"Apakah kamu pernah mencintaiku sebagai seorang wanita?" langkah laki-laki didepannya terhenti, tapi tak kunjung membalik badannya
"Tidak" jawaban singkat yang membuat sang wanita menunduk menahan isak tangis. Jawaban yang sudah ia duga, tapi tetap membuatnya sakit hati
Belasan tahun hanya cintanya yang terus terpupuk, keajaiban yang ia harapkan suatu hari nanti tak kunjung terjadi. Pada akhirnya, berpisah adalah satu-satunya jalan atas takdir yang tak pernah menyatukan mereka dalam rasa yang sama.
"Selamat jalan Kalanza, aku harap kamu bahagia dengan pilihan hatimu"
Dari sahabat sampai jadi suami istri, Ishani terlalu berpikir positif akan ada keajaiban saat Kalanza tiba-tiba mengajaknya menikah, harapannya belasan tahun ternyata tak seindah kisah cinta dalam novel. Kalanza tetaplah Kalanza, si laki-laki keras kepala yang selalu mengatakan tak akan pernah bisa jatuh cinta padanya.
"Ishani, aku ingin melanggar janji itu"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mukarromah Isn., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Senja
"Kenapa tidak memberitau ayah kemarin ketika kita berpapasan di rumah sakit nak?" Ishani hanya tersenyum menanggapi hal itu, ia tak ingin menjelaskan lebih lanjut
"Kamu juga tidak pernah mampir ke rumah lagi sekarang" Ishani menatap sinis ibu tirinya itu, ia yakin ada maksud lain dari ucapan itu
"Benar apa yang dikatakan ibu, sesekali mampirlah ke rumah, sepi sekali rasanya saat kamu tidak ada"
"Ayah juga punya putra dan putri yang lain, mana mungkin hanya karena aku pergi suasana rumah mendadak sepi. Kalau aku tinggal disana juga, tak ada bedanya karena aku tak pernah selalu dirumah" mungkin ibu tirinya tak lagi menyiksanya terang-terangan seperti dulu, semenjak ia masuk kuliah perilaku wanita berubah, ia memang tak lagi menyiksa fisiknya tapi kata-kata sinis dan sindiran tak pernah berhenti keluar dari mulutnya. Ishani tak mengadukan pada ayahnya karena tau pria paruh baya itu tak akan percaya, ia menganggap bahwa semua orang itu baik. Wanita itu juga pintar sekali memutar balikkan fakta, akibatnya Ishani sering bertengkar dengan ayahnya. Bahkan gantian pria paruh baya itu yang kadang menyiksa fisiknya walau ujung-ujungnya tetap meminta maaf. Tapi apakah itu bisa dihapus? Tentu tidak
"Benar, tapi berbeda sekali rasanya. Ayah harap kamu bisa sesekali mampir untuk bertemu ayah"
"Akan aku pikirkan nanti"
"Apakah kamu masih bekerja di butik?"
"Iya, aku masih bekerja disana"
"Wanita yang sudah menikah sebaiknya dirumah saja untuk mengurus suami, apalagi rumah tangga kalian baru. Jangan sampai laki-laki mencari pelampiasannya pada wanita lain" Ishani semakin menatapnya sinis. Pikiran wanita itu kolot sekali
"Aku bukan kamu yang hanya bisa menyuruh-nyuruh orang dirumah dan hanya bisa menikmati tanpa pernah membantu sama sekali" Ishani membalasnya sarkas
"Ishani!" Ayahnya menegurnya dengan penuh penekanan
"Apa? Ayah mau membela dia? Ayah belum sadar juga ternyata" Ishani hanya menatap ayahnya dengan helaan nafas panjang
"Bukan begitu maksud ayah nak, ayah tidak membela siapapun"
"Kamu jangan bicara sembarangan dengan putriku, Rika. Kesannya kamu terlalu ikut campur urusan rumah tangganya"
"Aku tidak ikut campur mas, tapi aku takut Ishani mengalami apa yang banyak dialami perempuan zaman sekarang" Ibu tirinya membela diri
"Itu karena suaminya bukan orang baik, Kalan bukan laki-laki yang seperti itu" bagus, sekarang ayahnya malah membela Kalanza, bagaimana kalau dia tau kisah sebelumnya?. Rika, ibu tirinya terdiam. Tapi Ishani bisa melihat wanita itu mengepalkan tangan diatas pangkuannya, sepertinya tak terima disalahkan
"Ayah tidak ingin kamu terlalu lelah, perbanyak istirahat dirumah. Ayah yakin Kalan bisa memastikan semuanya aman"
"Ayah tidak perlu mengkhawatirkan itu, aku bisa mengatur waktuku"
"Baguslah kalau begitu, Ayah harap kamu benar-benar bahagia, nak. Ayah tak ingin melihatmu menangis lagi karena hal apapun" Ishani hanya mengangguk, ia mencium tangan pria baruh baya itu saat ia akan pulang
"Ayah juga jaga kesehatan, jangan sering begadang" Pria baruh baya itu terkekeh, ia mengelus rambut halus putrinya
"Ayah tidak akan mati sebelum melihat cucu ayah lahir. Apakah ia akan mirip dengan putri kecil ayah dulu? Ayah menantikannya. Jaga dirimu baik-baik" Ishani termangu menatap punggung pria baruh baya itu yang perlahan menjauh, ia tak pernah benar-benar membenci ayahnya. Ia hanya kecewa. Andaikan ayahnya tak menikah lagi, mungkin mereka masih baik-baik saja. Atau lebih tepatnya, andaikan wanita yang menjadi ibunya tidak membencinya
.
Senja, Ishani punya banyak kenangan dengan jingga di ufuk barat itu. Angin sepoi-sepoi menerbangkan rambut hitamnya. Ia duduk di balkon kamar, mengelus bulu lebat Felis, kucing yang makin gemuk tiap harinya.
Bagi Ishani, Senja bukan tak hanya tentang kebahagiaan, tapi juga kesedihan. Saat ia kehilangan ibunya, saar ia berhasil menyelesaikan studinya, saat ia mendapat pesanan pertamanya atau bahkan saat ia tau bahwa Kalan sudah punya orang lain dalam hatinya
Suatu sore itu, di tepi danau yang biasa mereka jadikan tempat piknik atau bermain. Mereka menginjak kelas dua SMA saat itu. Ishani pikir, sekarang adalah waktu yang tepat untuk ia mengungkapkan perasaannya, sebentar lagi ia akan memasuki usia tujuh belas tahun, dimana orang-orang berpikir itu waktu awal menuju dewasa. Ishani pikir, langkah pertama untuk menjadi dewasa adalah dengan berani mengungkapkan perasaannya pada orang yang ia sukai. Entah ditolak atau diterima itu urusan belakang.
"Kalan"
"Ishani" mereka malah menyebutkan nama satu sama lain serempak
"Silahkan kamu dulu" Ishani menggeleng
"Kamu duluan saja Kalan, bukankah kamu yang mengajakku terlebih dahulu ke tempat ini. Walau kamu bilang alasannya hanya ingin melihat senja, aku yakin itu bukan satu-satunya" Ishani tersenyum, seperti layaknya cerita dalam novel bukankah senja digambarkan sesuatu yang romantis?. Semburat jingga gradasi dari matahari yang tenggelam bukankah memang sangat cocok untuk mendefinisikan cinta walau tanpa suara?
"Ishani, kali ini aku serius" jantung Ishani berdegup kencang, ia menatap laki-laki disebelahnya penuh harap sekaligus cemas
"Serius bagaimana?"
"Aku jatuh cinta. Kali ini aku yakin kalau aku sudah benar-benar dengan jatuh cinta dengan dia. Aku sadar apa yang kamu katakan tentang definisi cinta beberapa hari lalu, dimana kita tak sanggup kehilangan, kita bertanya-tanya kenapa dia berbeda atau kita mencarinya ketika kita tak bisa melihatnya. Selain itu, seperti katamu kita tak hanya melihatnya dari wajah tapi hati dan sikapnya. Kurasa kali ini aku benar-benar jatuh cinta" bolehkah Ishani berharap kalau seseorang yang dimaksud Kalan itu adalah dirinya?
"Kamu pasti mengenalnya, namanya Shala" senyum itu langsung luntur begitu saja, terganti senyum kecut yang seharusnya memang tak pernah berharap dari awal
"Menurutmu apakah aku harus segera mengungkapkan perasaanku padanya? Atau bagaimana?"
"Ungkapkan saja, aku yakin dia juga pasti menyukaimu" Ishani berusaha tersenyum, suaranya terdengar riang sekali
"Benar juga, memang siapa yang bisa menolak pesona Kalanza?" Laki-laki itu kembali dengan sikap percaya dirinya dan Ishani hanya tersenyum menanggapi
"Oh iya, apa yang ingin kamu katakan tadi?"
"Tidak, aku hanya ingin memberitau sepertinya tidak di sekolah beberapa hari kedepan karena aku dipilih sebagai perwakilan lomba matematika" Tidak, walaupun mungkin itu juga berita bahagia. Tapi bukan itu harusnya yang ia ungkapkan, harusnya ia bilang kalau ia telah jatuh cinta pada laki-laki yang ternyata sudah memberikan hatinya untuk perempuan lain
Kalanza tiba-tiba memeluknya dari samping dan mengelus rambutnya lembut
"Kamu memang pintar, terima kasih karena sudah bertahan" pasti maksud Kalan bertahan dari peristiwa yang membuat ibunya pergi dan bertahan dengan kondisi keluarganya yang sekarang
"Kita akan tetap saling menjaga walau bukan saudara, aku bahkan menganggapmu lebih dari saudara" Ishani menangis, lagi-lagi ia gagal mengungkapkannya. Ia tak tau bahwa di masa depan, akan terjadi sesuatu yang tak pernah ia duga
ingat istri dan calon anakmu.. nanti kamu menyesal