Di kota megah Aurelia City, cinta dan kebencian berjalan beriringan di balik kaca gedung tinggi dan cahaya malam yang tak pernah padam.
Lina Anastasya, gadis sederhana yang keras kepala dan penuh tekad, hanya ingin bertahan hidup di dunia kerja yang kejam. Namun, takdir mempertemukannya dengan pria paling ditakuti di dunia bisnis Ethan Arsenio, CEO muda yang dingin, perfeksionis, dan berhati beku.
Pertemuan mereka dimulai dengan kesalahpahaman konyol, berlanjut dengan kontrak kerja yang nyaris seperti hukuman. Tapi di balik tatapan tajam Ethan, tersembunyi luka masa lalu yang dalam… luka yang secara tak terduga berhubungan dengan masa lalu keluarga Lina sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 3
Mata Lina tertuju pada cangkir kopi yang baru saja tumpah di lantai, sisa-sisa bencana pertamanya. Lalu, ia menatap meja kecil di sudut ruangan yang ditunjuk Ethan.
Itu bahkan tidak bisa disebut meja kerja. Itu lebih mirip meja nakas yang tersesat, terbuat dari kayu gelap yang kaku, dilengkapi kursi kayu yang sama kakunya—jelas bukan kursi ergonomis yang nyaman untuk bekerja delapan jam. Di atasnya hanya ada sebuah telepon model lama dan buku catatan bersampul kulit.
"Tuan Arsenio," Lina mencoba memberanikan diri, suaranya nyaris bergetar. "Tugas asisten pribadi... itu pekerjaan yang sangat penting. Saya tidak punya pengalaman. Saya pasti akan membuat lebih banyak kesalahan."
Ethan mengangkat sebelah alisnya yang tebal. "Aku tahu."
"Lalu... kenapa?"
Pria itu menyandarkan punggungnya ke kursi singgasananya, menautkan jari-jarinya di depan dada. Ruangan itu begitu hening sehingga Lina bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang berdebar kencang.
"Anggap saja ini kompensasi," kata Ethan dingin. "Kau merusak hariku dan jas seharga mobilku. Sebagai gantinya, aku akan merusak... beberapa minggu pertamamu di sini."
Lina tidak bisa berkata-kata. Pria ini... pria ini benar-benar membalas dendam karena secangkir kopi?
"Sekarang," kata Ethan, jelas sudah bosan dengan percakapan itu. "Kopi. Dan kali ini, jangan kembali dengan tangan hampa."
Lina mengangguk kaku. "Baik, Tuan. Bagaimana... seleranya?"
"Hitam. Tanpa gula. Double espresso," desisnya. "Dan jangan berani-berani membawakan kopi instan. Mesinnya ada di pantry eksekutif di ujung koridor. Kalau kau tidak tahu cara menggunakannya, jangan kembali."
Ini adalah jebakan. Tentu saja ini jebakan.
Lina berbalik, berjalan keluar dari kantor raksasa itu dengan langkah kaku. Kakinya terasa berat.
Koridor lantai 50 itu sepi. Jauh berbeda dari lantai bawah yang sibuk. Di sini, udaranya tipis dan menegangkan. Ia menemukan pantry eksekutif. Ruangan itu lebih mewah dari dapur di apartemennya. Sebuah mesin espresso perak mengilap, tampak rumit dan mengintimidasi, berdiri angkuh di atas meja marmer.
Lina menatap deretan tombol dan tuas di mesin itu. Ia hanya tahu cara menekan tombol di mesin pembuat kopi filter.
Oke, Lina. Kau lebih pintar dari mesin ini.
Lima menit kemudian, ia harus mengakui, mesin itu jauh lebih pintar darinya. Ia sudah mencoba menekan tiga tombol berbeda, dan yang keluar hanya uap panas yang mendesis marah.
"Butuh bantuan, Sayang?"
Sebuah suara ceria tiba-tiba terdengar dari belakang. Lina terlonjak kaget, hampir menjatuhkan cangkir porselen kosong yang dipegangnya.
Seorang wanita cantik dengan rambut pirang madu bergelombang dan setelan rok yang pas di badan sedang bersandar di pintu pantry, menatapnya dengan geli. Dia tampak seumuran dengan Ethan, memancarkan aura kepercayaan diri yang menyilaukan.
"Saya... saya mencoba membuat kopi untuk Presdir Ethan," jawab Lina dengan wajah memerah.
Wanita itu tertawa kecil. "Asisten baru, ya? Berani sekali kau. Ethan benci orang baru yang menyentuh mesinnya." Ia melangkah masuk, dengan ahli mengambil alih. "Dia monster kalau belum dapat kafein paginya. Geser."
Dengan beberapa gerakan cepat menggiling biji kopi, memadatkannya, mengunci tuas—wanita itu menghasilkan secangkir kecil cairan hitam pekat yang beraroma kuat.
"Ini," katanya, menyerahkan cangkir itu pada Lina. "Antarkan sebelum dia mulai membakar gedung."
"Te-terima kasih banyak, Nona...?"
"Elena. Sekretaris Eksekutif. Aku bekerja di lantai 49, tapi aku satu-satunya yang diizinkan mengatur jadwal 'Raja Iblis' itu," katanya sambil mengedipkan mata. "Siapa namamu?"
"Lina Anastasya."
Mata Elena membelalak sesaat, seolah baru menyadari sesuatu. "Ah... Lina Anastasya. Jadi, kau orangnya. Kudengar tentang insiden di lift tadi. Berita cepat menyebar."
Lina hanya bisa menunduk malu.
"Semoga berhasil," kata Elena, nadanya kini sedikit serius. "Kau akan membutuhkannya."
Lina kembali ke kantor CEO dengan langkah seribu kali lebih hati-hati. Ia memegang cangkir kecil itu seolah memegang bom.
Ia meletakkan cangkir itu dengan sangat pelan di atas meja Ethan.
Ethan melirik kopi itu, lalu melirik Lina. "Apa yang membuatmu begitu lama?"
"Saya... memastikan tidak tumpah, Tuan."
"Duduk," perintahnya, menunjuk ke meja penjara di sudut.
Lina segera menurut. Ia duduk di kursi kayu yang keras itu. Dan keheningan pun dimulai.
Satu jam berlalu.
Dua jam.
Ethan bekerja tanpa suara. Hanya ada bunyi ketikan keyboard yang cepat dan sesekali bunyi lembaran kertas dibalik. Lina hanya duduk diam. Ia tidak punya komputer. Ia tidak punya tugas. Ia hanya... pajangan. Pajangan yang berfungsi sebagai pengingat hidup atas kesalahan secangkir kopi.
Ini bukan pekerjaan, batin Lina getir. Ini penyiksaan.
Tepat saat Lina mengira ia akan mati kebosanan, interkom di mejanya berbunyi. Suaranya yang melengking membuat Lina terlonjak dari kursinya.
Ia buru-buru menekan tombol. "Ya, Tuan Arsenio?"
"Ke sini."
Lina bergegas menghampiri meja utama.
Ethan mendorong setumpuk dokumen setebal kamus ke arahnya. "Aku benci jadwal minggu ini. Atur ulang."
Lina menatap tumpukan kertas itu dengan bingung. "Atur ulang... bagaimana, Tuan? Saya tidak punya akses ke kalender Anda."
Ethan menatapnya. Tatapan itu lagi. Tatapan yang membuatnya merasa seperti partikel debu.
"Kau punya buku catatan. Kau punya telepon," kata Ethan. "Di buku catatan itu ada nomor Elena di lantai 49. Telepon dia. Minta dia memberimu daftar jadwal. Lalu, kau tulis ulang jadwal baru di kertas. Pindahkan semua rapat hari Rabu ke hari Selasa. Yang hari Selasa, batalkan. Aku tidak mau ada rapat di hari Rabu. Mengerti?"
Lina menelan ludah. Melakukan penjadwalan ulang puluhan rapat eksekutif... dengan tangan... menggunakan telepon?
"Tapi, Tuan," protes Lina, "itu... itu sangat tidak efisien. Kenapa tidak minta Nona Elena melakukannya saja? Atau berikan saya komputer?"
Ethan Arsenio mendongak dari dokumennya. Suaranya turun satu oktaf, menjadi sangat berbahaya.
"Nona Anastasya," katanya pelan. "Aku tidak memindahkanmu ke sini untuk efisiensi. Aku memindahkanmu ke sini agar aku bisa melihatmu menderita."