopan, tetapi sangat… dingin. Jarak emosionalnya seperti samudra.

Damian terdiam sejenak, tidak menyangka Zia akan berbicara begitu.

"Kamu tidak menjawab pertanyaan Papi."

Zia menegakkan punggungnya. "Aku belum dengar pertanyaannya."

Gaby memandang mereka berdua, kebingungan mulai muncul di wajahnya yang polos.

"Papi tanya," Damian mengulang, "kenapa kamu tidak menjawab pertanyaan kami semua?!"

"Aku pikir…" Zia menghela napas pendek, "nggak perlu menyapa orang yang menyesal memungutku dari panti asuhan."

"Zia…" suara Damian dalam dan menggetar, "jangan mulai lagi dengan sikap membantahmu itu."

Zia tersenyum kecil senyum paling sarkastik yang pernah ia tunjukkan dalam seluruh hidupnya sebagai Zia.

"Aku nggak membantah."

"Omongan kamu itu—"

"Aku hanya mengulang kata-kata Papi," potong Zia tenang.

Pandangan Damian memanas. "Zia, sikap kamu pagi ini sudah melewati batas."

Zia tertawa hambar. "Sengaja."

"Apa maksudmu?" Tanya Damian mengernyitkan dahi.

"Papi pasti lebih paham jawabannya, tanpa perlu aku katakan." Zia beranjak dari kursinya dan menatap dingin Damian. "Karena sikapku terbentuk oleh didikan yang Papi berikan."

1
kriwil
jalang maruk🤣 semau laki mau di embat
Rossy Annabelle
no coment 🤧huhu
Heni Mulyani
lanjut author 💪
Murni Dewita
double up thor
Zee✨: bsk² yak hehe
total 1 replies
Murni Dewita
👣👣
Wahyuningsih
kpn thor zia bahagia 🤔🤔kan kasihan q jdi males mau baca soalnya zia d tindas mulu haaaaaaaaaah
Zee✨: sabar belum jg pertengahan kak😄
total 1 replies
Heni Mulyani
lanjut author
Heni Mulyani
lanjut
Sribundanya Gifran
lanjut💪💪💪💪
Sribundanya Gifran
lanjut
Dewiendahsetiowati
part yang bikin nyesek
Wahyuningsih
thor buat mereka yg menyakiti zia menyesal d buat segan matipun tk mau n buat gaby terpuruk n menderita oran g kok manipulatif gedek q sebel banget d tnggu upnya thor yg buanyk n hrs tiap hri sehat sellu thor jga keshtn tetp 💪💪💪💪💪💪
Heni Mulyani
lanjut
Wahyuningsih
thor perasaan novel author yg lain blm pd tamat trus anda jga jrng up kk udah ada novel bru yg lma gimna d tamti dlu lah thor jgn d gantung syg klau gk d lanjutin 🤔🤔🤔🤔
Zee✨: itu udh tamat kak, sengaja di bikin gantung buat season 2 nanti hehe
total 3 replies
Sribundanya Gifran
lanjut thor
Sribundanya Gifran
lanjut up yg bnyak thor💪💪💪💪
Zee✨: Siappp, tungguin yakk
total 1 replies
Heni Mulyani
lanjut author
Zee✨: okeee
total 1 replies
Heni Mulyani
lanjut 💪
Heni Mulyani
lanjut
Heni Mulyani
lanjut 💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!