 
                            Amira terperangkap dalam pernikahan yang menyakitkan dengan Nakula, suami kasar yang merusak fisik dan mentalnya. Puncaknya, di pesta perusahaan, Nakula mempermalukannya dengan berselingkuh terang-terangan dengan sahabatnya, Isabel, lalu menceraikannya dalam keadaan mabuk. Hancur, Amira melarikan diri dan secara tak terduga bertemu Bastian—CEO perusahaan dan atasan Nakula yang terkena obat perangsang .
Pertemuan di tengah keputusasaan itu membawa Amira ke dalam hubungan yang mengubah hidupnya. 
Sebastian mengatakan kalau ia mandul dan tidak bisa membuat Amira hamil.
Tetapi tiga bulan kemudian, ia mendapati dirinya hamil anak Bastian, sebuah takdir baru yang jauh dari penderitaannya yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Hari ini dimana perban Amira akan di buka oleh Dokter Han.
Sebastian berdiri sambil memandang wajah istrinya yang masih diperban.
"Apakah anda sudah siap?" tanya Dokter Han.
Amira menganggukkan kepalanya sambil melihat suaminya yang sedang menatapnya.
"Jangan takut, aku disini." ucap Sebastian.
Dokter Han mulai membuka perban di wajah Amira satu per satu dengan sangat hati-hati.
Ruangan itu begitu hening dan banya terdengar suara lembut kain kasa yang bergesekan dan detak mesin monitor di sisi ranjang.
Sebastian tidak mengedipkan matanya sama sekali saat melihat Dokter Han membuka kain kasa istrinya.
Lapisan terakhir perban akhirnya terlepas dari wajah Amira dan Dokter Han mundur sedikit, tersenyum puas.
“Mrs. Vanderkus, selamat. Operasi anda berhasil dengan sangat sempurna.”
Cahaya matahari pagi dari jendela menyinari wajah Amira yang kini terbuka sepenuhnya.
Kulitnya tampak halus, luka-luka lama telah lenyap, menyisakan kecantikan lembut yang membuat semua orang di ruangan itu terpana.
Sebastian berdiri mematung dengan matanya yang membesar serta dadanya naik turun cepat.
“A… Amira…,” bisiknya pelan, suaranya bergetar.
Amira menatapnya dengan senyum lembut, matanya berkilau penuh kasih.
“Bas…”
Namun sebelum Amira sempat mengulurkan tangan, tubuh Sebastian tiba-tiba goyah.
“B-Bas!”
BRUGH!
Sebastian jatuh ke depan, nyaris menimpa ranjang Amira.
“Sebastian!!” teriak Amira kaget.
Casandra yang sedari tadi berdiri di sisi ruangan langsung berlari ke arah putranya dan memeluk tubuhnya sebelum terjatuh ke lantai.
“Sebastian! Nak, bangun! Ya Tuhan, dia pingsan!” seru Casandra panik.
Dokter Han dan Michelle segera menghampiri, memeriksa denyut nadi Sebastian.
“Nadinya normal, Nyonya. Sepertinya dia hanya syok dan terlalu emosional.” jelas Michelle sambil membantu Casandra menepikan tubuh Sebastian ke sofa.
Casandra mengelus rambut putranya yang terkulai di pangkuannya.
“Anakku, bahkan kamu bisa pingsan hanya karena melihat istrimu sendiri.”
Michelle memanggil perawat untuk membantu mengangkat Sebastian yang pingsan.
"Tolong, taruh di sebelah saya saja." pinta Amira.
Michelle dan perawat lain memindahkan Sebastian ke ranjang yang ada disamping tempat tidur istrinya.
Dokter Han menatap layar monitor sekali lagi untuk memastikan semuanya stabil.
Ia lalu tersenyum puas sambil mencatat sesuatu di clipboard-nya.
“Mrs. Vanderkus, hasilnya sangat baik. Tidak ada komplikasi, dan reaksi kulit Anda benar-benar sempurna. Saya bangga dengan hasilnya.”
Amira mengangguk pelan, matanya masih sempat melirik ke arah suaminya yang terbaring di ranjang sebelah.
Wajah Sebastian tampak tenang meski masih belum sadar sepenuhnya.
“Terima kasih, Dokter Han. Tapi, apakah Bas akan baik-baik saja?” tanya Amira dengan wajah cemas.
Dokter Han tersenyum tipis, lalu menepuk lembut bahu Amira.
“Tenang saja, Mrs. Vanderkus. Suami Anda hanya terlalu emosional. Kadang, tubuh bereaksi ketika perasaan bahagia dan tegang datang bersamaan. Saya pastikan dia hanya butuh istirahat sebentar.”
“Syukurlah," ucap Amira.
Dokter Han menatap Amira sekali lagi sebelum melangkah ke arah Michelle dan perawat lain.
“Michelle, pastikan infus Mrs. Vanderkus tetap stabil. Setelah itu, beri waktu mereka berdua untuk beristirahat.”
“Baik, Dok.” jawab Michelle sambil mencatat instruksi tersebut.
Setelah memeriksa seluruh peralatan medis dan memastikan kondisi Amira stabil, Dokter Han menatap seluruh timnya dan mengangguk kecil.
“Ayo, kita beri mereka waktu berdua. Mereka sudah cukup lama menunggu momen ini.”
Michelle dan dua perawat lainnya ikut tersenyum, lalu bersama Dokter Han berjalan keluar dengan langkah pelan.
"Sayang, Mama mau cari makan dulu sama Jiho. Kamu jaga putra mama saja disini." ucap Casandra yang juga tidak mau mengganggu Amira dan Sebastian.
Amira menganggukkan kepalanya sambil tersenyum tipis.
Casandra menggandeng Jiho dan mengajaknya keluar dari kamar.
Ceklek!
Pintu ruangan tertutup perlahan, meninggalkan keheningan lembut di ruang perawatan VIP itu.
Cahaya matahari menembus tirai tipis, jatuh di wajah Amira yang kini benar-benar pulih.
Ia menoleh ke arah ranjang sebelah, menatap Sebastian yang masih tertidur dengan napas pelan dan teratur.
Amira mengulurkan tangannya, menyentuh jari suaminya dengan lembut.
“Bas, kamu ini selalu membuat aku khawatir,” bisiknya lembut.
Sebastian bergeming sesaat, kemudian jemarinya perlahan menggenggam tangan Amira sebagai respon refleks.
Detik demi detik berganti dan sudah dua jam Sebastian tidak sadarkan diri.
"Bas, ayo bangun. Aku ingin kamu lihat wajah aku." ucap Amira sambil tangannya bermain di hidung suaminya.
Sebastian mendengar suara istrinya yang memintanya untuk bangun.
Ia mencoba untuk membuka matanya perlahan-lahan.
Amira melihat suaminya yang akhirnya sadar dari pingsannya.
"B-bas...."
Sebastian menatap wajah istrinya sambil tersenyum tipis.
"Apakah kamu bidadari surga?" tanya Sebastian.
Amira yang mendengar perkataan dari suaminya langsung tertawa terbahak-bahak.
"Bas, aku ini istrimu! Bukan bidadari surga." jawab Amira.
Sebastian menggelengkan kepalanya dan masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Amira.
Amira yang gemas dengan suaminya langsung mendekatkan bibirnya ke bibir suaminya.
Ia memberikan ciuman khasnya kepada Sebastian.
Sebastian membelalakkan matanya saat mendapati ciuman dari istrinya.
Ia pun langsung membalas ciuman itu sambil menggenggam tangan istrinya.
"Kalau ini mimpi, jangan bangunkan aku." ucap Sebastian.
Amira tersenyum tipis di sela ciuman mereka berdua.
“Ini bukan mimpi, Bas. Aku benar-benar di sini, bersamamu.” ucap Amira.
Sebastian menatap wajah istrinya lekat-lekat setelah ciuman mereka berakhir.
“Kadang aku masih nggak percaya, kalau Nakula itu benar-benar bodoh.”
Amira mengernyitkan keningnya saat mendengar perkataan dari suaminya.
"Bodoh? Bodoh bagaimana, Bas?" tanya Amira kebingungan.
“Karena dia udah melepas seorang berlian murni… dan memilih batu kerikil.”
Amira tertegun sesaat, lalu tertawa terbahak-bahak sampai air matanya keluar.
“Batu kerikil, hahahaha! Kamu ini bisa aja, Bas.”
Sebastian ikut tertawa kecil saat melihat istrinya yang tertawa terbahak-bahak.
“Serius, Mira. Aku nggak pernah merasa seberuntung ini. Kamu bukan cuma berlian, tapi juga sinar yang bikin hidup aku berharga lagi.”
Amira memukul pelan dada suaminya sambil menatapnya penuh cinta.
“Bas, aku juga beruntung. Karena aku bisa menemukan orang yang tahu nilai berlian itu.”
Sebastian tersenyum lebar, matanya menatap lembut perut Amira yang kini tampak sedikit membuncit.
“Dan aku juga beruntung karena bukan cuma dapat berlian besar, tapi juga berlian mini yang sedang tumbuh di sini.” ucap Sebastian sambil mencium perut istrinya.
Amira menatap suaminya yang kini mencium perutnya dengan begitu lembut.
"Bas, terima kasih atas semuanya. A-aku tidak tahu harus membalasnya lewat apa." ucap Amira sambil menatap wajah suaminya.
Sebastian langsung memeluk tubuh istrinya yang akan menangis.
“Jangan nangis lagi, Sayang. Kamu nggak perlu membalas apa pun. Cukup tetap di sini, di sisiku. Itu sudah lebih dari cukup buatku.” ucap Sebastian.
Amira menganggukkan kepalanya sambil menghapus air matanya yang menetes.
karna bastian mandul