Shinamura Haruki, seorang siswa SMA kelas dua berusia 16 tahun, baru saja mengalami patah hati terburuk. Empat bulan lalu, cintanya ditolak saat malam Natal. Dalam kesedihan, ia memutuskan untuk membeli kopi sebelum pulang, tapi takdir berkata lain. Ia malah ditabrak oleh Aozora Rin, gadis teman satu sekolahnya. Bagaimana pertemuan tak terduga ini akan mengubah kisah cinta mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Abdulpro, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bulan dan Bintang
Malam yang begitu cerah, membawa serta udara sejuk dan aroma pinus yang menenangkan.
Di dalam vila, kehangatan dan keriuhan menjadi penyeimbang. Gelak tawa serta obrolan riang mengalir dari ruang keluarga yang luas, diterangi oleh cahaya remang dari lampu gantung.
Di tengah ruangan, meja biliar berdiri kokoh, tempat Souta dan Aika asyik bermain. Sementara itu, di sudut lain, Rin, Hana, Naomi, Renji, Haruki, dan Yui telah berkumpul di meja kecil, siap untuk memulai "perang" kartu.
“Oke, aku yang kocok kartunya. Yang kalah, beliin minuman, ya?” Renji mengucapkannya dengan penuh semangat, keyakinan kemenangan terpancar di matanya.
“Yaelah, paling juga kamu yang kalah, kayak biasanya, kan?” balas Haruki usil.
Renji tersenyum dengan sedikit kesal. Ia mulai membagi kartu satu per satu kepada teman-temannya.
Rin yang merasa cemas, menggenggam tangan Hana. “Hana, aku enggak begitu jago main kartu. Ajarin, ya?” pintanya.
Hana mengangguk. “Iya, iya, deh. Tapi nanti beliin aku jajan, ya? Hehehe.”
Rin tertawa gemas, mencubit pipi Hana.
“Oke, ayo kita mulai! Bersiaplah, Renji!” seru Haruki.
Permainan dimulai dengan sengit. Rin, yang dibantu oleh Hana, bermain dengan sangat baik.
Yui melemparkan kartu-kartu kuat, dibalas oleh Naomi yang tak kalah hebat.
Di babak pertama, Rin kalah, namun mereka membuat aturan baru, 'yang kalah lima kali berturut-turut akan membeli minuman'.
“Siap-siap, Rin! Aku enggak akan kasih kamu celah menang, hahaha!” tawa Renji.
“Tenang aja, Rin. Aku bakal bikin Renji kalah. Percaya, deh!” bisik Haruki. Rin merasa terharu, Haruki bagaikan kesatria yang melindunginya.
Di babak kedua, Renji kalah karena Haruki. Babak ketiga dan keempat, Hana berhasil menundukkannya.
Renji yang awalnya meremehkan, kini mulai serius. Ia berhadapan dengan Naomi di babak kelima.
“Aduh, kartuku enggak ada yang bagus!” seru Naomi, kalah dari Renji.
“Tapi enggak apa-apa, aku baru kalah sekali.”
Babak keenam, Renji kembali kalah, kali ini dari Yui. Wajahnya memerah karena malu.
“Mampus! Ayo, sekali lagi! Kalau kamu kalah, kamu yang beli minum!” tagih Haruki dengan tatapan jahil.
Permainan kembali dimulai. Kartu demi kartu terlempar, hingga tersisa Haruki dan Renji. Haruki memegang kartu terakhir, menatap tajam ke arah Renji.
“Tebak, ini kartu apa?” tantangnya.
“Kayaknya King Hati, deh,” jawab Renji yakin.
Haruki tertawa. “Salah besar! Ini As!” Ia menunjukkan kartunya.
“Kamu kalah, hahaha!”
Renji melongo. Ia tidak percaya. “Sialan! Ya udah, deh, aku beliin minuman. Ada yang mau nitip?” tanyanya. Rin menitipkan biskuit, lalu Naomi memutuskan ikut.
Di tengah perjalanan, Naomi memberanikan diri. Matanya menatap sepatu yang melangkah di sampingnya, berusaha mengumpulkan keberanian.
“Maaf kalau lancang,” bisiknya, “tapi...apakah kamu suka sama Yui?” Suaranya nyaris berbisik.
“Aku sering lihat kamu berusaha mendekatinya.”
Renji tersenyum tipis.
Tanpa ragu, ia merangkul bahu Naomi. “Begitulah.” Ia balik bertanya, matanya menatap lekat, "Kalau kamu sendiri? Aku juga sering lihat kamu sama Hana.”
Seketika, pipi Naomi memerah. Ia memalingkan wajah, terkejut.
"Iya, aku….. suka sama Hana," akunya dengan suara pelan. "Tapi aku belum berani bilang."
Renji tertawa renyah. "Kalian udah ngapain aja? Kok bisa saling suka?"
"Aku cuman ngajak dia main ke rumahku, sambil ngobrol tentang bunga. Mungkin karena dia selalu peduli," Naomi mulai bercerita, matanya menerawang.
"Waktu itu dia kasih aku bunga buat ditanam... Aneh, sih, tapi mungkin dari situ perasaanku mulai tumbuh."
"Kalau aku, sih, suka sama Yui ya karena... ya seperti itulah," jawab Renji singkat, menyudahi pembicaraan, seakan tidak ingin memberitahunya.
Naomi lalu menambah perkataannya, “Apakah karena dia pernah satu kelas denganmu saat SMP?”
“Salah satunya mungkin itu” jawabnya dengan singkat sambil mengangkat lehernya dan menatap ke atas langit.
Mereka melanjutkan perjalanan, dan dari kejauhan, cahaya lampu warung mulai terlihat, memecah kegelapan yang menyelimuti malam.
Sementara itu, di vila, Aika dan Souta baru saja selesai bermain biliar. "Haruki, main, yuk!" Ajak Aika.
"Nanti aja deh. Masih capek habis main kartu," tolak Haruki, melambaikan tangan.
Melihat kesempatan itu, Hana segera mendekat. "Aku mau main!" serunya antusias. "Ajarin, ya, Souta?"
Aika menyerahkan tongkat biliar kepada Hana, dan permainan pun dimulai. Aika memilih duduk di dekat Yui, yang posisinya agak jauh dari Haruki dan Rin.
“Yui, kenapa sendirian? Sini gabung sama yang lain,” ajak Aika.
Yui menggeleng pelan, lalu tersenyum tipis. “Enggak, aku mau di sini aja.”
Aika menggeser duduknya mendekat, lalu menggenggam tangan Yui. “Kamu kenapa? Ada yang dipikirin, ya?”
Yui menunduk, matanya menatap lantai, seolah-olah mencari jawaban di sana.
“Aika, aku boleh cerita?” tanyanya pelan.
“Tentu dong! Kenapa, sih?” jawab Aika.
Dengan ragu, Yui memulai, “Jadi… salah satu teman dekatku ngajak aku pacaran.”
“Terus?” Aika memandang Yui, menunggu kelanjutan ceritanya.
Yui mengangkat wajahnya, menatap Aika dengan ekspresi bingung.
“Aku harus bagaimana? Jujur, aku enggak mau pertemanan kami hancur cuma karena ini.”
Aika menghela napas, tampak memikirkan kata-kata yang tepat.
“Ya, kalau kamu enggak mau pacaran, kamu tolak aja baik-baik.”
“Masalahnya bukan itu,” potong Yui cepat. “Aku… suka sama dia. Tapi aku juga sayang sama teman ku yang satu lagi. Aku enggak mau menyakiti perasaan salah satu dari mereka atau merusak pertemanan kami bertiga.”
Aika terdiam, mencoba mencerna pengakuan Yui.
“Jadi… kamu suka sama dua-duanya?”
Yui mengangguk perlahan. “Aku sayang sama mereka berdua. Dan jujur, aku takut banget kalau pertemanan ini rusak. Aku enggak mau ada yang merasa dikhianati.”
“Yui, dengar baik-baik,” kata Aika, menggenggam tangan Yui lebih erat.
“Kamu enggak bisa mengontrol perasaan orang lain, tapi kamu bisa jujur sama perasaanmu sendiri. Pikirkan baik-baik, mana yang paling penting buatmu? Menjaga pertemanan ini atau mengambil risiko untuk hubungan yang lebih serius?”
Yui termenung. Aika melanjutkan, “Kalau kamu mau menolak dia, lakukan dengan tulus. Jelaskan kalau pertemanan jauh lebih berharga buatmu. Kalau kamu memutuskan untuk menerima, kamu juga harus siap dengan segala konsekuensinya. Apapun pilihanmu, kamu harus jujur ke mereka berdua.”
Yui mematung. Matanya melebar, menatap lantai dengan ekspresi tak percaya. Mulutnya sedikit terbuka, seolah ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada suara yang keluar.
Ide Aika bagai gema yang baru saja ia sadari, sebuah solusi yang sederhana namun sangat sulit untuk dilakukan.
"Mungkin aku butuh waktu untuk meyakinkan diriku. Terima kasih sudah mendengarkan curhatku dan juga sarannya. Akan kubicarakan pada mereka."
Sebuah kelegaan kecil terpancar di wajah Yui, seakan sebagian beban di pundaknya telah terangkat. Mereka lalu tersenyum, saling menatap, dan sebuah pelukan hangat mengukuhkan ikatan persahabatan mereka.
Tak berselang lama, Renji dan Naomi kembali, membawa kantung plastik berisi minuman.
“Nih, minumanmu, Souta,” kata Renji. Ia membuka kantungnya, mengeluarkan minuman kaleng satu per satu. “Aku beli banyak, nih.”
Mereka semua mengambil satu kaleng, lalu serentak membuka minuman. Terdengar suara "Cklek" yang nyaring. Tanpa komando, mereka mengangkat kaleng masing-masing dan bersulang, berucap, “Selamat menikmati!”
Haruki memandangi Rin di sebelahnya. Sebuah senyum tipis terukir di wajahnya.
Ia mengangkat kalengnya ke arah Rin, dan Rin membalas senyum sambil mengangkat kalengnya juga. Mereka bersulang berdua, seolah ada percakapan tak terucap yang hanya dimengerti oleh mereka.
Mereka mulai minum, sebagian ada yang sibuk dengan ponsel, ada yang melanjutkan bermain kartu, dan sebagian lagi membaca buku.
Suasana hening namun nyaman menyelimuti ruangan. Haruki, yang merasa sedikit jenuh, menoleh ke arah Rin.
“Rin, kamu mau ikut aku enggak?” tanyanya pelan.
“Emangnya kamu mau kemana?” Dia meliriknya sambil membawa minumannya.
“Kita ke belakang vila, yuk. Cari udara segar sekalian habisin minuman.”
Rin mengangguk, meletakkan bukunya, dan mengikuti Haruki. Mereka berjalan bersebelahan, menuju pintu belakang vila.
Hana, yang sibuk dengan ponselnya, melirik sekilas ke arah Rin, namun kembali fokus pada layar.
Malam itu begitu sunyi, hanya ada suara langkah kaki mereka yang memecah keheningan. Udara dingin menyelimuti, membuat napas Haruki dan Rin terlihat seperti asap tipis.
Tiba-tiba, lampu di sepanjang lorong vila padam. Semuanya gelap gulita.
"Aaa! Tolong!”
Di tengah lorong, Rin berteriak dan refleks memeluk punggung Haruki saat lampu tiba-tiba padam.
Ia menyembunyikan wajahnya di punggung Haruki, tubuhnya bergetar, detak jantungnya berdebar kencang tidak karuan.
Aroma harum Haruki memenuhi indra penciumannya, dan itu sedikit menenangkan.
Haruki terkejut, bukan karena kegelapan, melainkan karena pelukan dan jeritan Rin yang tiba-tiba. Sebuah perasaan aneh, campuran kaget dan geli, melingkupi dirinya.
"Udah, enggak apa-apa. Ada aku," bisik Haruki, suaranya menenangkan.
Ia mengangkat tangannya, mengusap punggung Rin dengan lembut, memberikan kehangatan yang dibutuhkan Rin.
"Tenang, ya. Kamu pegang erat-erat aku.”
Rin mencoba mengendalikan napasnya, perlahan getaran di tubuhnya mereda.
“Maaf, aku benar-benar enggak sengaja,” bisiknya.
Tangan Rin, yang sebelumnya mencengkeram erat punggung Haruki, kini merambat perlahan, mencari tangan Haruki.
Begitu tangannya menemukan tangan Haruki, ia menggenggamnya erat, seakan tak ingin melepaskan. Ia juga menyandarkan kepalanya di pundak Haruki, mencari rasa aman.
Haruki merasa canggung. Jantungnya berdebar tak karuan. Ia tidak pernah sedekat ini dengan Rin. Kehangatan tubuh Rin yang menempel di sisinya membuatnya salah tingkah.
Ia berusaha mengendalikan ekspresi wajahnya, meskipun ia tahu Rin tak bisa melihatnya dalam gelap. "Jalan pelan-pelan," bisiknya.
"Kita sebentar lagi sampai kok.”
Mereka berjalan perlahan, langkah kaki mereka menyusuri jalan setapak di belakang rumah Fila. Suara kerikil bergeser di bawah selop mereka menjadi satu-satunya melodi di antara hening malam.
Di atas kepala mereka, langit malam membentang seperti permadani beludru hitam, dihiasi ribuan bintang yang berkilauan bagai permata. Bulan menggantung anggun, memancarkan cahaya perak yang seolah membimbing jalan.
Rin merasa begitu damai berjalan di sampingnya. Ada ketenangan yang menaungi, rasa aman yang hangat dan familiar.
Akhirnya mereka tiba di teras belakang yang kosong. Haruki menunjuk ke sudut, di mana sebuah lentera tua tergeletak.
"Ayo kita nyalakan itu."
Haruki mengambil lentera sementara Rin mengeluarkan botol minyak dari sudut teras.
Dengan hati-hati, Haruki mencoba menyalakan sumbunya, sementara Rin memegang botol minyak agar lebih mudah menuangnya.
Setelah beberapa kali percobaan, api kecil akhirnya menyala, memancarkan cahaya jingga yang lembut dan menari-nari, mengusir kegelapan di sekitar mereka.
Haruki meletakkan lentera itu di belakang, menciptakan lingkaran cahaya hangat yang terasa intim.
Rin duduk di sampingnya, meneguk minuman dari kalengnya. Ia menoleh ke Haruki, menyadari raut wajahnya yang murung.
"Haruki, kenapa kamu ajak aku ke sini?" tanyanya, suaranya penuh perhatian.
Haruki menghela napas berat, matanya menerawang ke kejauhan.
"Aku cuma butuh waktu untuk menenangkan pikiran. Aku merasa tidak enak dengan Renji dan Yui. Mereka... seperti menjaga jarak dengan kita, entah kenapa. Mungkin karena masalah tadi siang."
Hati Rin mencelos. Dia berusaha menepis pikiran itu, tetapi bayangan Yui dan Haruki yang tampak semakin dekat akhir-akhir ini kembali terlintas.
"Tidak, bukan begitu!" Dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri. "Pasti mereka sedang fokus memikirkan ujian. Ya, itu pasti alasannya!" Ia mengangguk pelan, mencoba menenangkan kegelisahan dalam hatinya.
"Haruki," suara Rin melembut, "sebenarnya ada apa dengan Yui? Belakangan ini dia sering melamun, apalagi tadi saat di pemandian. Dia terlihat sedang memikirkan sesuatu yang berat. Apa kamu tahu?"
Haruki menatap Rin, matanya dipenuhi sorot kekhawatiran.
"Aku juga tidak tahu pasti, Rin. Tapi aku bisa merasakan, ada beban berat yang sedang mereka tanggung. Mereka tidak bisa membaginya dengan kita, dan aku tidak ingin mengganggu mereka."
Rin hanya bisa mengangguk, mencoba memahami.
"Ya, kamu benar. Untuk saat ini, tidak ada yang bisa kita lakukan."
Haruki menyandarkan tubuhnya ke belakang, menopang beratnya dengan kedua tangan.
"Rin, aku benar-benar tidak menyangka pertemuan kita yang tidak sengaja dulu bisa membawaku sampai ke sini."
Senyum tulus mengembang di wajah Rin.
"Aku juga, Haruki," bisiknya, suaranya dipenuhi keharuan. Kenangan saat pertama kali mereka bertemu kembali berkelebat di benaknya, membuat hatinya menghangat.
Ia menoleh, menatap Haruki, matanya memancarkan rasa terima kasih yang mendalam.
Tiba-tiba Haruki menyadari sesuatu.
"Oh iya, ngomong-ngomong, kamu selalu memakai jepit rambut itu. Aku senang kamu memakainya. Tidak sia-sia aku pilih motif bunga melati, kamu sepertinya suka."
Mata Rin berbinar. Tangannya reflek menyentuh jepit rambut yang menghiasi rambutnya. Dia mengusapnya perlahan.
"Tentu saja. Ini kan darimu. Aku akan menjaganya selamanya. Ini hadiah terindah yang pernah aku terima."
Mendengar itu, Haruki tersenyum. Tangannya terkepal di belakang tubuhnya, seolah memendam rasa bahagia. Ia mendongak, menatap ke langit.
"Andai saja bulan itu bisa kuciptakan, aku akan membuatnya khusus untukmu. Karena kamu begitu terang, namun tetap lembut."
Pipi Rin memerah seketika. Jantungnya berdebar kencang. Ia tidak mengerti maksud Haruki.
"Ma-maksudmu?" tanyanya, suaranya sedikit tercekat.
Ia menatap Haruki, mencoba membaca arti di balik kata-katanya. “Apa yang Haruki coba sampaikan?”
Haruki menggelengkan kepalanya dan memejamkan mata sekilas. "Tidak, lupakan saja."
"Ih, apa sih kamu ini," Rin menggembungkan pipinya dengan gemas.
Haruki menatapnya, lalu mengangkat tangannya, menunjuk ke arah bulan yang bersinar.
"Bulan itu indah, ya? Aku menyukainya.”
(Bersambung….)