" Sekali berkhianat maka sampai kapanpun akan terus menjadi pengkhianat".
Begitulah kalimat yang menjadi salah satu sumber ujian dari sebuah hubungan yang sudah terjalin dengan sangat kokoh.
" Orangtua mu telah menghancurkan masa depanku, makan tidak menutup kemungkinan jika kamu akan menghancurkan pula anakku. Sebelum itu terjadi aku akan mengambil anakku dari hubungan tidak jelas kalian berdua".
Cinta yang sudah terbentuk dari sebuah kesederhanaan sampai akhirnya tumbuh dengan kuat dan kokoh, ternyata kalah dengan sebuah " Restu" dan "keegoisan" di masa muda adalah sebuah penyelesalan tiada akhir.
Berharap pada takdir dan semesta adalah sebuah titik paling menyakitkan secara sederhana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dinar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Langit siang ini tampang sedikit mendung dengan semilir angin yang cukup sejuk menandakan akan turunnya hujan, obrolan yang cukup serius terlihat dari para wajah pekerja dan juga pengamat yang sedang menganalisis dan juga pengerjaan yang cukup ramai.
Liora dan Ezra keduanya memang tengah memegang proyek pembangunan yang sudah berjalan 80%, pengecekan dilakukan secara random karena ingin melihat proses pengerjaan yang sebenarnya. Jika hari sudah ditentukan ditakutkan akan ada hal yang disembunyikan atau mungkin kecurangan yang ditutupi, karena semua sudah dipersiapkan sebelum ada pengecekan kantor dilakukan.
Aroma bahan bangunan seperti semen, tanah basah dan juga suara mesin yang meraung seperti semangat yang telah dilakukan bukanlah sebuah gangguan.
Liora kini tengah menatap blueprint yang terbentang bebas diatas meja kayu, sedangkan Ezra dengan wajah yang berubah-ubah dengan sebelah tangannya memegang erat tablet yang berisi data seluruh pengukuran dan juga hasil yang sudah dilaksanakan.
Sudah hampir tiga jam aku berada disini, handphone sengaja aku silent karena takut akan menggangu konsentrasi. Tapi... Entah mengapa perasaanku terasa gelisah seperti ini ya? Padahal Arga tau aku sedang mengecek proyek lapangan, tidak mungkin jika ia menghubungi apalagi marah karena aku tidak mengirimkan pesan.
Disela-sela kesibukan dan keseriusan Liora dalam menyelesaikan pekerjaannya, terselip rasa gelisah entah karena khawatir atau mungkin lelah sehingga fokusnya sedikit terganggu.
Terlihat kali ini ada beberapa titik yang belum rata, membuat Ezra dan juga Liora beralih posisi menuju sisi kanan lahan yang sedang dikerjakan.
" Sepertinya kita perlu meminta tim kontraktor untuk mengulang pembangunan pondasi disebelah sini, karena jika dibiarkan seperti ini aku khawatir akan ada genangan air bahkan banjir didalam ruangan ketika hujan turun". Ezra yang berdiri disamping Liora kini mulai memberikan point-point penting yang perlu perhatian ulang.
Liora mencatat dengan fokus apa saja yang perlu dievaluasi dan perbaikan serta estimasi waktu dan biaya yang diperlukan.
" Apakah ada lagi?"
Suasana hening sejenak dengan fokus masing-masing, takut hujan akan turun sehingga keduanya mempercepat pekerjaannya agar bisa segera kembali ke kantor.
Angin kini berhembus membuat beberapa lembar kertas yang tengah digenggam bergerak bahkan hampir saja terbang, Ezra menahan kertas yang berada ditangan Liora yang akan ikut terbang bersama angin saat tatapan keduanya bertemu ada hal yang tersimpan di mata Ezra yang tengah berperang seolah sedang berdiskusi.
" Terimakasih sudah menolongku" Liora yang sadar kini menarik perlahan kertas yang digenggam oleh Ezra.
" Aahh maaf aku spontan saja, maaf jika membuatmu tidak nyaman". Ezra kini menarik tangannya dan disimpan disakut celanananya.
" Li, apakah aku boleh bertanya sesuatu hal diluar pekerjaan? Aahh tapi jika kamu tidak berkenan tidak apa-apa".
Ezra sengaja memanggilnya dengan panggilan " Li" jika dulu panggilan untuk Liora adalah " Anindya " kini setelah mencoba menerima kenyataan Ezra memutuskan untuk memanggil Liora sama seperti yang lain karena tidak ingin ada salah paham.
Liora mengerutkan keningnya sedikit heran "Kenapa Zra? Apa ada masalah?".
Ezra kini menatap lurus kearah depan seolah pandangannya tengah jauh, menghela nafas dalam menenangkan diri sebelum sesak menghampiri.
Aku harus memastikan hal ini Nindya, maaf jika ini membuat kamu merasa tidak nyaman. Tapi aku harus tahu agar tidak salah mengambil langkah kedepannya, aku kira kamu adalah tempat yang tepat untuk menyimpan hati dan cintaku tapi sepertinya aku salah tempat. Dan maka dari itu aku harus memastikan kembali, agar sakit yang aku rasakan tidak terlalu dalam.
" Apa benar yang Nami dan Adit katakan, tentang lamaran dan cincin yang ada dijarimu?".
Liora yang merasa kaget kini sempat terdiam beberapa saat " Aahh ini, iya Zra benar ada seseorang yang datang kerumahku membawa keluarnya untuk menemui orangtuaku dan terjadilah cincin ini ada di sini".
Liora memperlihatkan kedua cincin yang berada di jarinya dengan senyuman lembut, seolah membicarakan perasaanya saat ini yang tengah diselimuti bahagia.
Sesak itu kini mulai merasuki dada Ezra tanpa permisi untung saja oksigen didalam dadanya masih ada. Senyuman samar itu kini muncul diwajah Ezra, seolah senyuman itu adalah tanpa kepahitan dalam menerima kenyataan dan pasrah pada takdir hidupnya kali ini.
" Berat ya Li, ternyata aku benar-benar sudah kalah".
" Berat? Apa yang berat Zra? Perempuan itu butuh kepastian jadi bukankah hal wajar jika ada seseorang yang datang dengan maksudnya yang serius?". Liora semakin bingung dibuatnya, bukan bermaksud berpura-pura bodoh.
" Ahh benar semua orang membutuhkan kepastian bukan hanya perempuan Li, hanya saja kadang ada sebagian orang yang terlalu nyaman dalam menjalani kehidupan sampai lupa jika hidup butuh banyak hal yang harus diusahakan agar tercapai tanpa menunda waktu". Ezra menggelengkan kepalanya dengan senyuman yang masih samar.
Maaf Ezra bukan bermaksud untuk berpura-pura bodoh atau tidak tahu, hanya saja selama ini diantara kita tidak pernah terucap hal apapun tentang perasaan apalagi menjalani hubungan lebih dari rekan kerja.
Ezra memberanikan diri memutar bola matanya untuk menatap cincin yang berada didua jari Liora, cahaya memantulkan kebahagiaan seolah memberikan peringatan untuk Ezra.
" Cincinnya bagus, cantik ya Li. Beruntung sekali lelaki yang memberikan perasaannya bahkan diterima dengan sangat baik". Senyuman Ezra mulai melembut tapi hatinya kini basah.
" Aku yang beruntung ahh tidak kita sama-sama beruntung dengan usaha dan hal yang diusahakan masing-masing Zra, tidak saling mengandalkan satu pihak karena menjalin hubungan itu harus saling bukan?".
Seolah jarum yang menusuk begitu dalam, ucapan Liora semakin memperjelas jika kekalahan itu sudah nyata dan sangat jelas untuk Ezra.
Li, meskipun aku kalah tapi aku berjanji ikhlas itu sedang aku usahakan. Tidak akan ada yang berubah diantara kita, semua akan berjalan seperti biasa namun untuk perasaan yang kalah ini akan aku simpan disudut hati ruang ikhlas hatiku.
Keheningan itu kini kembali menemani keduanya yang tengah merapihkan sisa pekerjaan yang telah selesai, Ezra mulai ikut merapihkan pekerjaa ya dan kini keduanya bersiap untuk kembali ke kantor.
Liora tidak salah karena selama ini aku tidak pernah mengungkapkan apapun kepadanya, terlalu lama menunggu waktu yang tepat ternyata salah. Beginikah rasanya mencintai tetapi cinta itu bukan untuk kita? Ruang kosong itu kini semakin terasa hampa, marah pun tidak bisa tetapi setidaknya aku tidak menggangu hubungan mereka.
Sepanjang perjalanan keduanya masih terlibat perbincangan ringan terkait pekerjaan, Liora sangat profesional dan obrolan keduanya yang sempat terjadi benar-benar tidak merubah apapun. Ya beginilah hubungan orang dewasa yang sudah tidak mengedepankan ego, jika sudah selesai mari melanjutkan tanpa drama.